Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dan Ulama Ahlussunnah

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

AlQuranPedia.Org - Beliau adalah Abul Harits Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi. Beliau lahir di Kota Zarqa, negeri Yordania, 29 Jumadi Ats-Tsani 1380 Hijriyah (1960 Masehi). Beliau adalah ahli hadits, pentahqiq, pentakhrij hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berasal dari Yordania. Beliau termasuk murid yang paling dekat dengan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullaah. Beliau menemani Syaikh Al-Albani lebih dari 25 tahun. Banyak sekali sanjungan dan pujian yang diberikan Syaikh Al-Albani kepada Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Keduanya memiliki kedekatan yang sangat sekali. Sampai-Sampai disebutkan oleh Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Marzuq Al-Banna, "Syaikh Al-Albani adalah Ibnu Taimiyyah zaman ini, dan muridnya Syaikh Ali Hasan adalah Ibnul Qayyim zaman ini."

Pada tulisan kali ini kita akan sedikit berbagi mengenai dokumentasi dari Asy-Syaikh Al-Muhaddits Ali Hasan Al-Halabi bersama para ulama lainnya. Simak di bawah ini.

 Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr

 Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Para Ulama Lainnya
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Para Ulama Lainnya

 Dari Kiri : Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dan Syaikh Akram Ziyadah
Dari Kiri : Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dan Syaikh Akram Ziyadah

 Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh Ali Adam Al-Itsyubi (Ethiopia)
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh Ali Adam Al-Itsyubi (Ethiopia)

 Dari Kiri : Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Syaikh Sa'ad bin Nashir Asy-Syatsri, dan Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman
Dari Kiri : Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Syaikh Sa'ad bin Nashir Asy-Syatsri, dan Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Shalih Alu Syaikh
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Shalih Alu Syaikh

 Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dengan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily

 Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh 'Abdul Muhsin Al-'Abbad Al-Badr (Ahli Hadits Madinah)
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama Syaikh 'Abdul Muhsin Al-'Abbad Al-Badr (Ahli Hadits Madinah)

Itulah dokumentasi ataupun foto-foto dari Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bersama para ulama lainnya. Semoga Allah menjaga beliau dan seluruh para ulama ahlussunnah di mana saja mereka berada. Semoga Allah jaga mereka dari makar dan fitnah yang berusaha menyerang mereka.

Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 9 Dzulqa'idah 1441 Hijriyah/30 Juni 2020 Masehi.

Nasehat Syaikh ‘Utsaimin Untuk Menghafal Matan

Nasehat Syaikh ‘Utsaimin Untuk Menghafal Matan
Nasehat Syaikh ‘Utsaimin Untuk Menghafal Matan

AlQuranPedia.Org – Matan-matan ilmiyyah merupakan bagian daripada ilmu yang telah diwariskan oleh para ulama kita sejak dahulu. Mutun atau matan-matan ilmiyyah ini bisa berupa matan kitab aqidah, kitab fiqih, kitab hadits bahkan kitab lughoh. Kita melihat bahwa menghafal matan adalah tradisi dari para ulama kita, menghafalnya mengokohkan pondasi ilmu kita dan meremehkannya adalah peremehan terhadap ilmu. Dengan menghafal, kita akan lebih mudah memahami kitab-kitab ulama, kalam ulama dan untaian-untaian hikmah dari para ahli ilmu. Sehingga dengan itu kita pun dapat mengamalkan ilmu secara maksimal.


Pertanyaan diajukan kepada Faqihuz Zaman, Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah : Penuntut ilmu pemula mungkin mengalami kesulitan untuk menghafal, maka apa nasihat Anda mengenai itu?

Jawaban : Na’am, menurutku penuntut ilmu pemula hendaknya antusias menghafal matan karena sebagaimana aku katakan masa muda tidak akan lupa (mudah untuk menghafal). Menghafal matan adalah ilmu. Dan jangan perhatikan ucapan orang yang berkata, “Ilmu adalah pemahaman”. Ini kekeliruan! Karena tidaklah Allah memberi kita manfaat melainkan dengan apa yang pernah kita hafal di masa muda sehingga kita bisa menyebutkan ungkapan-ungkapan yang dulu pernah kita hafal. Oleh karena itu engau akan dapati orang-orang yang hanya bersandar dengan pemahaman, tidak memiliki ilmu. Sungguh terjadi, karena mereka tidak bersandar pada apapun. (selesai dari rekaman tanya jawab beliau).

Nasehat yang sangat agung ini hendaknya diperhatikan oleh kita kaum muslimin. Jangan sampai kita terperdaya dengan ucapan sebagian orang yang mengatakan “tidak penting menghafal, yang penting faham”. Hendaknya kita mengatakan “menghafal itu penting, dan pemahaman juga penting”. Dengan menghafal ilmu itu akan lebih membekas, lebih kekal dan lebih mudah difahami. Dan sekali lagi ini merupakan kebiasaannya para ulama kita, dari sejak dahulu hingga sekarang. Kita lihat bagaimana kokohnya ilmu mereka disertai hafalan yang luar biasa. Kita lihat ada Imam Bukhari yang hafal ratusan ribu hadits, ada Imam Ahmad yang hafal satu juta hadits, ada Imam Syafi’i yang hafal Muwatho’ Imam Malik sedari kecil. Untuk zaman sekarang ada Syaikh Dr. Amir Bahjat (beliau keturunan dari Syaikh Ahmad Al-Minangkabawi), kemudian ada Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi dan banyak lagi ulama-ulama lainnya. Mereka semua memiliki perhatian dalam menghafal ilmu, baik itu Al-Quran, Hadits maupun matan-matan ilmiyyah.

Tetapi ada baiknya untuk memprioritaskan menghafal Al-Quran terlebih dahulu, karena inilah metode para ulama kita yang diwariskan kepada hingga sekarang. Dan ini pulalah yang dinasehatkan oleh para ulama kita. Hampir-hampir tidak ada ulama yang tidak hafal Al-Quran 30 juz. Karena Al-Quran adalah sumber utama ilmu, di mana tidak ada yang dapat menyainginya dari perkataan siapapun.


Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah mengatakan, “Hendaklah (penuntut ilmu) memulai dengan Kitabullaahil `Aziiz, menghafalkannya dengan mutqin (betul-betul matang), bersungguh-sungguh memahami tafsirnya, dan semua ilmunya (ilmu Al-Quran). Karena,  Al-Quran adalah pokok ilmu, induknya, dan yang paling penting”. (Kitab Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim hal. 167-168)

Setelah menghafal Al-Quran, memutqinkannya, benar-benar menguasainya, lalu silahkan menghafal hadits-hadits ataupun matan-matan ilmiyyah dari karangan para ulama kita. Semoga Allah menganugerahkan kita semangat untuk menghafal ilmu, terutama dalam menghafal Al-Quran dan kitab-kitab para ulama. Semoga bahasan sederhana ini bermanfaat.

Diselesaikan pada 26 Syawwal 1441 Hijriyah/18 Juni 2020 Masehi.

Tentang Sebutan Jamaah Tahdzir

Tentang Sebutan Jamaah Tahdzir
Tentang Sebutan Jamaah Tahdzir

AlQuranPedia.Org – Penulis pernah mendapat ceramah dari seorang ustadz hafidzhahullah bahwa beliau mengatakan penamaan Jamaah Tahdzir itu tidak diperbolehkan dengan beberapa sebab yang beliau utarakan. Perlu diketahui Jamaah Tahdzir adalah penamaan yang diberikan kepada mereka yang ghuluw terhadap tahdzir, di mana tahdzir-tahdzir mereka banyak sekali tidak dibangun di atas hujjah yang kuat dan ilmiyyah. Kalau pun mereka mempunyai hujjah maka hujjah tersebut lemah dan dapat dijawab secara ilmiyyah. Tahdzir yang mereka dengung-dengungkan pun banyak mengenai permasalahan khilaf ulama. Misalnya dalam perkara foto, video, suatu yayasan, seorang ulama dan perkara lainnya. Padahal ini ranah khilaf.

Betul ada ulama yang keras dengan keharaman foto seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Muhammad Al-Imam, banyak masyaikh Yaman serta masyaikh lainnya hafidzhahumullah. Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bolehnya foto dengan menjelaskan bahwa tashwir berbeda dengan foto. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turki Al-Khutslan hafidzhahullah.


Sama halnya dengan dakwah melalui video ataupun sejenisnya. Ada sebagian ulama yang memilih berdakwah tidak dengan video seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi, Syaikh Abdul Karim Al-Khudair dan lainnya. Bahkan seperti Syaikh Rabi’ cukup keras dalam masalah ini. Tetapi sebagian ulama bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit berdakwah dengan video seperti Syaikh Shalih As-Suhaimy, Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri, Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily, Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr, dan lainnya. Bahkan meskipun Syaikh Shalih Al-Fauzan didapati fatwa tidak memperbolehkan dakwah melalui video akan tetapi didapati banyak kita jumpai video ceramah beliau baik di internet, youtube atau lainnya. Dan itu bukan hanya video siaran langsung saja, tetapi ada yang seperti video rekaman di suatu studio dan direncanakan, dan beliau insya Allah sadar akan hal ini.

Kita melihat meskipun mereka para ulama berbeda pendapat, tetapi tidak pernah kita dapati di antara mereka saling mencela, melabeli dengan laqob-laqob yang buruk, bahkan sampai mentahdzir dan mengeluarkannya dari ahlussunnah. Ini berbeda dengan mereka “Jamaah Tahdzir” yang mana mereka tidak segan-segan mentahdzir dan mentabdi’ bagi yang tidak sependapat dengan mereka, padahal banyak di antaranya dikarenakan perkara khilafiyyah. Siapakah yang mereka ikuti? Ulama mana yang mereka ikuti dalam hal ini? Syaikh Rabi’, Syaikh Abdullah Bukhari, Syaikh Muhammad Bazmul? Sepertinya tidak. Allahul Musta’an. Lalu mengenai laqob Jamaah Tahdzir ada sedikit faidah yang penulis dapat dari Al-Ustadz Muhammad Alif hafidzhahullah.

Pertanyaan ditanyakan kepada Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah:
“Kalau jamaah tahdzir apa ada pengistilahannya dari ulama ya ustadziy? Atau ada ulama yang mendahului laqob tersebut? Sebab bagi sebagian besar dari mereka yang ‘merah jambu’ lebih sering menggunakan laqob ini untuk melabeli orang-orang yang mentahdzir mereka dari pemikiran-pemikiran Hasan Al-Banna ataupun Sayyid Qutub. Bahkan terkadang mereka memberi istilah lain kepada jamaah tahdzir dengan laqob “madkholiyyun”. Agar tidak terjadi kekeliruan di kalangan ikhwah salafiyyin tentang istilah jamaah tahdzir.”


Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah menjawab:
1. Sebagian masyayikh biasa menyebut orang-orang yang melampui batas/serampangan dalam mentahdzir saudara mereka dari kalangan salafiyyin dengan sebutan "Ghulatu Haddadiyah atau Atba' Haddadiyah". Maka sebutan jamaah ghulatu tajrih, tahdzir wa tabdi' terhadap mereka yang serampangan dalam mentahdzir salafiyyin adalah boleh dan juga dibenarkan oleh sebagian masyayikh, bahkan ini lebih ringan dari pada sebutan "Ghulatu haddadiyah".

Sebagaimana mereka mengelari saudara-saudara mereka salafiyyin lainnya yang tidak sepakat dengan suatu fatwa/permasalahan dengan mereka disebut dengan mumayyi'ah atau jamaah tamyi'.

2. Kadang suatu ungkapan bisa saja di pakai ahlis sunnah untuk mereka yang menyimpang, tetapi juga kadang dipakai oleh ahlul bida'/orang yang menyimpang terhadap salafiyyin. Maka:

العبرة بالحقائق لا بالمسميات

Seperti ungkapan jamaah tahdzir, tajrih wa tabdi' kadang dipakai oleh harokiyun/"merah jambu " untuk mengelari salafiyin yang membantah kelompok mereka dan tokoh-tokoh mereka yang menyimpang. Atau gelar Murji’ah disematkan oleh takfiriyin kepada salafiyyin. Padahal laqob Murji’ah juga dipakai para ulama untuk menggelari mereka  yang menafikan amalan daripada iman.

3. Adapun laqob madkhaliyun/madakhilah maka ini telah dibantah para ulama, tidak benar. bahkan Syaikh Rabi' hafidzahullah sendiri berlepas diri dari gelar tersebut.

