Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?
Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Prof. DR. Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam risalahnya seputar qunut witir mengatakan terkait dengan perkara makmum mengamini qunut witirnya Imam, apakah dijahrkan atau dibaca sirr (pelan) :

ولم يأت في الأحاديث والآثار الواردة في قنوت الوتر ما يدل على مشروعية قول المأموم آمين، عند دعاء الإمام بالقنوت

"Tidak ada dalam hadits atau atsar terkait qunut witir yang menyinggung atas disyariatkannya ucapan makmum "Āmîn", ketika Imam berdoa dalam qunut witir..." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika kondisinya seperti ini, maka terjadinya perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait masalah yang kita bahas ini adalah sebuah keniscayaan. Asy-Syaikh al-Walîd bin  Abdullah al-Fariyân dalam bukunya "al-Qunût fî al-Witr" mencoba merinci pembahasan ini terkait dengan makmum apakah mendengar bacaan qunut Imam atau tidak?.


Apabila makmum mendengar bacaan qunut Imam, maka apakah makmum mengamininya dengan jahr atau sirr?, Asy-Syaikh lantas menyebutkan bahwa para ulama SEPAKAT disyariatkannya makmum mengamini qunutnya Imam secara sirr. Adapun apakah dianjurkannya secara jahr, maka dalam hal ini ada 2 pendapat :

A. Dianjurkannya jahr mengucapkan Āmîn. Ini adalah pendapatnya sebagian Hanafiyyah dan yang mu'tamad dalam mazhab Hanbali.

B. Dianjurkan jahr ketika materi qunutnya berupa doa dan sirr ketika materinya berupa pujian. Ini adalah mazhabnya Syafi'i. 


(Baca Juga : Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama)


Asy-Syaikh kemudian merajihkan pendapat yang pertama, dengan alasan diantaranya adalah :

1. Diqiyaskan dengan menjaharkan Āmîn setelah Imam membaca Al-Fatihah.

2. Diqiyaskan dengan jahrnya Amin-nya makmum pada saat qunut nazilah.


Terkait dengan qunut nazilah, maka asy-Syaikh Muhammad Bazmul dalam kitab yang kami nukilkan sebelumnya juga berkata :

لكن ورد ذكر تأمين المأموم على تأمين الإمام في قنوت النازلة

"Namun telah datang penyebutan terkait Amin-nya makmum dalam qunut nazilah."


Kemudian asy-Syaikh mendatangkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang berkata :


قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَه

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya pada (rakaat) terakhir dari setiap shalat. Apabila telah mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir, beliau mendoakan (kehancuran) atas beberapa suku dari Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan ‘Ushaiyyah. Sedangkan (para makmum) di belakang beliau MENGUCAPKAN AMIN." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Syu'aib Arnauth serta dihasankan oleh al-Albani).


Kemudian Prof. DR. Muhammad Bazmul juga ikut merajihkan dianjurkannya makmum menjaharkan Amin-nya, alasannya qunut nazilah yang dibacakan juga pada sholat Maghrib dimana jumlah rakaatnya adalah witir (ganjil), tentunya ini juga sama dengan sholat witir yang rakaatnya ganjil dan tercakup dalam kaedah "apa yang boleh pada sholat fardhu, boleh juga pada sholat sunnah.


Adapun jika makmumnya tidak mendengar bacaan qunut Imam, maka asy-Syaikh al-Walîd tetap merajihkan makmum menjahrkannya, sekalipun disana ada pendapat yang mengatakan makmum membaca qunut sendiri, sebagaimana orang yang membaca Al-Fatihah dan surat sendiri ketika Imamnya sholat sirr.

Wallahu A'lam.


(Baca Juga : Rakyat dan Penegak Hukum Jangan Zalim)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/520603135773310

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah
Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Para ulama telah mencari dimanakah tempat ayat tilawah diantara ribuan ayat dalam Al Qur’an berdasarkan keterangan dari sunah-sunah Nabi sholallahu alaihi wa salam dan ucapan para sahabatnya rodhiyallahu anhum ajma’in. Berdasarkan perhitungan mereka ada 15 tempat yang merupakan ayat tilawah berdasarkan keterangan yang disandarkan kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam dan para sahabatnya. Ke-15 tempat tersebut adalah : 

1. ayat 206 dari surat Al ‘Araaf. 

2. ayat 15 dari surat Ar Ra’du. 

3. ayat 49 surat An Nahl. 

4. ayat 107 surat Al Israa’. 

5. ayat 58 surat Maryam. 

6. ayat 18 surat Al Hajj. 

