Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits
Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits


Diantara ciri khas metode madzhab ahli hadits didalam permasalahan fiqih dibandingkan dengan madzhab fiqih lainnya yang sudah jamak dianut kaum muslimin, sebagai berikut :

1. Berpegang kuat dengan nash wahyu yakni Al Kitab dan hadits yang shahihah atau maqbulah yang layak dijadikan hujjah. Berarti untuk menerapkan metode ini dibutuhkan kemampuan didalam menyeleksi hadits-hadits ahkam dan disortir yang memiliki kekuatan hujjah saja yang bisa digunakan.

2. Tidak terikat dengan perkataan salah seorang ulama fiqih yang senantiasa dijadikan rujukan, tapi perkataannya ditimbang dengan dalil-dalil yang ia bawakan atau yang memiliki kekuatan hujjah.


(Baca Juga : Rokok dan Knalpot)


3. Menonjolkan aspek satu pendapat saja yang dianggap oleh penyusun kitab fiqih yang menggunakan metode ini sebagai pendapat yang rajih, dari sekian perbedaan pendapat yang ada.

4. Kebanyakan kitab fiqih yang menggunakan metode madzhab ahli hadits, lebih sederhana pembahasannya karena langsung menyebutkan point utama dari kandungan hadits sesuai dengan tema atau sub tema dari pembahasannya.

5. Banyak berpegang kepada dhohir hadits, terutama ketika melakukan justifikasi terkait hukum taklifi terhadap masalah tersebut. Hukum taklifi ada 5 yaitu : wajib, mustahab, mubah, makruh, dan haram.

6. Jarang sekali membahas permasalahan fiqih dengan retorika yang bertele-tele, karena memang langsung beristimbat (mengambil kesimpulan hukum) dari nash shahihah yang ada.

7. Tidak merasa sungkan untuk menyatakan pendapat hukum atas suatu permasalahan fiqih, sekalipun pendapat tersebut tidak populer dikalangan ulama fiqih lainnya, selagi ada nash shahihah yang menunjukkan akan hal tersebut.


(Baca Juga : Hukum Seputar Hari Raya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/544967330003557

Masbuq Hanya Mendapatkan Tasyahud Akhir Imam


MASBUQ HANYA MENDAPATKAN TASYAHUD AKHIR IMAM, APAKAH MENDAPATKAN PAHALA SHOLAT BERJAMAAH? 


Para ulama berbeda pendapat terkait apakah si masbuq yang pada saat masuk masjid hanya mendapatkan Imam sedang tasyahud akhir, apakah ia tetap mendapatkan pahala sholat berjamaah atau tidak? 


Imam Nawawi dalam "al-Majmu" (4/219) menyebutkan dua pandangan dalam madzhab Syafi'i terkait soalan diatas, kata beliau :

وَتَحْصُلُ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لَكِنْ دُونَ فَضِيلَةِ مَنْ أَدْرَكَهَا مِنْ أَوَّلِهَا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا الْعِرَاقِيِّينَ وَالْخُرَاسَانِيِّينَ وَجَزَمَ الْغَزَالِيُّ بِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِلْجَمَاعَةِ إلَّا إذَا أَدْرَكَ رُكُوعَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ وَالْمَشْهُورُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ بِأَنَّ صَلَاتَهُ تَنْعَقِدُ وَلَوْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْجَمَاعَةُ لَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَنْعَقِدَ

"Si masbuq mendapat keutamaan sholat berjamaah, namun keutamaannya dibawah orang-orang yang mengikuti imam semenjak pertama. Ini adalah pendapat yang shahih dan dipastikan oleh penulis (Imam asy-Syairoziy) dan mayoritas ashab kami dari kalangan iraqiyyin maupun Khurosaniyyin. 

Imam Ghozali menegaskan bahwa si masbuq tidak mendapatkan keutamaan jamaah, kecuali jika ia mendapatkan (minimal) ruku' pada rakaat terakhirnya Imam. 

