Showing posts with label Pengetahuan Islam. Show all posts
Showing posts with label Pengetahuan Islam. Show all posts

Syaikh Al-Albani Tidak Punya Sanad dan Guru?



Foto 1. Syaikh Al-Albani di Perpustakaan al-Maktab al-Islami di Beirut

Nama beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati al-Arnauth[1] al-Albani –rahimahullah-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta.

Para pembaca yang budiman…
Dalam perjalanannya menuntut ilmu, Syaikh Al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh Al-Albani mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thuur 21).

Ayah Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah (ad-Din).

Foto 2. Foto Syaikh Nuh Najati al-Albani, ayahanda Syaikh Al-Albani

Para pembaca yang budiman…
Pada tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam masjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.


Suatu ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa'id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.

Foto 3. Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani

Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w. 1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani.

Adakah al-Albani Memiliki Sanad?
Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4] dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di zamannya.[5] Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]

Syaikh at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani rahimahullahu.[7]

Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh rahimahullahu...”.

Foto 4. Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabakh

Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah” . Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.

Silsilah Sanad Syaikh Al-Albani

Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

Syaikh al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi [10].

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]

Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]

Syaikh Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi –penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]


Murid Beliau dalam Riwayah

Sangat ramai murid al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata,
أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب
“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:
هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين
“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]

Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]

Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu:

Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]

Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan, Maghrib.
Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah,
استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه
“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”.

Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala. Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu.


Foto 5. Syaikh Muhammad Bu Khubzah

Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]

Berkata Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat,
أجزتك عن شيخي راغب الطباخ
“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,
Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.

Foto 6. Syaikh Musa’ad bin Basyir as-Sudani

Syaikhuna Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]

Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.

Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58,
فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل
“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji]

_________________________________________________ 


[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.
[2] Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 - 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3] Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.
[4] Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa Mufakkirun 'araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9] Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17] Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.
[18] Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20] Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21] Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya sendiri.


Semoga bermanfaat.

Apakah Ada Sholat Sunnah Ashar?

Apakah Ada Sholat Sunnah Ashar?
Apakah Ada Sholat Sunnah Ashar?


AlQuranPedia.Org – Kita mengenal adanya istilah “sholat sunnah rawatib”, yakni sholat sunnah yang mengiri sholat wajib yang 5 waktu. Seperti contohnya sholat sunnah 2 rakaat sebelum (qobliyah) Subuh, 4 rakaat sesudah (ba’diyah) Dzuhur dan lain sebagainya. Pada tulisan kali ini kita akan membahas sedikit mengenai ada atau tidak adanya sholat sunnah Ashar. Sebagian ada yang berpendapat bahwa sholat Ashar itu tidak ada rawatibnya, artinya tidak ada sholat sunnah pengiring untuk sholat Ashar. Lantas benarkah pernyataan ini?


Perlu diketahui bahwa hadits tentang sholat rawatib dan keutamaannya sangatlah banyak. Di antara yang masyhur adalah 12 rakaat rawatib yang sangat ditekankan.

Dari Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum  zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” (HR. Tirmidz no. 414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Lalu adakah sholat sunnah Ashar? Jawabannya adalah ada. Dalilnya adalah hadits berikut.

Dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang shalat 4 rakaat sebelum Ashar.” (HR. Ahmad 5980, Abu Daud 1271, Turmudzi 430, dan dihasankan Syaikh Al-Albani)


Adapun mengenai pengerjannya terdapat perselisihan di antara ulama, apakah 4 rakaat sekali salam ataukah 2 rakaat dengan 2 salam. Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah dikerjakan dengan 2 rakaat salam, 2 rakaat salam, berdasarkan hadits dari Ashim bin Dhamrah, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat 4 rakaat sebelum Ashar, beliau pisah diantaranya dengan salam kepada malaikat, dan orang yang mengikuti mereka di kalangan kaum muslimin dan mukminin. (HR. Turmudzi 429 dan dihasankan Syaikh Al-Albani)

Ada juga sholat sunnah 2 rakaat setelah ‘Ashar.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, “Dua shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumahku dalam keadaan apapun yaitu : Dua raka’at sebelum Fajar/Shubuh dan dua raka’at setelah ‘Ashar.” (HR. Bukhari nomor 566-567 dan Muslim nomor 835)

Akan tetapi mengerjakan 2 rakaat setelah Ashar ini memiliki batasan waktu, sepanjang matahari masih tinggi dan putih (belum kuning kemerah-merahan), hal ini sebagaimana riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Maka dari itu seyogyanya kaum muslimin sebisa mungkin mengerjakan sunnah yang satu ini. Karena banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengerjakannya, baik itu karena ketidaktahuan mereka ataukah karena hal lain. Selain mendapatkan pahala sholat sunnah, kita juga dapat menambal kekurangan sholat kita dan dapat menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah yang mulai redup. Semoga kita dimudahkan mengerjakan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 7 Sya’ban 1440 Hijriyah/13 April 2019 Masehi.