4. Kita sepakat dalam menyikapi harokiyyin/ahlul bida' yang jelas-jelas penyimpangan mereka di luar Manhaj Salaf, tetapi yang jadi masalah adalah sikap sebagian dari salafiyyin kepada salafiyyin lainnya yang berselisih dalam perkara-perkara ijtihadi kemudian disikapi seperti mensikapi harokiyyin/ahlul bida'. Ini yang menimbulkan tahdzir, tajrih, tabdi' serampangn, apalagi tidak dibangun diatas ilmu dan adab khilaf.
(selesai jawaban al-ustadz)

Kemudian Ustadz Muhammad Alif hafidzhahullah menambahkan, “Meskipun mereka mentahdzir dan membid’ahkan kita, tetapi kita tetap menganggap mereka saudara-saudara kita ahlis sunnah tetapi memiliki sikap ghuluw dalam bab ini.”


Semoga faidah ringkas ini bermanfaat.

Diselesaikan pada 26 Syawwal 1441 Hijriyah/18 Juni 2020 Masehi.

Ada Apa Dengan Gunung Tihamah?

Ada Apa Dengan Gunung Tihamah?
Ada Apa Dengan Gunung Tihamah?

AlQuranPedia.Org – Gunung Tihamah adalah salah satu gunung yang terletak di negeri Yaman. Gunung Tihamah ini adalah gunung yang tinggi dan besar. Gunung ini disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salah satu haditsnya yang mulia.

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا »

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan sanad hadits ini hasan)

Hadits yang mulia ini menyebutkan tentang seseorang yang bermaksiat di kala sepi. Sungguh dahsyat sekali dampak yang didapat bagi kita yang berani memaksiati Allah di kala sendirian, di saat tidak ada seorang pun yang bersamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkannya seperti orang yang berbuat amal sangat banyak seperti besarnya gunung Tihamah lalu Allah jadikan amal tersebut seperti debu yang bertebaran.

(Baca Juga : Hari H nya Kiamat)

Mungkin timbul di benak kita kenapa kok bisa seperti itu, amal yang susah payah kita kerjakan malah dijadikan debu yang bertebaran. Jawabannya sederhana, karena ketika itu kita menganggap Allah lebih rendah dari manusia, lebih rendah dari siapapun. Kita takut manusia melihat dosa yang kita lakukan di kala sepi, entah itu melihat yang haram, mendengar yang haram ataupun melakukan yang haram. Kita takut bila kita ketahuan melakukan maksiat. Sehingga kita pun menutup pintu kamar kita rapat-rapat. Bila kita melihat yang haram dengan handphone kita di kamar kita, lalu seseorang tiba-tiba masuk ke kamar kita, maka kita pun bersegera mematikan handphone kita, mengganti tampilannya dan menutup rapat-rapat apa yang telah kita lihat.

Kita seolah-olah mengecilkan Allah Yang Maha Besar, mengabaikan Allah Yang Maha Melihat dan Mengetahui. Ketika kita bermaksiat, kita takut manusia melihat kita, tetapi kenapa kita tidak takut kepada Allah? Padahal Allah adalah satu-satunya Dzat yang paling berhak kita takuti. Kita tahu Allah Maha Melihat,  tetapi kenapa kita seolah beranggapan Allah tidak Melihat kita? Takutlah kita kepada Allah wahai saudaraku...

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. An-Nisaa’: 108).

Tidak takutkah kita kepada Allah? Tidak takutkah kita kepada adzab Allah yang pedih? Tidak takutkah kita amal sholat, puasa, baca Al-Quran, sedekah yang selama ini kita kerjakan dijadikan Allah debu yang beterbangan? Tidak takutkah kita bila tiba-tiba malaikat maut mencabut nyawa kita? Ingat bahwa malaikat maut itu mencabut nyawa tidak pandang bulu. Kapan saja, siapa saja, di mana saja, malaikat maut bisa mencabut nyawa kita seketika itu juga.

Betul, maksiat itu lezat, nikmat dan enak. Tetapi itu hanya bersifat sementara. Setelah itu penyesalan dan penyesalan. Ingatlah bahwa maksiat akan mengundang teman-temannya. Sekali kita melakukannya maka kita akan tergoda melakukannya terus-menerus. Sulit untuk keluar dari kubangan dosa dan maksiat, apalagi bila itu mendarah daging. Karena setiap satu dosa yang kita lakukan, itu akan menimbulkan noda di hati kita. Itu akan terus bertambah dan bertambah seiring bertambahnya dosa yang kita lakukan. Semakin banyak noda maka akan semakin sulit untuk bersihnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan)


Memang di zaman ini sangat mudah sekali bermaksiat di kala sendiri. Cukup menggerakkan jari kita untuk mengetik lalu keluarlah apa-apa yang diharamkan Allah Jalla Jalaluh. Jangan beranggapan tidak apa bermaksiat sekali lalu bertaubat. Wahai saudaraku, apakah ada jaminan kita masih hidup setelah bermaksiat kepada Allah? Tidak ada. Malaikat maut tidak menunggu kita sudah bertaubat atau belum. Tidakkah kita membaca hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kelak kita akan berdiri di hadapan Allah dan dihisab?

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Maka bertaubatlah kita kepada Allah. Takutlah kita kepada Allah. Sudahi maksiat-maksiat yang pernah kita kerjakan. Semua yang pernah kita kerjakan kelak akan dihisab oleh Allah Ta’ala, termasuk mata, tangan, bahkan handphone kita kelak akan dihisab. Jangan sampai kita kelak termasuk ke dalam firman Allah di bawah ini.

حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (20) وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (21) وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلا أَبْصَارُكُمْ وَلا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ (22)

Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan." Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Fushshilat : 20-22)


Penulis teringat pesan di salah satu ceramah Al-Ustadz Ahmad Zainuddin Al-Banjary, Lc hafidzhahullah. Beliau mengatakan, “Ingat 2 ayat ini sebelum anda bermaksiat, dan keduanya ada di surah Al-‘Alaq” Lalu beliau membacakan Surah Al-‘Alaq ayat 8 dan ayat 14.

إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلرُّجْعَىٰٓ
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). (Q.S. Al-‘Alaq : 8)

أَلَمْ يَعْلَم بِأَنَّ ٱللَّهَ يَرَىٰ
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (Q.S. Al-‘Alaq : 14)

Ini adalah faidah yang sangat besar sekali yang diberikan oleh Ustadz Ahmad Zainuddin hafidzhahullah. Ayat ke 8 seakan-akan menjelaskan bahwa kita kelak akan dikembalikan kepada Allah, tidakkah kita mengetahui itu? Kita kelak akan dikembalikan lalu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa-apa yang sudah kita kerjakan semasa hidup di dunia. Kita akan dihisab, maksiat-maksiat kita kelak akan ditimbang. Kemudian ayat 14 seolah-olah ingin menyampaikan bahwa Allah itu melihat kita, termasuk maksiat kita, apakah kita tidak malu, apakah kita tidak takut kepada Allah? Lantas apakah kita masih mau bermaksiat setelah mengetahui kedua ayat ini?

Sebagai penutup mari kita renungi firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di bawah ini.

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. Al-Jumu’ah : 8)

Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 17 Syawwal 1441 Hijriyah/8 Juni 2020 Masehi.

Jadilah Muslim yang Produktif

Jadilah Muslim yang Produktif
Jadilah Muslim yang Produktif
AlQuranPedia.Org – Sesungguhnya Allah Jalla Wa ‘Ala telah memberikan waktu bagi setiap manusia sama banyaknya, yaitu 24 jam. Perlu diketahui bahwa setiap detik dari 24 jam yang kita lalui setiap harinya kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan sampai kita mengira bahwa setelah kita mati, sudah selesai, tidak ada apa-apa lagi. Justru setelah kita mati itulah babak yang menakutkan dan mengerikan bagi setiap hamba. Karena kita akan melewati fase-fase hisab dan mizan, di mana semua jiwa raga waktu kita seluruhnya akan ditanyai oleh Robbul ‘Alamin.

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ketika kita sudah mengetahui bahwa kelak akan ada hisab tentang waktu kita maka sudah seharusnya kita menggunakannya sebaik-baiknya, khususnya bagi kita yang masih muda, di mana indera-indera kita, kemampuan kita, fisik dan jasmani kita masih jauh lebih kuat dan lebih segar dibanding yang sudah berusia tua. Hendaknya kita isi waktu kita, 24 jam dari waktu kita untuk hal-hal yang bermanfaat baik itu untuk dunia dan akhirat kita. Tentu saja yang lebih diutamakan adalah perihal akhirat agar memperberat timbangan amal sholih kita. Ketahuilah bahwa di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Pilihannya hanya ada dua, bila seseorang tidak mengerjakan perkara yang bermanfaat, maka dia akan terjatuh pada perkara yang tidak bermanfaat. Bila waktu tidak diisi dengan kebaikan, maka waktu akan diisi dengan hal keburukan atau setidaknya hal yang sia-sia.

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ

Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil.” [Al Jawabul Kaafi hal. 156, Darul Ma’rifah, cet. pertama, Asy-Syamilah]

Dengan kata lain, Islam mengajarkan kita untuk menjadi muslim yang produktif, muslim yang mengisi waktu demi waktunya dengan kebaikan dan amal sholih, bukan dengan hal yang sia-sia seperti bermain game atau bermain hp yang tidak bermanfaat. Di antara kegiatan produktif yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Menghafal Al-Quran, yaitu dapat dijadwalkan untuk hafalan per hari atau rutinnya berapa banyak. Sebagaimana nasehat Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzhahullah bahwa bila setiap hari kita menghafal 1 ayat maka dalam jangka 15 tahun kita sudah bisa hafal 30 juz. Bayangkan saja bila kita perhari menghafal 2 ayat atau bahkan 10 ayat maka kita bisa menghafal Al-Quran 30 juz dalam jangka waktu lebih singkat. Ingatlah bahwa keutamaan menghafal Al-Quran sangatlah besar, di antaranya dapat memberikan mahkota dan pakaian kemuliaan bagi kedua orangtua di surga, dapat menaiki derajat surga lebih tinggi, bersama malaikat-malaikat Allah yang mulia, dan termasuk keluarga Allah di dunia.

Dari 'Abdullah bin 'Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

Ditawarkan kepada Penghafal al-Quran, “Baca dan naiklah ke tingkat berikutnya. Baca dengan tartil sebagaimana dulu kamu mentartilkan al-Quran ketika di dunia. Karena kedudukanmu di surga setingkat dengan banyaknya ayat yang kamu hafal.” (HR. Abu Daud 1466, Tirmidzi 3162 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

2. Menghafal Hadits, ini juga tidak kalah pentingnya karena keutamaan yang besar yang dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih lagi ini merupakan kebiasaan kaum salaf terdahulu, mereka menghafal Al-Quran dan hadits-hadits sedari kecil, misalnya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, menghafal Al-Quran di waktu 7 tahun dan menghafal kitab Muwatho’ Imam Malik saat berusia 10 tahun. Padahal Muwatho’ berisi ribuan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita bisa memulai menghafal hadits yang ringan-ringan seperti Arba’in An-Nawawi, Arba’in Abu Unaisah (karangan Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat), lalu naik ke Umdatul Ahkam, lalu Bulughul Maram, Riyadush Sholihin, kemudian boleh bagi kita memulai menghadap kitab hadits yang 9, dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ad-Darimi, Musnad Imam Ahmad dan Muwatho’ Imam Malik. Dan sebenarnya masih banyak lagi kitab-kitab hadits yang lain tetapi itu adalah secara umum yang cukup dikenal. Dapat kita jadwalkan dalam satu pekan untuk menghafal hadits-hadits ringan yang terdapat di Arba’in Nawawi dan seterusnya. Kalau merasa berat untuk menghafal sanad dan rawi-rawinya, maka bisa dihafalkan matannya saja. Hal yang terpenting kita memiliki jadwal hafalan hadits harian lalu mengamalkannya agar hafalan tersebut semakin hidup.

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ

Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya -dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya-, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya.” (HR. Abu Dawud (no. 3660), At-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), Ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), Ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul Kabiir” (no. 4890) dan lainnya, hadits shahih dan mutawatir)


3. Membaca kitab/buku bermanfaat, alhamdulillaah sudah banyak sekali kitab/buku bermanfaat saat ini, mudah ditemukan, terjangkau harganya, bahkan versi terjemahannya sudah banyak. Ustadz-Ustadz kita juga banyak yang produktif menulis buku seperti Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Ustadz Firanda Andirja, Ustadz Abu Umar Basyir, dan lain-lain. Hendaknya setiap muslim memiliki jadwal membaca buku harian, kalau nasehat Ustadz Yazid setidaknya 4 jam dalam sehari digunakan untuk membaca buku bermanfaat. Buku yang bermanfaat di sini dimaksudkan adalah buku agama, bukan novel atau buku fiksi lainnya yang tidak menambah keimanan kepada Allah Ta’ala.