Namun pendapat yang masyhur (dikalangan Syafi'iyyah) adalah yang pertama, alasannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa sholatnya si masbuq (yang hanya mendapati tasyahud akhir Imam, pent.) dianggap sah, seandainya ia tidak mendapatkan jamaah, tentunya sholatnya tadi dianggap tidak sah" -selesai-. 


(Baca Juga : Ilmu Sebelum Berdakwah)


Al-'Alamah bin baz -rahimahullah- memiliki pendapat lain dimana beliau merincinya, kenapa si masbuq sampai terlambat mengikuti Imam hingga hanya mendapati tasyahud akhirnya Imam, apakah ada alasan Syar'i atau tidak?. Kata beliau :

ﺃﻣﺎ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻔﻴﻪ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺬﻭﺭﺍً ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﻛﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻟﺖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺫﻫﺐ ﻳﺘﻮﺿﺄ ﺃﻭ ﺷﻐﻠﻪ ﺷﺎﻏﻞ ﻻ ﺣﻴﻠﺔ ﻓﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﺬﻭﺭ ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﺣﻜﻤﻪ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﻀﺮ

"Adapun pahala berjamaah, maka ada perinciannya. Jika ia punya alasan syar'i, seperti karena buang hajat yang bikin kebelet atau ia pergi berwudhu lagi (mungkin karena hadats ditengah-tengah sholat, pent.) atau kesibukan yang memang tidak direkayasa, maka ia mendapatkan pahala sholat berjamaah, karena orang yang punya udzur syar'i hukumnya seperti orang yang normal ...".


Kemudian beliau menyebutkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya, diantaranya hadits riwayat Bukhori :


ﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺃﻭ ﺳﺎﻓﺮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﻘﻴﻤﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka Allah tetap tuliskan pahalanya yang biasa diamalkannya ketika mukim dan sehat".


Adapun jika si masbuq diatas tidak ada udzur syar'i, beliau berkata :

ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺄﺧﺮ ﻋﻦ ﺗﺴﺎﻫﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ

"... adapun jika ia terlambat karena ,

menggampangkannya, maka ia tidak mendapatkan keutamaan pahala berjama'ah".


Berdasarkan Berdasarkan pendapat yang masyhur dalam madzhab  Syafi'i dan perincian asy-syaikh bin Baz, maka ketika seorang masuk masjid dan mendapati Imam sudah tasyahud terakhir, segera saja untuk bergabung. 


Namun jika ia menggunakan asumsi seperti pandangannya Imam Ghozali, maka fatwa Al-'Alamah ibnu  utsaimin rahimahullah berikut bisa dijadikan pertimbangan :

إذا دخل الإنسان المسجد والإمام في التشهد الأخير فإن كان يرجو وجود جماعة لم يدخل مع الإمام، وإن كان لا يرجو ذلك دخل معه لأن القول الراجح أن صلاة الجماعة لا تدرك إلا بركعة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم:(من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة).

(فتاوى أركان الإسلام ص445)

"Jika seorang masuk masjid sedangkan Imam dalam posisi tasyahud akhir, jika ia merasa ada gelombang berikutnya yang melaksanakan sholat berjamaah, maka ia tidak usah bergabung bersama Imam. Namun jika tidak ada, maka langsung saja bergabung bersama Imam. Karena pendapat yang rajih sholat berjamaah tidak didapatkan kecuali jika mendapatkan satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat, maka berarti ia telah mendapatkan sholat". -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Demonstrasi dan Darah Kaum Muslimin)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/543121886854768

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?
Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam digelari dengan “Khothiibul Anbiyaa`” (Khotibnya para Nabi), hal ini dikarenakan beliau sangat fasih dan sangat tinggi gaya bahasanya dengan menggunakan balaghah dan ungkapan yang sastrawi tatkala mengajak kepada kaumnya untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'alaa.


