Rokok dan Knalpot

Rokok dan Knalpot
Rokok dan Knalpot

Meski mengandung TAR, nikotin, dan banyak senyawa karsinogenik, rokok katanya nggak haram karena asap knalpot yang juga mengandung partikel berbahaya nggak ada yang memfatwakan haram.

Bung, qiyas Anda kok ngaco banget ya.

Rokok dibikin manusia hanya dimanfaatkan asapnya untuk dihisap, sedangkan kendaraan adalah moda transportasi untuk membantu kehidupan manusia menghantarkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Asap kendaraan yang keluar dari knalpot adalah zat sisa yang tidak diinginkan. Bahkan kalau bisa, asap itu dihilangkan sama sekali - tapi teknologi sampai saat ini belum memungkinkan. Sama seperti Anda makan nasi agar kuat bikin lelucon di medsos, lalu menghasilkan beberapa benda yang masuk toilet dan gas buang - gak mungkin jadi daging dan timbunan lemak semua.

(Baca Juga : Pembelaan Untuk Syaikhul Islam)

Rokok diharamkan karena memang sengaja untuk dihisap memasukkan zat berbahaya ke dalam tubuh. Analoginya, kalau Anda sengaja dan hobi naruh lubang hidung Anda di lubang knalpot kendaraan saya untuk menghisap asapnya, haram juga jadinya.

Coba Anda tanya ke semua profesor kesehatan dan dokter yang kompeten, asap rokok itu berbahaya atau malah menyehatkan ?.

Allah ta'ala berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“ [QS. Al Baqarah: 195].

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain"

Orang yang terpaksa atau tidak sengaja menghirup asap rokok (perokok pasif), tidak berdosa. Sama seperti kalau kita terpaksa menghisap asap kendaraan. Kita tutupi hidung dan menjauh dari asap rokok dan asap kendaraan. Tapi kalau kita justru dekat-dekat orang merokok dan lubang knalpot dengan niat agar dapat menghirup asapnya, bisa jadi haram.

Fiqh kadang dibuat rumit oleh anekdot-anekdot pengajaran dari orang yang menganggap diri paham banget tentang fiqh.

Salam mumet ☝️🤕

(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Syafa'at)

Tulisan Al-Ustadz Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=640168616467633&id=100014235012911

Bangkai Jahiliyyah

Bangkai Jahiliyyah
Bangkai Jahiliyyah

Bangkai Jahiliyyah?
(Memahami Makna Hadits & Fiqihnya)

Abu Ubaidah As Sidawi

Imam Bukhori 7053 dan Muslim 1849 telah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً

Barangsiapa yang membenci sesuatu pada pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa jahiliyyah.

(Baca Juga : 15 Hadits Tentang Larangan Isbal)

Dalam Hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Kewajiban Sabar Atas Kedzaliman Pemimpin
Bersabar atas kezhaliman penguasa termasuk pokok aqidah ahlus sunnah wal jama'ah. (Majmu Fatawa 28/47).
Dalil-dalil dalam masalah ini sangat banyak, bahkan hadits-hadits dalam masalah ini mencapai derajat mutawatir, karena sabar terhadap kedzaliman pemimpin lebih membawa kemaslahatan di dunia dan akherat.
Dan ini merupakan kesepakatan Ahli Sunnah dan aqidah mereka.  (Minhaj Sunnah, Ibnu Taimiyyah 4/529-531)

2. Siapakah Maksud Amir (Pemimpin) dalam hadits?
Ash-Shona'ni berkata: "Maksudnya adalah pemimpin setiap negara (bukan khalifah sedunia), karena sejak pertengahan masa daulah Abbasiyah manusia sudah tidak berkumpul dalam satu pemimpin lagi, tetapi setiap negara memiliki pemimpin masing-masing. Seandainya hadits ini dibawa kepada khalifah umat Islam seluruh dunia, maka sedikit sekali faedahnya". (Subulus Salam 4/72).

Inilah yg sesuai dg kaidah2 syariat dan dalil-dalil.  Barangsiapa yg mengingkari hal ini maka dia jahil dan pembangkang. (As Sailul Jarror 4/512 Asy Syaukani)
Pemahaman yg mengatakan bahwa pemimpin yg ditaati hanyalah pemimpin seluruh dunia saja (khalifah)  adalah pemahaman yg bathil dan sesat,  dan berkonsekwensi kerusakan yg fatal.  (Liqo'atul Babil Maftuh, Ibnu Utsaimin 3/571-572)
Maka pemimpin negara apapun namanya baik itu ulil amri,  amir,  shultan,  raja,  presiden maka masuk dalam hadits ini.  (Lihat Syarh Aqidah Saffariniyyah hlm.  663 oleh Syeikh Utsaimin)

(Baca Juga : Mereka Semua Ulama Kaum Muslimin)

3. Haramnya memberontak pemimpin walau cuma sedikit
Imam Nawawi berkata, "Adapun memberontak dan memerangi penguasa hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sekalipun mereka zhalim dan fasiq". (Syarah Shahih Muslim 12/229).

Ibnu Abi Jamrah berkata menjelaskan makna hadits ini:
"Maksudnya keluar dari pemimpin yaitu berusaha untuk melepaskan ikatan bai'at yang dimiliki oleh sang pemimpin dengan cara apapun. Nabi menggambarkan dengan satu jengkal, karena usaha tersebut bisa menjurus kepada tertumpahnya darah tanpa alasan yang benar". (Fathul Bari Ibnu Hajar 13/7).

Maka,  barangsiapa yang memberontak keluar ketaatan dari penguasa dan kemudian mati dalam usahanya itu, maka ia mati seperti mati jahiliyyah. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَاد بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّة وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيم حَالَة الْمَوْت كَمَوْتِ أَهْل الْجَاهِلِيَّة عَلَى ضَلَال وَلَيْسَ لَهُ إِمَام مُطَاع ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّهُ يَمُوت كَافِرًا بَلْ يَمُوت عَاصِيًا ، وَيَحْتَمِل أَنْ يَكُون التَّشْبِيه عَلَى ظَاهِره وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَمُوت مِثْل مَوْت الْجَاهِلِيّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُوَ جَاهِلِيًّا

“Yang dimaksud dengan mati dalam keadaan jahiliyyah adalah keadaan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah di atas kesesatan dan tidak mempunyai imam yang ditaati. Karena mereka tidak mengetahui hal itu.
Bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits itu bahwasannya ia mati dalam keadaan kafir, akan tetapi mati dalam keadaan bermaksiat/durhaka atau kemungkinan juga perumpaan ini sesuai dzohirnya yaitu bermakna mati seperti mati jahiliyyah sekalipun dia bukan orang jahiliyyah” (Fathul-Baariy, 13/7).

Imam Nawawi juga mengatakan:

(مات ميتة جاهلية): هي بكسر الميم أي على صفة موتهم من حيث هم فوضى لا إمام لهم

"Mati Jahiliyyah: dengan mengkasrah mim yakni mati seperti sifat matinya jahiliyyah dimana mereka kacau tanpa pemimpin. (Syarh Shohih Muslim)

Al Khothobi berkata dalam kitabnya Al 'Uzlah hlm. 57-58:
"Dalam memberontak pemimpin berarti berpisah dg persatuan & hilang keamanan.  Inilah yg dimaksud oleh Nabi dalam hadits "Barangsiapa yg memberontak pemimpin maka dia mati jahiliyyah,  karena orang-orang Jahiliyyah tidak memiliki pemimpin yg menyatukan mereka, tetapi mereka berpecah-pecah dan berkelompok- kelompok dg paham dan agama yg berbeda-beda dan saling membantai lainnya". (Lihat pula Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/487 dan Subulus Salam karya Ash-Shon'ani 4/72).

