Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Benarkah Allah Memiliki Sifat Lupa?

Benarkah Allah Memiliki Sifat Lupa?
Benarkah Allah Memiliki Sifat Lupa?
An-Nis-yaan (النِّسْيَانُ) dalam lisan bahasa Arab yang sering kita ucapkan sering diartikan ‘lupa’. Padahal, an-nis-yaan merupakan shifat fi’liyyah khabariyyah yang tsaabit bagi Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebelum kita bahas apa makna an-nis-yaan, mari kita cermati dalil-dalil yang ada dalam kedua sumber tersebut :

Dalil Al-Qur’an

Allah ta’ala berfirman :

الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 51].

(Baca Juga : Inilah Pekerjaan Para Nabi Allah)

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” [QS. At-Taubah : 67].

فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan" [QS. As-Sajdah : 14].

وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong” [QS. Al-Jaatsiyyah : 34].

Dalil As-Sunnah

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ سُعَيْرٍ أَبُو مُحَمَّدٍ التَّمِيمِيُّ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُؤْتَى بِالْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ: أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ سَمْعًا وَبَصَرًا وَمَالًا وَوَلَدًا وَسَخَّرْتُ لَكَ الْأَنْعَامَ وَالْحَرْثَ وَتَرَكْتُكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ، فَكُنْتَ تَظُنُّ أَنَّكَ مُلَاقِي يَوْمَكَ هَذَا؟ قَالَ: فَيَقُولُ: لَا، فَيَقُولُ لَهُ: الْيَوْمَ أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي"

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Az-Zuhriy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Su’air Abu Muhammad At-Tamiimiy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat, lalu Allah berkata kepadanya : ‘Tidakkah Aku telah memberikan bagimu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak. Dan Aku telah menundukkan bagimu hewan ternak dan tanaman, serta Aku tinggalkan bagimu menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat (bagian harta rampasan). Dan (apakah) dulu engkau mengira bahwa engkau akan menemui-Ku pada hari ini ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Allah berkata kepadanya : ‘Pada hari ini Aku telah melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 4/224 no. 2428, dan ia berkata : ‘shahih ghariib’].

Makna An-Nis-yaan

At-Tirmidziy rahimahullah setelah membawakan hadits di atas berkata :

وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةَ فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ، قَالُوا: إِنَّمَا مَعْنَاهُ الْيَوْمَ نَتْرُكُهُمْ فِي الْعَذَابِ

“Sebagian ulama telah menafsirkan ayat ini : ‘Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka’ (QS. Al-A’raaf : 51), mereka berkata : ‘Maknanya adalah : Pada hari Kami tinggalkan/biarkan mereka dalam siksaan” [Sunan At-Tirmidziy, 4/225].

Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :

أما قوله : (فَالْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسَيْتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا)؛ يقول : نترككم في النار؛ (كَمَا نَسَيْتُمِ)؛ كما تركتم العمل للقاء يومكم هذا

“Adapun firman-Nya : ‘Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini’ (QS. Al-Jaatsiyyah : 34); yaitu : Kami tinggalkan/biarkan mereka dalam neraka. Firman-Nya : ‘Sebagaimana kamu telah melupakan’; yaitu sebagaimana kalian meninggalkan ‘amal (shalih) untuk perjumpaan (dengan Allah) pada hari ini” [Ar-Radd ‘alaz-Zanaadiqah wal-Jahmiyyah, hal. 21].

Ibnu Faaris rahimahullah berkata :

النسيان : الترك، قال الله جل وعز : (نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ).

An-Nis-yaan maknanya adalah at-tark (meninggalkan/membiarkan), sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67)” [Mujmalul-Lughah, hal. 866].

(Baca Juga : Ternyata Ini Sebab Manusia Menjadi Pelupa)

Ath-Thabariy rahimahullah saat menafsirkan ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67), berkata :

معناه : تركوا اللهَ أن يطيعوه ويتبعوا أمره، فتركهم اللهُ من توفيقه وهدايته ورحمته، وقد دللنا فيما مضى على أن معنى النسيان : الترك.....

“Maknanya adalah : mereka meninggalkan Allah untuk taat kepada-Nya dan mengikuti perintah-Nya. Maka Allah pun meninggalkan mereka dari taufiq, hidayah, dan rahmat-Nya. Dan telah kami tunjukkan pada bahasan yang lalu bahwa makna an-nis-yaan adalah at-tark (meninggalkan)…” [Tafsiir Ath-Thabariy, 14/339].

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Apakah Allah itu disifati dengan nis-yaan ?”. Maka beliau menjawab :

((للنِّسْيَان معنيان :
أحدهما : الذهول عن شيء معلوم ؛ مثل قوله تعالى : { رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا } )) -وضرب مجموعة من الأمثلة لذلك- ثم قال : ((وعلى هذا؛ فلا يجوز وصف الله بالنِّسْيَان بهذا المعنى على كل حال.
والمعنى الثاني للنِّسْيَان : الترك عن علم وعمد ؛ مثل قوله تعالى : { فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ } الآية ، ومثل قوله تعالى : { وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا } ؛ على أحد القولين ، ومثل قوله صلى الله عليه وسلم في أقسام أهل الخيل : ((ورجل ربطها تغنياً وتعففاً ، ولم ينس حق الله في رقابها وظهورها ؛ فهي له كذلك ستر)). وهذا المعنى من النِّسْيَان ثابت لله تعالى عَزَّ وجَلَّ ؛ قال الله تعالى : { فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ } ، وقال تعالى في المنافقين : { نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ } . وفي ((صحيح مسلم)) في (كتاب الزهد والرقائق) عن أبي هريرة رضي الله عنه ؛ قال : قالوا : يا رسول الله! هل نرى ربنا يوم القيامة؟ (فذكر الحديث ، وفيه : ((أنَّ الله تعالى يلقى العبد ، فيقول : أفظننت أنك ملاقي؟ فيقول : لا. فيقول : فإني أنساك كما نسيتني)).
وتركُه سبحانه للشيء صفةً من صفاته الفعلية الواقعة بمشيئته التابعة لحكمته ؛ قال الله تعالى : { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ } ، وقال تعالى : { وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ } ، وقال: { وَلَقَد تَرَكْنَا مِنْهَا آيَةً بَيِّنَةً } والنصوص في ثبوت الترك وغيره من أفعاله المتعلقة بمشيئته كثيرة معلومة وهي دالة على كمال قدرته وسلطانه.
وقيام هذه الأفعال به سبحانه لا يماثل قيامها بالمخلوقين ، وإن شاركه في أصل المعنى ؛ كما هو معلوم عند أهل السنة)).هـ

