Perbedaan Naum, Sinah dan Nu'as

Perbedaan Naum, Sinah dan Nu'as
Perbedaan Naum, Sinah dan Nu'as
Untuk Naum [نوم] dan Sinah [سنة], kita bisa dapatkan keduanya di Ayat Kursi, yaitu pada kalimat berikut:

لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ

"(Allah) tidak mengantuk dan tidak tidur" [Q.S. Al-Baqarah]

Adapun Nu'as [نعاس], kita bisa dapatkan di ayat berikut:

ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنۢ بَعْدِ ٱلْغَمِّ أَمَنَةًۭ نُّعَاسًۭا يَغْشَىٰ طَآئِفَةًۭ مِّنكُمْ

"Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu." [Q.S. Ali Imran: 154]

(Baca Juga : Jihad yang Terbaik Bagi Wanita)

Untuk Naum, kita kenal artinya tidur. Namun untuk Sinah dan Nu'as, biasa kita terjemahkan menjadi 'kantuk'. Apakah tiada beda antara Sinah dan Nu'as? Atau ada perbedaan?

Abu al-Abbas al-Fayumy (w. 770 H), ketika menjelaskan lafal-lafal gharib dalam kitab besar Fiqh Syafi'i karya ar-Rafi'iy (asy-Syarh al-Kabir), mengumpulkan beberapa pandangan ulama mengenai ketiga lafal tersebut. Beliau pun menyebutkan adanya pandangan ulama akan perbedaan antara ketiganya. Dikatakan oleh beliau:

 وَقِيلَ النَّوْمُ مُزِيلٌ لِلْقُوَّةِ وَالْعَقْلِ وَأَمَّا السِّنَةُ فَفِي الرَّأْسِ وَالنُّعَاسُ فِي الْعَيْنِ

"Dikatakan (oleh sebagian ulama) Naum (tidur) itu yang menghilangkan kekuatan dan akal, adapun Sinah, ia ada di kepala dan Nu'as, ia ada di mata." [al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir, 2/631]

Jika kita refleksikan perbedaan antara Sinah dan Nu'as, maka kita dapatkan bahwa paling awal gejala adalah Sinah, kemudian Nu'as. Hal itu dikuatkan oleh pendapat sebagian ulama:

 السِّنَةُ رِيحُ النَّوْمِ تَبْدُو فِي الْوَجْهِ ثُمَّ تَنْبَعِثُ إلَى الْقَلْبِ فَيَنْعَسُ الْإِنْسَانُ فَيَنَامُ

"Sinah adalah gelagat tidur yang muncul di wajah, kemudian sampai ke jantung, sehingga manusia pun mengantuk, lalu tertidurlah ia." [al-Mishbah]

(Baca Juga : Benarkah Nabi Lahir Tanggal 12 Rabiul Awwal?)

Dalam ayat Kursi, Allah menafikan dua sifat yang bertentangan dengan sifat al-Hayat (kehidupan), yaitu sifat Sinah dan sifat Naum. Keduanya tidak ada pada Rabbul Alamin. Kedua sifat tersebut melazimkan kekurangan, sementara segala sifat Allah Ta'ala sempurna tanpa ada cacat dan kekurangan. Al-Hayat yang sempurna dan al-Qayyumiyyah yang sempurna tidak akan beriringan dengan sifat awal kantuk apalagi tidur.

Sifat al-Hayat milik Allah tanpa cacat sedikitpun. Kesempurnaannya diketahui dengan kenyataan bahwa keamaha-hidupan Allah tidak diawali dengan ketiadaan, tidak pernah mengantuk apalagi tidur, dan tidak diakhiri dengan kematian. Berbeda dengan sifat al-Hayat milik makhluk. Allah tegaskan sendiri penafian tersebut dalam Ayat Kursi.

Sifat al-Qayyumiyyah, yang diterjemahkan umumnya di Indonesia secara tafsiran dengan makna 'Yang Maha Mengurusi makhluk-Nya secara terus-menerus', adalah sifat yang sempurna, tanpa kekurangan atau cacat. Kesempurnaanya diketahui dengan kenyataan bahwa Allah tidak pernah mengantuk terlebih tidur.

Ketika kita tahu bahwa Sinah pada konteks makhluk adalah gejala atau gelagat paling awal menuju tidur, maka ia barulah hal kecil. Belum sampai Nu'as. Karena Nu'as itu di mata. Sementara Sinah sebelumnya.

Setitik pun kelalaian menuju pejaman mata (walau mata belum berat), maka itu dalam konteks makhluk, disebut 'Sinah'. Dan kelalaian setitik itu tidak ada pada Allah!

Artinya:

۞ وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍۢ فِى ظُلُمَٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍۢ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مُّبِينٍۢ

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz)." [Q.S. Al-An'am: 59]

Semoga Allah Ta'ala merizkikan kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.

(Baca Juga : Menjelaskan Al-Haq dan Mencegah Kemungkaran)

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2766001336774567&id=100000941826369

Illuminati Bisa Menjadi Ilusi yang Terminati

Illuminati Bisa Menjadi Ilusi yang Terminati
Illuminati Bisa Menjadi Ilusi yang Terminati
Tadi setelah Dzuhur, saya ke Gramedia untuk beli beberapa hal yang dirasa butuh. Saya melihat ada kitab berjudul 'Simbol-simbol Illuminati di Arab Saudi'. Saya buka. Isinya menarik sekali, sebagaimana judulnya. Di dalamnya bertaburan foto-foto, baik menyendiri atau komparasi. Keren.