Dalam pelajaran nahwu di pasal isim laa yanshorifu,  tatkala menyebutkan salah satu jenis laa yanshorifu adalah ‘alam ajam (nama suku bangsa selain arab), maka dari para Nabi dan Rasul yang namanya “yanshorifu” (bisa ditanwin), hanya 4 Nabi, yaitu Nuh, Hud, Shoolih, Syu’aib dan Nabi kita Sholallahu 'alaihi wa Salaam. Dalam Shahih Ibnu Hibban (no. 361) terdapat hadits berkaitan hal ini :

وَنُوحٌ وَأَرْبَعَةٌ مِنَ الْعَرَبِ: هُودٌ، وَشُعَيْبٌ، وَصَالِحٌ، وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Nuh dan 4 orang dari arab yaitu : Hud, Syu’aib, Sholih dan Nabimu Muhammad Sholallahu 'alaihi wa Salaam”.


Namun hadits diatas sangat lemah sekali, sebagaimana penilaian Imam al-Albani da al-‘Alamah Syu’aib Arnauth, karena didalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Ibrahim bin Hisyaam, dinilai pendusta oleh Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah Rahimahumaallah.


(Baca Juga : Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir)


Terkait gelar Nabiyullah Syu’aib sebagai Khothibul Anbiyaa`, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, namun kevalidannya tidak memuaskan, misalnya hadits :

1. Muhammad bin Ishaq secara mursal :


وَشُعَيْبُ بْنُ مِيكَائِيلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا فَكَانَ مِنْ خَبَرِهِ وَخَبَرِ قَوْمِهِ مَا ذَكَرَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَهُ قَالَ: «ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ» لِمُرَاجَعَتِهِ قَوْمَهُ

“Syu’aib bin Miikaail adalah Nabiyullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam yang Allah utus sebagai Nabi, maka Beliau juga adalah diantara pembawa berita dan pembawa berita kaumnya, apa-apa yang Allah sebutkan dalam Al Qur`an. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Beliau, maka biasanya mengatakan : “Beliaulah khothiibnya para Nabi”, karena selalu mengajak kaumnya kembali (kepada kebenaran)”.


Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (No. 4071), Imam adz-Dzahabi Rahimahullah dalam “at-Talkhiis” tidak berkomentar apapun. Namun sebagaimana pembaca ketahui secara mudah bahwa hadits diatas mursal, yangmana mursal adalah bagian dari hadits dhoif, karena Muhammad bin Ishaq seorang Imam pakar sejarah yang sangat masyhur adalah generasi tabi’i shoghir, sehingga mursalnya juga mursal yang sangat lemah.


Dalam riwayat Imam Ibnu Abi Hatim dalam “Tafsirnya” (no. 15921), Muhammad bin Ishaq menyebutkan perowi diatasnya lagi yaitu Ya’quub bin Abi Salamah, namun beliau ini juga seorang tabi’i, sehingga status mursalnya belum terangkat;


2. Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “al-Bidaayah wa an-Nihaayah (I/185) mengatakan :

وقد روى ابن إِسْحَاقُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ جُوَيْبِرٍ وَمُقَاتِلٍ عَنِ الضَّحَّاكِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ شُعَيْبًا قَالَ (ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ)

“Ishaq bin Bisyr telah meriwayatkan dari Juwaibir dan Muqaatil dari adh-Dhohhaak dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata : “Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Syu’aib alaihis salam, Beliau akan mengatakan : “inilah khothiibnya para Nabi”.


(Baca Juga : Perubahan Yang Sebenarnya)


Seandainya kita menerima bahwa Imam Ibnu Katsir benar-benar menemukan kitab hadits Ishaq bin Bisyr atau beliau memiliki sanad yang valid sampai kepada Ishaq bin Bisyr (w. 206 H), maka kelemahan hadits ini ada pada Ishaq itu sendiri, karena beliau sebagaimana dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya “Miizaan al-I’tidal” (I/184) dicap sebagai pendusta oleh Imam Ali bin al-Madiiniy dan Imam ad-Daruquthniy, ditambah kelemahan lain bahwa adh-Dhohhaak tidak pernah berjuma dengan Shohabi Jaliil Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu 'anhu. Memang benar Imam adh-Dhohhaak adalah ahli tafsir yang banyak membawakan penafsiran Ibnu Abbas, namun nukilan tersebut, beliau dapatkan dari muridnya, yakni Imam Sa’id bin Jubair Rahimahullah;