Dengan keterangan para ulama ini,  jelaslah bagi kita bahwa mengartikan "mati jahiliyyah" dg "bangkai jahiliyyah" adalah kesalahan,  karena beda antara ميتة dg mengkasroh mim dan menfathah mim. Kalau dg fathah mim artinya bangkai,  tapi klu dg kasroh mim adalah sifat/keadaan mati.
Ini salah satu contoh pentingnya kita memahami hadits dg penjelasan ulama dan pentingnya belajar bahasa arab.

Ini pelajaran penting bagi kita juga semua agar lebih hati-hati dalam mengeluarkan statemen, apalagi masalah-masalah besar dan berat seperti masalah darah & nyawa.
Kita berlepas diri dari statemen prematur seperti itu yg justru mencoreng keindahan dakwah.

Ingat, Ahlu Sunnah wal Jamaah taat kepada pemimpin & tidak memberontak mereka.  Namun mereka juga bukan penjilat dan tidak mendukung kedzaliman pemimpin.  Mereka tetap bersikap wasathiyyah (pertengahan)  antara berlebihan dan merendahkan.
Semoga Allah menetapkan kita di atas manhaj salaf sampai hembusan nafas akhir kita.

(Baca Juga : Menyikapi Kesalahan Da'i Ahlussunnah)

Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=604853739918277&id=100011809698436

Hadits Ar-Rahmah Al-Musalsalah Bil Awwaliyyah

HADITS AR-RAHMAH AL-MUSALSAL BIL-AWWALIYYAH & FAEDAHNYA UNTUK PENUNTUT ILMU

                  بسم الله الرحمن الرحيم

Hadits Ar-Rahmah Al-Musalsal Bil-Awwaliyyah adalah hadits Abdullah ibn Amr radhiyallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

 الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء

 "Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah penduduk bumi maka siapa saja yang di langit akan merahmati kalian."
(HR.Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan selainnya. Berkata At-Tirmidzi: Hasan shahih, dan dishahihkan Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Iraqi, Ibn Nashiruddin dan Al-Albani. Dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dan Al-Maraghi. Hadits ini shahih lighairih)

(Baca Juga : Benarkah Setiap Ayat Memiliki Asbabun Nuzul?)

Dinamakan Hadits Ar-Rahmah karena isi dan kandungan haditsnya adalah tentang Rahmat, dan disebut Al-Musalsal Bil-Awwaliyyah karena setiap perawi yang meriwayatkan hadits ini menyebutkan bahwa hadits ini adalah hadits pertama yang dia dengar atau riwayatkan dari gurunya secara bersambung sampai ke Al-Imam Sufyan ibn Uyainah rahimahullah.

✳Berkata Al-faqir Ila Afwi Rabbih Abu Muhammad Pattawe Al-Indunisi hafizhahullah:
1➡Telah mengabarkan kepada kami secara ijazah Syaikhuna Al-Muhaqqiq Ali ibn Ahmad Ar-Razihi Al-Yamani hafizhahullah, dan ini adalah hadits pertama yang saya riwayatkan darinya (beliau memberikan ijazah kepada kami di sela-sela pembelajaran kitab Al-Muqizhah Lil-Hafizh Adz-Dzahabi, bab hadits Musalsal);
2 ➡Dari Asy-Syaikh Al-Allamah Rabi' ibn Hadi Al-Madkhali afahullah, ini adalah hadits pertama yang saya riwayatkan darinya;
3 ➡ Dari Asy-Syaikh Al-Allamah Hamud ibn Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah, ini adalah hadits pertama yang saya dengarkan darinya;
4 ➡ Dari Asy-Syaikh Sulaiman ibn Abdirrahman Al-Hamdan rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
5 ➡ Dari Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad Abdul-Hayy ibn Abdil-Kabir Al-Kattani, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
6 ➡Dari ayahnya: Al-Allamah Abdul-Kabir ibn Muhammad Al-Kattani rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
7 ➡Dari Muhaddits Al-Madinah Asy-Syaikh Abdul-Ghani ibn Abi Sa'id Ad-Dahlawi, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
8 ➡Dari Muhaddits Al-Hijaz Asy-Syaikh Muhammad Abid As-Sindi Al-Anshari, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
9 ➡Dari Muhaddits Al-Yaman Asy-Syaikh Al-Musnid Abdurrahman ibn Sulaiman Al-Ahdal, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
10 ➡Dari Asy-Syaikh Al-Muammar Amrullah ibn Abdil-Khaliq Al-Mizjaji rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
11 ➡ Dari Asy-Syaikh Al-Muhaddits Asy-Syams Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Uqailah Al-Makki rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
12 ➡ Dari Al-Musnid Al-Muammar Ahmad ibn Muhammad Al-Banna Ad-Dimyati rahimahullah, ini adalah hadits pertama yang saya dengar darinya;
13 ➡ Dari Asy-Syaikh Al-Muammar Muhammad ibn Abdil-Aziz Az-Zayyadi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
14 ➡Dari Asy-Syaikh Abul-Khair ibn Ammus Ar-Rasyidi, ini adalah hadits pertama yang pertama kali saya dengar darinya;
15 ➡Dari Al-Imam Al-Allamah Al-Qadhi Zakariya ibn Muhammad Al-Anshari Asy-Syafi'i rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
16 ➡ Dari Al-Hafizh Al-Kabir Al-Imam Abul-Fadhl Ahmad ibn Ali ibn Hajr Al-Asqalani Asy-Syafii rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
17 ➡ Dari Al-Hafizh Abul-Fadhl Abdurrahim ibn Al-Husain Al-Iraqi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;

(Baca Juga : Bid'ahnya Menjadikan Nyanyian Sebagai Agama)

18 ➡ Dari Asy-Syaikh Al-Muammar Abul-Fath Muhammad ibn Ibrahim Al-Maidumi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
19 ➡Dari Asy-Syaikh Al-Jalil Musnid Ad-Diyar Al-Miahriyyah Abdul-Lathif ibn Abdil-Mun'im Al-Harrani rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
20 ➡Dari Al-Imam Al-Hafizh Abul-Faraj Ibnul-Jauzi Abdurrahman ibn Ali Al-Hanbali rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
21 ➡Dari Al-Faqih Ismail ibn Abi Shalih Al-Muaddzin An-Naisaburi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
22 ➡Dari bapaknya Al-Hafizh Abu Shalih Ahmad ibn Abdil-Malik Al-Muadzdzin An-Naisaburi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
23 ➡Dari Al-Allamah Al-Faqih Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmisy Az-Zayyadi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
24 ➡Dari Asy-Syaikh Al-Musnid Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya An-Naisaburi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
25 ➡Dari Al-Hafizh Al-Jawwad Abdurrahman ibn Bisyr Al-Abdi rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
26 ➡Dari Al-Imam Al-Hafizh Al-Kabir Sufyan ibn Uyainah rahimahullah, ini adalah hadits yang pertama kali saya dengar darinya;
✳[Selesai sanad Al-Musalsal sampai disini]
27 ➡ Dari Al-Imam Al-Kabir Amr ibn Dinar Al-Makki rahimahullah;
28➡ Dari Abu Qabus maula Abdullah ibn Amr rahimahullah;
29➡Dari Sahabat yang mulia Abdullah ibn Amr radhiyallahu anhuma,
✳Dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Beliau bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء

 "Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah penduduk bumi maka siapa saja yang di langit akan merahmati kalian."

Berkata Al-Allamah Abdul-Hayy Al-Kattani rahimahullah:

...ﻭﺗﺪاﻭﻟﺘﻪ اﻷﻣﺔ, ﻭاﻋﺘﻨﻰ ﺑﻪ ﺃﻫﻞ اﻟﺼﻨﺎﻋﺔ ﻓﻘﺪﻣﻮﻩ ﻓﻲ اﻟﺮﻭاﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻴﺘﻢ ﻟﻬﻢ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﺘﺴﻠﺴﻞ ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻠﻨﺎ،

Hadits Musalsal ini telah poluler di tengah umat, dan menjadi perhatian Ahli Bidang ini (hadits) sehingga mereka mendahulukan periwayatannya dari selainnya, agar tercapai untuk mereka sanad musalsal ini sebagaimana yang kami lakukan.