4. Membaca Al-Quran, sebagaimana yang kita ketahui bahwa membaca Al-Quran memiliki keutamaan yang sangat besar sekali. Satu-satunya buku/kitab yang mana bila dibaca per hurufnya akan mendapatkan pahala. Maka hendaknya setiap muslim memiliki kadar membaca Al-Quran harian yang senantiasa ia jaga. Setidaknya satu halaman untuk satu hari itu sudah sangat minimal sekali. Kalau bisa tentu saja sekian halaman atau 1 juz dalam satu hari, atau bahkan lebih daripada itu. Jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk menimbun pahala kebaikan kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh. Aku tidak mengatakan ‘alif laam miim’ itu satu huruf, akan tetapi, Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi no. 2915. Dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani).

5. Menulis sesuatu yang bermanfaat, sesungguhnya kemudahan teknologi yang saat ini kita rasakan jangan sampai kita sia-siakan terlewat begitu saja. Kita memiliki smartphone ataupun laptop dalam berbagai merk yang dapat dimanfaatkan untuk menulis sesuatu kemudian dibagikan kepada kaum muslimin. Kita mungkin memiliki media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Itu bisa kita maksimalkan sebagai gudang simpanan pahala kita. Jadwalkan setidaknya satu pekan sekali untuk membagikan sesuatu yang bermanfaat. Kita bisa copy paste dari artikel ataupun postingan ustadz-ustadz kita yang tersebar di google maupun media sosial mereka masing-masing. Jangan lupa mencantumkan sumbernya agar tulisan lebih terpercaya dan tentu saja itu merupakan salah satu adab yang mulia.

Dari 'Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

6. Menonton kajian agama, alhamdulillaah ceramah ustadz-ustadz kita banyak sekali tersebar di internet terutama Youtube. Ada kajian pendek, kajian tematik bahkan kajian rutin kitab juga ada. Maka ini bisa kita maksimalkan dengan semaksimal mungkin. Kita dapat menjadwalkan setidaknya satu pekan untuk menonton satu ceramah full atau mendengarkan ceramah-ceramah pendek dalam satu hari. Selain ini menambah ilmu agama kita, hal ini juga dapat membantu kita untuk istiqomah di atas sunnah dan tentu saja menumbuhkan kebiasaan baik bagi diri kita. Jangan lupa ketika menonton kajian untuk mencatat faidah-faidah sehingga akan lebih kekal dan sewaktu-waktu dapat diulang pelajari kembali.


Itulah kegiatan-kegiatan yang dapat menjadikan kita produktif sebagai seorang muslim. Dan ingatlah bahwa setiap detik kelak akan dihisab Allah sehingga kita haruslah memaksimalkan untuk mengisi waktu kita dengan amal sholih ataupun perkara bermanfaat keduniaan lainnya. Kalau nasehat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah maka berlelah-lelahlah kita sekarang di dunia agar nanti bisa menikmati hasilnya di akhirat.

سئل الإمام أحمد بن حنبل : متى الراحة يا إمام ؟ فأجاب : عند أول قدم تضعها في الجنة

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya: “Wahai imam, kapankah waktu istirahat itu?” Beliau jawab: “(Istirahat yg sesungguhnya ialah) pada saat engkau pertama kali menginjakkan kakimu di dalam Surga.”

Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 15 Syawwal 1441 Hijriyah/7 Juni 2020 Masehi.

13 Ayat Al-Quran Tentang Makar

13 Ayat Al-Quran Tentang Makar
13 Ayat Al-Quran Tentang Makar

AlQuranPedia.Org – Di dalam Al-Quranul Karim sering kali Allah Subhanahu Wa Ta’ala sering menyebutkan “mereka telah membuat makar”, “Allah pun membuat makar terhadap mereka”, “Allah sebaik-baik Pembuat Makar”, dan lain-lainnya. Makar ini istilah lainnya adalah tipu daya. Jadi sering kali Allah Jalla Dzikruhu menyebutkan tentang tipu daya-tipu daya orang-orang kafir. Mereka tidak tahu bahwa tipu daya mereka tidak akan berhasil karena Allah Ta’ala tahu tentang tipu daya yang mereka lakukan. Dan Allah Ta’ala tidak akan tinggal diam terhadap tipu daya yang dilakukan orang-orang kafir.


Pada tulisan kali ini akan disebutkan tentang ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan tentang makar ataupun tipu daya. Simak selengkapnya di bawah ini.

1
Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. (Q.S. Al-An’aam : 123)

2
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya. (Q.S. Al-An’aam : 124)

3
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (Q.S. Al-Anfaal : 30)

4
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Q.S. Ali ‘Imran : 54)

5
Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: "Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu." Atau apakah kamu hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi, atau kamu mengatakan (tentang hal itu) sekadar perkataan pada lahirnya saja. Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorangpun yang akan memberi petunjuk. (Q.S. Ar-Ra’d : 33)


6
Dan sungguh orang-orang kafir yang sebelum mereka (kafir Mekah) telah mengadakan tipu daya, tetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri, dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik) itu. (Q.S. Ar-Ra’d : 42)

7
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "(Tidak) sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Saba’ : 33)

8
mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. (Q.S. Al-Anbiyaa’ : 70)

9
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. (Q.S. An-Nahl : 26)

10
maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, (Q.S. An-Nahl : 45)

11
Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (Q.S. An-Naml : 50)

12
Maka perhatikanlah betapa sesungguhnya akibat makar mereka itu, bahwasanya Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya. (Q.S. An-Naml : 51)

13
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. (Q.S. Ibrahim : 46)


Itulah berbagai ayat Al-Quran yang membicarakan tentang makar/tipu daya. Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semoga bermanfaat.

Diselesaikan pada 5 Ramadhan 1441 Hijriyah/28 April 2020 Masehi.

Hari H nya Kiamat

Hari H nya Kiamat
Hari H nya Kiamat
   Allah Ta'ala berfirman: "Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang hari Kiamat kapankah terjadinya? Katakanlah sesungguhnya ilmunya hanyalah di sisi Rabb ku, Dia tidak memberitahukan waktunya kecuali hanya Dia (yang mengetahuinya)..."(QS Al-A'raf: 187).