Macam-Macam Sholat Sunnah Rawatib

Macam-Macam Sholat Sunnah Rawatib
Macam-Macam Sholat Sunnah Rawatib

AlQuranPedia.Org – Sholat sunnah rawatib adalah sholat sunnah yang mengiri sholat Fardhu 5 waktu. Jadi sholat fadhu itu ada sholat pengiringnya, ada yang sebelum dan ada yang sesudah. Hal itu tentu saja didasarkan pada dalil-dalil yang shahih. Lantas kenapa kita sangat dianjurkan melaksanakan sholat sunnah rawatib? Alasannya sangatlah banyak. Di antaranya adalah kita dapat mencontohi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kita akan diberi ganjaran berupa pahala dan banyak keutamaan. Terlebih lagi sholat sunnah dapat menutupi kekurangan yang ada pada sholat wajib kita.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.” (HR. Abu Daud no. 864. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Bahkan amalan sunnah yang kita kerjakan bisa menjadi sebab kecintaan Allah kepada kita.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Pada tulisan kali ini kita akan membahas sedikit mengenai macam-macam sholat sunnah rawatib yang didukung oleh nash-nash dalil yang shahih. Simak selengkapnya.

1. Sholat Sunnah Subuh
Sholat rawatib subuh hanya ada satu, yaitu 2 rakaat sebelum subuh. Ini adalah sholat sunnah yang mendapat perhatian sangat besar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai beliau tidak pernah meninggalkannya baik itu sedang safar ataupun mukim.

‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh.  (HR. Muslim no. 724)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Dua raka’at fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

2. Sholat Sunnah Dzuhur
Cara pengerjaan sholat sunnah rawatib Dzuhur ada 3 cara, yakni:

1) 2 Rakaat Sebelum dan 2 Rakaat Sesudah Dzuhur
Dalilnya adalah:
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at (sunnah rawatib), yaitu dua raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at sesudah Zhuhur, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Bukhari, no. 1180)

2) 4 Rakaat Sebelum dan 2 Rakaat Sesudah Dzuhur
Dalilnya adalah:
Dari Abdullah bin Syaqiq, beliau mengatakan bahwa beliau menanyakan pada Aisyah tentang shalat sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah lantas menjawab, "Beliau biasanya mengerjakan shalat 4 rakaat sebelum zhuhur di rumahku. Lalu beliau keluar untuk shalat zhuhur bersama para sahabat. Kemudian beliau masuk rumah dan mengerjakan shalat 2 rakaat." (HR. Muslim, no. 730)

 3) 4 Rakaat Sebelum dan 4 Rakaat Setelah Dzuhur
Dalilnya adalah:
Dari Ummu Habibah radhiyallahu 'anha, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjaga shalat 4 rakaat sebelum zhuhur dan 4 rakaat sesudahnya, maka Allah mengharamkan neraka baginya.” (HR. Tirmidzi, no. 428; Ibnu Majah, no. 1160. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini shahih)


3. Sholat Sunnah Ashar
Sholat rawatib Ashar ada 2, yaitu 4 rakaat sebelum dan 2 rakaat setelah Ashar.

1) 4 Rakaat Sebelum Ashar
Dalilnya adalah:
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang shalat 4 rakaat sebelum Ashar. (HR. Ahmad 5980, Abu Daud 1271, Tirmidzi 430, dan dihasankan Al-Albani)

2) 2 Rakaat Sesudah Ashar
Dalilnya adalah:
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, “Dua shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumahku dalam keadaan apapun yaitu : Dua raka’at sebelum Fajar/Shubuh dan dua raka’at setelah ‘Ashar.” (HR. Bukhari nomor 566-567 dan Muslim nomor 835)

Catatan: Mengerjakan 2 rakaat setelah Ashar memiliki batasan waktu, sepanjang matahari masih tinggi dan putih (belum kuning kemerah-merahan), hal ini sebagaimana riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

4. Sholat Sunnah Maghrib
Sholat Maghrib memiliki 2 sholat sunnah rawatib, yaitu 2 rakaat sebelum dan sesudahnya.

1) 2 Rakaat Sebelum Maghrib
Dalilnya adalah:
Dari ‘Abdullah bin Mughoffal Al-Muzani radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at bagi siapa yang mau.” Karena hal ini dikhawatirkan dijadikan sebagai sunnah. (HR. Abu Daud no. 1281. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2) 2 Rakaat Sesudah Maghrib
Dalilnya berdasarkan keumuman hadits 12 rakaat sholat sunnah rawatib.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” (HR. Tirmidz no. 414. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

5. Sholat Sunnah ‘Isya’
Sholat sunnah ‘Isya memiliki 2 cara jenis sholat sunnah, yaitu 2 rakaat sesudahnya dan 4 rakaat sesudahnya.

1) 2 Rakaat Setelah Isya
Dalilnya berdasarkan keumuman hadits 12 rakaat sholat sunnah rawatib.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” (HR. Tirmidz no. 414. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2) 4 Rakaat Setelah ‘Isya’
Sholat sunnah ini jarang sekali diketahui dan dikerjakan kaum muslimin. Padahal keutamaannya sangatlah besar.

Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu 'anhu berkata, “Siapa yang sholat (sunnah) 4 rakaat setelah (Sholat) Isya’, maka 4 raka’at tersebut seperti keutamaannya 4 raka'atnya malam Laitul Qadar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no 7273. Sanadnya shahih)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “4 raka’at setelah (shalat) Isya’, sebanding dengan yang semisal 4 raka'at tersebut pada malam Lailatul Qadar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no 7274. Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)

Catatan: Cara mengerjakan sholat sunnah Isya’ ini ada 2. Bisa dilakukan 4 saja sekaligus sehingga sudah termasuk 2 rakaat yang jenis pertama. Atau bisa juga dilakukan 6 rakaat, 2 rakaat jenis pertama, kemudian ditambah 4 rakaat jenis kedua. Allahu a’lam.