ﻭﻟﻴﻘﺘﺪﻱ ﺑﻪ ﻃﺎﻟﺐ اﻟﻌﻠﻢ، ﻓﻴﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﺒﻨﻰ اﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺮاﺣﻢ ﻭاﻟﺘﻮاﺩﺩ ﻭاﻟﺘﻮاﺻﻞ ﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺪاﺑﺮ ﻭاﻟﺘﻘﺎﻃﻊ،

Dan agar supaya penuntut ilmu mengikutinya, sehingga dia ketahui bahwa Ilmu itu dibangun di atas kasih sayang, cinta dan menjaga hubungan (dengan yang orang lain), bukan dibangun di atas saling permusuhan dan pertikaian.

 ﻓﺈﺫا ﺷﺐ اﻟﻄﺎﻟﺐ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺷﺒﺖ ﻣﻌﻪ ﻧﻌﺮﺓ اﻟﺘﻌﺎﺭﻑ ﻭاﻟﺘﺮاﺣﻢ ﻓﻴﺸﺘﺪ ﺳﺎﻋﺪﻩ ﺑﺬﻟﻚ، ﻓﻼ ﻳﺸﻴﺐ ﺇﻻ ﻭﻗﺪ ﺗﺨﻠﻖ ﺑﺎﻟﺮﺣﻤﺔ، ﻭﻋﺮﻑ ﻏﻴﺮﻩ ﺑﻔﻮاﺋﺪﻫﺎ ﻭﻧﺘﺎﺋﺠﻬﺎ ﻓﻴﺘﺄﺩﺏ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺄﺩﺏ اﻷﻭﻝ، ﻭﻋﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻓﻲ اﻹﺧﻼﺹ ﻭاﻟﻘﺒﻮﻝ اﻟﻤﻌﻮﻝ.

Jika Seorang penuntut ilmu tumbuh di atas hal ini maka akan tumbuh bersamanya rasa cinta untuk saling mengenal (peduli) dan kasih sayang, sehingga dengan sebab itu bertambahlah motivasinya (untuk menuntut ilmu). Maka belumlah ia beruban (lanjut usia) melainkan ia telah berakhlak dengan Ar-rahmah (kasih sayang), dan orang lain pun mengetahui manfaat dan hasilnya, sehingga orang ini beradab (mengikuti) adab orang yang pertama tadi.
Hanya kepada Allah-lah (kita) sandarkan keikhlasan dan penerimaan amal.
(Fahrasul-Faharis:1/93-94)

📝Catatan:
Sanad di atas adalah sanad yang telah penulis (Abu Muhammad) ringkas dengan tidak menyebutkan jalur-jalur periwayatannya.

الحمدلله رب العالمين.

(Baca Juga : Penjelasan Makna Iman Kepada Qadar)

🗓14 Syawwal 1440
✍🏻Muhammad Abu Muhammad Pattawe
🕌Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=556984584830876&id=100015580180071

Tawadhu'nya Syaikh Muhammad Al-Imam

Tawadhu'nya Syaikh Muhammad Al-Imam
Tawadhu'nya Syaikh Muhammad Al-Imam

KETAWADHUAN ASY-SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDILLAH AL-IMAM -hafizhahullah-

Ketika penjagaan terhadap Syaikhuna Al-Imam hafizhahullah semakin ketat maka sudah 3 tahun belakangan ini beliau tidak pernah mengunjungi kami di asrama, baik itu ketika Idul-Fitri dan Idul-Adha atau hari lainnya. Sehingga setiap lebaran kami harus ikutan masuk ke Maktabah untuk menyalaminya, yang tentu dengan penjagaan yang ketat, dan hanya sekedar bersalaman tangan.

Idul-fitri tahun ini, kami Thullab Indonesia masuk ke Maktabah untuk menyalami beliau. Setelah itu kami keluar dan ngumpul-ngumpul di asrama, makan snek bareng apa adanya.

(Baca Juga : Singa Negeri Mesir)

Sedang asyiknya bercerita dan bercanda, makan snek lebaran seadanya dalam suasana Idul-fitri yang berbahagia ini, tiba-tiba seorang pengawal Syaikh di depan pintu melihat kami dengan pandangan kesana kemari memperhatikan isi asrama. Kami pun serentak berkata: Syaikh Al-Imam, Syaikh Al-Imam mau datang...!, Kami pun merapikan apa yang bisa dirapikan sekedarnya.

Tiba-tiba Syaikh Al-Imam masuk dengan 2 pengawal bersenjata beliau, beliau pun memberi salam. Kami langsung berdiri menyambut beliau. Satu persatu dari kami menjabat tangan beliau dan memeluknya. Sampai pada giliran saya, saya pun menjabat tangan beliau, memeluknya dan mencium kepala beliau (saya berkata dalam hati: mungkin ini terakhir kali saya mencium beliau).

Setelah menyalami beliau, beliau memperhatikan asrama kami, sambil berjalan ditemani satu penjaga. Beliau melihat tempat tidur kami yang diberi sekat, masing-masing memiliki sekat, beliau berkata: mukhifah (menakutkan)! Heheh. Ya, asrama orang-orang Yaman tidak boleh disekat, beliau tidak membolehkannya, sehingga semuanya tidur berdekatan. Beliau begitu lembut kepada kami, sehingga kadang sebagian aturan di Darul-Hadits hanya berlaku kepada orang Yaman, tidak berlaku kepada kami.

Setelah itu beliau bertanya kepada kami apa yang kami butuhkan, kami menjawab:  "jazaakallahu khairan ya Syaikh, apa yang kalian berikan kepada kami telah mencukupi."
Beliau pun keluar kembali ke ruangan beliau di Maktabah.

Hafizahullah wa Ra'ah.

(Baca Juga : Jual Beli, Tahiyyatul Masjid dan I'tifkaf)

🗓10 Syawwal 1440
✍🏻Muhammad Abu Muhammad Pattawe,
🕌Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=554756208387047&id=100015580180071

Puasa Syawwal dan Taat Suami

Puasa Syawwal dan Taat Suami
Puasa Syawwal dan Taat Suami
#PUASA_SYAWAL_DAN_TAAT_SUAMI
#PERHATIKAN_WAHAI_WANITA

Banyak dari kalangan wanita apabila mendengar dan membaca tentang keutamaan suatu amalan sunnah mereka bersegera melaksanaknnya tanpa memperhatikan etika dalam ibadah, salah satu etika dalam ibadah sunnah bagi seorang wanita adalah meminta izin kepada suaminya.
karena semangat beribadah saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dan didasari dengan ilmu. sebagai contoh ibadah sunnah yang harus meminta izin kepada suami adalah puasa sunnah seperti syawal, senin kamis dan yang lain.

(Baca Juga : Benarkah dr. Zakir Naik Sesat?)

Sebagaimana yang ditegaskan Nabi shallallahu alaihi wasallam :

لَا يَحِلُّ لِلمَرأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوجُهاشَاهِدٌ إلَّا بِإِذنِه

"Tidak boleh bagi seorang wanita berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (di rumah) kecuali dengan izinnya". (HR. Bukhari no. 5195)

para ulama sepakat bahwa hak suami wajib untuk ditunaikan dan menunaikan kewajiban lebih diutamakan dari mengerjakan perkara sunnah. maka tidak boleh bagi seorang istri berpuasa sunnah kecuali dengan izin suami. (al mausu'ah al fiqhiyah al kuwaitiyah 28/99)

jika istri berpuasa sunnah tanpa izin, maka suami boleh memaksa istrinya untuk berbuka puasa jika dia punya hajat kepada istrinya (berjima'), karena hak suami wajib ditunaikan. (fatawa islamiyah 2/167)

(Baca Juga : Sampaikan Salamku Kepada Ahlussunnah)

berbahagialah wahai para wanita, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menjajikan surga bagi yang mentaati suaminya :

إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرَجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: اُدْخُلِي الجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شِئْتِ

"Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa bulan (ramadhan), menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, dikatakan kepadanya : masuklah surga dari pintu mana saja yang engkau suka". (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya no. 4163 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shahihul jami' no. 660)

tetapi sebaiknya suami memberikan izin kepada istrinya jika mau berpuasa sunnah seperti puasa enam hari syawal, senin kamis, ayyamul baidh dll, karena sebagai bentuk ta'awun/kerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan agar sama-sama mendapatkan pahala.