   Dalam ayat ini firmankan bahwa ilmu tentang kapan hari kiamat hanya Dia yang mengetahuinya dan Allah nyatakan ini dengan 'adaat hashr':
إنما علمها...
yang huruf ini yang menunjukkan pembatasan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui waktunya.

(Baca Juga : 21 Ayat Al-Quran Tentang Kiamat)

   "Hashr" dalam Bahasa Arab memang bisa bermakna dua:
1. Hashr mutlaq yakni memang betul membatasi menetapkan apa yang dimaktubkan dalam teks dalil serta menafikannya di luar itu, seperti ilmu tentang kapan hari kiamat.
2. Hashr takhshish yakni apa yang ditetapkan merupakan hal khusus bagi apa yang telah dimaktubkan namun tidak menutup kemungkinan masih ada person atau hal yang yang bersekutu dalam hal khusus tersebut, seperti tugas Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai pemberi peringatan dalam ayat:

إنما أنا منذِرٌ
"Sesungguhnya aku hanya pemberi peringatan" namun ternyata dalam dalil-dalil lain tugas Nabi صلى الله عليه وسلم bukan hanya sebagai "pemberi peringatan".

   Back to the laptop, dalam kasus 'ilmu tentang kapan kiamat' Allah nyatakan pembatasan ilmu tentang hari kiamat bukan hanya sekali dalam ayat ini, melainkan 3 kali, yakni dalam bagian:

لا يُجليها لوقتها إلا هو...
Huruf لا dengan إلا juga menunjukkan "hashr" = pembatasan, dan lagi-lagi di penghujungnya Allah tekankan semakna dengan ini :

قُل إنما علمها عند الله...
"Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa ilmunya di sisi Allah...." Allah kembali menggunakan huruf إنما yang menunjukkan pembatasan. Dan kumpulan penegasan seperti ini menunjukkan bahwa "hashr" yang diinginkan disini adalah "hashr mutlaq" yakni memang benar-benar hanya Allah saja yang mengetahui pasti kapan tanggal hari Kiamat, waktunya, pagi atau sorekah, beserta detiknya, hanya Allah saja.

(Baca Juga : 4 Saksi Kita Pada Hari Kiamat)

   Dan Allah pun tegaskan dalam ayat ini:

لا تأتيكم إلا بغتةً...
"Tidaklah kiamat itu datang kepada kalian kecuali dengan tiba-tiba...", kalau sudah ada 'panitia' kasih tau tanggal datangnya maka sudah jelas itu bukanlah hari kiamat yang Allah nyatakan "tiba-tiba".

   Bukan hanya ayat Qur'an bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan Nabi terbaik dan Jibril yang merupakan Malaikat terbaik tidak mengetahui pasti kapan hari Kiamat, berdasarkan hadits Shahih Muslim yang dimasukkan oleh Imam An-Nawawiy dalam Arba'in nya:

متى الساعة؟ قال ما المسؤول عنها بأعلم من السائل...

(Jibril bertanya): "Kapan hari kiamat? Nabi صلى الله عليه وسلم jawab:" Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya" (HR Muslim), jawaban Nabi صلى الله عليه وسلم menafikan ilmu tentang kapan pastinya hari kiamat.

   Allah telah tegaskan berulang bahwa hanya Dia yang mengetahuinya dan Nabi صلى الله عليه وسلم dengan Jibril عليه السلام yang merupakan dua makhluk terbaik di kalangan malaikat dan manusia saja tidak mengetahuinya.

   Namun sayangnya masih banyak kaum muslimin yang rela dibodohi dengan pernyataan : "Kiamat tanggal sekian.... Ramadhan tahun ini... atau pernyataan serupa...eh terus ada klarifikasi lagi... nanti tahun depan ribut lagi...menjelang hari H klarifikasi lagi... terus aja begitu sampe lebaran monyet.

(Baca Juga : Benarkah Kiamat Sudah Dekat?)

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1300380543505131&id=100005995935102

Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan

Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan
Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan
Lemahnya Hadits "Shalat Malam Menjauhkan Penyakit dari Badan"

 بسم الله الرحمن الرحيم

Lafaz hadits:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ

 "Hendaknya kalian melakukan shalat malam, karena shalat malam adalah hidangan orang-orang shalih sebelum kalian, dan sesungguhnya shalat malam mendekatkan kepada Allah, serta menghalangi dari dosa, menghapus kesalahan, dan menolak penyakit dari badan."

✅Hadits ini dikeluarkan oleh: At-Tirmidzi (3459), Ibnu Abid-Dunya dalam At-Tahajjud (1 & 2), Ar-Ruyani (745), Asy-Syasyi dalam Al-Musnad (978), Ibnu Syahin dalam At-Targhib (557), dan Al-Baihaqi (2/502), Dari jalan Abun-Nadhr Hasyim ibnul-Qasim Al-Baghdadi,
 dari Bakr bin Khunais,
dari Muhammad Al-Qurasyi, dari Rabi'ah bin Yazid,
dari Abu Idris Al-Khaulani,
 dari Bilal radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini dengan jalan di atas adalah Matruh (sangat lemah dan tidak bisa dikuatkan sama sekali), bahkan bisa dihukumi Maudhu (palsu) karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad Al-Qurasyi yaitu Muhammad bin Sa'id Asy-Syami Al-Maslub, matrukul-hadits (ditinggalkan haditsnya), bahkan sebagian ulama memvonis kadzzab (tukang dusta) dan pemalsu hadits. (Lihat Tahdzibul-Kamal:25/264, beserta ta'liqnya. Cetakan Ar-Risalah)

(Baca Juga : Bahaya Syirik dan Keutamaan Tauhid)

Al-Hafidz At-Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits di atas, beliau berkata:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﻏﺮﻳﺐ ﻻ ﻧﻌﺮﻓﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﻼﻝ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬا اﻟﻮﺟﻪ، ولا يصح ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ، ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻳﻘﻮﻝ: ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻘﺮﺷﻲ ﻫﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺸﺎﻣﻲ ﻭﻫﻮ اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﻴﺲ ﻭﻫﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺴﺎﻥ ﻭﻗﺪ ﺗﺮﻙ ﺣﺪﻳﺜﻪ،
Hadits ini gharib, kami tidak ketahui dari hadits Bilal kecuali dari jalan ini, dan sanadnya tidak shahih. Saya mendengar Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari) berkata: Muhammad Al-Qurasyi adalah Muhammad bin Sa'id Asy-Syami, yaitu Ibnu Abi Qais, (dikenal juga) dengan Muhammad bin Hassan, haditsnya telah ditinggakan.