7. ayat 77 surat Al Hajj. 

8. ayat 60 surat Al Furqoon. 

9. ayat 25 surat An Naml. 

10. ayat 15 surat As Sajdah. 

11. ayat 24 surat Shod. 

12. ayat 37-38 surat Fushilaat. 

13. ayat 62 surat An Najm. 

14. ayat 21 surat Al Insyiqooq. 

15. ayat 19 surat Al ‘Alaq.


Ini adalah hitungan yang dilakukan oleh asy-Syaikh DR. Fahd bin Abdul Aziz dosen Universitas Malik Abdul Aziz dalam sebuah makalah tentang sujud Tilawah yang dipublikasikan oleh Majalah  Bukhutsul Islamiyyah.  


(Baca Juga : Sekilas Tentang Qunut Subuh)


Kemudian  dari  15  tempat ini,  10  ayat  diantaranya  para  ulama  telah  bersepakat  bahwa  itu  tempat  ayat  tilawah yaitu  : 

1.  ayat  206  dari  surat  Al  ‘Araaf. 

2.  ayat  15  dari  surat  Ar  Ra’du. 

3.  ayat  49  surat  An  Nahl. 

4.  ayat  107  surat  Al  Israa’. 

5.  ayat  58  surat  Maryam. 

6.  ayat  18  surat  Al  Hajj. 

7.  ayat  60  surat  Al  Furqoon. 

8.  ayat  25  surat  An  Naml. 

9.  ayat  15  surat  As  Sajdah. 

10.  ayat  37-38  surat  Fushilaat.


Sedangkan  5  tempat lainnya,  para  ulama  berselisih  pendapat  tentangnya,  namun berdasarkan  sunah  yang  valid,  pendapat  yang  rajih  menempatkan  kelima  ayat tersebut termasuk ayat-ayat sujud tilawah. 


(Baca Juga : Rushsakh Menutup Masjid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518900352610255

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?
Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Al-Imam Al Albani rahimahullah dalam kitabnya Tamaamul Minnah fii Ta’liqi ‘alaa Fiqhis Sunnah (hal. 267-cet. Daarur Rooyah) berkata :

“Penulis (asy-Syaikh Sayyid Sabiq) berkata, dari Ibnu Umar Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ ‌بِالسَّجْدَةِ ‌كَبَّرَ، ‌وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ

“Bahwa Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa salaam membacakan Al Qur’an kepada kami, jika melewati ayat sajadah, Beliau bertakbir, lalu sujud dan kami pun sujud bersama Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam.” 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan Al Hakim, lalu beliau berkata : ‘shahih atas syarat Bukhori-Muslim. 


Aku (Al Albani) berkata, ada 2 catatan tentang ucapan penulis : 

1. Hadits ini dhoif, karena dalam sanadnya, sebagaimana riwayat Abu Dawud dan Baihaqi ada perowi yang bernama Abdullah bin Umar al-‘Umariy, ia perowi dhoif, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz dalam at-Talkhiish. Demikian juga dalam Bulughul Marom, Al Hafidz berkata, sanadnya terdapat kelemahan. Nawawi berkata dalam al-Majmuu’, sanadnya dhoif. Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang sujud tilawahnya Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam dibanyak ayat dalam kesempatan yang berbeda-beda, namun tidak disebutkan oleh salah seorang dari mereka, takbirnya Nabi Sholallahu 'alaihi wa salaam ketika sujud. Oleh karenanya, kami condong kepada tidak disyariatkannya takbir ini, dan ini adalah salah satu riwayat pendapatnya Imam Abu Hanifah. 

2. Bahwa Al Hakim tidak meriwayatkan kalimat Takbiir, sedangkan ini adalah masalah yang akan dijadikan dalil dari hadisnya. Beliau meriwayatkan dari jalan ‘Ubaidillah bin Umar al-‘Umariy dengan isim Tasghiir, dan beliau adalah perowi tsiqoh, berbeda dengan saudaranya Abdullah dengan isim al-Mukabbir, ia adalah perowi dhoif sebagaimana penjelasan diatas. Haditsnya terdapat dalam Bukhori-Muslim serta selainnya dari jalan ‘Ubaidillah – dengan al-Mushoghir, bukan al-Mukabbir- yang otomatis juga menunjukkan kelemahan hadits (yang kita bahas-pent.), lihat al-Irwaa’ (471 & 472)." -selesai-.