Ada satu hal yang penting. Mungkin sebagian kita bingung bagaimana mengerjakan sholat sunnah 4 rakaat sebelum Dzuhur dan 4 rakaat sebelum Ashar karena waktu antara adzan dan iqomah di negeri kita sangatlah singkat. Maka solusinya adalah dengan mengqodho’nya setelah sholat Dzuhur/Ashar. Jadi kalau kita hanya sempat melaksanakan 2 rakaat sebelum Dzuhur/Ashar, maka kita bisa qodho’ sisanya setelah melaksanakan sholat Dzuhur/Ashar. Hal ini pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengqodho’ sholat sunnah Dzuhur pada waktu setelah Ashar.

Jadi itulah pembahasan singkat kita mengenai macam-macam sholat sunnah rawatib. Semoga Allah mudahkan kita mengerjakannya.


Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 4 Jumadil Akhir 1440 Hijriyah/9 Februari 2019 Masehi.

Kenapa Harus Pemahaman Para Sahabat?

Kenapa Harus Pemahaman Para Sahabat?
Kenapa Harus Pemahaman Para Sahabat?
AlQuranPedia.Org – Wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan Al-Quran dan Hadits Shahih nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pijakan dan pedoman. Karena keduanya bersumber dari wahyu Allah Tabaraka Wa Ta’ala. Al-Quran sudah ma’ruf bahwasannya ianya adalah firman Allah, kebenarannya bersifat mutlak dan kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Adapun hadits merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mana itu berasal dari wahyu Allah yang Allah wahyukan kepadanya. Dengan catatan hadits tersebut shahih dan diterima, tidak bisa hadits dho’if (lemah) apalagi hadits maudhu’ (palsu).

dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm : 3-4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah mengabarkan kepada kita di khutbah-khutbah terakhir beliau, bahwasannya beliau meninggalkan dua perkara yang mana kalau kita berpegang kepada keduanya maka kita tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni Al-Quran dan Hadits nya

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits shahih lighairihi. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)


Tetapi untuk memahami Al-Quran dan Hadits kita tidak bisa sembarangan. Keduanya harus dipahami sesuai dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Adapun secara istilah disebut dengan manhaj salaf, yakni metode salaf. Salaf artinya para pendahulu kita, tiga generasi emas umat Islam (Para sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in), dan salaf yang terutama adalah para sahabat. Maka dari itu manhaj salaf adalah manhajnya para sahabat. Lalu kenapa harus begitu? Kenapa harus bermanhaj salaf? Kenapa harus bermanhaj dengan manhajnya sahabat? Kenapa harus beragama sesuai dengan pemahaman para sahabat? Simak alasan-alasannya berikut ini.

1. Al-Quran Turun di Tengah-Tengah Para Sahabat

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa para sahabat adalah mereka yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat nabi secara langsung dan wafat di atas keislaman. Jadi meskipun ada yang sezaman dengan nabi tetapi tidak pernah melihatnya maka dia tidak dinamakan sahabat nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan semua hal kepada para sahabatnya, baik itu Al-Quran, tafsirnya, tentang ibadah, dan segala sesuatu. Segala ilmu telah diajarkan nabi kepada para sahabat.

Dari Abu Dzarr Al-Ghifary radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban)

Jadi, para sahabatlah yang paling mengetahui tafsir Al-Quran, maknanya, hadits nabi, dan segala ilmu. Tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Quran dan Sunnah daripada mereka.

2. Pemahaman Para Sahabat Mendapatkan Rekomendasi Langsung dari Allah dan Rasul-Nya

Para sahabat mendapatkan sertifikasi dan rekomendasi langsung dari nabi. Allah Ta’ala pun memberikan rekomendasi langsung untuk para sahabat.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At-Taubah : 100)

Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan dan Kami akan masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisaa’ : 115)

Dari Al-‘Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah dinasihati oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah nasiat yang amat mendalam, yang menyebabkan air mata kami berlinang dan hati kami bergetar, lalu seorang Sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, seakan-akan ini sebagai nasihat seseorang yang akan pergi, maka apa pesanmu kepada kami?’ Beliapun bersabda: ‘Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh (kepada pimpinan) ,meskipun ia seorang budak dari Habasyah (Ethiopia), karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kamu sesudahkau akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ (pengikutku) yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu padanya dan gigitlah dengan geraham-geraham (mu), dan jauhilah hal-hal yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Majah dan Syaikh Al-Albani.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” (HR. Tirmidzi, no. 2565, Al-Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24)

Maka dari itu tidak diragukan lagi bahwa mengikuti cara beragama (manhaj) para sahabat adalah suatu kebenaran, wajib diikuti dan diamalkan.

3. Para Sahabat Adalah Generasi Terbaik Umat Ini

Banyak hadits yang menyebutkan bahwa para sahabat mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah langsung, mereka adalah sebaik-baik generasi umat Islam, sebaik-baik manusia setelah Rasulullah, seujung kuku dari para sahabat pun kita tidak dapat menyamainya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya)


