Rukhshah Menutup Masjid

Rukhshah Menutup Masjid
Rukhshah Menutup Masjid
✒️رخصة إغلاق المسجد
✒️Rukhshah menutup masjid

   Syariat Islam adalah syariat yang sempurna, ia sesuai untuk diterapkan di setiap tempat dan waktu. Di antara perkara yang mendukung hal tersebut adalah adanya hukum 'azimah dan rukhshah dalam syariat Islam.

   Adapun azimah adalah hukum asal syar'iy yang belum berubah atau berubah namun ke arah yang lebih berat. Sedangkan rukhshah adalah hukum syar'iy yang berubah menjadi lebih mudah karena ada dalil khusus tentang itu yang lebih kuat. Oleh karena itu baik azimah maupun rukhshah semuanya adalah hukum syar'iy yang diambil dari Qur'an dan Sunah serta Ijma adapun apakah bisa ditetapkan dengan Qiyas maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ushuliyyin dan ini bukan tempatnya untuk membahas hal tersebut.

   Perlu diingat bahwa rukhshah itu berbeda tingkatannya dan hukum untuk mengambil rukhshah tersebut, lebih spesifiknya terbagi menjadi 3, sebagaimana dipaparkan oleh Imam As-Subkiy dalam Jam'ul-jawami :

1. Darurat, seperti makan bangkai di saat hampir meninggal maka WAJIB untuk memakan bangkai tersebut demi menjaga nyawanya. Bagian darurat ini mencakup 5 bidang, darurat dalam hal agama, nyawa, akal, keturunan dan harta, namun ini adalah contoh spesifik untuk darurat nyawa.

2. Kesulitan (masyaqqah) seperti kesulitan pada safar membolehkan seseorang untuk mengqashar shalat dan menjamaknya dan juga boleh untuk berbuka puasa. Dalam bab ini diperbolehkan keduanya apakah untuk mengambil hukum azimah, shalat sempurna tanpa jamak dan tetap puasa atau mengambil hukum rukhshah yakni qashar dan jamak shalat serta berbuka puasa. Namun para Ulama khilaf tentang yang lebih afdhal setelah sepakat semuanya boleh, Imam Asy-Syafi'iy berpendapat lebih afdhal untuk mengambil hukum azimah sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal lebih afdhal untuk mengambil hukum rukhshah.

3. Hajat atau kebutuhan seperti dibolehkannya jual beli Salam yakni ambil uang terlebih dahulu baru barang belakangan dengan sifat-sifat tertentu yang telah disepakati karena adanya kebutuhan terhadap uang terlebih dahulu, maka ini boleh untuk dilakukan.

(Baca Juga : Lebih Buruk Ahlul Bid'ah Atau Orang Kafir?)

   Adapun masalah yang tengah melanda kaum muslimin saat ini adalah masalah perihal penutupan masjid dan tidak diselenggarakannya shalat Jum'at dan jama'ah ketika wabah Covid-19 tengah melanda. Para Ulama Kibar telah berfatwa tentang perkara besar ini yang menyangkut banyak nyawa manusia.

   Syekh Abd al-Muhsin bin Hamad al-Ābbad al-Badr menyatakan :

 "Telah ditanyakan kepadaku pertanyaan orang dari Iraq dengan tanggal 3 Rajab 1441 H yang ia bertanya tentang gugurnya shalat Jum'at dan jama'ah karena sebab wabah penyakit yang terjadi akhir-akhir ini.

   Maka aku jawab bahwasanya (shalat Jum'at dan jama'ah) tidak gugur dan menjaga shalat merupakan sebab diangkatnya bala bencana dan pertanyaan ini adalah di kala awal bencana maka tidak boleh bagi siapa pun untuk meninggalkan shalat jama'ah yang ditegakkan.

   Jika telah ada larangan menegakkan solat jumat dan jamaah dimasjid dari daulah (pemerintah), maka kalau solat jumat tidak mungkin dikerjakan dirumah, tapi solat jamaah masih bisa ditegakkan di rumah bersama keluarga.

   Inilah yang menjadi jawaban saya ketika ada pertanyaan seputar hal tersebut, dan ini pula yang saya lakukan bersama anak anak saya dirumah, dan orang seperti saya dan yang semisal saya dari kalangan penuntut ilmu tidak layak menyelisihi fatwa yang telah di keluarkan oleh haiah kibar ulama dalam masalah itu".

Syaikh Abdul Muhsin Al Badr, 25 Rajab 1441 H.