Memang benar sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam adalah khothibnya para Nabi, sebagaimana diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Imam Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya “al-‘Uquubat” dan Imam Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dari Imam Sufyan ats-Tsauriy. Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya “ad-Durrul Mantsuur” juga menukil dari Imam Malik bin Anas Rahimahullah. Akan tetapi tentunya yang kita perhatikan adalah riwayat-riwayat yang marfu’, karena inilah yang dijadikan dasar utama didalam memberitakan khabar-khabar orang sebelum kita yang valid.


Namun apapun itu, Nabiyullah Syu’aib memang memiliki ungkapan yang sastrawi, yang Allah abadikan dalam kitabnya yang mulia, diantara ucapannya :


{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ} [هود: 88]

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”.


(Baca Juga : Kesabaran Guru dan Murid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa’id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/534489534384670

Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah
Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Zakat fitri atau zakat fitrah adalah ibadah, maka mestilah dengan niat yang tulus kepada Allah Ta'âlâ dalam menunaikannya, hal ini sebagaimana hadits yang sangat masyhur tentangnya dari Umar bin Khathab radhiyallahu anhu secara marfu' :


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya hanyalah amal-amal itu tergantung niatnya dan hanyalah setiap orang itu mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (Muttafaqun alaih).


Adapun terkait teknis niatnya, maka lembaga fatwa Yordania telah menjelaskannya secara rinci namun ringkas dan padat berdasarkan kepada pendapat ulama Syafi'iyyah (fatwa no. 2718). Pointnya adalah :

1. Jika orang yang mengeluarkan zakat fitrah itu sendiri yang langsung membagikannya, maka ia mesti berniat sebelum menyerahkannya kepada yang berhak atau setidaknya niatnya dibarengi ketika menyerahkan zakatnya, TIDAK BOLEH baginya MENGAKHIRKAN NIATNYA setelah diserahkan kepada yang berhak, begitu juga TIDAK BOLEH MERUBAH NIATNYA setelah diserahkan.


(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")


Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya "al-Majmû'" berkata :

يجوز تقديمها على الدفع للغير قياسًا على الصوم؛ لأن القصد سد خلة الفقير، وبهذا قال أبو حنيفة، وصححه من لا يُحصى من الأصحاب، وهو ظاهر نص الشافعي في الكفارة فإنه قال: لا تجزئه حتى ينوي معها أو قبلها، قال أصحابنا: والكفارة والزكاة سواء

"Boleh untuk mengawalkan pemberian zakat kepada orang lain, diqiyaskan kepada puasa, karena tujuan zakat fitri adalah memenuhi kekurangan kebutuhan orang miskin, ini juga pendapat Abu Hanifah dan dishahihkan oleh ashabnya yang tidak terhitung jumlahnya, ini juga zhahirnya pernyataan Syafi'i terkait kafarah, karena beliau berkata : "tidak sah hingga ia MENIATKAN KETIKA MEMBERIKANNYA ATAU SEBELUMNYA." Ashab kami mengatakan : "kafarah dan zakat itu sama." -selesai-.


2. Begitu juga ketika ia menyerahkannya kepada lembaga amil zakat atau semacam panitia zakat yang nantinya mereka akan menyalurkannya kepada yang berhak, maka SEBELUM ATAU PADA SAAT MENYERAHKAN zakatnya kepada mereka harus dengan niat, hanya saja ketika ia ingin merubah niatnya, maka ia bisa menghubungi terlebih dahulu lembaga zakat tersebut, apakah zakatnya sudah dibagi atau belum, jika belum diserahkan kepada yang berhak menerimanya, maka masih bisa merubah niatnya, namun jika sudah diserahkan, maka tidak bisa lagi merubah niatnya.


Demikian ringkasan penjelasan dari lembaga fatwa Yordania terkait kapan niat itu dihadirkan ketika seseorang hendak mengeluarkan zakat fitrah.