“An-Nis-yaan itu mempunyai dua makna. Pertama, maknanya adalah adz-dzuhuul (lupa) dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya, seperti firman-Nya ta’ala : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah’ (QS. Al-Baqarah : 286)” – kemudian beliau (Ibnu ‘Utsaimiin) menyebutkan beberapa ayat yang mempunyai makna tersebut, lalu beliau berkata : “Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyifati Allah dengan an-nis-yaan pada makna ini. Kedua, maknanya adalah at-tark (meninggalkan/membiarkan) dengan ilmu dengan kesengajaan. Seperti firman-Nya : ‘Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka’ (QS. Al-An’aam : 44). Dan juga seperti firman-Nya : ‘Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat’ (QS. Thaha : 115) – berdasarkan salah satu dari dua pendapat. Dan juga seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pembagian pasukan berkuda : ‘Dan seorang yang menjadikan kudanya sebagai alat untuk mencari kebutuhan hidup, namun dia tidak melupakan hak Allah pada leher dan punggung kudanya, maka kuda itu menjadi pelindung baginya’ (HR. Al-Bukhaariy, An-Nasaa’iy, Maalik, dan yang lainnya). Makna nis-yaan dalam hal ini adalah tsaabit (tetap) bagi Allah ta’ala ‘azza wa jalla. Allah ta’ala berfirman : ‘Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula)’ (QS. As-Sajdah : 14). Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafiq : ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik’ (QS. At-Taubah : 67). Dan dalam Shahiih Muslim pada kitab Az-Zuhd war-Raqaaiq, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan melihat Rabb kami pada hari kiamat ?’. Lalu beliau menyebutkan haditsnya yang didalamnya terdapat sabda beliau : ‘Bahwasannya Allah ta’ala akan menemui hamba-Nya dan berfirman : ‘Apakah kalian pernah menyangka bahwa kalian akan bertemu dengan-Ku ?’. Ia (si hamba) berkata : ‘Tidak’. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku telah melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku’.
Dan meninggalkannya Allah subhaanahu wa ta’ala terhadap sesuatu merupakan shifat fi’liyyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya yang menyertai hikmah-Nya. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat’ (QS. Al-Baqarah : 17). ‘Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain’ (QS. Al-Kahfi : 99). ‘Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata’ (QS. Al-Ankabuut : 35). Dan nash-nash yang menetapkan (shifat) at-tark (meninggalkan) dan perbuatan-perbuatan-Nya yang lainnya yang berkaitan dengan kehendak-Nya, banyak sekali. Nash-nash tersebut menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Dan keberadaan perbuatan-perbuatan tersebut pada Allah subhaanahu wa ta’ala tidaklah sama dengan keberadaan perbuatan-perbuatan pada makhluk-makhluk-Nya; meskipun berkumpul pada asal makna yang sama, sebagaimana telah ma’lum menurut Ahlus-Sunnah” [Majmuu’ Fataawaa wa Rasaail, 3/54-56 no. 354].

Jadi kesimpulannya makna shifat an-nis-yaan yang disandarkan kepada Allah adalah at-tark (meninggalkan).

Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – banyak mengambil faedah dari buku Shifatullah ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah karya ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 340-343; Daarul-Hijrah, Cet. 3/1426 H].

(Baca Juga : 4 Kesalahan Muadzin di Indonesia)

Tulisan Al-Ustadz Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo hafidzhahullah

Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/nis-yaan-salah-satu-shifat-allah-taala.html

Benarkah Allah Tertawa?

Benarkah Allah Tertawa?
Benarkah Allah Tertawa?
Tertawa (Adl-Dlahik) merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat fi’liyyah khabariyyah Allah ‘azza wa jalla yang ditetapkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih, di antaranya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ يَدْخُلَانِ الْجَنَّةَ، يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْتَشْهَدُ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk surga. Orang yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (di tangan laki-laki kedua). Kemudian Allah menerima taubat si pembunuh (karena masuk Islam), lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di jalan Allah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2826, Muslim no. 1890, An-Nasaa’iy no. 3165, dan yang lainnya].

(Baca Juga : Syaikh Al-Albani Tidak Punya Sanad dan Guru?)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا، وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ حَبْوًا، فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ، فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى، فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى، فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ، قَالَ: فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى، فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى، فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ، فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا، أَوْ إِنَّ لَكَ عَشَرَةَ أَمْثَالِ الدُّنْيَا، قَالَ: فَيَقُولُ: أَتَسْخَرُ بِي، أَوْ أَتَضْحَكُ بِي وَأَنْتَ الْمَلِكُ؟، قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ، حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، قَالَ: فَكَانَ يُقَالُ: ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً "

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya aku mengetahui penghuni neraka yang keluar darinya, dan penduduk surga yang paling akhir masuk surga. Yaitu seorang laki-laki yang keluar dari neraka dalam keadaan merangkak. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepadanya : ‘Pergilah dan masuklah ke dalam surga !’. Lalu ia mendatangi surga dan terbayang olehnya bahwa surga telah penuh. Ia pun kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb, aku mendapatinya sudah penuh’. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman : ‘‘Pergilah dan masuklah ke dalam surga !’. Lalu ia mendatangi surga dan terbayang olehnya bahwa surga telah penuh. Ia pun kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb, aku mendapatinya sudah penuh’. Allah berfirman kepadanya : ‘Pergilah dan masuklah ke dalam surga. Sesungguhnya bagimu semisal dunia dan sepuluh kali lipatnya – atau : Sesungguhnya bagimu sepuluh kali lipat semisal dunia’. Laki-laki itu berkata : ‘Apakah engkau mengolok-olokku atau menertawakanku, padahal Engkau adalah Al-Malik (Raja)”. Ibnu Mas’uud berkata : “Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya”. Ia berkata : “Oleh karena itu dikatakan, itu adalah penduduk surga yang paling rendah kedudukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6571 dan Muslim no. 186].

عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الشُّهَدَاءِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: " الَّذِينَ إِنْ يُلْقَوْا فِي الصَّفِّ يَلْفِتُونَ وُجُوهَهُمْ حَتَّى يُقْتَلُوا، أُولَئِكَ يَنْطَلِقُونَ فِي الْغُرَفِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ، وَيَضْحَكُ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ، وَإِذَا ضَحِكَ رَبُّكَ إِلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا، فَلَا حِسَابَ عَلَيْهِ "

Dari Nu’aim bin Hammaar : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Syuhadaa’ apa yang paling utama ?”. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang apabila masuk di barisan perang/jihad, maka mereka akan memfokuskan wajah-wajah mereka hingga terbunuh. Mereka itulah orang-orang yang pergi menempati kamar-kamar di surga yang tinggi. Rabb mereka tertawa kepada mereka. Dan apabila Rabb mu tertawa kepada seorang hamba di dunia, maka ia kelak tidak akan dihisab” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/287, Sa’iid bin Manshuur no. 2566, Abu Ya’laa no. 6855, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 1371].

Para ulama menetapkan sifat tertawa sebagaimana dhahirnya[1] tanpa menafikkannya, menta’wilkannya (baca : mentahrifnya), atau menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk. Allah ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Tentang masalah ini, Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H) berkata :

باب ذكر إثبات ضحك ربنا عز و جل. بلا صفة تصف ضحكه جل ثناؤه لا ولا يشبه ضحكه بضحك المخلوقين وضحكهم كذلك بل نؤمن بأنه يضحك كما أعلم النبي ونسكت عن صفة ضحكه جل وعلا إذ الله عز و جل استأثر بصفة ضحكة لم يطلعنا على ذلك فنحن قائلون بما قال النبي مصدقون بذلك بقلوبنا منصتون عما لم يبين لنا مما استأثر الله بعلمه

“Bab : Penyebutan tentang Penetapan Sifat Tertawanya Rabb kita ‘azza wa jalla. (Yaitu dilakukan) tanpa sifat yang mensifatkan tertawa-Nya ‘azza wa jalla, tanpa menyerupakan tertawa-Nya dengan tertawa makhluk-makhluk-Nya. Akan tetapi kita mengimani bahwa Allah tertawa sebagaimana yang diberitahukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kami diam (tak berkomentar) tentang sifat tertawa-Nya ‘azza wa jalla karena Allah memang tidak memberitahukan kepada kami tentang (kaifiyah) sifat tertawa-Nya. Kami hanyalah mengatakan apa-apa yang dikatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, membenarkannya dengan hati-hati kami serta diam terhadap apa-apa yang tidak dijelaskan kepada kami di antara hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah dengan ilmu-Nya” [At-Tauhiid, 2/563].

(Baca Juga : 27 Ayat Al-Quran Yang Menggetarkan Hati)

Abu Bakr Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H) berkata :

باب الإيمان بأن الله عز و جل يضحك. فقال محمد بن الحسين رحمه الله : اعلموا - وفقنا الله وإياكم للرشاد من القول والعمل - أن أهل الحق يصفون الله عز و جل بما وصف به نفسه عز و جل وبما وصفه به رسوله صلى الله عليه و سلم وبما وصفه به الصحابة رضي الله عنهم
 وهذا مذهب العلماء ممن اتبع ولم يبتدع ولا يقال فيه : كيف ؟ بل التسليم له والإيمان به : أن الله عز و جل يضحك كذا روي عن النبي صلى الله عليه و سلم وعن صحابته رضي الله عنهم فلا ينكر هذا إلا من لا يحمد حاله عند أهل الحق

“Bab : Beriman bahwa Allah ‘azza wa jalla Tertawa. Muhammad bin Al-Husain rahimahullah (yaitu dirinya sendiri, Al-Aajurriy) berkata : ‘Ketahuilah, - semoga Allah memberikan taufiq kepada kami dan kalian semuanya kepada petunjuk-Nya baik perkataan maupun perbuatan – bahwasannya orang-orang yang menetapi kebenaran (ahlul-haq) mensifati Allah ‘azza wa jalla dengan apa saja yang Ia sifatnya pada diri-Nya ‘azza wa jalla, dengan apa saja yang disifatkan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dengan apa saja yang disifatkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Inilah madzhab para ulama yang mengikuti petunjuk dan tidak mengada-adakan bid’ah. Tidak boleh dikatakan tentangnya : ‘Bagaimana (sifat Allah itu) ?’, akan tetapi mesti tunduk padanya dan  mengimaninya : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla tertawa. Demikianlah yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali oleh orang yang tidak terpuji keadaannya menurut ahlul-haq” [Asy-Syarii’ah, hal. 277].

Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) pun menetapkan sifat ini dengan perkataannya :

وأنه يضحك من عبده المؤمن، بقول النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للذي قتل فِي سبيل اللَّه: " إنه لقي اللَّه وهو يضحك إليه "

“Dan bahwasannya Allah tertawa terhadap hamba-Nya yang mukmin, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang terbunuh di jalan Allah : ‘Sesungguhnya ia menjumpai Allah, sedangkan Allah tertawa kepadanya” [Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Ibnu Abi Ya’laa, 1/284].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 27111434/02092013 – 23:55].
----------------------------------------------------------------
[1] Bahkan, dalam hadits Ibnu Mas’uud tentang orang yang paling akhir keluar dari neraka dan kemudian masuk ke dalam surga, menjelaskan pemahaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu akan dhahir makna ‘tertawa’ dalam hadits yang dibawakan :

حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا يزيد أخبرنا حماد بن سلمة عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ...... فيقول عز وجل: ما يصريني منك أي عبدي أيرضيك أن أعطيك من الجنة الدنيا ومثلها معها قال: فيقول: أتهزؤ بي وأنت رب العزة قال: فضحك عبد الله حتى بدت نواجذه ثم قال: ألا تسألوني لم ضحكت قالوا له: لم ضحكت قال: لضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألا تسألوني لم ضحكت قالوا: لم ضحكت يا رسول الله قال: لضحك الرب حين قال: أتهزؤ بي وأنت رب العزة.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas bin Maalik, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “…..Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apa yang memberhentikan-Ku dari permintaanmu ? Hai hamba-Ku, apakah engkau suka jika Aku berikan kepadamu dunia dan semisalnya bersamanya ?’. Orang itu menjawab : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?’. Perawi berkata : “Lalu ‘Abdullah (bin Mas’uud) tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Ia berkata : ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Mereka pun berkata kepadanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa ?’. Ibnu Mas’uud menjawab : ‘(Aku tertawa) karena tertawanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada kami : ‘Tidakkah engkau bertanya kepadaku mengapa aku tertawa ?’. Para shahabat pun bertanya : ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab : “(Aku tertawa) karena tertawanya Ar-Rabb (Allah) saat  hamba tadi mengatakan : ‘Apakah Engkau memperolok-olokku padahal Engkau adalah Rabbul-‘Izzah ?” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/391; sanadnya shahih sesuai dengan Muslim, para perawinya tsiqaat termasuk perawi Syaikhaan kecuali Hammaad bin Salamah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja].

(Baca Juga : Penolong Pada Hari Kiamat)

Tulisan Al-Ustadz Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo hafidzhahullah

Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/10/tertawa-adl-dlahik.html

Otopsi Mayat, Bolehkah?

Otopsi Mayat, Bolehkah?
Otopsi Mayat, Bolehkah?
Haiah Kibar Ulama (Dewan Ulama-Ulama Besar) di Saudi Arabia mengeluarkan suatu keputusan no. 47 tertanggal 20/8/1396 tentang hukum otopsi dan tujuannya:

Otopsi itu ada tiga macam:

1. Untuk penelitian kasus kriminal
2. Untuk penelitian sebuah penyakit wabah guna dicarikan solusi dan antisipasinya
3. Untuk keperluan penelitian ilmiyyah baik belajar atau mengajarkannya.

(Baca Juga : 7 Hadits Tentang Ya'juj dan Ma'juj)

Setelah dialog dan tukar pendapat serta mempelajari masalah ini, maka Majlis menetapkan:

Untuk point no pertama dan kedua maka diperbolehkan,  karena mengandung kemaslahatan yang sangat banyak dalam bidang keamanan, keadilan dan menjaga masyarakat dari wabah penyakit. Adapun kerusakan mayat yang diotopsi, masih kalah dengan kemalsahatan banyak, umum dan positif tersebut.
Oleh karenanya, Majlis secara sepakat membolehkan otopsi untuk dua tujuan ini baik mayat yang diotopsi tersebut muslim atau kafir.

Adapun untuk keperluan no ketiga yaitu otopsi untuk kepentingan penelitian, maka mengingat:

1. Karena Syari’at Islam datang untuk mendatangkan kemaslahatan dan membendung kerusakan serta mengambil kerusakan yang lebih ringan jika berbenturan.

2. Otopsi selain manusia berupa hewan tidak mencukupi dari otopsi manusia.

3. Dalam otopsi terdapat kemaslahatan yang banyak untuk kemajuan pengetahuan ilmu kedokteran.

(Baca Juga : 12 Ayat Al-Quran Tentang Embriologi)

Dengan demikian,  maka Majlis secara global membolehkan otopsi manusia untuk keperluan ini. Hanya saja, mengingat pula:

1. Bahwa syari’at Islam sangat perhatian akan kemuliaan seorang muslim setelah meninggal seperti halnya ketika masih hidup, sebagaimana dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah bahwasanya Nabi bersabda:

َكَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

“Sesungguhnya memecah tulang seorang mukmin tatkala mati seperti halnya memecah tulangnya saat hidup”.

Dalam otopsi terdapat pengerusakan terhadap kemuliaan manusia dan kebutuhan dharurat tersebut bisa tertutupi dengan mendapatkan mayat-mayat yang tidak ma’shum (kafir harbi -pent).

Maka Majlis berpendapat untuk mencukupkan dotopsi dengan mayat-mayat seperti ini dan tidak menggunakan mayat-mayat orang yang ma’shum (muslim, kafir dzimmi, kafir musta’min)  jika keadaannya demikian.

(Baca Juga : 21 Ayat Al-Quran Tentang Abu Jahal)

Semoga Allah memberikan taufiq. Sholawat serta salam untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. (Lihat Fiqhu Nawazil 4/206-207, kumpulan Dr. Muhammad Husain al-Jizani).

Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=584041381999513&id=100011809698436

Adab-Adab Berdoa

Adab-Adab Berdoa
Adab-Adab Berdoa
Bulan ramadhan adalah bulan untuk memperbanyak doa kepada Allah.  Manfaatkanlah kesempatan ini dg sebaik2 nya dan jangan waktu anda terbuang sia2.