(Baca Juga : Apakah Orang Awam Wajib Melihat Dalil? )


Demikian juga ini adalah salah satu pendapat al-Imam Malik rahimahullah sebagaimana dalam kitabnya "al-Mudawanah" (1/200) jika itu diluar sholat, beliau berkata :

قَالَ: وَإِذَا قَرَأَهَا وَهُوَ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فَكَانَ يُضَعِّفُ التَّكْبِيرَ قَبْلَ السُّجُودِ وَبَعْدَ السُّجُودِ

"Jika ia membaca sujud tilawahnya di luar sholat, maka beliau melemahkan takbir sebelum dan sesudah sujud." -selesai-.


Adapun didalam sholat, maka jika bertakbir untuk sujud dan juga ketika bangkit darinya, maka mayoritas ulama mensyariatkannya. Al-Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya diatas mengatakan :

وَقَالَ مَالِكٌ: مَنْ قَرَأَ سَجْدَةً فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ إذَا سَجَدَهَا وَيُكَبِّرُ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهَا

"Barangsiapa yang membaca ayat-ayat sujud tilawah dalam sholat, maka ia bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika mengangkat kepala darinya." -selesai-.


DR. Muhammad Na'im dalam kitabnya "Maushû'ah Masâ`il al-Jumhûriyah" (1/183) berkata :

جمهور الفقهاء على أن الساجد للتلاوة يكبِّر إذا خفض للسجود ويكبِّر إذا رفع منه، وممن رُوي عنه التكبير لسجود التلاوة ابن سيرين والحسن وأبو قلابة والنخعي ومسلم ابن يسار وأبو عبد الرحمن السلمي وبه يقول الشافعي وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي.

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang bersujud tilawah itu bertakbir ketika turun sujud dan bertakbir ketika bangkit darinya. Yang berpendapat disyariatkannya takbir adalah Ibnu Sirîn, al-Hasan al-Bashri, Abu Qilâbah, an-Nakho'iy, Muslim bin Yasâr, Abu Abdir Rahman as-Sulamiy dan ini adalah pendapatnya Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan ashabu Ra`yu." -selesai-.


Alasan jumhur sebagaimana yang telah disampaikan oleh al-'Allâmah ibnu Utsaimin -via islam web- :

ولكن السُّنَّة تدلُّ على أنه -أي سجود التلاوة- ليس فيه تكبير عند الرَّفع ولا سلام إلا إذا كان في صلاة، فإنه يجب أن يُكبِّرَ إذا سَجَدَ ويُكبِّرَ إذا رَفَعَ؛ لأنه إذا كان في الصَّلاة ثَبَتَ له حُكم الصَّلاة، .... وثَبَتَ عنه أنَّه كان يُكبِّر في كُلِّ رَفْعٍ وخَفْضٍ فيدخل في هذا العموم سُجودُ التِّلاوة. انتهى.

"Namun yang sunnah menunjukkan bahwa sujud tilawah tidak ada takbir ketika mengangkat kepala dari sujud dan juga tidak ada salam, kecuali dalam sholat, maka wajib untuk bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika bangkit, karena jika itu didalam sholat maka berlakulah padanya hukum sholat....telah valid dari bahwa Beliau bertakbir setiap bangkit dan juga turun sujud, maka sujud tilawah masuk kedalam keumuman ini." -selesai-.


Oleh sebab itu, apa yang dirinci oleh al-Imam Malik radhiyallahu anhu yang bertakbir ketika sujud tilawah dalam sholat dan tidak bertakbir ketika sujud tilawah diluar sholat adalah menurut kami pendapat yang rajih dalam masalah ini.

Wallahu A'lam bish-shawâb.


(Baca Juga : Kilasan Tentang Ilmu Riwayat)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518679895965634

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari
Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Pada saat awal-awal mulai mengikuti kajian "Sunnah", ustadz kami mengajarkan kitab Tsalatsah Ushul karya al-Imam al-Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab, dalam salah satu bahasan disebutkan perkataan al-Imam Bukhari yang menyebutkan dalam kitab Shahihnya bab "al-Ilmu qobla al-qoul wa al-'Amal" (ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan), yang menarik dari penjelasan ustadzunaa adalah bahwa al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya didalam membuat judul bab itu sudah mengisyaratkan akan hukum-hukum tertentu dalam syariat kita.


Sebagai pemula pada waktu itu, yang tahu Shahih Bukhari hanya dari judulnya saja, maka tidak begitu paham apa yang dimaksud oleh Ustadzunaa, sampai akhirnya tatkala diberikan bimbingan oleh guru-guru kami yang lain untuk mengenal Shahih Bukhari lebih intens lagi, maka sedikit ada gambaran terkait dengan faedah-faedah pada judul-judul bab di shahih Bukhari.