4. Banyaknya Firqoh/Golongan yang Sesat Dikarenakan Tidak Mengikuti Pemahaman Para Sahabat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa umat Islam terpecah belah menjadi 73 firqoh/golongan, dan hanya 1 yang selamat. Semua firqoh sesat itu beragama Islam, mereka mengimani Al-Quran dan Hadits, hanya satu saja yang membuat mereka tersesat. Yakni pemahamannya. Contohnya seperti kaum Khawarij. Mereka rajin ibadah, rajin baca Al-Quran, rajin mengikuti sunnah-sunnah nabi, akan tetapi mereka mengkafirkan pemerintah dikarenakan salah memahami firman Allah “Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka dia kafir”. Mereka pun menghalalkan darah pemerintah dan siapa saja yang bersama pemerintah. Itulah yang kita kenal dengan para teroris. Mereka tidak memahaminya sebagaimana yang dipahami para sahabat. Maka dari itu mereka tersesat sejauh-jauhnya. Betullah firman Allah:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisaa’ : 115)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata kepada kaum khawarij, “Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al-Quran turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. (HR. Abdurrazaq di dalam Al-Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali)

Begitu pula firqoh sesat yang lain seperti Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Asy‘ariyah, Maturidiyah, dan lain sebagainya. Ada yang salah memahami takdir, ada yang salah memahami iman, ada yang salah memahami aqidah terhadap Allah, ada yang salah memahami ayat, ada yang salah memahami asma dan sifat Allah, dan lain sebagainya. Itu dikarenakan apa? Karena tidak memahaminya sesuai dengan yang dipahami para sahabat. Maka dari itu Rasulullah berpesan bahwa solusi dari perpecahan umat adalah “berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para sahabatnya”.

5. Semua Nama Firqoh Sesat Tidak Terdapat di Dalam Al-Quran dan Hadits

Semua nama firqoh sesat tidak memiliki dalil dari Al-Quran dan Hadits, seperti Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah. Tidak pernah kita mendengar Rasulullah mengatakan bahwa dirinya adalah Qodariyah, Jabariyah, Murji’ah, bahkan Syi’ah. Akan tetapi Rasulullah menyebut dirinya sebagai “salaf”. Maka pengikutnya dinamakan sebagai salafi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anaknya, Fathimah, ”Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim [2450/98])

6. Para Ulama Sepakat Wajibnya Bermanhaj Salaf, Beragama Dengan Mengikuti Pemahaman Para Sahabat

1. Abul ‘Aliyah rahimahullah

Beliau berkata, "Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia." (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5)

2. Muhammad bin Sirin rahimahullah

Beliau berkata, "Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih)." (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36).

3. Imam Al-Auza’i rahimahullah

Beliau berkata, “Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka.” (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104)

Dalam membantah bid’ah, Imam Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan, “Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29]” (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57)

4. Imam Abu Hanifah rahimahullah

Beliau berkata, "Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka." (Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim)

5. Imam Malik bin Anas rahimahullah

Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik rahimahullah berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. (I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim)

6. Imam Syafi’i rahimahullah

Beliau berkata, “Selama ada Al-Kitab dan As-Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka." (Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil)

7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

Beliau berkata, "Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan …" (Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58).

Jadi demikianlah pembahasan kita mengenai wajibnya kita bermanhaj salaf, menjadi salafiyyin, yakni menjadi pengikutnya Rasulullah dan para sahabat, beragama dengan pemahamannya para sahabatnya. Semoga tulisan ini menambah wawasan dan menjadi petunjuk bagi kita semua.


Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 14 Shafar 1440 Hijriyah/24 Oktober 2018 Masehi.

Matahari dan Bulan Kelak Akan Masuk Neraka?

Matahari dan Bulan Masuk Neraka?
Matahari dan Bulan Masuk Neraka?
AlQuranPedia.Org – Matahari dan bulan adalah di antara ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang besar. Keduanya merupakan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Bahkan di dalam Al-Quran khusus dijadikan nama surat, yaitu Surat Asy-Syams (Matahari) dan Surat Al-Qamar (Bulan). Penyebutan keduanya pun sangatlah banyak di Al-Quran, terutama ketika membahas mengenai penciptaan, kejadian hari kiamat, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah. (Q.S. Fushshilat : 37)


Pada tulisan kali ini blog Al-Quran Pedia coba membahas mengenai benarkah pada hari kiamat kelak matahari dan bulan dimasukkan ke dalam neraka ataukah tidak. Mari kita simak penjelasannya di bawah ini.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ثَوْرَانِ مُكَوَّرَانِ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Matahari dan rembulan keduanya bangkit terlilit dalam neraka pada hari kiamat.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar  (1/66-67) dia menyatakan: “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Khuzaimah: “Telah bercerita kepadaku Ma’li Ibnul Asad Al-Ammi: “Telah bercerita kepadaku Abdul 'Aziz bin Al-Mukhtar, dari 'Abdullah Ad-Danaj yang menuturkan:

“Aku menyertai Abu Salamah bin ‘Abdurrahman duduk di masjid pada masa Khalid bin ‘Abdullah bin Khalid bin Usaid. Dia menceritakan: “Lalu datang Hasan, kemudian dia duduk menghampiri Abu Hurairah, lalu keduanya bercakap-cakap. “Selanjutnya Abu Salamah mengatakan, “Telah bercerita kapadaku Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: (lalu dia menyebutkan hadits ini). Al-Hasan bertanya, “Apakah dosa keduanya?” Abu Hurairah berkata, “Aku hanya menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Al-Hasan kemudian diam.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Al-Ba’ts Wan-Nahyur. Demikian pula Al-Bazzar, Ismail dan Al-Khathabi, semua dari jalur Yunus bin Muhammad yang memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Abdul 'Aziz bin Al-Mukhtar.”