Berikut ini beberapa adab penting dalam doa,  agar doa kita dikabulkan oleh Allah:

1. Mencari momen & waktu terkabulnya doa

Sebagaimana Rosululloh bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ : دَعْوَةُ الوَالِدِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

"Tiga do’a yang tidak tertolak; do’a orang tua, do’a orang yang puasa dan do’a orang musafir (bepergian)". (HR. Al-Baihaqi 3/345 dll,  dishahihkan oleh al-Albani dalam Ash-Shohihah no.1797)

Ini menunjukkan bahwa diantara sebab terkabulnya doa adalah mencari waktu dan momen yang tepat untuk terkabulnya doa seperti pertengahan akhir malam, antara adzan dan iqomat, saat sujud, ketika minum air zamzam, hari arafah dan sebagainya.

(Baca Juga : Inilah Lokasi Wafatnya Nabi Musa)

Adapun keadaan seperti doa orang tua kepada anaknya, doa orang puasa, doa musafir, doa orang yang terdzalimi, doa anak untuk orang tuanya dan lain sebagainya.

Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini dengan banyak doa dengan penuh menghadirkan hati dan kemantapan. Janganlah sia-siakan waktu istimewa ini dengan hal-hal yang tiada guna.

2. Merendah baik pakaiannya atau badannya
Karena hal itu akan lebih menunjukkan ke-khusyu-an dan menghadirkan hati ketika do’a. Seringnya, Hati kita lalai dan pikiran menerawang ke sana ke mari tatkala berdo’a, inilah sebab terbesar do’a tidak dikabulkan. Rasulullah bersabda:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

"Ketahuilah, sesungguhnya Alloh tidak akan mengabulkan do’a dari hati orang yang lalai". (HR.Tirmidzi 3479, Al-Hakim 1/494, Thobaroni dalam ad-Du’a no.62, Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih al-Jami’no. 245 &as-Shahihah no.594).

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata: “Termasuk syarat do’a yang paling agung adalah menghadirkan hati, dan berharap terkabulnya do’a tidak putus asa”. (Jamiul Ulum wal Hikam 2/504)

Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwa maksud do’a adalah menghadirkan hati sebagaimna telah kami jelaskan”. (al-Adzkar hal.693).

3. Mengangkat tangan ke arah langit
Mengangkat tangan ketika berdo’a merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa. Hal ini telah tetap dalam hadits-hadits Rasulullah yang sangat banyak. Bahkan sebagian ahli ilmu sampai menilainya termasuk hadits yang mutawatir secara makna.
Diantara hadits yang menujukkan bahwa mengangkat tangan termasuk adab ketika berdo’a adalah:

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ, يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

"Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup dan Maha Mulia. Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa".  (HR.Abu Dawud: 1488, Tirmidzi: 3556, Ibnu Majah: 3865. Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 2244).

(Baca Juga : Ternyata Pulsa Siaga Itu Riba)

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata: “Mengangkat kedua tangan termasuk adab dalam berdo’a, dianjurkan dengan kesepakatan para ulama. Kecuali dalam satu keadaan, yaitu ketika khutbah jum’at”. (Tashihu Dua hlm. 115 )

4. Mengulang-ngulang doanya
Hal ini sebagai tanda akan kebutuhan seseorang. Semakin sering seorang hamba bermunajat dan meminta kepada Alloh, maka semakin besar pula harapan dan kebutuhannya kepada Alloh. Rasulullah pernah bersabda:

إِذَا سَأَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيُكْثِرْ, فَإِنَّهُ يَسْأَلُ رَبَّهُ

"Apabila salah seorang diantara kalian berdo’a, maka perbanyaklah. Karena dia sedang meminta Rabbnya".  (HR.Ibnu Hibban: 2403. Dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Shahihah: 1325, Shahih al-Jami’: 591).

Imam al-Auza’I mengatakan: “Dahulu dikatakan; Do’a yang paling afdhol adalah do’a yang terus diulang-ulang permintaannya kepada Alloh, dan dengan merendahkan diri”. (Syu’abul Iman 2/38 oleh al-Baihaqi).

5. Yakin Terkabulnya Doa
Berdasarkan haditsnya Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah bersabda:

لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ, اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ,لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ فَإِنَّهُ لاَ مُكْرِهَ لَهُ

Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan Allohummaghfirli In Syi’ta, Allohummarhamni In Syi’ta (Ya Alloh ampunilah aku jika Engkau menghendaki, kasihanilah aku jika Engkau menghendaki). Hendaklah bersungguh-sungguh dalam permintaan-nya. Karena Alloh tidak akan membencinya. (HR. Bukhari 6339, Muslim 2678).

Maka yang wajib bagi orang yang berdo’a untuk bersungguh-sungguh dalam do’anya dan terus mengulang-ulang permintaannya. Berharap agar do’anya dikabulkan, tidak putus asa.
Jangan beranggapan bahwa itu termasuk adab jelek kepada Alloh.
Jangan pula beranggapan bahwa dirinya tidak pantas untuk dikabulkan do’a, karena Alloh telah mengabulkan do’a makhluk yang paling jelek (Iblis).

(Baca Juga : 7 Ayat Al-Quran Tentang Madinah)

Lentera Da'wah:
📚 CHANNEL LENTERA DAKWAH
Channel Telegram  @yusufassidawi

Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=583989048671413&id=100011809698436

Penjelasan Makna Iman Kepada Qadar

Penjelasan Makna Iman Kepada Qadar
Penjelasan Makna Iman Kepada Qadar
💫Pondasi Keislaman Seorang Muslim (30)

🍂 *PENJELASAN MAKNA IMAN KEPADA QADAR*

❓Soal:
Apa yang dimaksud dengan iman kepada Qadar?