Barangkali ulama yang dengan gemilang mampu menerjemahkan judul-judul bab dalam Shahih Bukhari adalah penulis syarah Shahih Bukhari yang sampai zaman ini belum ada yang bisa menandinginya, yaitu kitab Fathul Bariy yang ditulis oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah. Beliau seolah-olah diangkat oleh Imam Bukhari sebagai juru bicaranya, padahal mereka berdua terpaut jauh ratusan tahun, namun Al Hafizh dengan ketajaman analisanya mampu menyinkronkan diri dengan kecerdasan Imam Bukhari, karena ada beberapa judul bab antara hadits yang dibawakan dibawah judul bab tersebut dengan tema babnya harus mengernyitkan dahi terlebih dahulu untuk menemukan korelasinya dan Al Hafizh dapat melalui tantangan ini dengan sangat baik, beliau mampu menemukan jalan pikiran Imam Bukhari memberi judul bab tersebut dengan dilalah yang terkandung didalam hadits yang dibawakan, bagi yang ingin bukti akan hal tersebut dapat melihat beberapa coretan kami mengenai sebagian syarah Shahih Bukhari, misalnya yang terbaru adalah Syarah Kitab Shoum min Shahih Bukhari yang masih belum selesai penulisannya.


(Baca Juga : Pembahasan Ulumul Hadits)


Kemudian ada juga ulama yang disamping memecahkan kaitan antara hadits yang dibawakan dengan judul bab, juga terkadang memperbincangkan juga kaitan antara judul bab dengan judul kitabnya, karena Shahih Bukhari itu terdiri dari beberapa kitab, seperti Kitab al-Ilmu, Kitab Sholat dan seterusnya, kemudian dalam kitab terdiri dari beberapa bab. Selain itu juga kadang beliau membahas kaitan antara bab tersebut dengan bab sebelumnya. Ulama tersebut adalah al-'Alamah Badruddin al-'Ainiy al-Hanafiy (w. 855 H) rahimahullah dalam kitabnya "Umdah al-Qaariy Syarah Shahih al-Bukhariy".


Bab-bab Shahih Bukhari terutama dalam masalah Fiqih menjadi kajian ulama untuk mengetahui kemanakah al-Imam Bukhari memiliki kecondongan dalam mazhab fiqihnya?, Dalam tulisan kami terdahulu, sedikit kami ulas mazhab fiqih beliau dan kami unggulkan kajian yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa al-Imam Bukhari independen dalam mazhab fiqihnya bahkan beliau adalah seorang mujtahid mutlak yang menggali hukum fiqih langsung dari al-Kitab dan as-Sunnah.


Kemudian kita dapati para ulama kontemporer membuat risalah tersendiri yang berbicara secara khusus penafsiran bab-bab tersebut, dan sudah lahir juga melalui sidang akademik tesis magister dan disertasi doktoral yang temanya adalah membahas terjemahan judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.


Memang secara umum para ulama mengatakan bahwa pandangan fiqih para Aimah penulis kitab hadits ada pada judul bab yang diketengahkannya, sekalipun tidak mesti bahwa judul bab itu adalah pandangan fiqihnya secara mutlak, karena terkadang mereka membawakan judul bab untuk memberikan wacana kepada pembacanya terkait sebuah tema fiqih dengan membawakan hadits-hadits yang dilalahnya dapat memberikan faedah hukum sebagaimana judul bab tersebut.


Kembali kepada Shahih Bukhari, maka para pensyarahnya akan memberikan perhatian terhadap judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari bahkan tidak jarang juga ada lebih kurang penamaan judul babnya ketika dibandingkan dengan naskah-naskah shahih Bukhari yang ada, maka catatan perbedaan ini akan mereka ketengahkan kepada pembaca karena bisa jadi memiliki implikasi fiqih hadits yang berbeda dari Imam Bukhari atau malah lebih memperjelas lagi fiqih hadits yang disampaikan oleh al-Imam.


Jazakumullah khoir kepada para ulama dalam berkhidmat terhadap Islam.