Akhwat dan Ummahat.. inggatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

"Perhatikanlah kedudukanmu bagi suamimu, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan nerakamu". (HR. Ahmad no. 19025 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shahih at targhib no. 1933).

ridha suami menentukan seorang istri masuk surga, sebaliknya murka suami sebab kemurkaan Allah dan ancaman neraka.

(Baca Juga : Upah Mengajar Agama)

semoga Allah menjaga wanita muslimah dan menjadikan mereka sebagai istri istri yang shalihah.

WaAllahu A'lam
📝@/Tangerang/27/06/2017 M.

Tulisan Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=457620018140999&id=100016790144202

Serba-Serbi Puasa Syawwal

Serba-Serbi Puasa Syawwal
Serba-Serbi Puasa Syawwal

#SERBA_SERBI_PUASA_SYAWAL
#Semoga_bermanfaat_تقبل_الله_منا_ومنكم

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshari radiyallahu anhu).

Berdasarkan hadits tersebut jumhur ulama seperti Imam As Syafi'i, Imam Ahmad dan yang lain sepakat akan sunnahnya puasa enam hari di bulan syawal. adapun yang berpendapat bahwa puasa syawal hukumnya makruh seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Malik maka tertolak karena bertentangan dengan hadits tersebut. (lihat. shahih fiqhis sunnah 2/120 dan fatawa lajnah daaimah 10/389).
#Keutamaan puasa 6 hari syawal
1. sabda Nabi shallallahu alai wasallam:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah 'Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisalnya". (HR. Nasa'i no. 2869 dan Ibnu Majah no. 1715 dengan sanad shahih).

2. termasuk faedah terpenting dari puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnah tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسِبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أعمالِهمُ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهُ وَهُوَ أَعْلَمُ اُنْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كَتَبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذاكُم

"Amal ibadah yang pertama kali di hisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah Ta'ala berkata kepada malaikat -sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya-: "Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat: "Periksalah apakah hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnat? Jika ia mengerjakannya maka tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnat itu." Begitu pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya". (HR. Abu Dawud no. 864 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shahihul jami' no. 2571).
#Syawal dulu apa qadha' ramadhan?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini :

1. Sebagian ulama mensyaratkan qadha' ramadhan terlebih dahulu kemudian berpuasa syawal. karena kata (ثُمَّ) dalam hadits Abu Ayyub Al Anshari tersebut menunjukkan tartib ramadhan kemudian syawal, dan perkara yang wajib harus lebih didahulukan sebelum yang sunnah. ini pendapat madzhab Hanabilah dan difatwakan Syaikh Ibnu Baz dalam majmu' fatawa 15/392, Syaikh Al Albani dalam silsilah al-huda wa an-nur no. 753 dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarhul mumti' 6/448.

2. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan riwayat dari Imam Ahmad berpendapat boleh mendahulukan puasa syawal dan mengakhirkan qadha' ramadhan, karena orang yang mendapati ramadhan meskipun tidak sempurna puasa satu bulan maka tetap terhitung mendapatkan puasa ramadhan karena dia pasti akan tetap megqhada' puasa ramadhannya di lain hari, dan waktu syawal terbatas berbeda dengan waktu mengqadha'. sebagaimana diriwayatkan dari 'Aisyah radiyaAllahu anha bahwa beliau berkata:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

"Aku dahulu punya kewajiban (hutang) puasa. Aku tidak bisa membayar (hutang) puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban". (HR. Bukhari no. 1950).

Pendapat yang rajih adalah boleh mendahulukan puasa syawal sebelum qadha' ramadhan, dan tidak disyaratkan puasa qadha' ramadhan terlebih dahulu. (lihat. shahih fiqhis sunnah 2/121 Syaikhuna Abu Malik Kamal Salim, dan fatwa Syaikh DR. Umar bin Abdillah Al-Muqbil di http://almuqbil.com/web/?action=fatwa_inner&show_id=1753). waAllahu a'lam.

#Hukum menjama' niat qadha' puasa ramadhan dan puasa syawal?

ini yang dikenal dalam fiqh dengan hukum "tasyrik niyah", dalam hal ini tidak boleh seseorang berpuasa dengan niatan untuk qadha' ramadhan dan niat puasa enam hari syawal. harus dibedakan hari dan niatnya. ini yang difatwakan para Ulama diantaranya Syaikh Bin Baz dalam fatwa nur ala ad-darbi http://www.binbaz.org.sa/noor/4607 dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatawa as-shiyam no. 438. 