🗝Jawab:
Iman kepada Qadar adalah meyakini bahwasanya Allah Azza wa Jalla telah mengetahui taqdir segala sesuatu dan waktu (terjadi)nya sejak dahulu, kemudian Dia menciptakannya dengan kekuasanNya dan kehendakNya sesuai dengan ilmuNya tersebut, dan bahwasanya Dia telah menulisnya di dalam Al-Lauh Al-Mahfudz sebelum Dia menciptkannya.
📚(Lihat Syarhul-Aqidah Al-Wasithiyyah Lil-Harros:90, Tahqiq Yasin)

(Baca Juga : 7 Ayat Al-Quran Tentang Menangis)

✅Beriman kepada Qadar terkandung empat perkara pokok:

➡Pertama; beriman bahwa Allah Ta'ala mengetahui segala sesuatu, baik secara global ataupun terperinci, terdahulu maupun akan datang, baik itu yang berkaitan dengan perbuatan Allah ataupun perbuatan makhlukNya.

➡Kedua: beriman bahwasanya Allah Ta'ala telah menulis segala sesuatu di Al-Lauh Al-Mahfudz.
Perkara pertama dan kedua ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.
(QS:Al-Hajj:70)

Dan dalam shahih Muslim dari hadits Abdullah ibn Amr radhiyallahu anhuma ia berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

 "Allah telah menentukan takdir segala sesuatu, lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi."

➡Ketiga: beriman bahwasanya semua yang ada tidak akan terjadi kecuali dengan Kehendak Allah Ta'ala, baik itu hal yang berkaitan dengan perbuatan Allah atau yang berkaitan dengan perbuatan makhlukNya.
Allah Ta'ala berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatanNya:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ ۗ

Dan Rabbmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.
(QS.Al-Qashas:68)

(Baca Juga : 12 Hadits Tentang Jenggot)

Dan Allah berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatan makhlukNya:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Dan kalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa yang mereka ada-adakan (berupa kedustaan).
(QS.Al-An'am:112)

➡Keempat: beriman bahwasanya segala sesuatu yang ada (di alam semesta) adalah makhluk Allah Ta'ala baik itu dzatnya, sifatnya dan semua aktifitasnya.

Allah berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.
(QS.Az-Zumar:62)

Dan Allah berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

"Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.”
(QS.Ash-Shaffat:96)
📚(lihat Nubdzah Fil-Aqidah Al-Islamiyyah:60)

✅Buah Iman Kepada Qadar:

Pertama: Bersandar hanya kepada Allah Ta'ala ketika melakukan sebab, yang mana seorang tidak bersandar pada sebab tersebut, karena (dia tahu) bahwa segala sesuatu berdasarkan taqdir Allah.

Kedua: seorang tidak merasa ujub terhadap dirinya ketika tercapai keinginannya, karena tercapainya keinginan tersebut adalah nikmat dari Allah Ta'ala sesuai dengan apa yang Dia taqdirkan berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan, sedangkan rasa ujub terhadap diri membuatnya lupa dari mensyukuri nikmat ini.

Ketiga: ketenangan dan ketentraman jiwa terhadap apa terjadi pada dirinya dari ketentuan-ketentuan Allah; sehingga dia tidak galau dengan sebab terluputnya sesuatu yang disenangi atau tertimpa sesuatu yang buruk, karena demikian itu berdasarkan taqdir Allah Penguasa Langit dan Bumi yang pasti terjadi.
📚(lihat Nubdzah Fil-Aqidah Al-Islamiyyah:63)

وبالله التوفيق

(Baca Juga : 10 Ayat Al-Quran Tentang Bidadari)

🗓4 Jumadats-Tsaniyah 1440
✍🏻Muhammad Abu Muhammad Pattawe
🕌Darul-Hadits Ma'bar-Yaman

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=487685031760832&id=100015580180071

Jangan Sebut Kafir, Sebut Saja Non Muslim?

Jangan Sebut Kafir, Sebut Saja Non Muslim?
Jangan Sebut Kafir, Sebut Saja Non Muslim?
DILARANG SEBUT KAFIR?, SEBUT SAJA NON-MUSLIM!

بسم الله الرحمن الرحيم

Akhir-akhir ini kaum muslimin di Nusantara digemparkan dengan fatwa sebuah Ormas yang sangat nyeleneh dan dibangun di atas kejahilan dan penyimpangan dari Al-Quran & As-Sunnah. Yang inti fatwanya adalah agar kita tidak menyebut orang-orang selain kaum muslimin dengan sebutan kafir, namun menggunakan istilah seperti non-muslim. Sebenarnya orang-orang seperti ini malah menunjukkan kengawuran mereka, karena membedakan dua istilah yang maknanya sama yang ditujukan kepada orang yang sama yaitu orang yang ingkar dan tidak beriman kepada Allah dan RasulNya dan apa yang dibawanya. Karena penafian keislaman (non-muslim) hakikatnya adalah KAFIR.

(Baca Juga : 20 Ayat Al-Quran Tentang Orang Gila)

Oleh karena itu, kita dapatkan penggunaannya di dalam syariat yang mulia ini. Non-muslim dalam bahasa Arab adalah Laisa bi-Muslim (ليس بمسلم) atau laisa Musliman (ليس مسلما) dan yang semakna dengannya.

Diantara dalil yang menunjukkan hal ini:

➡Ketika tiba surat Kaisar Romawi Hiraql (Heraklius) kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam yang isinya bahwa sang Kaisar adalah seorang Muslim, maka Nabi shallallahu alaihi wasalam menjawab:

ﻛﺬﺏ ﻋﺪﻭ اﻟﻠﻪ، ﻟﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ، ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺼﺮاﻧﻴﺔ

Musuh Allah telah berdusta, DIA NON-MUSLIM, dia berada di atas agama Nasrani.
(HR.Ibnu Hibban dalam Shahihnya:4504, dam dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam At-ta'liq Al-Hisan. Namun, yang kuatnya hadits ini ada kelemahan)

➡Ketika sampai kabar bahwasanya Raja Najasyi radhiyallahu anhu wa rahimah meninggal dunia di Habasyah maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajak para Sahabat agar menshalatinya (shalat ghaib), maka Para sahabat bertanya (dalam keadaan heran):

ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ! ﻧﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺪ ﺣﺒﺸﻲ ﻟﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ.؟

Wahai Rasulullah, apakah kami menshalati seorang Habasyi NON-MUSLIM.?