Kemudian niat itu tempatnya adalah di hati, maka tidak disyariatkan melafazhkan niat dalam ibadah, termasuk diantaranya adalah zakat. Dalam "Maushû'ah al-Kuwaitiyyah" (42/68) disebutkan :

يَتَرَتَّبُ عَلَى رَأْيِ الْجُمْهُورِ بِأَنَّ مَحَل النِّيَّةِ الْقَلْبُ

"Pendapat mayoritas ulama bahwa tempat niat adalah di hati...".


(Baca Juga : Kalimat Syahadatain Wajib Dimuliakan)


Kemudian dalam kitab diatas disebutkan terkait hukum melafazhkan niat dengan lisan dalam melakukan peribadatan dari 4 mazhab yang masih eksis, mereka menjelaskannya sebagai berikut :

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.

وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ.

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَالأَْوْلَى تَرْكُهُ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ.

"Hanafiyyah dalam pilihan pendapatnya, Syafi'iyyah dan Hanabilah dalam mazhab resminya bahwa pelafazan niat dalam peribadatan itu sunnah, untuk menyesuaikan lisan dengan hatinya.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa pelafazan niat adalah makruh.

Sedangkan Malikiyah mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama meninggalkannya, kecuali jika timbul was-was, maka dianjurkan melafazkannya, untuk menghilangkan kesamaran."


Akan tetapi dalam kitab diatas dinukil bahwa mayoritas para ulama mengatakan jika lisan yang diucapkan berbeda dengan apa yang diniatkan di hati, maka yang dijadikan patokan adalah apa yang sudah diniatkan di hati.


Syaikhunâ, Sulthan al-Āmiriy hafizhahullah berkata :

الزكاة ، عبادة محلها القلب ، ولايشترط عند تقديمها النطق بها .

ولو نطق بشيء كصدقة ونحوها ونوى أنها زكاة ، فالعبرة بما في قلبه من كونها زكاة .

"Zakat itu ibadah, tempatnya di hati, tidak dipersyaratkan ketika menyerahkannya untuk mengucapkannya.

Seandainya ia mengucapkan sesuatu seperti sedekah dan semisalnya, namun niatnya adalah zakat, maka yang dianggap adalah niat yang di hatinya bahwa itu adalah zakat." -selesai-.


Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid hafizhahullah mempertegas tidak perlunya melafazkan niat dengan mengatakan :

وقالت طائفة من أصحاب مالك ، وأحمد ، وغيرهما : لا يستحب التلفظ بها ؛ لأن ذلك بدعة لم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أصحابه ولا أمر النبي صلى الله عليه وسلم أحدا من أمته أن يلفظ بالنية ولا علم ذلك أحدا من المسلمين ، ولو كان هذا مشروعا لم يهمله النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه

"Sekelompok ulama mazhab maliki, Ahmad dan selainnya mengatakan bahwa tidak dianjurkan untuk melafazkan niat, karena itu adalah BID'AH, tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari para sahabatnya dan tidak pernah diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang pun dari umatnya untuk melafazkan niat dan tidak mengajarkannya kepada seorang pun dari kaum Muslimin, seandainya ini disyariatkan, tentu Nabi tidak akan melalaikannya dan begitu juga para sahabatnya." -selesai-.

 

(Baca Juga : Perhatikan Izin Suamimu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/526509681849322

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras
Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

DR. Mursyid Ma’syuq dalam makalahnya tentang zakat fitrah menurut 4 mazhab, maka beliau mengatakan terkait ukuran yang harus dikeluarkan untuk membayar zakat fitrah :

اتَّفق الفقهاء على أنَّ الواجب إخراجه في الفطرة صاعٌ مِن جميع الأصناف التي يَجوز إخراج الفطرة منها عدا القمح

“para ulama telah bersepakat atas wajibnya mengeluarkan zakat fitrah SEBESAR 1 SHA’ dari semua jenis bahan pokok makanan yang boleh dikeluarkan zakat fitrahnya, kecuali Gandum (para ulama berbeda kadar besarannya).” 