Saya menilai: Hadits ini shahih sanadnya sesuai dengan syarat Bukhari. Dia juga mengeluarkan dalam kitab Shahih-nya secara ringkas. Kemudian mengatakan (2/304-305): “Telah bercerita kepadaku Musaddad, dia menuturkan: “Abdulaziz bin Al-Mukhtar telah bercerita kepadaku dengan lafazh:

Matahari dan bulan keduanya dililit (api) pada hari kiamat.

Menurut Al-Bukhari kisah Abi Salamah dan Al-Hasan tidak ada, padahal sebenarnya merupakan kisah shahih. Sedangkan bagi Khathib At-Tirbizi ada kesangsian mengenai sanad dan kisah ini, sekiranya hadits itu adalah sekedar berupa periwayatan hadits oleh Al-Hasan dari Abu Hurairah atau merupakan tanya jawab antara mereka berdua. Dalam hal ini saya telah memperingatkannya dalam catatan saya tentang kitab Khathib At-Tibrizi Miskayatul Mashabih (nomor: 5692).


Hadits ini juga mempunyai syahid (hadits pendukung). Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya (2103) menuturkan: “Telah bercerita kepadaku Ad-Durust, dari Yazid bin Aban Ar-Ruqasyi, dari Anas, ia menyadarkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan lafazh:

Sesungguhnya matahari dan rembulan keduanya bangkit terluka di neraka.”

Hadits ini dari arah Ar-Ruqasyi, lemah sanadnya, sebab dia dinilai dha’if, seperti juga Durust, tetapi Durust ada yang mengikutinya. Dan dari jalan inilah Ath-Thahawi mengluarkan hadits tersebut. Juga Abu Ya’la (3/17/10), Ibnu Addi (2/129), Abusy-syaikh dalam Al-Adhamah sepetti juga di dalam Allali Al-Mashnu’ah (1/82) dan Ibnu Mardawaih sebagaimana disebutkan dalam Al-Jami Ash-Shaghir dimana menambahkan:

“Jika mau Dia akan mengeluarkan keduanya dan jika mau Dia akan membiarkan keduanya.”

Adapun hadits yang mengikuti (matabi’)  sebagaimana telah disyaratkan di atas, Abu Asy-Syaikh mengatakan: “Telah berkata kepadaku Abu Ma’syur Ad-Darimi yang memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Hudbah, dia mengatakan: “Telah bercerita kepadaku Hammad bin Salamah, dari Yazid Ar-Raqasyi.”

As-Suyuthi berkomentar: “Ini adalah matabi’ (hadits yang mengikuti) yang nyata”, yaitu seperti yang sudah dikatakan. Dan para perawinya adalah tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Araq dalam Tanzihusy-Syari’ah  (1/190 cet. 1), yang dimaksud adalah selain Ar-Raqasyi, sebab dia memang lemah (dha’if) seperti telah saya ketahui. Akan tetapi tidak terlalu lemah, sehingga bisa juga dijadikan sebagai hadits pendukung. Oleh karena itu, Ibnul Al-Jauzy menilai buruk memasukkan haditsnya di dalam Al-Mashmu’at, karena ia bertentangan. Al-Jauzy memasukkan hadits tersebut dalam Al-Wahiyat, hadits-hadits yang lemah tetapi tidak maudhu’. Namun semua itu pada dasarnya merupakan kelalaiannya terhadap hadits Abu Hurairah, padahal sebenarnya hadits ini adalah shahih. Wallahu a’lam.

Makna Hadits

Yang dimaksudkan hadits ini bukan seperti yang disinggung oleh Al-Hasan Al-Bashri bahwa matahari dan rembulan itu ada di neraka dimana keduanya disiksa di sana. Ingat! Sesungguhnya Allah tidak menyiksa makhluk yang telah mentaati-Nya. Termasuk matahari dan rembulan, seperti yang telah disyariatkan dalam firman Allah Ta'ala:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya.” (QS. Al-Hajj : 18)

Dalam ayat itu Allah Ta'ala memberitahukan bahwa yang berhak menerima adzab dari-Nya adalah selain makhluk yang bersujud kepada-Nya di dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ath-Thahawi. Oleh karena itu, mengenai matahari dan rembulan dilemparkan ke dalam neraka ada dua kemungkinan:

Pertama: Bisa jadi keduanya merupakan bahan bakar neraka. Dalam hal ini Al-Isma’ili menyinggung:

“Tidak semestinya matahari dan bulan di dalam neraka menjalani siksa. Karena sesungguhnya di dalam neraka juga ada malaikat, batu dan lain-lainnya yang berfungsi untuk menyiksa penghuni neraka dan sebagai alat-alat penyiksaan. Dan atas kehendak Allah, meskipun ada di neraka, mereka tidak merasa tersiksa.”

Kedua: Keduanya di neraka adalah untuk menghajar orang-orang yang membantahnya. Al-Khathabi berkata:

“Keberadaannya di neraka bukanlah karena disiksa. Akan tetapi hendak menghajar orang-orang yang dahulu menyembahnya ketika di dunia, agar mereka mengetahui bahwa penyebahan mereka pada keduanya adalah batil, tidak benar.”

Saya menilai: Penafsiran di atas lebih dekat kepada lafazh hadits apalagi didukung oleh hadits Anas menurut Abi Ya’la, seperti yang terdapat dalam Al-Fath (6/214) yakni: “Orang-orang yang dahulu meyembahnya.” Namun saya tidak melihat ini dalam Musnadnya. Wallahu a’lam.



Semoga bermanfaat.


Diselesaikan pada 12 Shafar 1440 Hijriyah/21 Oktober 2018 Masehi.