Maka turunlah ayat:

وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۗ
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. (QS.Ali Imran:199)
(HR.An-Nasai dalam Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.3044)

➡Dalam kisah kematian Abdullah ibn Sahl, maka sebagian sahabat berkata tentang orang Yahudi di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

ﻟﻴﺴﻮا ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ

Mereka (Yahudi) itu Non-Muslim.
(HR.Abu Dawud no.4521. Shahih)

(Baca Juga : Akibat Bermaksiat di Kala Sepi)

❇Penggunaannya oleh para Ulama sangatlah banyak, penulis bawakan ucapan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Beliau berkata:

ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮ ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﻇﺎﻫﺮا ﺑﺄﻥ اﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﺩﻳﻨﺎ ﺳﻮﻯ اﻹﺳﻼﻡ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ.

Siapa yang tidak mengakui secara batin dan zhahir bahwasanya Allah tidak menerima agama selain Islam maka dia NON-MUSLIM.

ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺮ ﺑﺄﻥ ﺑﻌﺪ ﻣﺒﻌﺚ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻦ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺴﻠﻢ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺁﻣﻦ ﺑﻪ ﻭاﺗﺒﻌﻪ ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﻇﺎﻫﺮا ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ.

Dan siapa yang tidak mengakui bahwasanya setelah diutusnya Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka dia tidak menjadi muslim kecuali dia beriman kepadanya dan mengikutinya secara batin dam zhahir maka dia NON-MUSLIM.

ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ اﻟﺘﺪﻳﻦ - ﺑﻌﺪ ﻣﺒﻌﺜﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺑﺪﻳﻦ اﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭاﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺑﻞ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻜﻔﺮﻫﻢ ﻭﻳﺒﻐﻀﻬﻢ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ.

Dan siapa yang tidak mengharamkan beragama dengan agama Yahudi dan Nashrani setelah diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, atau bahkan tidak mengkafirkan mreka dan tidak membenci mereka, maka dia NON-MUSLIM berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
📚(Majmu Al-Fatawa:

Dan diantara Ulama di zaman ini, Penulis bawakan ucapan Ahli Hadits zaman ini Syaikh Al-Albani rahimahulah.

Beliau rahimahullah berkata:

...ﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺰﻋﻢ ﺑﺄﻧﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﺴﻠﻤﺎ؛ ﻷﻧﻪ ﻛﻔﺮ ﺑﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﻧﺼﻮﺹ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻋﻠﻤﺎء اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﻤﺎ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: ﻣﻦ ﺃﻧﻜﺮ ﺣﺮﻓﺎ ﻣﻦ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ،

Setiap orang yang mengaku Muslim namun dia tidak beriman (kepada As-Sunnah) kecuali hanya kepada Al-Quran saja maka dia NON-MUSLIM, karena dia telah KAFIR terhadap banyak ayat-ayat Al-Quran, dan semua Ulama sebagaimana kalian ketahui mengatakan:
Barangsiapa yang mengingkari satu huruf dari Al-Quran maka dia NON-MUSLIM.
📚(Mausu'ah Al-Albani fil-Aqidah:1/297)

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwasanya tidak ada bedanya istilah kafir dan non-muslim dari segi makna untuk disematkan kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Sekalipun istilah yang banyak digunakan adalah kata KAFIR.

وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه.

(Baca Juga : 14 Ayat Al-Quran Tentang Penyakit)

30 Jumadats-Tsaniyah 1440
Muhammad Abu Muhammad Pattawe,
Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=501191403743528&id=100015580180071

Benarkah Setiap Pendapat Ulama Dibangun Atas Dalil?

Benarkah Setiap Pendapat Ulama Dibangun Atas Dalil?
Benarkah Setiap Pendapat Ulama Dibangun Atas Dalil?
TANGGAPAN ATAS UCAPAN: "SETIAP PENDAPAT ULAMA ITU DI BANGUN DI ATAS DALIL"

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagian orang ketika kita menyampaikan suatu pendapat dengan dalilnya beserta penjelasan yang menyelisihi pendapat mereka, dan pendapat tersebut telah dipegang oleh sebagian ulama, maka mereka akan menjawab:
"setiap pendapat ulama itu dibangun di atas dalil, atau: perkataan ulama itu bukan dalil tapi dibangun di atas dalil"

Maksud dari ucapan tersebut adalah untuk membenarkan amaliyah yang mereka yakini benar dan kuat sekalipun dalil-dalil yang shahih dan kuat jelas menyelisihinya. Mereka akan berkata: Maulid kan ada Imam fulan yang membolehkan, ini dan itu ada Alim fulan yang membolehkan. Pasti pendapat mereka berdasarkan dalil, mereka itu lebih berilmu dari ulama sekarang apalagi hanya ustadz fulan dan allan. Kita ini bukan mujtahid, melainkan hanya muqollid, taqlid kepada para imam seperti An-Nawawi adalah lebih baik dari pada ulama zaman sekarang apalagi hanya ustadz.

(Baca Juga: Tanda Kuatnya Tauhid Seseorang)

Saya (Abu Muhammad) rahimahullah katakan:
Alhamdulillah, bagi seorang muslim yang baik tentunya yang dikedepankan adalah cara berfikir yang baik dan sehat bukan hawa nafsu yang dia ikuti. Sungguh pernyataan di atas adalah ucapan yang batil yang tidak pantas keluar dari seorang da'i apalagi katanya alumni Dammaj, lalu diikuti oleh sebagian "pendekar FaceBook" yang tidak jelas belajarnya.!

Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh pernyataan di atas adalah pernyataan yang BATIL, karena melazimkan beberapa kelaziman batil, diantaranya:

Pertama:
Bahwa semua perselisihan pendapat di kalangan ulama adalah perselisihan yang mu'tabar (teranggap) dan semua adalah benar, karena tidaklah seorang Alim itu berpendapat melainkan berlandaskan dalil.