Kemudian al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Raudhah ath-Thaalibiin” (2/303) menyebutkan pendapat yang jadi pegangan dalam mazhab Syafi’I bahwa jenis bahan makanan yang dikeluarkan zakat fitrahnya adalah bahan pokok makanan yang umum dikonsumsi oleh penduduk negerinya, beliau berkata :

فِي الْوَاجِبِ مِنَ الْأَجْنَاسِ الْمُجْزِئَةِ، ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ. أَصَحُّهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ: غَالِبُ قُوتِ الْبَلَدِ،….

“terkait dengan jenis zakat yang wajib dikeluarkan, maka ada 3 pandangan (dalam mazhab Syafi’iyyah), yang paling benar menurut mayoritas ulama adalah bahan pokok yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk setempat….”. -selesai-.


(Baca Juga : Kebijakan Saudi Yang Dimaki)


Adapun di negeri kita tercinta, maka umumnya bahan pokok makanan yang dikonsumsi adalah beras, sehingga zakat yang direkomendasikan untuk dikeluarkan adalah beras yang besarannya senilai 1 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 1 sha’ pada zaman itu adalah setara dengan 4 mud dan 1 mud itu adalah ukuran ceruk dua telapak tangan dewasa yang sedang. Akan tetapi, pada zaman ini kita terbiasa menggunakan ukuran satuan berat, sehingga kita perlu mengetahui konversi 1 sha’ yang dimaksud dengan ukuran kilogram misalnya. Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang nilai konversinya dalam satuan kilogram, mengingat sebenarnya sha’ ini adalah ukuran volume. Namun dengan menggunakan konversi yang lebih tinggi nilainya, maka ini lebih berhati-hati, seandainya ada kelebihannya, maka kelebihannya bisa terhitung sebagai sedekah. 


Barangkali kita bisa mengacu kepada Lembaga ulama yang kredibel terkait besaran zakat beras diatas, misalnya merujuk kepada “al-Lajnah ad-Daaimah li al-Buhuuts wa al-‘Ilmiyyah wa al-Iftaa`”, kerajaan Saudi Arabia, mereka pernah mengeluarkan fatwa (no. 12572) Ketika ditanya tentang ukuran zakat fitrah beras :

القدر الواجب في زكاة الفطر عن كل فرد صاع واحد بصاع النبي صلى الله عليه وسلم، ومقداره بالكيلو ثلاثة كيلو تقريبا

“besaran kewajiban zakat fitrah untuk tiap individu adalah satu sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yakni setara dengan kurang lebih 3 Kg.”

Fatwa ini ditandatangani oleh asy-Syaikh bin Baz sebagai ketuanya, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah Ghudayan rahimahumullah sebagai anggotanya.


Besaran ini juga yang direkomendasikan oleh beberapa komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di berbagai daerah di Indonesia. Di Sebagian daerah, ukuran beras yang digunakan oleh masyarakat Ketika berjual-beli  adalah dengan satuan liter, maka 3 Kg beras itu setara dengan 3.75 liter, untuk memudahkan dan menambah pahala, maka bisa digenapkan menjadi 4 liter.


Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas beras ini beraneka macam, maka al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang telah kami nukil diatas, mengatakan jika kualitasnya dibawah dari kualitas bahan pokok yang biasa dikonsumsi di negerinya, maka ini tidak boleh, sedangkan kualitas yang lebih tinggi, para ulama sepakat akan kebolehannya, setidaknya kualitasnya adalah sama dengan kualitas bahan pokok makanan negerinya, sebagaimana ini juga petunjuk yang diberikan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Sebagai acuan penentuan kualitas ini, maka al-Imam Nawawi menyebutkan patokannya ada dua cara, yaitu dari kualitas barangnya itu sendiri dan dari harganya.

Wallahu A’lam bish Shawaab.


(Baca Juga : Siapapun Presidennya, Inilah Prinsipnya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/525221521978138

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?
Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Asy-Syaikh Sayyid Sabiq dalam "Fiqhus Sunnah" (1/293, cet. Daarul Hadits)  mengangkat pembahasan tentang pemberian zakat fitrah kepada non muslim ahlu dzimmah :

"Imam az-Zuhri, Abu Hanifah, Muhammad (bin Hasan), dan Ibnu Syubrumah membolehkan memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa ta'ala :


لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : Ayat 8). -selesai-. 