(Baca Juga : Istiwa' Allah di Atas 'Arsy)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/264201391413487

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?
Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Dalam disiplin ulumul Qur`an ada pembahasan mengenai Makkiyah dan Madaniyah yaitu terkait periodisasi turunnya surat dan ayat Al-Qur`an. Ada beberapa pandangan para ulama dalam mengkategorikan Makkiyah dan Madaniyah, namun pendapat yang banyak digunakan bahwa Makkiyah adalah surat atau ayat yang turun sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hijrah, sedangkan Madaniyah adalah setelah Beliau hijrah ke Madinah. Al-Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab babon dalam Ulumul Qur`an yang berjudul "al-Itqân fî Ulûm al-Qur`an" (1/37) mengatakan :

أَشْهَرُهَا: أَنَّ الْمَكِّيَّ مَا نَزَلَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَالْمَدَنِيَّ مَا نَزَلَ بَعْدَهَا سَوَاءٌ نَزَلَ بِمَكَّةَ أَمْ بِالْمَدِينَةِ عَامَ الْفَتْحِ أَوْ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ أَمْ بِسَفَرٍ مِنَ الْأَسْفَارِ.

"Pendapat yang masyhur bahwa Makkiyah adalah yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah turun setelah hijrah, sama saja apakah turunnya di Mekkah atau di Madinah pada waktu penaklukkan Mekkah atau pada waktu haji wada atau pada saat Beliau sedang bersafar."


Al-Imam Suyuthi kemudian menukilkan bahwa pembagian ini telah dirumuskan oleh al-Imam Abu Tsa'labah Yahya bin Salâm (w. 200 H) salah seorang ulama generasi Tabi'iut Tabi'in yang juga seorang ahli tafsir pada zamannya.


(Baca Juga : Imam Abu Sa'id Utsman bin Sa'id Ad-Darimy)


Terkait dengan pembahasan surat yang dinamakan dengan al-Mu'awidzatain, yaitu surat Al-Falaq dan An-Nâs, maka para ulama berbeda pendapat apakah keduanya digolongkan sebagai Makkiyah atau Madaniyah. Tim lembaga penerjemah Al-Qur`an Departemen Agama RI, awalnya menghitung kedua surat tersebut sebagai Makkiyah, namun setelah mereka melakukan kajian kembali, lalu ditetapkan bahwa keduanya adalah Madaniyah.


Penulis juga telah melakukan penelitian kecil terkait hal ini dan berikut kajiannya berdasarkan pendapat dari sebagian ulama ahlul qur`an terkait status kedua surat tersebut dalam pembahasan ini.


Al-Imam al-Baghowi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa surat Al-Falaq adalah Madaniyyah. Kemudian al-Imam Ibnul Jauzi dalam tafsirnya menyebutkan 2 pendapat tentang kapan turunnya surat Al Falaq, kata beliau :

أحدهما : مدنية رواه أبو صالح عن ابن عباس ، وبه قال قتادة في آخرين .

والثاني : مكية رواه كريب عن ابن عباس ، وبه قال الحسن ، وعطاء ، وعكرمة ، وجابر . والأول أصح ، ويدل عليه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سحر وهو مع عائشة ، فنزلت عليه المعوذتان .

"Pendapat pertama mengatakan bahwa Al Falaq Madaniyyah, pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shoolih dari Ibni Abbas rodhiyallahu anhu, ini juga pendapatnya Qotaadah dan selainnya.

Pendapat kedua ia Makiyyah, diriwayatkan oleh Abu Kuroib dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu dan ini juga pendapatnya al-Hasan, Athoo’, ‘Ikrimah dan Jaabir.

Pendapat pertama (surat Al Falaq Madaniyyah) adalah pendapat yang rajih, hal ini ditunjukkan oleh hadits bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam pernah tersihir dan Beliau sedang bersama Aisyah rodhiyallahu anha, lalu turun kepada Beliau al-Mu’awidzatain." -selesai-.


(Baca Juga : Keutamaan Ahli Quran)


Begitu juga al-Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya "ad-Durorul Mantsuur" menukil :

أخرج ابن مردويه عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه قال : أنزل بالمدينة { قل أعوذ برب الناس }

"Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin az-Zubair rodhiyallahu anhu beliau berkata : “diturunkan di Madinah surat Qul A’uudzu bi Robbin Naas (surat An Naas)”. -selesai-.


Terkait hadits yang masyhur tentang tersihirnya Nabi sholallahu alaihi wa salam oleh seorang Yahudi yang bernama Labiid ibnul A’shoom dan bahwasanya kisah ini terjadi setelah Beliau hijrah ke Madinah. Maka Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata :

أَخْرَجَهُ عَنْهُ اِبْن سَعْد بِسَنَدٍ لَهُ إِلَى عُمَر بْن الْحَكَم مُرْسَل قَالَ ” لَمَّا رَجَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْحُدَيْبِيَة فِي ذِي الْحَجَّة وَدَخَلَ الْمُحَرَّم مِنْ سَنَة سَبْع جَاءَتْ رُؤَسَاء الْيَهُود إِلَى لَبِيد بْن الْأَعْصَم – وَكَانَ حَلِيفًا فِي بَنِي زُرَيْق وَكَانَ سَاحِرًا –

"Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dengan sanad sampai kepada Umar ibnul Hakam secara mursal beliau berkata : ‘ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam kembali dari perjanjian Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah sampai masuk bulan Muharrom pada tahun ke-7 (setelah hijrah), telah datang ketua suku Yahudi kepada Labiid ibnul A’shom –ia berasal dari Bani Zuraiq dan seorang tukang sihir-…".