Inilah Pekerjaan Para Nabi Allah

Inilah Pekerjaan Para Nabi Allah
Inilah Pekerjaan Para Nabi Allah
AlQuranPedia.Org – Bekerja wajib bagi para pria. Tidak boleh bagi para ayah/suami bermalas-malasan dalam mencari nafkah.

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 233)

Pada ayat lain Allah berfirman,

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q.S. Ath-Thalaaq : 7)


Nasehat dari Al-Ustadz Nuruddin Bukhori hafidzhahullah, “silahkan cari harta sebanyak-banyaknya, karena dengan harta itu juga kita dapat beribadah dengan maksimal seperti bersedekah, zakat, berinfak, haji dan lain sebagainya. Silahkan cari harta sebanyak-banyaknya, tetapi jangan sampai melalaikan kita dari ibadah.”

Jadi wajib bagi pria untuk bekerja, bekerja itu bebas yang penting halal. Tidak boleh bermalas-malasan apalagi meminta-meminta. Na’udzubillah

“Jikalau seorang di antara kalian mengambil seutas tali kemudian pergi ke gunung kemudian dia pulang dengan membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya kemudian menjualnya, yang dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatan/harga dirinya), niscaya itu lebih baik baginya dari pada dia meminta-minta kepada sesama manusia, apakah mereka memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari)

Pada tulisan kali ini blog Al-Quran Pedia akan membahas mengenai pekerjaan para Nabi Allah. Para Nabi saja yang sudah dijamin surganya, dijamin kehidupannya dunia dan akhirat, tetapi mereka tetap bekerja mencari nafkah. Bagaimana dengan kita? Nabi bukan, rasul bukan, surga belum dijamin.

Ada beberapa riwayat dan hadits yang menyebutkan tentang pekerjaan para nabi Allah.

“Tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik dari pada memakan makanan dari usahanya tangannya. Sesungguhnya nabi Allah Dawud ‘alaihissalam memakan dari hasil usaha tangannya.” (HR. Bukhari)


“Bahwasanya Nabi Dawud 'alaihissalam adalah seorang pandai besi (pembuat baju besi), Nabi Adam 'alaihissalam adalah seorang petani, Nabi Nuh 'alaihissalam adalah seorang tukang kayu, Nabi Idris 'alaihissalam adalah seorang penjahit (penenun) dan Nabi Musa 'alaihissalam adalah seorang penggembala.” (HR. Hakim, hadits shahih lihat Ghayatul Maram (163/1), halaman 288)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Nabi Adam ‘alaihissalam menjadi petani, nabi Nuh ‘alaihissalam menjadi tukang kayu, nabi Idris ‘alaihissalam menjadi penjahit, nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan nabi Luth ‘alaihis salam menjadi petani, nabi Shalih ‘alaihissalam menjadi pedagang, nabi Dawud ‘alaihissalam menjadi pandai besi, nabi Musa ‘alaihissalam, nabi Syua’ib ‘alaihissalam dan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi penggembala.” Para sahabat Rasulullah pun juga berdagang di daratan maupun lautan, menggarap tanah dan lain sebagainya. (Minhajul Qashidin, karya Ibnu Qudamah hal.101)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zakariyya 'alaihissalam dulu adalah seorang tukang kayu”. (HR. Muslim no. 2379)

Bahkan semua nabi itu adalah penggembala kambing.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” (HR. Bukhari no. 2143)

Jadi pekerjaan para nabi adalah sebagai berikut:

1. Nabi Adam petani
2. Nabi Idris penjahit
3. Nabi Nuh tukang kayu
4. Nabi Shalih pedagang
5. Nabi Ibrahim petani
6. Nabi Luth petani
7. Nabi Syu'aib penggembala kambing
8. Nabi Musa penggembala kambing
9. Nabi Dawud pandai besi
10. Zakariyya tukang kayu
11. Nabi Muhammad penggembala kambing

Itulah pembahasan singkat kita mengenai pekerjaan para nabi Allah. Semoga tulisan ini menambah pengetahuan dan wawasan kita.


Semoga bermanfaat.


Diselesaikan pada 28 Muharram 1440 Hijriyah/8 Oktober 2018 Masehi.

Biografi Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Biografi Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Biografi Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
AlQuranPedia.Org - Beliau adalah Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal atau biasa kita kenal Ustadz Abduh Tuasikal. Beliau memiliki website yang sangat populer yang sepertinya tidak asing lagi di telinga kita, yakni Rumaysho.Com. Website yang kaya akan ilmu, penuh hujjah dan memiliki banyak manfaat. Website tersebut diambil dari nama anak pertama beliau yaitu Rumaysho Tuasikal. Beliau merupakan salah satu da'i salafi yang aktif dalam mengajar dan menulis. Beliau adalah pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang Gunung Kidul, Yogyakarta. Beliau juga sempat beberapa kali mengadakan Tabligh Akbar bersama asatidzah lainnya seperti bersama Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA dan Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA hafidzhahumallah.

Pada tulisan kali ini blog Al-Quran Pedia akan membahas mengenai biografi dari Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal hafidzhahullah. Biografi beliau kami kutip langsung dari website beliau Rumaysho.Com dengan beberapa perubahan dan tambahan.


Profil Singkat

Nama beliau adalah Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc. Beliau lahir di Ambon, 24 Januari 1984 dari pasangan Usman Tuasikal, S.E. dan Zainab Talaohu, S.H. Beliau berdarah Ambon, namun pendidikan SD sampai SMA diselesaikannya di kota Jayapura, Papua (dulu Irian Jaya).