   Sungguh ana sangat ingin agar para penuntut ilmu dan asatidzah menghayati bagian: "Orang seperti saya (yang beliau hafal Kutub-Sittah, Taqriibut-Tahdzib dll) dan yang semisal dengan saya dari kalangan penuntut ilmu tidak layak menyelisihi fatwa yang telah dikeluarkan oleh Haiat Kibar Ulama dalam masalah itu", perhatikan bagian ini baik-baik, level Syaikh Abdul Muhsin Al Badr yang merupakan Syaikh sepuh di kota Nabi صلى الله عليه وسلم saja tidak patut untuk menyelisihi dalam hal ini karena memang menyangkut nyawa orang banyak dan telah difatwakan oleh Para Ulama kompeten tentang perkara tersebut, terlebih lagi bagi yang tidak sampai derajat Syaikh Abdul Muhsin Al Badr, dan sikap beliau sudahlah sangat tepat dan sesuai atsar Ibnu Mas'ud رضي الله عنه ketika Utsman رضي الله عنه sempurna shalat di Arafat dan Muzdalifah dan diingkari oleh Ibnu Mas'ud namun beliau tetap shalat di belakangnya, ketika ditanyakan maka Ibnu Mas'ud jawab:
الخلاف شرّ
"Perselisihan itu buruk".

  Demikian pula fatwa Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman yang merupakan murid langsung Syaikh Al-Albany رحمه الله تعالى, beliau berkata :

*المتوقع كالواقع فاذا غلب على الظن فناء كثير من الناس-بهذا الوباء- وقرر اهل الاختصاص ذلك فالحجب عن الجماعة هو الذي يحبه الله وانا ادرك مااقول بعد تأني وتفكير.
"Hal yang sudah diduga hukumnya seperti hal yang sudah terjadi, jika kuat dugaan bahwa manusia bisa meninggal dengan sebab wabah ini, maka menghalangi manusia dari shalat jama'ah itulah yang dicintai oleh Allah, saya benar-benar sadar atas apa yang saya ucapkan berdasarkan pemikiran yang perlahan"... (perkembangan Covid-19 rata-rata bertambah korban positif 100 orang per hari, dengan tingkat kematian 10 orang per hari)
*جعل حوادث حصلت سابقا كالنصوص وانها ثابته وانها معصومه -غير صحيح- فكلام العلماء وفتواهم -غير معصومة- وابراز كلماتهم في هذا الوقت للتشويش على كبار العلماء سلبية ليست حسنة....
"... menjadikan peristiwa-peristiwa di zaman dahulu bagaikan nash yang tsabit maka hal ini tidak dibenarkan, perkataan dan fatwa para ulama tidak ma'shum dan menampakkan perkataan tsb (di zaman dahulu dengan konteks berbeda) pada saat ini dalam rangka mengusik terhadap fatwa Ulama Kibar (yang telah berfatwa hentikan jama'ah) adalah hal yang negatif dan tidak bagus...
*هذا الكلام -يعني فتوى المخالفين في ترك الجماعة- لوتعبد الله به شخص فهلك فاثمه على من نشره.
"... perkataan ini yakni fatwa yang orang-orang menyelisihi dalam meninggalkan jama'ah (berkeyakinan etap shalat jama'ah) seandainya ada orang yang mengambil fatwa tersebut lalu ia meninggal (karena tertular wabah) maka dosanya atas yang menyebarkan fatwa tersebut" (tentu juga yang berfatwa).

(Baca Juga : 8 Adab Berdoa Sesuai Sunnah)

   Dalam bahasan hukum azimah dan rukhshah, adakalanya rukhshah itu WAJIB diambil, kapankah itu? Jika itu sudah sampai membahayakan nyawa yang termasuk dalam 5 darurat yang wajib dijaga, sebagaimana dalam kisah Sahabat yang berjihad dan kepalanya terluka, lalu beliau qadarullah terkena janabah kemudian bertanya kepada Sahabat lainnya apakah ada rukhshah baginya lalu dijawab : "Tidak ada" dan Sahabat tersebut pun akhirnya mandi dan meninggal, ketika hal ini diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau marah besar, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ العَيّ السُّؤَال

"Mereka (yang berfatwa mandi) telah membunuhnya, semoga Allah mencelakakan mereka, bukankah obat ketidaktahuan adalah bertanya!" (HR Ahmad no 3056 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Arnauth). Dalam kasus tersebut hukum azimah adalah mandi untuk janabah dan ini hukum keadaan umum, namun dalam keadaan khusus seperti sakit seseorang diperbolehkan mengamalkan hukum rukhshah untuk tayammum sebagaimana diamalkan oleh Sahabat Amr bin Ash ketika kondisi amat dingin. Begitu pula dalam kondisi khusus ini janabah ketika kepala terluka maka WAJIB ambil rukhshah karena bisa membahayakan nyawa, oleh karena itu Nabi صلى الله عليه وسلم marah besar kepada Sahabat yang tetap berfatwa ambil hukum azimah padahal itu kondisi khusus wajibnya ambil hukum rukhshah demi menjaga nyawa Sahabat tersebut.