Kemudian dalam kisah sihir tersebut, Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalain Nubuwwah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu yang didalamnya terdapat lafadz :


فإذا فيها وتر  فيه إحدى عشرة عقدة فأنزلت عليه هاتان السورتان فجعل كلما قرأ آية انحلت عقدة : ( قل أعوذ برب الفلق) ، ( وقل أعوذ برب الناس )

"Didalam sumur terdapat tali / buhul yang terdapat sebelas ikatan, maka turunlah 2 surat tersebut (yaitu Al Falaq dan An Naas –yang total semuanya terdiri dari 11 ayat-pent.), maka setiap Nabi sholallahu alaihi wa salam membaca satu per satu ayat lepaslah ikatan tadi satu per satu."


Hanya saja Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Talkhiisul Khobiir (6/2690) berkata tentang status hadits diatas :

أخرج البيهقي في “الدلائل”  معنى ذلك بسند ضعيف

"Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam “Ad-Dalaail” makna yang demikian dengan sanad dhoif." -sehingga-.


Sehingga karena riwayat turunnya surat Al Falaq, begitu juga surat An Naas setelah Rasulullah sholallahu alaihi wa salam hijrah ke Madinah adalah dhoif, maka barangkali yang rojih adalah surat tersebut Makkiyyah berdasarkan ciri-ciri umum dari surat Makkiyyah yang berisi ayat-ayat yang pendek. Inilah yang dirajihkan oleh al-'Allâmah ath-Thâhir ibnu 'Âsyûr rahimahullah dalam kitab tafsirnya dengan alasan merajihkan riwayat Kuraib dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa itu adalah Makkiyah dibandingkan riwayat Abu Shâlih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang katanya berpendapat itu Madaniyah.


Untuk diketahui bahwa penentuan Makkiyah dan Madaniyah itu adalah ijtihadiyyah. Asy-Syaikh Mannâ al-Qathân dalam kitab Ulumul Qur`annya yang best seller "al-Mabâhits fî Ulûm al-Qur`an", menukil perkataan al-Qodhi Abu Bakar bin ath-Thayyib al-Baqilani dalam al-Intishar yang berkata : 

“pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah itu mengacu kepada hafalan para sahabat dan Tabi’in. Tidak ada satu pun keterangan yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.” 

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Berdakwah Lewat Tiktok?)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/510755640091393

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod
Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod


Al-Imam al-bukhari rahimahullah yang dijuluki oleh para ulama sebagai amirul mu'minin fi'il hadits telah menulis beberapa kitab diluar kitab shahih bukhori. Diantaranya adalah kitab yang dikenal dengan nama "al-Adab al-mufrad".


Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam "Shahih Bukhori" didalamnya beliau susun dengan nama-nama kitab yaitu dimulai dari kitab "bid`u al-wahyu", lalu kitab "al-Imaan", lalu kitab "al-ilmu" dan seterusnya sampai ditutup dengan kitab "at-Tauhid". Termasuk didalamnya beliau menampilkan juga kitab "al-Adab". Oleh sebab itu para ulama menamakan kitab "al-Adab" sebagaimana yang saya maksud dalam judul tulisan ini dengan tambahan al-Mufrad, yang bermakna tersendiri, yakni ini adalah kitab yang ditulis yang terpisah dengan shahih Bukhori, sehingga tidak bercampur antara kitab "al-Adab" yang merupakan bagian dari Shahih bukhori dengan kitab "al-Adab" yang kita maksud ini. 


Berdasarkan hal ini ada "kode etik" dikalangan ulama hadits, tatkala menyebutkan riwayat hadits dalam kitab "al-Adab al-mufrad", yakni tidak boleh hanya mengatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori", tapi harus dikatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam al-Adab al-mufrad", agar tidak terjadi kesalahpahaman sebagaimana keterangan diatas. Alasan lainnya adalah tidak semua hadits-hadits yang terdapat dalam "al-Adab al-mufrad" berderajat shahih, namun ada juga beberapa yang dhoif dan banyak sekali yang bernilai hanya hasan saja. 