✳Hadits ini juga memiliki jalan lain selain dari Muhammad Al-Maslub: 1.Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (2/502), dan Asy-Syu'ab (2823), dari jalan Abu Abdillah Khalid bin Abi Khalid,
dari Yazid bin Rabi'ah,
 dari Abu Idris Al-Khaulani,
dari Bilal.

 Sanad ini sangat lemah: -Abu Abdillah Khalid bin Abi Khalid, penulis belum temukan biografinya.
-Yazid bin Rabi'ah, yaitu Abu Kamil Ar-Rahabi Ad-Dimasyqi. Kesimpulan hukum tentang beliau: dhaif jiddan (sangat lemah). (Lihat Biografinya: Al-Mizan:4/422, Tarikh Al-Islam:4/546, Al-Jarh wa Ta'dil:9/261, Mausu'ah Aqwal Ad-Daraqutni fi Rijalil-hadits: 2/719, Al-Majruhin Libni Hibban: 3/104, dan lainnya)
-ditambah dengan status riwayat Abu Idris Al-Khaulani dari Bilal, sebagian ulama menghukumi mursal. (Tuhfatut-Tahsil:167)

2.dikeluarkan oleh Ibnul-A'rabi dalam Mu'jamnya (1022),
dari Ibrahim,
dari Mukhtar,
dari Muhammad bin Ismail Az-Zubaidi,
dari Manshur,
dari Muhammad bin Sa'id,
dari Bilal.

Sanadnya juga lemah:
-Ibrahim yaitu Ibnu Ismail At-Thalhi abu Ishaq Al-Kufi, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam (Ats-Tsiqat:8/88), beliau berkata: meriwayatkan dari Abu Nu'aim, termasuk Ahli Kufah, dan Ahli kufah meriwayatkan darinya. saya katakan rawi seperti ini: majhul hal. Sekedar penyebutan Ibnu Hibban dalam Tsiqatnya tidak teranggap sebagai tautsiq yang mu'tabar sebagaimana dima'lumi
-Mukhtar yaitu Ibnu Ghassan At-Tammar Al-Kufi. Maqbul (yaitu jika dikuatkan, jika tidak maka lemah) sebagaimana dalam At-Taqrib.
-Muhammad bin Sa'id, penulis belum temukan biografinya.

✅ Hadits di atas memiliki jalan lain, namun dari Sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu.
 Tanpa ada tambahan lafaz: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.

Hadits ini dikeluarkan oleh: Ibnu Abid-Dunya dalam At-Tahajjud (3), Ibnu Khuzaimah (1135), Al-Hakim (1/308), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (7466) dan Al-Ausath (3277), Ibnu Adi (4/1524), Al-Baihaqi Al-Kubra (2/502), Abu Nu'aim dalam Ath-Thib (117), Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (922); semuanya dari jalan Abu Shalih Abdillah bin Shalih Al-Mishri,
 dari Mu'awiyah bin Shalih,
dari Rabi'ah bin Yazid,
 dari Abu Idris Al-Khaulani,
dari Abu Umamah radhiyallahu anhu.

📝Tanbih: dalam riwayat Al-Hakim tertulis: Tsaur bin Yazid, (bukan Rabi'ah bin Yazid), mungkin ini kesalahan dari sebagian nasikh (penyalin naskah), karena dalam riwayat Al-Baihaqi dari gurunya Al-Hakim, jelas dengan sebutan nama: Rabi'ah bin Yazid. Wallahu a'lam

Hadits ini dishahihkan dan dihasankan oleh sebagian Ulama.
Berkata Al-Hakim:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
 Ini hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari.
Berkata Al-Baghawi:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ
 Ini hadits hasan. (Syarhus-Sunnah:4/35)
Dan dihasankan juga Al-Iraqi. (Ittihaf Sadatil-Muttaqin:5/186) Dan Al-Albani juga menghasankannya dengan beberapa penguat dalam Irwaul-Ghalil (452).

(Baca Juga : Wajibnya Mengenal Aqidah Islam)

📝Tanbih:
1. Imam Al-Hakim mengatakan: "shahih sesuai syarat Al-Bukhari" maka ini keliru dari beliau karena dalam sanadnya ada Muawiyah bin Shalih bukan perawi Imam Al-Bukhari. Berkata Adz-Dzahabi rahimahullah:
ﻭﻫﻮ ﻣﻤﻦ اﺣﺘﺞ ﺑﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﺩﻭﻥ اﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
 Beliau (Muawiyah bin Shalih) termasuk yang dijadikan hujjah oleh Muslim, tanpa Al-Bukhari. (Al-Mizan:4/135, lihat juga tanbih dari Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa)

 2. Al-Hafidz At-Tirmidzi setelah mengisyaratkan hadits Abu Umamah ini beliau berkata; ﻭﻫﺬا ﺃﺻﺢ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﻋﻦ ﺑﻼﻝ
Hadits ini Ashah (lebih shahih) dari hadits Abu Idris dari Bilal. Ini namanya tashih nisbi. Maksud beliau: hadits ini masih lebih kuat dari sisi sanadnya dibandingkan hadits yang pertama di atas. Ini sangat jelas karena di dalam sanad hadits di atas ada rawi yang matruk bahkan kadzzab.! Jadi, bukan maksudnya At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini.

Saya katakan: Yang kuatnya hadits ini tidak shahih dan tidak bisa dihasankan, berdasarkan alasan-alasan berikut;

1. Hadits ini telah dihukumi Munkar (hadits yang salah/keliru) oleh pakar Jarh wa Ta'dil dan pakar Ilalul-hadits di zamannya: Al-Hafizh Al-Mutqin Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah:
 ﻫﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﻨﻜﺮ؛ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ، ﻭﺃﻇﻨﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺸﺎﻣﻲ اﻷﺯﺩﻱ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺮﻭﻱ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻫﻮ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ
Ini adalah hadits munkar; tidak ada yang meriwayatkan kecuali Muawiyah (yaitu Ibnu Shalih). Saya kira hadits ini berasal dari hadits Muhammad bin Sa'id Asy-Syami Al-Azdi, karena dia meriwayatkan hadits ini dengan jalan lain. (Ilalul-hadits Libni Abi Hatim:2/241)

Ucapan beliau di atas memberikan 2 Faedah:
 -hadits Abu Umamah adalah hadits yang munkar (keliru/salah), dan kemungkinan letak kelirunya dari Muawiyah bin Shalih.
-kemungikan besar hadits Abu Umamah adalah hadits Bilal di atas, yang sama-sama diriwayatkan juga oleh Muhammad bin Said Al-Maslub. Wallahu a'lam.