(Baca Juga : Ukuran di Masa Nabi)

~~~~~🌻🌸🌺🌼~~~~~
📝WaAllahu A'lam.
@lif/Tangerang/1 syawal 1438 H/25 juni 2017 M.

Tulisan Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah

Hukum Seputar Hari Raya

Hukum Seputar Hari Raya
Hukum Seputar Hari Raya

A. Hukum Sholat Al-‘Id[1]

Ulama berbeda pendapat tentang hukum sholat ‘id menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama : hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim), ini adalah pendapat madzhab Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Syafi’i, riwayat dari Imam Ahmad dan sebagian madzhab Malikiyah serta pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khon, Syaikh Al-Albani rahimahumullahu.

Dalil-dalil mereka adalah:

a. firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka laksanakanlah sholat karena RabbMu, dan berkurbanlah”.[2]

Perintah dalam ayat ini adalah menunjukkan wajib, dan maksud sholat dalam ayat ini adalah sholat ‘id.[3]

b. firman Allah ta’ala:

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah engkau mengagungkan Allah atas petunjukkaNya yang diberikan kepadamu, agar engkau menjadi orang yang bersyukur”.[4]

Dalam ayat ini Allah perintahkan untuk bertakbir di hari raya maka mencakup perintah kewajiban sholat ‘id adalah lebih utama.

c. Nabi salallahu alaihi wasallam senantiasa melaksanakannya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun, begitu juga para khalifah sesudahnya senantiasa melaksanakannya.

d. Nabi salallahu alaihi wasallam perintahkan kaum muslimin untuk keluar menuju musholla (tanah lapang) sampai-sampai Nabi salallahu alaihi wasallam juga perintahkan wanita-wanita yang sedang haid dan para gadis untuk keluar menuju tanah lapang, bahkan yang tidak memiliki pakaian/jilbab tetap Nabi salallahu alaihi wasallam perintahkan ikut keluar dan meminjam jilbab saudarinya, tetapi bagi yang sedang haid agar sedikit menjauh dari tempat sholat. Ini menunjukkan bahwa perintah tersebut menunjukkan wajib untuk sholat bagi yang tidak memiliki udzur syar’i dan kewajiban tersebut lebih utama lagi bagi kaum laki-laki, seperti yang dinyatakan Al-Imam Siddiq Hasan Khon dalam kitabnya.[5]

e. sholat ‘id adalah termasuk syiar-syiar islam terbesar yang nampak, maka hukumnya adalah wajib seperti halnya sholat jum’at.

f. sholat ‘id dapat mengugurkan kewajiban sholat jum’at jika bertepatan dengan hari jum’at, oleh karena itu tidak ada yang bisa mengugurkan suatu kewajiban kecuali dengan kewajiban yang semisalnya.

(Baca Juga : 19 Ayat Al-Quran Tentang Akhlak)

Pendapat kedua: hukumnya fardhu kifayah (jika sudah ada yang melaksanakan maka gugur kewajiban tersebut bagi yang lain), ini adalah madzhab Al-Hanabilah dan sebagian madzhab Syafi’iyah rahimahumullahu.

Dalil-dalil mereka adalah seperti dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat pertama, tetapi mereka memberikan tambahan bahwa tidak wajib kepada setiap individu muslim dan muslimah karena tidak disyari’atkan adzan dan iqomah, maka tidaklah wajib bagi setiap individu seperti sholat jenazah.

Pendapat ketiga: hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), ini adalah madzhab Malik dan Syafi’i serta pendapat kebanyakan pengikut keduanya rahimahumullahu.

Dalil-dalil mereka adalah:

1.     sabda Nabi salallahu alaihi wasallam kepada seorang Al-A’robi ketika dia bertanya tentang islam, maka Nabi menjawab: menyebutkan kewajiban sholat lima waktu, ia bertanyak lagi apakah masih ada kewajiban sholat kepadaku? Maka Nabi menjawab:

لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

“tidak, kecuali sholat-sholat sunnah”.[6]

2.     sholat ‘id adalah memiliki ruku’ dan sujud tidak disyari’atkan adzan diawalnya, maka tidaklah wajib hukumnya seperti sholat duha.

Disini dapat disimpulkan bahwa hukum sholat ‘id adalah wajib atas setiap individu (fardhu ain) menurut pendapat yang rojih/kuat, berdasarkan dalil-dalil yang kuat. Dan seyogyanya bagi setiap muslim untuk tidak meninggalkan syiar-syiar islam terlebih lagi sholat yang datangnya hanya satu tahun dua kali. Wallahu a’lam.

B.    Waktu Sholat ‘Id

Abdullah bin Busr radiyallahu anhu seorang shohabat Nabi salallahu alaihi wasallam pernah keluar bersama orang-orang pada hari ‘idul fithri atau ‘idul adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan berkata:

إنَّا كُنَّا قَدْ فَرَّغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ

“sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih (yakni waktu dibolehkannya sholat sunnah duha, ketika telah lewat waktu diharamkannya sholat)”.[7]

Dari hadits diatas para ulama menyebutkan bahwa waktu sholat ‘idul fithri dan ‘idul adha adalah setelah tingginya matahari seukuran tombak sampai tergelincir matahari. dan yang paling utama saholat ‘idul adha dilakukan diawal waktu agar orang-orang dapat menyembelih hewan kurban mereka, sedangkan sholat ‘idul fithri diakhirkan agar orang-orang dapat membayar zakat fithri mereka, Bahkan ini merupakan ijma’ para ulama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Siddiq Hasan Khon rahimahullahu dan Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafidzhohullahu ta’ala.[8]

Jika tidak diketahui kapan hari ‘id kecuali setelah zawal (tergelincirnya matahari) maka ini adalah udzur dan sholat ‘idnya dikerjakan keesokan pagi hari. Ini adalah madzhab jumhur ulama (mayoritas ulama) Al-Hanafiyah, As-Syafi’iyah, Al-Hanabilah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang termasuk shohabat Nabi salallahu alaihi wasallam, ada beberapa orang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bersaksi :

أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَل بِالأَمْسِ فَأَمْرَهُمْ أَنْ يَفْطُرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهِمْ

“Bahwa mereka melihat hilal (tangal 1 syawal) kemarin, maka Nabi perintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke tanah lapang keesokan pagi hari”.[9]

C.     Tempat Sholat ‘Id

Tempat sholat ‘id adalah musholla (tanang lapang), dan bukan masjid. Berdasarkan riwayat dari shohabat Abi Sa’id Al-Khudri radiyallahu anhu, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفُطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ

“Adalah Rasulullah salallahu alaihi wasallam keluar pada hari ‘idul fitri dan adha ke musholla (tanah lapang), maka pertama kali yang beliau mulai adalah sholat”.[10]

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang lain menunjukkan sunnahnya sholat ‘id di tanah lapang, seperti riwayat dari Abdullah bin Umar, Al-Barro’ bin Aazib, Abdullah bin Abbas radiyallahu anhum dengan sanad yang shohih.

Adapun sholat ‘id di masjid dibolehkan jika ada udzur syar’i seperti hujan, angin yang sangat kencang atau bagi orang-orang tua yang tidak mampu lagi pergi menuju tanah lapang.[11]

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya 1/180, Ibnu Majah dalam sunannya 1/194, Al-Hakim dalam mustadroknya 1/295,  dan Al-Baihaqi dalam sunannya 3/210 dari Abu Hurairah radiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Nabi salallahu alaihi wasallam pernah sholat ‘id di masjid karena hujan adalah hadits dhoif (lemah), karena di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Isa bin Abdil A’la bin Abi Farwah dia adalah majhul (tidak diketahui) dan gurunya yang bernama ‘Ubaidullah At-Taimy juga majhul hal (tidak diketahui keadaanya) sebagaimana dinyatakan Al-Hafidz Ad-Dzahabi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahumallahu ta’ala, sehingga para ulama hadits mendhoifkannya seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab “talkhis al-habir” dan “bulugul marom”, begitu juga Al-Imam Al-Albani rahimahumullahu dalam risalahnya “sholatul ‘idain fil musholla hiya as-sunnah hal. 32. maka tidak bisa dijadikan pijakan hukum, sehingga kembali kepada hukum asal yaitu sholat ‘id di tanah lapang sesuai petunjuk Nabi salallahu alaihi wasallamdan para  shohabatnya radiyallahu anhum.