(Baca Juga : Merangkul Tanpa Raga)


Namun asy-syaikh al-albani tidak setuju dengan pendapat diatas, beliau dalam "Tamamul Minnah" (hal. 388-389) berkata :

"Dalam ayat diatas tidak ada dalil yang jelas yang membolehkannya, sebab makna ayat diatas adalah perintah berbuat baik kepada mereka melalui shodaqoh yang tidak wajib. Imam Abu Ubaid (no. 1991) meriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata :


كان ناس لهم أنسباء وقرابة من قريظة والنضير وكانوا يتقون أن يتصدقوا عليهم ويريدونهم على الإسلام فنزلت

"Sebagian sahabat memiliki famili dari kalangan Bani Qurodhoh dan Nadhiir, mereka menahan pemberian shadaqah kepada familinya tersebut, mengharapkan agar familinya masuk Islam, lalu turunlah ayat :


{لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ}

"Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari rida Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 272).

Kandungan makna ayat ini, mirip dengan ayat sebelumnya -selesai-. 


Kemudian Imam al-albani menukil pendapat Hasan al-bashri Rahimahullah yang berkata :

ليس لأهل الذمة في شيء من الواجب حق ولكن إن شاء الرجل تصدق عليهم من غير ذلك

"Ahlu Dzimmah tidak memiliki hak apa-apa atas Zakat wajib, namun jika mau seseorang dapat bersedekah kepada mereka diluar Harta zakatnya".


Imam al-albani juga berkata :

وأما إعطاؤهم زكاة الفطر فما علمنا أحدا من الصحابة فعل ذلك وفهم ذلك من الآية فيه بعد بل هو تحميل للآية ما لا تتحمل.

"Adapun memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, aku tidak mengetahui seorang sahabat pun yang melakukannya, demikianlah mereka memahami ayat tersebut. Adapun orang setelahnya, memahami ayat tidak sesuai dengan konteksnya".

Wallahul A'lam.


(Baca Juga : Doakan Anakmu Yang Menuntut Ilmu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/522638165569807

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?
Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?


Asy-Syaikh Abu Malik Kamaal hafizhahullah menyebutkan bahwa ada sebagian ulama kontemporer yang mengatakan tidak disyariatkannya iqomah dengan menggunakan pengeras suara, karena iqamat itu sendiri fungsinya untuk memberitahukan bahwa sholat segera dimulai, sehingga ini hanya untuk orang yang didalam masjid saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-albani rahimahullah (Shahih Fiqih Sunnah (I/291)).


Akan tetapi yang benar menurut asy-Syaikh Abu Malik, bahwa iqamat menggunakan pengeras suara tidak mengapa, hal ini karena terdapat atsar dari shahabi jaliil Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam "al-Muwatha`" dari Naafi' :

 ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ‏( ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻫُﻮَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻘِﻴﻊِ ﻓَﺄَﺳْﺮَﻉَ ﺍﻟْﻤَﺸْﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ‏) 

"Bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa mendengar iqamat pada saat sedang di Baqii', lalu beliau segera berjalan menuju masjid".


(Baca Juga : Sesungguhnya Ilmu Itu Muroja'ah)


Asy-Syaikh Muhammad Sholih al-Munajid menambahkan dalil yang marfu' dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺎﻣْﺸُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻜِﻴﻨَﺔِ ‏

"Jika kalian mendengar iqamat, maka berjalanlah untuk sholat dan hendaknya kalian datang dengan tenang" (Muttafaqun alaih).


Asy-Syaikh beristidlal :

ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻗﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺴﻤﻊ ﻣﻦ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ 

"Hadits ini menujukkan bahwa iqamat diperdengarkan juga sampai keluar masjid pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam".


Wallahu a'lam.


(Baca Juga : China Zaman Doeloe)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/533936787773278