Saat ini, beliau tinggal bersama istri tercinta (Rini Rahmawati) dan tiga anak, yaitu Rumaysho Tuasikal (putri), Ruwaifi’ Tuasikal (putra), dan Ruqoyyah Tuasikal (putri) di Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang, Gunung Kidul, D. I. Yogyakarta.

Pendidikan

Beliau tidak memiliki latar belakang pendidikan agama; pendidikan SD sampai SMA beliau tempuh di jenjang pendidikan umum. Saat kuliah di Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (2002-2007), barulah beliau merasakan indahnya ajaran Islam dan nikmatnya menuntut ilmu agama, berawal dari belajar bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu. Saat kuliah di Kampus Biru tersebut, beliau sekaligus belajar di pesantren mahasiswa yang bernama Ma’had Al-‘Imi (di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari) tahun 2004-2006, dengan pengajar dari Ponpes Jamillurrahman dan Islamic Center Bin Baz. Waktu belajar kala itu adalah sore hari selepas pulang kuliah. Selain belajar di pesantren mahasiswa tersebut, beliau juga belajar secara khusus dengan Ustadz Abu Isa. Yang lebih lama, beliau belajar secara khusus pada Ustadz Aris Munandar, M.P.I. selama kurang-lebih enam tahun dengan mempelajari ilmu ushul dan kitab karangan Ibnu Taimiyyah serta Ibnul Qayyim.

Pada tahun 2010, beliau bertolak menuju Kerajaan Saudi Arabia – tepatnya di kota Riyadh – untuk melanjutkan studi S-2 Teknik Kimia di Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University). Konsentrasi yang beliau ambil adalah Polymer Engineering. Pendidikan S-2 tersebut selesai pada Januari 2013 dan beliau kembali ke tanah air pada awal Maret 2013. Saat kuliah itulah, beliau belajar dari banyak ulama, terutama empat ulama yang sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu beliau, yaitu Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan (anggota Al-Lajnah Ad-Da’imah dan ulama senior di Saudi Arabia), Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri (anggota Haiah Kibaril ‘Ulama pada masa silam dan pengajar di Jami’ah Malik Su’ud), Syaikh Shalih bin ‘Abdullah Al-‘Ushaimi (ulama yang terkenal memiliki banyak sanad dan banyak guru), dan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak (anggota Haiah Tadris Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud terdahulu).

Ulama lainnya yang pernah beliau gali ilmunya adalah Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdullah Al-Jabiri, Syaikh Dr. ‘Abdus Salam bin Muhammad Asy-Syuwai’ir, Syaikh Dr. Hamd bin ‘Abdul Muhsin At-Tuwaijiri, Syaikh Dr. Sa’ad bin Turki Al-Khatslan, Syaikh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-‘Anqari, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Alu Syaikh (Mufti Saudi Arabia), Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid (penasihat kerajaan dan anggota Haiah Kibaril Ulama’), Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan (anggota Haiah Kibaril Ulama’), Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Ar-Rajihi (profesor di Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud), Syaikh Dr. ‘Abdullah bin Nashir As-Sulmi, Syaikh Khalid As-Sabt, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As-Sadhan, Syaikh ‘Abdul Karim Khudair, Syaikh ‘Abdurrahman Al-‘Ajlan (pengisi di Masjidil Haram Mekkah), dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi (seorang ulama muda).

Beliau pernah memperoleh sanad dua puluh kitab – mayoritas adalah kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab – yang bersambung langsung sampai penulis kitab melalui guru beliau, Syaikh Shalih bin ‘Abdullah Al-‘Ushaimi. Sanad tersebut diperoleh dari Daurah Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi selama delapan hari di Masjid Nabawi Madinah An-Nabawiyyah, 5-12 Rabi’ul Awwal 1434 H.

Menulis artikel di berbagai situs internet dan menyusun buku Islam adalah aktivitas keseharian beliau semenjak lulus dari bangku kuliah S-1 di UGM, tepatnya setelah memiliki istri. Dengan kapabilitas ilmiah, beliau dipercaya untuk menjadi Pemimpin Redaksi Muslim.Or.Id. Beliau menunangkan kegemaran menulisnya dalam situs pribadi, Rumaysho.Com. Karya-karya tulis beliau yang bertema keislaman dapat dilihat di dua situs tersebut, serta di situs PengusahaMuslim.Com, RemajaIslam.Com, dan KonsultasiSyariah.Com.

Di tengah padatnya aktivitas menulis, beliau meluangkan waktu untuk mengisi beberapa pengajian-Islam rutin di kota Yogyakarta dan Wonosari (Gunung Kidul). Dalam beberapa kesempatan, beliau juga mengisi pengajian-Islam di luar kota. Rekaman kajian tersebut dapat diperoleh dalam bentuk audio di Kajian.Net dan dalam bentuk visual di Yufid.TV.

Tugas yang begitu penting yang beliau emban saat ini adalah menjadi Pemimpin Pesantren Darush Shalihin di Dusun Warak, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Pesantren tersebut adalah pesantren masyarakat, yang mengasuh TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan kajian keagamaan. Selain itu, beliau juga menjadi pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI). Di sisi lain, beliau juga mengelola bisnis di toko online Ruwaifi.Com dan BukuMuslim.Co serta sedang merintis situs pelajaran kimia, Kimiaku.Com.