Bahkan sebagian ulama seperti madzhab Malik rahimahullahmenyatakan hukumnya bid’ah  sholat ‘id di masjid, kecuali ada udzur syar’i maka tidak mengapa.[12]

Sebagian Ulama mengecualikan bolehnya sholat ‘id di masjidil haram dan masjid nabawi.[13] waAllahu a’lam

D.    Adakah adzan dan Iqomah untuk sholat ‘id?

Tidak disunnahkan adzan dan iqomah untuk sholat ‘id, bahkan hukum adzan untuk sholat ‘id adalah bid’ah.[14]Berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Abbas dan Jabir bin Abdillah radiyallahu anhum.

لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الفُطْرِ وَلَا يَوْمَ الأَضْحَى

“Tidak pernah ada adzan untk sholat ‘idul fithri dan ‘idul adha”.[15]

Dan dari Jabir bin Samuroh radiyallahu anhu ia berkata: “ aku pernah sholat (‘id) bersama Nabi salallahu alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali, tanpa ada adzan dan iqomah”.[16]

E.     Sifat sholat ‘id

Sholat ‘id adalah dua raka’at dan ada dua belas takbir didalamnya, tujuh kali takbir diraka’at awal setelah takbirotul ihrom dan lima kali takbir dirakaat kedua sebelum membaca al-fatihah, sebagaimana yang dicontohkan Nabi salallahu alaihi wasallam.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي العِيدَيْنِ: فِي الأُولَى سَبْعًا قَبْلَ القِرَاءَةِ، وَفِي الآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ القِرَاءَةِ

“Bahwa Nabi salallahu alaihi wasallam bertakbir pada shalat ‘id tujuh kali dirakaat pertama sebelum membaca (al-fatihah) dan lima kali dirakaat selanjutnya (rakaat kedua)”.[17]

Dan dari Aisyah radiyallahu anha ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّم كَانَ يُكَبِّرُ فِي الفِطْرِ وَالأَضْحَى ، فِي الأُولَى سَبعَ تَكبِيرَاتٍ ، وَفِي الثَانِيةِ خَمسًا سِوَى تَكْبِيرِ الرُكُوعِ

“Bahwa Rasulullah salallahu alaihi wasallam bertakbir disholat ‘idul fithri dan adha pada rokaat pertama tujuh kali takbir dan dirakaat kedua dengan lima takbir, tidak termasuk takbir ruku’”.[18]

Adapun bacaan doa dan dzikir dalam sholat ‘id adalah sama dengan bacaan dalam sholat-sholat yang lain, hanya dalam sholat ‘id disunnahkan setelah al-fatihah untuk membaca surat Qoff dirakaat pertama dan surah Al-Qomar pada rakaat kedua. Seperti yang diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdillah radiyallahu anhu.[19]

dan dalam riwayat yang lain disunnahkan membaca Surat Al-A’la dan Al-Ghosyiyah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh shohabat An-Nu’man bin Basyir radiyallahu anhu ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي العِيدَيْنِ وَفِي الجُمْعَةِ، بسَبِّحِ اسمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Adalah Rasulullah salallahu alaihi wasallam membaca dalam sholat ‘id dan jum’ah dengan sabbihisma robbikal a’la dan hal ataaka haditsul ghosyiyah”.[20]

F.     Sunnahkah mengangkat tangan disetiap takbir dalam sholat ‘id?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok:

a. Pendapat pertama: disunnahkan mengangkat tangan dalam setiap takbir. Ini adalah madzhab Al-Hanafiyah, Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Sholeh Al-Fauzan.[21]

Berdasarkan riwayat dari Abdillah bin Umar dan dari Umar bin Khottob radiyallahu anhuma:

أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهُ مَعَ كَلِّ تكبيرة فِي الجَنَازَةِ وَفِي العِيدِ

“Bahwa ia (Abdullah bin Umar) mengangkat tangan setiap takbir dalam sholat ‘id dan sholat jenazah”.[22]

b. Pendapat kedua: tidak disunnahkan mengangkat tangan dalam setiap takbir, kecuali takbirotul ihram saja. Ini adalah madzhab Al-Malikiyah, At-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf dan pendapat Al-Imam As-Syaukani dan Syaikh Al-Albani rahimahumullahu ta’ala.[23]

karena tidak ada dalil yang shahih dari Nabi salallahu alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat tangan disetiap takbir shalat ‘id kecuali takbirotul ihram, adapun yang diriwayatkan dari Umar dan putranya (Abdullah bin Umar) maka tidak bisa dijadikan dasar disunnahkannya mengangkat tangan, karena riwayat dari Umar bin Khottob sanadnya dhoif (lemah), sedangkan Imam Malik berkata tentang riwayat tersebut bahwa : aku (Malik bin Anas) tidak pernah mendengar sedikitpun tentang itu.

Pendapat kedua ini yang lebih rajih/kuat.[24] Wallahu a’lam

G.    Khutbah setelah sholat ied

Disunnahkan setelah sholat bagi Imam untuk berkhutbah satu kali dan bukan dua kali seperti khutbah jum’at, khutbah yang dilakukan dengan dua kali seperti khutbah jum’at adalah tidak benar karena dasar haditsnya dhoif (lemah). Berkutbah dengan berdiri diatas tanah dan tanpa memakai mimbar. itulah yang dicontohkan Nabi salallahu alaihi wasallam dan para al-khulafa’ar-rosyidin radiyallahu anhum.[25]

Dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma ia berkata:

شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، فَكَلُّهم كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الخُطْبَةِ

“Aku pernah sholat ‘id bersama Nabi salallahu alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar dan Utsman radiyallahu anhum, maka mereka semua melaksanakan sholat sebelum khutbah”.[26]

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang lain menunjukkan bahwa khutbah ‘id adalah setelah sholat, adapun jika dilakukan sebelum sholat maka hukumnya bid’ah dan menyalahi sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi salallahu alaihi wasallam dan para shohabatnya radiyallahu anhum. Adapun orang yang pertama kali yang berkhutbah ‘id sebelum sholat adalah Marwan rahimahullah kemudian diingkari oleh para ulama pada masa itu dan setelahnya karena menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sunnah para shohabat.[27]

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thariq bin Syihab radiyallahu anhu ia berkata:

أَخْرَجَ مَرْوَانُ المِنْبَرَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَبَدَأَ بِالخَطَبَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا مَرْوَانَ خَالَفْتَ السُّنَّةَ أَخْرَجْتَ المِنْبَرَ فِي يَوْمِ عِيدٍ وَلَمْ يَكُنْ يُخْرَجُ فِيهِ وَبَدَأْتَ بِالخَطَبَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ

“Marwan mengeluarkan mimbar pada hari ‘id, ia memulai khutbah sebelum shalat, maka seseorang berdiri  sambil berkata: wahai Marwan! Engkau telah menyelisihi sunnah, engkau mengeluarkan mimbar pada hari ‘id sedangkan Nabi dan para shohabat tidak pernah mengerjakannya dan engkau memulai khutbah sebelum sholat”.[28]

Dan disunnahkan bagi khotib untuk menyampaikan nasehat-nasehat kepada kaum muslimin dengan seruan bertaqwa kepada Allah, mengajak kepada aqidah yang benar dan amalan-amalan sholeh serta memperingatkan kaum muslimin dari perbuatan syirik, bid’ah dan amalan-amalan yang mengugurkan pahala. Dan juga dianjurkan agar menyampaikan nasehat-nasehat khusus kepada wanita-wanita muslimah dengan kebaikan. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi salallahu alaihi wasallam.

H.    Hukum mendengarkan khutbah

Hukum mendengarkan khutbah ‘id adalah sunnah dan tidak wajib, akan tetapi jika seseorang mendengarkan khutbah niscaya dia akan mendapatkan manfaat dan ilmu serta ikut menampakkan syiar-syiar islam dalam sholat ‘id.

