Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita

Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita
Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita
Sejak saya memiliki team dengan berbagai divisi, saya berhenti mencurigai mengapa pesantren ini atau itu kok 'mahal'. Lebih-lebih ketika bertanya langsung face to face ke seorang ustadz selaku mudir salah satu pesantren yang kata sebagian pihak 'mahal'.

Semua tidak sesederhana logika kita, apalagi sesederhana kabar dari rekan (apalagi kabar liar) yang mewartakan dengan menitipkan jejak emosi atau sakit hati.

Dulu, saya pernah kok  di suatu pagi, seorang ikhwan tjba-tiba datang ke kediaman. Rupanya hanya ingin curhat soal anaknya yang bingung mau disekolahkan di mana. Idealnya di pesantren sunnah. Tapi apa daya. Lalu agak menyudutkan beberapa nama pesantren yang menurutnya keterlaluan mahalnya. Pekerjaan ikhwan ini, afwan, tidak mau saya sebutkan, tapi standar UMR Jakarta. Sebenarnya saya menyarankan agar disekolahkan di pesantren murah. Cuma katanya, tidak ada yang murah. Mahal semua. Tapi yang saya tangkap, kenapa kok corongnya selalu ke pesantren kelas atas.

(Baca Juga : Haramnya Demonstrasi)

In the end, saya tidak bisa kasih solusi melainkan cukup sekolahkan di sekolah negeri atau swasta yang terjangkau. Beliau sudah ada bidikan sekolah murah. Tapi sepertinya masih sakit hati.

In the end of that end, beliau akhirnya memutuskan sekolahkan anaknya di sekolah murah bidikan tersebut, karena saya tidak berikan solusi nyantren.

In another end of the end of that end, beliau minta sarung Atlas Premium dari saya. Minta langsung begitu saja. Mungkin sebagai pelipur sakit hatinya.

Dari sini saya sudah tahu bagaimana mental rekan kita. Tapi saya tak mau deskripsikan di sini. Semoga Allah berkahi keluarga rekan kita ini.

Saya kini kadang menganggap keluhan 'mahal' nya suatu hal yang diinginkan, bukan karena mahal secara dzat, tapi mahal secara perspektif subjektif. Memang, di sana mungkin ada sesuatu yang mahal secara muttafaqun alaih. Tapi, kebanyakan hal, dihargai sesuai dengan kondisi hati.

Dulu, mbah saya, mbah Jaiz, yang nama saya ternisbatkan ke beliau rahimahullah, untuk sekolah di pesantren, harus kerja keras kumpulkan uang di pasar, lalu membiayai sendiri sekolahnya. Hingga beliau menjadi kyai kampung. Lalu ke depannya, beliau menafkahi 8 anak dan alhamdulillah tidak bermasalah.

Saya kiaskan dengan orang dan waktu. Ketika ia tidak memiliki manajemen waktu, visi dan misi masa depan dengan gamblang, maka waktunya banyak jadi recehan tak berharga. Dan ia kebingungan. Mau fokus pun tak bisa karena merasa terlalu banyak godaan.

(Baca Juga : Kapan Rasulullah Menangis?)

Ada orang berprestasi dan super produktif. Seolah ia punya nyawa banyak atau jasad berbilang. Padahal nyawanya cuma satu, jasadnya tunggal. Tapi yang menjadi pembeda adalah: manajemen waktu, visi dan misi ke depan. Jadwalnya padat tapi Allah berikan dia kemampuan menata dengan baik. Rapih dan mengalir.

Ada orang, yang kerjaannya sedikit, produksinya minim, tapi ngeluhnya seperti orang yang setiap hari keluarganya dibantai di depan matanya. Kesannya menderita. Kesannya terbebani banyak. Kesannya semesta tidak ada yang berpihak padanya. Padahal, musuhnya adalah dirinya sendiri. Ia tak bisa mengatur waktu. Tidak ada pandangan ke depan. Tidak ada misi tertentu dan cita-cita.

Abdullah bin Mas'ud, betisnya tipis, kurus dan pernah ditertawai sebagian sahabat karena bagian fisik itu, tapi Nabi kabarkan, mizan untuk betisnya itu lebih besar dari gunung-gunung.

Yang lebih utama, Nabi Ya'qub hingga tak bisa melihat, namun yakin pada Allah suatu kala akan bertemu dengan anak kesayangannya, Nabi Yusuf.

Adapula Waraqah bin Naufal, yang sesumbar di hadapan Nabi Muhammad di awal masa wahyu turun, sekiranya beliau hidup di masa dakwah Nabi dan masih mampu, beliau akan membela mati-matian dakwah beliau. Dan Waraqah saat itu berbicara dalam keadaan tua sekali dan mata beliau buta!

Jadi, kita tidak layak menyimak banyak keluhan orang yang tidak memiliki ketinggian himmah lalu terhasut akannya. Silakan dengarkan, lalu berikan nasehat agar bangkit.

Orang yang rendah cita-citanya, hanya akan mencela orang sukses, karena tidak iba padanya, tidak membantunya dan kesannya tidak peduli padanya. Padahal sendirinya tidak memberikan apapun kecuali keluhan.

Kembali ke masalah pesantren, mungkin sebagian pemrotes merasa mengerti keuangan, pendidikan, biaya bangunan, pajak dan seterusnya. Tapi alangkah bijaknya kita melihat diri kita, kira-kira siapkah kita disidak untuk mempresentasikan idealisme kita akan harga merakyat untuk go international lalu menjadi king for a month untuk pesantren-pesantren mahal?

(Baca Juga : Ilmu Sebelum Berdakwah)

Kalau sebatas go RT atau go Lurah, maka sebaiknya simpan saja keluhan atau protesnya. Idealisme kita kadang kurang appropriate jika diintegrasikan di lahan lain, yang lebih besar atau lebih berkelas.

Sebaiknya kita lebih banyak lagi memproduksi karya yang bermanfaat, baik karya lisan, tulisan, fikiran dan tenaga, daripada memproduksi banyak pisau dapur. Karena yang disebut terakhir itu, hanya laris di tangan emak-emak, bukan di tangan rijal.

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2853894044651962&id=100000941826369


EmoticonEmoticon