Mencap Hasan Al-Banna Sebagai Syahid

Mencap Hasan Al-Banna Sebagai Syahid
Mencap Hasan Al-Banna Sebagai Syahid
AlQuranPedia.Org – Hasan Al-Banna sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Beliau adalah pendiri Ikhwanul Muslimin. Beliau dicintai dan dihormati oleh banyak kaum muslimin. Pergerakan dan perjuangan beliau dianggap sangatlah berpengaruh bagi banyak kaum muslimin. Sampai-sampai beliau disebut “Asy-Syahid” Hasan Al-Banna. Lantas bolehkah kita menamakannya dengan Asy-Syahid?

Pertama, hal tersebut termasuk hal ghaib dan hal ghaib hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.

Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (Q.S. An-Naml : 65)

Terkecuali para rasul, mereka diberikan wahyu oleh Allah Ta’ala.

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (Q.S. Al-Jinn : 26-27)


Kita tidak bisa mengatakan si fulan itu syuhada, syahid di jalan Allah, seorang syahid di medan juang, tanpa wahyu dari Al-Quran dan Sunnah. Belum tentu seseorang yang mati di medan perang membela agama Allah dipastikan seorang syuhada dan syahid. Kedudukannya hanya Allah Ta’ala yang tahu, hanya Allah yang tahu niat seseorang. Bahkan, seorang pahlawan/pejuang adalah di antara yang awal dihisab oleh Allah dan menjadi korek api neraka. Hal itu disebabkan karena niatnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Quran supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca Al-Quran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim, An-Nasa'i dan Ahmad)


Jadi belum tentu yang mati di medan peperangan dinilai syahid di sisi Allah. Maka dari itu kita tidak boleh mengatakannya Asy-Syahid Fulan, Asy-Syahid Si Anu, meskipun dia dikenal sebagai orang yang sholih dan taat beragama. Terkecuali bila ada wahyu yang menyebutkannya. Contohnya adalah para pejuang di perang Badar. Mereka yang pernah ikut perang pada perang Badar maka dapat dipastikan sebagai syahid karena mereka semua masuk surga.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang ikut serta dalam Perang Badar tidak akan masuk neraka.” (HR. Ahmad, sanad hadits ini shahih sesuai syarat Imam Muslim)

Jadi misalnya Ubaidah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau gugur di Badar, maka boleh kita katakan Asy-Syahid Ubaidah bin Al-Harits. Ada juga sahabat Haritsah bin Suraqah, beliau juga bisa dikatakan Asy-Syahid Haritsah bin Suraqah, karena beliau adalah pejuang Badar. Atau siapa saja yang masih hidup setelah perang Badar lalu wafat, maka boleh kita katakan sebagai Asy-Syahid.

Contoh lainnya adalah seperti 10 sahabat yang dijamin surga, di antaranya adalah ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan lain sebagainya. Contoh lainnya lagi adalah seperti Hamzah bin Abdul Mutholib. Mereka kesemuanya wafat di jalan Allah dan dijamin surga. Untuk mereka semua ini boleh kita sebut Asy-Syahid ‘Ali, Asy-Syahid ‘Utsman, Asy-Syahid Hamzah, karena mereka memang sudah dijamin sebagai syuhada dan tempatnya pasti di surga. Hal ini tentu saja berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun untuk selainnya maka kita tidak boleh mengatakannya sebagai Asy-Syahid, termasuk dia imam besar, Sayyid Quthb, orang sholih dan siapapun.

Kedua, Hasan Al-Banna adalah orang yang bermasalah agamanya, baik itu aqidahnya, manhajnya, pemikirannya dan keilmuannya. Hal ini sebagaimana yang diterangkan para ulama seperti Al-Muhaddits Syaikh Al-Albani, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Ahmad An-Najmi, Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Rabi’ Al-Madkhali dan ulama-ulama lainnya. Beliau seorang sufi tulen dan bermasalah dalam banyak hal. Karangan-karangan beliau seperti Al-Ma’tsurat dan selainnya juga tidak tegak di atas Al-Quran dan Sunnah yang shahih, ini juga dikritik oleh para ‘ulama. Sementara orang sholih saja kita tidak boleh menyebutnya sebagai Asy-Syahid, apalagi mereka yang bermasalah aqidah dan manhajnya seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb dan yang semisal mereka? Allahul musta’an.

Lalu bagaimana sikap kita yang benar? Sikap kita yang benar adalah mendoakan mereka. Kita katakan Hasan Al-Banna rahimahullah, Sayyid Quthb rahimahullah, semoga Allah merahmati mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka semuanya. Seperti yang kita ketahui bahwa selama seseorang itu masih muslim dan jelas keislamannya maka wajib bagi kita mendoakan kebaikan padanya. Adapun dosa, maksiat, penyimpangan yang ia lakukan ketika hidup biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah Jalla Jalaluh. Tetapi kita juga tidak boleh mengatakannya sebagai Asy-Syahid karena itu sama saja menghukuminya sebagai penghuni surga, yang mana hal ini hanya wewenang Allah saja. Tugas kita adalah mendoakan mereka, bukan mencapnya dengan berlebihan sampai melebihi batasan dan juga tidak boleh menghinanya apalagi sampai berlebihan. Cukup dijelaskan penyimpangannya, dijauhi karangan-karangannya, tidak bersikap berlebihan kepadanya, dan kemudian mendoakan kebaikan baginya.


Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah wawasan kita semua.


Diselesaikan pada 29 Dzulhijjah 1439 Hijriyah/9 September 2018 Masehi.


EmoticonEmoticon