Sanad Kitab

Ustadz Abduh Tuasikal memiliki ijazah sanad kitab yang sampai langsung kepada beliau melalui Syaikh Shalih bin ‘Abdullah Al-‘Ushaimi

1. Ta’zhimul ‘Ilmi (Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamad Al ‘Ushoimi)
2. Tsalatsatul Ushul (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
3. Manzhumah Al Qowa’id Al Fiqhiyyah (Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di)
4. Al Qowa’idul Arba’ (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
5. Al Arba’in An Nawawiyah (Imam Yahya bin Syarf An Nawawi)
6. Al ‘Aqidah Al Wasithiyah (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
7. Kitab At Tauhid (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
8. Kasyfu Syubuhat (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
9. Fadhlul Islam (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
10. Muqoddimah fii Ushulit Tafsir (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
11. Al Muqoddimah Al Fiqhiyyah Ash Shugro (Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamad Al ‘Ushoimi)
12. Al Muqoddimah Al Ajurromiyah (Muhammad bin Muhammad bin Ajurrom Ash Shinhaji)
13. Nukhbatul Fikar (Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al ‘Asqolani)
14. Al Waroqot fii Ushulil Fiqh (‘Abdul Malik bin ‘Abdullah bin Yusuf Al Juwainiy)
15. Tafsir Al Fatihah wa Qhishorul Mufasshol (Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamad Al ‘Ushoimi)
16. Az Ziyadah Ar Rojabiyah ‘ala Al Arba’in An Nawawiyah (Ibnu Rajab Al Hambali)
17. Khulashoh Muqoddimah Ushul At Tafsir (Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamad Al ‘Ushoimi)
18. Nazhom Al Ajurumiyah (Muhammad bin Abb bin Humaid Al Muzzammiriy)
19. Ar Rutbah Nazhom An Nukhbah (Muhammad bin Muhammad bin Hasan Asy Syumunniy)
20. Minahul Fa’al fii Nazhom Waroqot Abil Ma’al (Muhammad bin Al Mukhtar bin Ahmad Al Kuntiy)
Sanad di atas diperoleh Ustadz Abduh dari Dauroh Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi selama 8 hari di Masjid Nabawi Madinah Nabawiyah, 5-12 Rabi’ul Awwal 1434 H.

Karya-Karya Ustadz Abduh Tuasikal

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal hafidzhahullah memiliki banyak karya dan tulisan. Di antaranya adalah sebagai berikut dan -insya Allah- terus bertambah:

1. Bagaimana Cara Beragama yang Benar? (Terjemahan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah), terbitan Pustaka Muslim, tahun 2008.
2. Panduan Ramadhan, terbitan Pustaka Muslim, hingga cetakan ketujuh, tahun 2015.
3. Dzikir Pagi Petang (Disertai Dzikir sesudah Shalat dan Dzikir sebelum Tidur), terbitan Pustaka Muslim (ukuran besar dan kecil), hingga cetakan ketiga tahun 2014.
4. Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris, terbitan Pustaka Muslim, hingga cetakan kedua di tahun 2013.
5. Panduan Amal Shalih di Musim Hujan, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2013.
6. Kenapa Masih Enggan Shalat, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
7. Bermodalkan Ilmu Sebelum Berdagang (Serial 1 – Panduan Fikih Muamalah), terbitan Pustakan Muslim, tahun 2014.
8. 10 Pelebur Dosa, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
9. Panduan Zakat, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
10. Panduan Qurban dan Aqiqah, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
11. Mengenal Bid’ah Lebih Dekat, terbitan Pustaka Muslim, hingga cetakan kedua tahun 2014.
12. Natal, Hari Raya Siapa?, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
13. Kesetiaan pada Non-Muslim, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2014.
14. Imunisasi, Lumpuhkan Generasi (bersama tim), terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.
15. Pesugihan Biar Kaya Mendadak, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.
16. Dzikir Pagi Petang (Dilengkapi Dzikir Sesudah Shalat dan Dzikir Terkait dengan Tidur, Disertai Petunjuk dalam Dzikir dan Faedah dari Dzikir yang Dibaca), terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.
17. Sifat Shalat Nabi, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.
18. Dzikir Pagi Petang Edisi Transliterasi (Dilengkapi Dzikir Sesudah Shalat dan Dzikir Terkait dengan Tidur, Disertai Petunjuk dalam Dzikir dan Faedah dari Dzikir yang Dibaca), terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.
19. Panduan Ibadah Saat Safar, terbitan Pustaka Muslim, tahun 2015.

Kontak dan Media Sosial Ustadz Abduh Tuasikal

1. Konsultasi SMS: 0823 139 50500
2. Telepon dan WhatsApp (WA): 0812 2601 4555
3. Email: rumaysho@gmail.com
4. Situs pribadi: Rumaysho.Com (Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat)
5. Facebook (FB): Muhammad Abduh Tuasikal
6. Facebook Fans Page: Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
7. Twitter: @RumayshoCom
8. Instagram: @RumayshoCom, @RumayshoTV, @MuslimMyWay, @RuwaifiCom
9. Instagram pribadi Ustadz Abduh : @mabduhtuasikal

Sumber dikutip dari website Rumaysho dan lainnya

Itulah biografi singkat dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal hafidzhahullah. Semoga Allah Ta'ala menjaga beliau, membalas kebaikan-kebaikan beliau, dan memberi beliau keistiqomahan. Semoga Allah juga menjaga dan merahmati para ulama dan da'i-da’i kita semuanya.


Semoga bermanfaat.


Diselesaikan pada 29 Muharram 1440 Hijriyah/9 Oktober 2018 Masehi.