   Imam Al-Bukhariy membuat judul bab dalam Shahih nya:
بابُ إغْلَاقِ البَيْتِ ويُصَلّيْ فيْ أيِّ نَواحِيْ الْبَيْتِ شَاءَ
"Bab Menutup Ka'bah dan shalat di bagian mana saja di dalamnya" lalu Imam Al-Bukhariy membawakan hadits masuknya Nabi صلى الله عليه وسلم ke dalam ka'bah bersama Usamah, Bilal dan Utsman bin Thalhah.

   Syaikh Utsaimin ketika menjelaskan dalam ta'liq Shahih Al-Bukhariy bagian ini beliau berkata :

"Pengarang (Imam Al-Bukhariy) dalam Bab ini ingin menjelaskan bahwasanya MENGUNCI MASJID-MASJID DAN KA'BAH ATAU SEMISALNYA KARENA ADA HAJAT MAKA DIPERBOLEHKAN dan ini tidak dikatakan sebagai menghalangi masjid-masjid Allah untuk berzikir di dalamnya karena ada maslahat dalam hal ini atau hajat atau ADAKALANYA DARURAT MAKA ITU TIDAKLAH MENGAPA".

   Imam Ibnu Batthal menyebutkan hajat untuk mengunci Ka'bah ketika itu adalah :

لئلا يكثر الناس عليه فيه فيصلُوا بصلاته

"Agar manusia tidak banyak berkumpul di dalamnya karena manusia ingin shalat berjama'ah bersama Nabi صلى الله عليه وسلم " (Syarah Shahih Al-Bukhariy:4/ 280), ternyata hanya dengan hajat seperti ini saja diperbolehkan untuk mengunci ka'bah dan masjid terlebih JIKA DARURAT DALAM RANGKA PENANGANAN WABAH PENYAKIT MENULAR MEMATIKAN maka tentu lebih diperbolehkan lagi dengan Qiyas Awla, qiyas yang bahkan diakui oleh Zhahiriyyah keabsahannya.

  Sebagian Asatidzah Ahlussunnah ada yang berpegang dengan hukum azimah yakni tetap shalat di masjid dan berdalil dengan QS At-Taubah ayat 18:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS At-Taubah: 18)

   Adapun pendalilan dengan ayat At-Taubah : 18 maka ini adalah hukum asal azimah sedangkan dalam kondisi khusus ketika adanya rukhshah maka yang lebih tepat adalah pemberlakuan hukum rukhshah, terlebih lagi ini termasuk rukhshah darurat yang menurut penjelasan Imam As-Subkiy adalah wajib diambil jika telah menyangkut nyawa sebagaimana dalam kasus makan bangkai ketika kelaparan.

  Ditambah lagi pendalilan dengan ayat tersebut adalah umum yang nyatanya bisa dimasuki dalil-dalil khusus tentang tidak ikut shalat berjama'ah dan dalil bolehnya menutup masjid yang itu diperbolehkan dalam syariat, seperti uzur hujan atau hajat agar manusia tidak berkumpul di dalam Ka'bah maka terlebih lagi jika uzurnya adalah mudharat kepada nyawa dan dalam rangka menjaga nyawa kaum muslimin, ini pun qiyas awla yang bisa digunakan untuk takhshish dalil-dalil umum seperti ayat At-Taubah di atas.

(Baca Juga : Guru Itu Pengaruh Bagi Murid)

   Dalam situasi genting menyangkut nyawa bukan hanya satu atau dua orang melainkan banyak nyawa, sungguh amat penting kita untuk merujuk kepada Para Ulama Kibar seperti Masyaikh Saudi, Mesir, Yordania, Yaman yang mereka hampir-hampir sepakat dalam hal ini, yakni tidak mengapa menutup masjid dan menghentikan shalat jama'ah demi menjaga nyawa kaum muslimin dari wabah penyakit berbahaya namun sayang sekali mengapa saat-saat seperti ini tidak digaungkan lagi hadits :
الْبَرَكَةُ مَعَ أكَابِرِهِمْ
"Keberkahan itu bersama para pembesar Ulama"(HR Ibnu Hibban no 559 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth) yakni para Ulama Ahlussunnah yang telah sepuh, mengapa begitu sepi gaungnya saat ini.

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber :https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1266111600265359&id=100005995935102


EmoticonEmoticon