Hal ini jelas menyelisihi firman Allah:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS.An-Nisa:59)

Kalau sekiranya setiap pendapat itu berlandaskan dalil yang benar maka Allah tidak akan memerintahkan kaum mu'minin agar perkara yang mereka perselisihkan dikembalikan dan ditimbang menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kedua:
Bahwa seorang alim adalah ma'shum (terjaga dari kesalahan) karena tidaklah pendapat mereka kecuali ada dalilnya. Ini adalah BATIL berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena yang ma'shum hanyalah para Nabi dam Rasul.

Berkata Ibnul-Qayyim rahimahullah:

 ( العالِم يزل ولا بُدَّ  إذ لَيسَ بمعصومٍ ، فلا يجوز قبول كلِّ ما يقوله ، و يُنزَّل قوله منزلة قول المعصوم ، فهذا الذي ذمَّه كلّ عالِم على وجه الأرض ، وحرَّموه ، وذمُّوا أهلَه )

Seorang Alim pasti keliru karena dia bukanlah seorang yang ma'shum. TIDAK BOLEH MENERIMA SEMUA APA YANG DIA KATAKAN, DAN MEMPERLAKUKAN UCAPANNYA SEPERTI UCAPAN ORANG YANG MA'SHUM. INI ADALAH HAL YANG DICELA OLEH SEMUA ULAMA DI ATAS MUKA BUMI INI, MEREKA MENGHARAMKANNYA DAN MENCELA ORANGNYA.
📚(I'lãmul-Muwaqqi'in:2/173)

(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Jahannam)

Ketiga:
Bolehnya mengikuti semua pendapat seorang Alim secara mutlak karena pendapatnya pasti ada dalilnya. Ini adalah batil. Karena manusia yang boleh diikuti semua pendapatnya hanyalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

ﻭﻓﻲ اﻟﻘﻮﻝ ﺑﻠﺰﻭﻡ ﻃﺎﻋﺔ ﻏﻴﺮ اﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻓﻲ ﻛﻞ ﺃﻣﺮﻩ ﻭﻧﻬﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﺧﻼﻑ اﻹﺟﻤﺎﻉ

Pada pendapat yang mengharuskan taat kepada selain Nabi shallallahu alaihi wasallam PADA SEMUA PERINTAH DAN LARANGANNYA ADALAH MENYELISIHI IJMA (kesepakatan Ulama).

Beliau juga berkata:

ﻭﻣﻦ ﺃﻭﺟﺐ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺇﻣﺎﻡ ﺑﻌﻴﻨﻪ اﺳﺘﺘﻴﺐ ﻓﺈﻥ ﺗﺎﺏ ﻭﺇﻻ ﻗﺘﻞ

BARANGSIAPA YANG MEWAJIBKAN TAQLID KEPADA SEORANG IMAM SECARA PERSON MAKA DIMINTA UNTUK BERTAUBAT. JIKA DIA BERTAUBAT (MAKA DITERIMA) DAN JIKA TIDAK MAKA DIBUNUH.
📚(Lihat Al-Fatawa Al-Kubra:5/556)

Dan telah masyhur dari ucapan Imam Malik rahimahullah:

كل قول يؤخذ ويرد إلا قول رسول الله

"Semua ucapan bisa diterima dan ditolak kecuali ucapan Rasululllah shallalalhu alaihi wasallam."

Dan berkata Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah:

ﻭﺟﺐ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﻗﻮﻝ ﺃﺣﺪ ﺑﻌﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇﻻ ﺑﺄﻥ ﻳﺴﻨﺪﻩ ﺇﻟﻴﻪ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ -

Wajib agar tidak menerima pendapat seorang pun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kecuali jika dia sandarkan pendapatnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
📚(Al-Muhalla:2/249)

Keempat:
Membuka pintu bagi ahli bid'ah dan ahwa untuk terus menerus dalam kesalahan dan penyimpangan mereka dan tidak mau mengikuti sunnah yang telah jelas.

Ketika kita sampaikan sunnah kepada mereka, maka mereka (orang2 yang berintisab kepada madzhab Syafii) akan menjawab: apakah kalian lebih pintar dari Imam Syafi'i.? (Sekalipun hakikatnya mereka menyelisih imam Syafi'i sendiri terutama dalam masalah Aqidah)

Sehingga muncullah sebagian orang yang sok bijaksana dalam berpendapat berucap:
Ulama kalian (maksudnya ulama sekarang seperti ibn Baz, Al-Utsaimin dll) tidaklah lebih pintar dari Ibnu Qudamah. Kalau sekiranya ibnu Qudamah hidup beliau mampu untuk membantah tarjihat ulama sekarang. Atau yang semisalnya dari ucapan mereka.

Yaa Subhãnallah..!! Apakah para ulama tersebut merajihkan suatu pendapat dengan hawa nafsu? Ketika mereka merajihkan suatu pendapat dan menyelisihi ulama terdahulu dan mengikuti dalil yang mereka anggap lebih mendekati kebenaran apakah ini tercela..???
Bukankah Imam An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibn Hajar dan selain mereka pun telah menyelisihi madzhab Syafii dalam berbagai masalah dan merajihkan pendapat dengan dalil yang menurut mereka lebih mendekati kebenaran..?????
Apakah ini tercela...???

Dan lebih parah ahlu bid'ah pun akan nimbrung dan berdalil dengan ini. Ulama kalian tidaklah lebih pintar dari Al-Ghazali dan Ar-Razi..!!! dengan maksud menolak kebenaran.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

(Baca Juga : 21 Ayat Al-Quran Tentang Sihir)

Muhammad Abu Muhammad Pattawe,
Darul-Hadits Ma'bar-Yaman

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=484471942082141&id=100015580180071