Berdasarkan riwayat dari Abdullah bin As-Saib radiyallahu anhu ia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ: إنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلخُطَبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku pernah menyaksikan sholat ‘id bersama Nabi salallahu alaihi wasallam, maka tatkala selesai sholat beliau berkata: sesungguhnya kami akan berkutbah, barang siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah maka hendaklah ia tetap duduk, dan barang siapa yang ingin pergi maka hendaknya ia pergi”.[29]

(Baca Juga : 24 Ayat Al-Quran Tentang Tsamud)

I.       Adakah sholat sunnah sebelum sholat ‘id?

Adapun sholat sunnah sebelum sholat ‘id maka tidaklah disunnahkan dan tidak ada contoh dari Nabi salallahu alaihi wasallam dan para shohabatnya, bahkan ini meyelisihi apa yang dicontohkan Nabi salallahu alaihi wasallam, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا

“Bahwasanya Nabi salllahu alaihi wasallam sholat ‘idul fithri dua raka’at dan tidak pernah sholat sebelum dan sesudahnya”.[30]

Adapun jika sholat ‘id dilaksanakan di masjid karena ada sebab udzur syar’i maka disunnahkan untuk sholat dua rakaat ketika masuk masjid Karena ini termasuk sholat tahiyyatul masjid, Ini adalah para Ulama termasuk Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu ta’ala.[31]

sebagaiman sabda Nabi salallahu alaihi wasallam:

إِذَا دَخَلَ أحدُكمُ المَسْجِدَ، فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sampai ia sholat dua rakaat”.[32]

J.       Hal-hal yang disunnahkan pada hari ‘id[33]

Diantara sunnah-sunnah Nabi salallahu alaihi wasallam pada hari ‘id adalah:

1.     Mandi.  Dari Ali bin Abi Tholib radiyallahu anhu ia pernah ditanyak tentang disunnahkan mandi, maka beliau menjawab:

يَوْمُ الجُمْعَةِ وَيَوْمُ عرفةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَيَوْمُ الفُطْرِ

“pada hari jum’ah, hari arafah, ‘idul adha dan ‘idul fithri”.[34]

Dan dari Nafi’ rahimahullah ia berkata: “bahwa Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma biasa mandi pada hari ‘idul fitri sebelum pergi ke musholla (lapangan)”.[35]

2.     Memakai sebaik-baik pakaian yang ia miliki. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu anhuma ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ العِيدِ بردةً حَمْرَاءَ

“Adalah Rasulullah salallahu alaihi waallam pada hari ‘id beliau memakai pakaian tebal merah”.[36]

3.     Makan beberapa makanan pada ‘idul fithri sebelum keluar ke tanah lapang. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

“Adalah Rasulullah salallahu alaihi wasallam tidak keluar pada hari ‘idul fithri sampai beliau memakan beberapa kurma”.[37]

4.     Mengakhirkan makan pada hari ‘idul adha sampai selesai sholat. Diriwayatkan dari Buraidah radiyallahu anhu ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَنْحَرَ

“Bahwa Rasulullah salallahu alaihi wasallam tidak keluar (ke lapangan) pada ‘idul fithri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada hari ‘idul adha sampai beliau menyembelih (kurban)”.[38]

5.     Menyelisihi jalan (antara pergi dan kembali). Sebagaimana yang dicontohkan Nabi salallahu alaihi wasallam, berkata Jabir radiyallahu anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ، خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Adalah Nabi salallahu alaihi wasallam apabila hari ‘id beliau menyelisihi jalan (membedakan antara jalan pergi ke lapangan dengan kembalinya)”.[39]

6.     Memperbanyak takbir pada hari ‘id. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”.[40]

Dan firman Allah ta’ala:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ

“Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya”.[41]

Adapun waktu mulai takbir ‘idul fithri adalah ketika hendak keluar menuju musholla (tanah lapang) dan terus memperbanyak takbir sampai sholat akan dilaksanakan. Sebagaimana yang diriwayatkan Nafi’ rahimahullah dari Abdillah bin Umar radiyallahu anhuma ia berkata: “Adalah Rasulullah salallahu alaihi wasallam keluar menuju  sholat ‘idain bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Tholib, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah dan Aiman bin Ummi Aiman radiyallahu anhum, seraya mengeraskan suara dengan tahlil (mengucapkan lailaha illaAllah) dan takbir (mengucapkan Allahu Akbar)”.[42]

Sedangkan waktu melantunkan takbir pada hari ‘idul adha adalah pagi hari pada hari arofah sampai waktu ashar akhir hari tasyriq. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud radiyallahu anhum dengan sanad shohih.[43]

7.     Memberi ucapan selamat kepada orang lain.

Menugucapkan kalimat selamat pada hari raya atau ucapan “taqabbala Allahu minna wa minkum” dibolehkan, karena terdapat riwayat dari sebagian shahabat radiyallahu anhum mereka saling mengucapkannya.[44]

(Baca Juga : 14 Ayat Al-Quran Tentang Penyakit)

Wallahu a’lam.
(@lif/TP Cairo/29 ramadhan 1431 H/ 8 september 2010 M).

Bahan pustaka:
1.     Al-Wajiz fi fiqhi as-sunnah wa al-kitab al-aziz, Syaikh DR. Abdul Adhzim Badawi, dar Ibnu Rajab, cet. Keempat, th. 1430 H 2009 M, Egypt.
2.     Shohih fiqh as-sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim, al-maktabah at-taufiqiyah, Cairo-Egypt.
3.     Tamam al-minnah fi fiqhi al-kitab wa shohih as-sunnah, Syaikh Adil bin Yusuf Al-Azzazi, muassasah al-qurtubah, cet. Ketiga, th. 1427 H 2006 M, Egypt.
4.     Tamam al-minnah fi at-ta’liq ala fiqhi as-sunnah, Syaikh Al-Imam Al-Albany, dar ar-royah, cet. Kelima, th. 1419 H 1998 M, Jeddah-KSA.
5.     At-Ta’liqot ar-rodiyyah ala ar-roudoh an-nadiyah, Syaikh Al-Imam Al-Albany, dar ibn qoyyim, cet. Kedua, th. 1428 H 2007 M, Riyadh-KSA.
6.     Al-Mulakhos al-fiqhi, Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, tanpa penerbit dan tahun, KSA.
7.     Al-Ijaz fi ba’dhi ma ikhtalafa fihi Al-Albany wa Ibni Utsaimin wa Ibni Baz, Syaikh DR. Sa’ad bin Abdillah Al-Buraik, tanpa penerbit, cet. Pertama, th. 1430 H 2009 M.
8.     Al-Mausu’ah al-fiqhiyah al-muyassaroh, Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisah, al-maktabah al-islamiyah, cet. Pertama, th. 1423 H 2002 M, Amman-Ordon.
9.     Sholatul ‘iedain fi al-musholla hiya as-sunnah, Syaikh Al-Imam Al-Albany, al-maktab al-islamy, cet. Ketiga, th. 1406 H 1986 M, Beirut.

[1] Shahih fiqhus sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim 1/598-599, tamamul minnah, Syaik Al-Albani hal. 344, Al-wajiz fi fiqhi as-sunnah wa al-kitab al-aziz, Syaikh DR. Abdul Adhim Badawi hal. 186 dan al-fiqhu al-muyassar, hal. 102.

[2] QS. Al-Kautsar: 2.

[3] at-ta’liqot ar-rodiyah ala ar-roudoh an-nadiyah 1/379.

[4] QS. Al-Baqoroh: 185.

[5] Ar-roudah an-nadiyah 1/379.

[6] HR. Bukhori no. 46 dan Muslim no. 11 dari Tholhah bin Ubaidillah radiyallahu anhu.

[7] HR. Abu Dawud no. 1135 dan Ibnu Majah no. 1317 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani, dari Yazid bin Khumair Ar-Rohaby rahimahullahu ta’ala.

[8] Ar-roudoh an-nadiyah, Al-Imam Shiddiq Hasan Khon 1/386-387, dan al-mulakhos al-fiqhi, Syaikh DR. Shaleh Al-Fauzan 1/269, shahih fiqhi as-sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim 1/600.

[9] HR. Abu Dawud no. 1157 dan Ibnu Majah no. 1653 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani.

[10] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.

[11] Shahih fiqhu as-sunnah 1/601 dan al-fiqhu al-muyassar hal. 102.