 2. Faedah pertama dari ucapan Abu Hatim didukung oleh isyarat Al-Hafizh Ath-Thabrani setelah meriwayatkan hadits ini:
 ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺇﻻ ﺃﺑﻮ ﺇﺩﺭﻳﺲ، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺇﻻ ﺭﺑﻴﻌﺔ، ﺗﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ
 Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Umamah kecuali Abu Idris, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Idris kecuali Rabi'ah (yaitu Yazid), telah berkesendirian meriwayatkan hadits ini Mu'awiyah bin Shalih. (Al-Kabir, dibawah hadits no.7466)

 Tafarrud (berkesendiriannya perawi) adalah isyarat yang banyak digunakan pakar ilal atas kemungkinan kesalahan (munkar atau syadz). Sehingga seperti ini mengharuskan kita untuk melihat keadaan Muawiyyah bin Shalih ini. Para ulama Jarh wa Ta'dil berbeda pendapat tentang beliau, sebagian mereka mentsiqahkan, sebagian lagi melemahkan, dan sebagian lagi mengatakan shaduq. (Lihat Biographi beliau di Tahdzibul-Kamal: 28/186, beserta ta'liqnya)

Kesimpulan tentang beliau sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Adi dan Ibnu Hajar rahimahumallah: Berkata Ibnu Adi:
ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪﻱ ﺻﺪﻭﻕ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻘﻊ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﺃﻓﺮاﺩاﺕ
 Menurutku beliau adalah shaduq, akan tetapi terdapat pada sebagian hadits-haditsnya afradat (beliau berkesendirian di dalamnya) (Al-Kamil:3/143)

Dan berkata Ibnu Hajar: shaduqun lahu awham (shaduq, memiliki beberapa kekeliruan).

 Sehingga status hadits ini memberikan ketidaktenangan di hati, karena mungkin ini di antara kekeliruan Muawiyah bin Shalih, apalagi telah dihukumi munkar oleh pakar Ilal di zamannya: Abu Hatim Ar-Razi.

3.dalam sanadnya juga terdapat: Abdullah bin Shalih Katibul-Lailts, para ulama berbeda pendapat tentangnya. Kesimpulannya berkata Al-Hafizh:
ﺻﺪﻭﻕ ﻛﺜﻴﺮ اﻟﻐﻠﻂ ﺛﺒﺖ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻓﻴﻪ ﻏﻔﻠﺔ
Shaduq namun banyak salahnya, kuat jika meriwayatkan dari kitabnya, pada dirinya ada kelalaian.

✅ Hadits ini memiliki syahid (penguat dari hadits lain) dari Sahabat Salman al-Farisi. Dikeluarkan oleh Ibnu Adi (4/1597), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab (2824), dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (6154), dari jalan Abdur-Rahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun Al-Ansi, dari Al-A'masy, dari Abul-Ala Al-Anazi, dari Salman radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lafaznya mirip dengan hadits Bilal di atas, dengan tambahan: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.

Sanadnya lemah:
 -Abul-Ala Al-Anazi, berkata Adz-Dzahabi: saya tidak mengetahuinya (Al-Mizan:2/568, pada biografi Abdurrahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun)
 -Abdur-Rahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun Al-Ansi, para Ulama berbeda pendapat tentangnya. Kesimpulannya: shaduq yukhti' (shaduq, namun sering keliru), sebagaimana yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib.

Adz-Dzahabi menukil ucapan Ibnu Adi:
ﻋﺎﻣﺔ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﻣﺴﺘﻘﻴﻤﺔ، ﻭﻓﻲ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺇﻧﻜﺎﺭ.
Mayoritas haditsnya mustaqim (shahih atau hasan), dan pada sebagiannya ada yang diingkari.

Kemudian Adz-Dzahabi membawakan hadits di atas. Sebagai isyarat bagian dari hadits yang diingkari. (Lihat Al-Mizan:2/568)

Berdasarkan uraian di atas: 1-hadits Bilal: statusnya lemah. Bahkan sebagian jalannya Palsu, dan sangat lemah. Kecuali riwayat Muhammad bin Said dari Bilal. Ini lemah, jika memang dijadikan penguat namun butuh beberapa penguat untuk bisa naik ke derajat Hasan apalagi Shahih, Sebagaimana telah berlalu status sanadnya.

2.hadits Abu Umamah Al-Bahili: statusnya munkar, dan hadits munkar tidak bisa menguatkan dan dikuatkan. Munkar tetaplah munkar sebagaimana kata Imam Ahmad.

3.hadits Salman Al-Farisi: statusnya lemah. 4.hadits Bilal dengan riwayat Muhamad Said ditambah dengan hadits Salman Al-Farisi tidak bisa saling menguatkan sebagaimana telah berlalu pembhasan sanadnya, masih butuh beberapa penguat untuk bisa terangkat menjadi hasan apalagi shahih.

(Baca Juga : Benarkah Kiamat Sudah Dekat?)

 Kesimpulan:
-lafaz hadits: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.
 Ini sangat lemah, bahkan sebagian ulama yang menghasankan hadits di atas, juga melemahkan tambahan lafaz ini.
Berkata Syaikh Al-Albani: ﻭﻳﺘﻠﺨﺺ ﻣﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﺃﻥ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺩﻭﻥ اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ , ﻷﻧﻬﺎ ﻟﻢ ﺗﺄﺕ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻘﻴﻦ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻯ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ اﻵﺧﺮ.

Disimpulkan dari uraian yang telah berlalu bahwa hadits ini hasan tanpa ada tambahan (yaitu lafaz di atas, pen), karena kedua jalan hadits yang ada tidak bisa saling menguatkan satu yang lainnya.

-asal hadits ini secara umum sekalipun tanpa tambahan lafaz di atas adalah hadits lemah, karena melihat jalan-jalannya dan penguatnya yang belum bisa saling menguatkan.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=765058294023503&id=100015580180071