(Baca Juga : Hari H nya Kiamat)


Kitab ini berisi hadits-hadits nabi dan atsar para sahabat yang bertemakan adab-adab dalam Islam, tentang berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan tema-tema adab lainnya. 


Al-'Alamah Muhammad Nashiruddin al-albani telah melakukan penelitian terhadap status hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut, lalu beliau memilahkannya untuk kita semua yang mana yang shahih dari yang dhoifnya. Banyak para penerbit yang memanfaatkan hasil penelitian beliau dalam naskah terbitan mereka. 


Tak kurang dari 30 ulama yang telah membubuhkan syarahnya untuk memberikan penjelasan pada kita semua tentang maksud dari hadits dan dalil lainnya di bab-bab yang ditampilkan oleh Imam Bukhori. Diantara syarah yang direkomendasikan adalah penjelasan yang ditulis oleh asy-syaikh Muhammad Said Ahmad Ruslan hafizhahullah, karena selain terdapat penjelasan secara tertulis dalam sebuah kitab, pun ada juga rekaman dars beliau dalam mensyarah kitab ini. Linknya dapat dilihat disini : http://www.rslan.com/vad/items.php?chain_id=250


(Baca Juga : Aqidah dan Manhaj Dalam Takfir)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/263630798137213

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja
I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

Telah ma'ruf bahwa I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat banyak. Al-'Allâmah Abu Bakar al-Hishniy asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya "Kifâyah al-Akhyâr" (hal. 208) berkata :

وَيسْتَحب فِي جَمِيع الْأَوْقَات وَفِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان آكِد اقْتِدَاء برَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وطلباً لليلة الْقدر وَلَيْلَة الْقدر أفضل ليَالِي السّنة وَهِي بَاقِيَة بِفضل الله تَعَالَى إِلَى يَوْم الْقِيَامَة وكذهب جُمْهُور الْعلمَاء أَنَّهَا فِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان وَفِي أوتاره أَرْجَى

"Dianjurkan i'tikaf pada semua waktu, namun pada 10 hari akhir Ramadhan lebih kuat lagi anjurannya, yakni dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencari Lailatul Qadar, yaitu malam yang paling utama dalam setahun dan itu masih berlaku sampai hari kiamat, sebagaimana mazhabnya mayoritas ulama bahwasanya itu terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan pada malam-malam ganjilnya lebih diharapkan terjadi." -selesai-.


(Baca Juga : Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa)


Kemudian para ulama menyebutkan bahwa tidak ada batasan durasi minimal seseorang untuk beri'tikaf di masjid, artinya jika seorang ketika masuk masjid lalu berniat walaupun sekejap di masjid untuk beri'tikaf, maka ia telah mendapatkan pahala i'tikaf, tentunya sesuai dengan durasi tinggalnya. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya "al-Muhallâ" (3/411) berkata :

الِاعْتِكَافُ: هُوَ الْإِقَامَةُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَاعَةً فَمَا فَوْقَهَا، لَيْلًا، أَوْ نَهَارًا

"I'tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla sesaat atau lebih lama, baik malam maupun malam hari."


Beliau rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada dalil dari pembuat syariat yang menentukan durasi minimal untuk i'tikaf, dalam kitabnya yang sama al-Imam melanjutkan :

فَالِاعْتِكَافُ يَقَعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِمَّا قَلَّ مِنْ الْأَزْمَانِ أَوْ كَثُرَ، إذْ لَمْ يَخُصَّ الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ عَدَدًا مِنْ عَدَدٍ، وَلَا وَقْتًا مِنْ وَقْتٍ، وَمُدَّعِي ذَلِكَ مُخْطِئٌ؛ لِأَنَّهُ قَائِلٌ بِلَا بُرْهَانٍ

"I'tikaf itu didapatkan sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan, baik sedikit durasinya, maupun banyak, yang mana tidak dikhususkan oleh Al-Qur`an maupun hadits batasan tertentu dan waktu tertentu, barangsiapa yang mengklaim (pembatasan tertentu), maka ia telah keliru, karena ia mengatakan tanpa ada landasannya." -selesai-.