[12] Sholatul ‘idain fi musholla hiya as-sunnah oleh Al-Imam Al-Albani hal. 34.

[13] Majmu’ fatawa wa maqolat, Syaikh Ibnu Utsaimin 16/231.

[14] Shahih fiqhu as-sunnah 1/606.

[15] HR. Bukhari no. 960 dan Muslim no. 886.

[16] HR. Muslim no. 887 dan At-Tirmidzi no. 532.

[17] HR. Tirmidzi no. 536 dan Ibnu Majah no. 1279 dari Katsir bin Abdillah bin Amri bin Auf dari Ayahnya dari Kakeknya dengan sanad shohih, dishahihkan Syaikh Al-Albani.

[18] HR. Abu Dawud no. 1149 dan Ibnu Majah no. 1280 dengan sanad shohih, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam al-irwa’ no. 639.

[19] HR. Muslim no. 891.

[20] HR. Muslim no. 878.

[21] Al-Majmu’ syarhul muhadzab, Imam An-Nawawi 5/26, syarhul mumti’, Syaikh Ibnu Utsaimin 5/138-139 dan majmu’ fatawa wa rosail, Syaikh Ibnu Utsaimin 16/239-240 dan 244, dan al-mulakhos al-fiqhi, Syaikh Shaleh Al-Fauzan 1/272.

[22] HR. Al-Baihaqi dalam sunannya 3/293.

[23] Al-Majmu’ syarhul muhadzab, Imam An-Nawawi 5/26, nailul authar, Imam As-Syaukani 5/55, tamamul minnah, Syaikh Al-Albani hal. 348-349.

[24] dirojihkan oleh Guru kami Syaikh Adil bin Yusuf Al-Azazi hafidzohullahu ta’ala dalam kitabnya “tamamul minnah fi fiqhi al-kitab wa shohih as-sunnah” 2/44. Guru kami Syaikh Abu Malik Kamal Salim hafidzohullahu ta’aladalam shahih fiqhis sunnah 1/606. dan  penulis yang dhoif ini lebih condong ke pendapat yang kedua.

[25] Shahih fiqhis sunnah 1/607.

[26] HR. Bukhari no. 962 dan Muslim no. 884.

[27]  ar-roudhoh an-nadiyah, Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khon 1/384.

[28] HR. Muslim no. 889 dan Abu Dawud no. 1140.

[29] HR. Abu Dawud no. 1155, Ibnu Majah no. 1290 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani.

[30] HR. Bukhari no. 964 dan 989, Tirmidzi no. 537.

[31] Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawwi’ah, Syaikh Ibnu Baz 13/14.

[32] HR. Bukhari no. 1164, 444 dan Muslim no. 714 dari Abu Qatadah bin Rib’i Al-Anshari radiayllahu anhu.

[33] Al-wajiz fi fiqhi sunnah wal kitabil aziz, Syaikh DR. Abdul Adhim Badawi hal. 188-189. Shahih fiqhi as-sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim 1/602-605. Al-fiqhu al-muyassar hal. 104-105.

[34] HR. As-Syafi’i dalam musnadnya no. 114 dengan sanad, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam al-irwa’ 1/177.

[35] HR. Malik dalam muwattho’ no. 426, Syafi’i dalam musnadnya no. 73 dan Abdurrazzaq As-Shon’ani dalam al-mushonnafnya no. 5754 dengan sanad shohih.

[36] HR. At-Thabrani dalam al-ausat. Berkata Al-Haitsamy dalam majma’ az-zawaid 2/201: rowi-rowinya terpercaya, dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam as-shahihah no. 1279.

[37] HR. Bukhari no. 953.

[38] HR. Tirmidzi no. 542,  Ibnu Majah no. 1756 dan Ibnu Hibban no 2812, dishahihkan Syaikh Al-Albani.

[39] HR. Bukhari no. 986.

[40] QS. Al-Baqoroh: 185.

[41] QS. Al-Baqoroh: 203.

[42] HR. Al-Baihaqi 3/279 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahumallahu dalam al-irwa’ 3/123.

[43] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-mushonnafnya 2/165, Al-Baihaqi dalam sunannya 3/314, dan Al-Hakim dalam mustadroknya 1/300, lihat. Al-irwa’ Syaikh Al-Albani 3/125.

[44] Ringkasan dari fatwa Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala, lihat. Shahih fiqhis sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim 1/608-609.

Tulisan Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=260828011153535&id=100016790144202

Bolehkah Mengucapkan "Minal Aidin Wal Faidzin"?

Bolehkah Mengucapkan "Minal Aidin Wal Faidzin"?
Bolehkah Mengucapkan "Minal Aidin Wal Faidzin"?

*Bolehkah Mengucapkan “Minal Aaaidiin wal Faaiziin" ?*
التهنئة بالعيد

Ucapan Selamat Hari Raya

في سؤال للجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء بالمملكة العربية السعودية

Pertanyaan kepada Lajnah Daimah Lilbuhuts al-Ilmiyyah wal Ifta di Kerajaan Arab Saudi

بشأن ما تعارف الناس على ذبحه من المواشي في عيد الفطر؛ إظهارا للفرح، وتكريما لضيوفهم الذين يرِدِون عليهم، وكذا تزاورهم في العيد؛ صلة لأرحامهم، وإدخالا للسرور على جيرانهم وإخوانهم المسلمين

Tentang apa yang sudah dikenal oleh orang-orang untuk menyembelih binatang pada hari idul fithri; dalam rangka menampakan kegembiraan, dan memuliakan tamu yang datang pada mereka.

Demikian pula saling berkunjungnya mereka pada hari raya, sebagai bentuk silaturrahim, dalam rangka membahagiakan tetangga dan saudara sesama muslim.

(Baca Juga : Otopsi Mayat, Bolehkah?)

وتهنئتهم بعضهم البعض بهذه المناسبة بقولهم: «تقبل الله منا ومنكم» و«من العايدين والفائزين» و«عيدكم مبارك» ونحو ذلك من عبارات التهنئة

Serta ungkapan selamat mereka kepada sebagian yang lain pada kesempatan ini dengan ucapan:

“Taqobbalallahu Minnaa wa Minkum” dan “Minal Aaaidiin wal Faaiziin” dan ” ‘Iidukum Mubarak” atau ungkapan-ungkapan lain yang semisal.

لأنه ظهر من يقول: إن هذا كله من البدع، بل إنه يمتنع عن زيارة أقاربه ومعارفه واستقبالهم في العيد؛ لأنه يرى أنَّ كُلَّ ذلك من البدع، وقد طلب المذكور فتوى سماحتكم في ذلك مكتوبة حتى يعمل بها الجميع؟ فآمل التكرم بالاطلاع وإفتاء المذكور بما ترونه

Karena ada yang mengatakan:
Itu semua adalah Bid’ah, bahkan tidak boleh untuk berkunjung kepada kerabat dan handai taulan, atau menyambut kedatangannya; karena dia beranggapan bahwa hal itu semua adalah bid’ah. Dan meminta pendapat tentang hal itu secara tertulis, sehingga bisa diamalkan oleh semua. Dan aku berharap, bisa melihat permasalahan ini dan memberikan fatwa tentangnya.

(Baca Juga : Gara-Gara Lisan)

فأجابت اللجنة

Maka Lajnah menjawab:

لا بأس بذبح بعض الذبائح في عيد الفطر؛ إكراما للضيوف الذين يزورون مَن يذبح تلك الذبائح. لكن بقدر ما يكفي للزائر، مع عدم الإسراف والفخر في ذلك

Tidak mengapa menyembelih sembelihan pada hari idul fithri; dalam rangka memuliakan tamu yang berkunjung, bagi yang menyembelih sembelihan. Akan tetapi cukup untuk orang yang berkunjung, dan tidak berlebih²an, serta tidak dalam rangka berbangga-bangga dalam hal itu.

وأما تهنئة المسلمين بعضهم ببعض بالعيد -بمثل العبارات المذكورة في السؤال-: فإنه لا بأس بها؛ لما فيها من دعاء الأخ المسلم لأخيه بقبول العمل وطول العمر والسعادة، ولا محذور في ذلك

Adapun ucapan selamat kaum muslimin sebagian mereka kepada sebagian yang lain pada hari id -seperti ungkapan-ungkapan yang disebutkan pada pertanyaan- : Maka hal itu tidak mengapa; karena hal itu terdapat do'a seorang muslim untuk saudaranya agar diterima amalannya, panjang umur, dan kebahagiaan. Dan tidak terlarangan dalam hal itu.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم

Wabillahi at-Taufik, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

Al-Lajnah ad-Daimah Lilbuhuts al-’Ilmiyyah wal Ifta

صالح الفوزان … عبدالله بن غديان … عبدالعزيز آل الشيخ … عبدالعزيز بن عبدالله بن باز

Syaikh Shalih al-Fauzan
Syaikh Abdullah Ghadyan
Syaikh Abdul Aziz aalu asy-Syaikh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

[فتاوى اللجنة الدائمة، المجموعة الثانية (7/ 155-156)، الفتوى رقم (20673)]

Fataawa al-Lajnah ad-Daimah Majmu’ah:2, (7/155-166), fatwa no:20673.

جعلنا الله من العائدين التائبين المنيبين الملتجئين إليه الفائزين برضاه

Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang kembali dan bertaubat kepada Allah, serta menang mendapatkan ridha-Nya.

(Baca Juga : Jangan Sebut Kafir, Sebut Saja Non Muslim)

Disusun Oleh : Ustadz Fuad Hamzah Baraba', Lc

Telegram Channel: http://bit.ly/fuadhbaraba79

Tulisan Al-Ustadz Fuad Hamzah Baraba, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1472158486260209&substory_index=0&id=100003982154800