Asy-Syaikh Abu Mâlik Kamâl hafizhahullah dalam kitabnya "Shahih Fiqh as-Sunnah" (2/154) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Hazm, juga dipegangi oleh mayoritas ulama :

ذهب الجمهور ومنهم أبو حنيفة والشافعي إلى أن زمان الاعتكاف لا حَدَّ لأَقلِّه

"Mayoritas ulama diantara Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat bahwa durasi I'tikaf itu tidak ada batasan minimalnya." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang karena tuntutan mencari nafkahnya pada siang hari, namun ia tetap berkeinginan beri'tikaf pada 10 malam hari terakhir pada malam harinya, maka tidak masalah untuk beri'tikaf pada malam hari sebagaimana penjelasan kami diatas, al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah tegas mengatakan kebolehannya beri'tikaf pada malam hari, kata beliau dalam kitabnya "al-Umm" (2/118) :

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْتَكِفَ الرَّجُلُ اللَّيْلَةَ

"Tidak mengapa seorang beri'tikaf pada malam hari."


(Baca Juga : Harusnya Kita Lebih Takut Kesyirikan Dari Nabi Ibrahim)


Al-Imam bin Baz rahimahullah bahkan punya fatwa terkait masalah yang kita bahas ini ketika ada seseorang yang bertanya terkait aktivitas pekerjaannya pada siang hari, namun ia ingin juga beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan, maka apakah bisa ia beri'tikaf hanya pada malam harinya saja?


Asy-Syaikh Rahimahullah yang semasa hidupnya menjabat mufti 'Âm kerajaan Saudi Arabia memberikan jawaban :

يجوز الاعتكاف ولو ساعة من الزمن بمسجد تقام فيه صلاة الجماعة، ويصح الاعتكاف بلا صوم على الصحيح من أقوال العلماء؛ لما رواه عبد الله بن عمر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنه قال: يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم:  «أوفِ بنذرك فاعتكف ليلة»  أخرجه البخاري ومسلم في (صحيحيهما) وهذا لفظ البخاري (ج2 ص260) ولو كان الصوم شرطًا لصحة الاعتكاف لما أقره النبي صلى الله عليه وسلم على اعتكاف الليل فقط، وعلى ذلك يجوز لكم تحديد نية الاعتكاف في الليل فقط دون النهار لما ذكرتم ولكم أجر بقدر ذلك إن شاء الله.

"Boleh beri'tikaf walaupun sesaat di masjid yang ditegakkan padanya sholat berjamaah dan tetap sah beri'tikaf tanpa melaksanakan puasa menurut pendapat yang benar, berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar dari Umar bin Khothob radhiyallahu anhumâ yang berkata : "wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf pada malam hari di masjidil haram, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku : "Tunaikan nadzarmu, lalu i'tikaflah pada malam hari." (HR. Bukhari dan Muslim).

Seandainya puasa merupakan syarat sahnya i'tikaf, niscaya Nabi tidak akan menyetujui i'tikaf pada malam saja, sehingga berdasarkan hal ini, boleh bagimu membatasi niat  i'tikaf pada malam saja, tidak dengan siangnya, sebagaimana yang telah aku sebutkan kepadamu dan engkau mendapat pahala sesuai dengan durasi tersebut insya Allah." -selesai-.


Akan tetapi apakah orang yang beri'tikaf dengan model tersebut telah merealisasikan sunnahnya Rasulullah ketika beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadan?, 

maka jawabannya tidak, karena salah satu rukun i'tikaf adalah tetap tinggal di masjid dan i'tikaf menjadi batal apabila keluar dari masjid tanpa ada uzur. Prof. DR. Khâlid al-Musyaiqah hafizhahullah pernah berfatwa :

فإذا أردت أن تحقق هذه السنة فعليك أن تعتكف العشر الأواخر، وألا تخرج من المسجد، أما كونك تخرج وتبيت في بيتك بسبب شدة الحر وعدم الراحة في الحرم، فهذا يبطل عليك الاعتكاف؛ لأن ركن الاعتكاف هو اللبث في المسجد، والخروج من المعتكف هذا مبطل للاعتكاف....فهذا اعتكاف ليلة، أما تحقيق السنة اعتكاف العشر فهذا لم تحققه.

"Jika engkau ingin merealisasikan sunnah beri'tikaf pada 10 hari malam terakhir, maka engkau harus beri'tikaf pada 10 hari terakhir dan jangan keluar di masjid, adapun kondisimu yang keluar dari masjid...maka ini membatalkan i'tikaf, karena rukun i'tikaf adalah diam menetap di masjid dan keluarnya orang beri'tikaf seperti ini adalah membatalkan i'tikaf,...maka ini adalah i'tikaf malam, adapun perealisasian sunnahnya beri'tikaf pada 10 hari terakhir, maka yang seperti ini tidak terealisir (dengan model tersebut)." -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.

 

(Baca Juga : Ada Apa Dengan Gunung Tihamah)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/509762030190754