Saya dulu senang dengan tema seperti ini. Konspirasi Yahudi, logo-logo tertentu, huruf-huruf, angka-angka dan seterusnya. Kitabnya Mas Rizky Ridyasmara dulu saya sukai. Milik Artawijaya juga menarik. Tapi sekarang, saya tidak. Lama-lama bosan dan bertanya, 'Ciyus?'

(Baca Juga : Tantangan Dalam Berdakwah)

Karena ada yang jauh lebih penting dari itu -jika kita anggap menelaah hidden message dari simbol-simbol itu ada pentingnya-. Saya merasa meneliti pesan-pesan dalam al-Qur'an, hadits, serta kalam ulama, jauh lebih penting -sekali lagi, jika kita anggap menelaah hidden message simbol Illuminati ada pentingnya-.

Saya tidak mengingkari adanya konspirasi Yahudi. Bukan Yahudi saja, saya pun tidak mengingkari adanya konspirasi Cina (atau Tionghoa), Kristenisasi dan sepilis. Di kuburan keramat dan majelis-majelis keturunan suci pun ada konspirasi. Di mana-mana. Saya tidak mengingkari. Konspirasi dukun santet bersama setan-setan peliharaannya pun tidak saya ingkari. Saya juga tidak antipati membicarakan atau menyimak itu semua kecuali kalau sudah bosan.

Dan saya merasa bosan dengan teori Konspirasi. Teori ini sejujurnya tak menambah keimanan saya melainkan sekadar menambah wawasan, dan seringkali menawarkan keputusasaan akan kaum muslimin. Itu bagi saya. Mungkin bagi Anda lain.

Kembali ke kitab yang saya maksud tadi. Hati kecil saya tertawa. 'Apa sekarang saatnya untuk membahas simbol-simbol illuminati di Arab Saudi ya? Apa setelah simbol pencerahan itu di Upin Ipin sudah di-ridicule oleh nalar normal insan, sekarang bergerak ke Arab Saudi? Atau jangan-jangan ini juga bagian dari konspirasi agar orang semakin men-downgrade Arab Saudi? Dan apakah Arab Saudi terjebak?'

(Baca Juga : Sarana Menuntut Ilmu)

Tuh kan, lama kelamaan pertanyaan demi pertanyaan hadir. Dan ujung-ujungnya: tidak bermanfaat dan tidak menjadikan iman saya bertambah. Malah, bisa menjulurkan keputusasaan.

Saya lebih tertarik dengan cover kitab berbatik dan terutama isinya. Biarpun tidak bergambar seperti kitab dokumenter itu. Tapi ketika saya baca, biarlah otak saya yang melukis dengan sendirinya. Saya, dan kelak anak istri saya, ingin agar otaknya tidak terdidik dengan manja, sebagaimana mereka yang hobi menonton TV dan malas membaca itu. Sekali membaca, justru cuma berita bola atau kabar hot. Dan baru tertarik kalau ada picture. They say, 'No pics: hoax'. Kenapa? Karena otak mereka intinya terbiasa dimanja. Apa-apa butuh gambaran dan illustrasi dari gambar, bukan dari kata dan kalimat.

Beruntunglah mereka yang tidak dikit-dikit 'konspirasi'. Dan saya pribadi ingin seperti mereka, biar hidup lebih tenang dikit, tidak terkesan konyol dan terkonyolkan dengan simbol-simbol. Dalam Tahdziib al-Kamaal, ada simbol-simbol خ, م, د, ع, س, ت, dan lainnya. Dalam Faydh al-Qadiir, juga ada begitu. Bagi saya, simbol-simbol itu lebih bermanfaat untuk diamati dibanding the-Horus-eye-like atau semacamnya. Atau, jangan-jangan literatur Jarh wa Ta'dil dan Hadits karya ulama juga sudah bertaburan simbol konspirasi Yahudi di dalamnya?

That's pity of you.

Konspirasi Yahudi itu ada. Namun, kasihanilah diri Anda yang menjauhi ilmu syariah sambil tenggelam dalam interest dan concern yang ulama syariah pun kasihan pada diri Anda.

Masalah haid dan nifas lebih penting dibahas dibanding masalah simbol-simbol itu. Dalam masalah haid dan nifas, terdapat rambu-rambu untuk ritual menuju surga dan neraka. Sementara simbol-simbol itu, mengetahui atau meninggalkannya: bermanfaat, mendalaminya: sebenarnya tidak bermanfaat.

(Baca Juga : Menggugah Nurani Jama'ah Haji)

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=682320635142658&id=100000941826369

Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat

Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat
Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat
Saya mempelajari, sebagian penuntut ilmu menyia-nyiakan guru, ladang ilmu dan majelis-majelis ilmu terdekat, dan memilih apapun yang jauh dengan alasan sebenarnya: lebih menantang/seru. Walau alasan itu dipalsukan dengan alasan bijak. Ketahuilah, menuntut ilmu bukan masalah tantangan, tetapi memanfaatkan kesempatan.

Sebagian, yang baru mencium satu atau dua kitab berbahasa Arab, merasa tak perlu lagi siapapun mengarahkannya. Kini sudah ada media sosial. Kini sudah bisa 'mandiri' dan memiliki point of view tentang manhaj dirasah versi sendiri.

(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Kebun)

Ketahuilah, kami telah melihat beberapa penuntut ilmu semisal di atas gelagatnya, yang pada akhirnya: menjauh dari kami dan berani berkata secara lisanul hal:

"Antum rijal wa nahnu rijal"

Artinya: "Pak Guru, kami sudah ga butuh antum lagi. Kami sudah besar."

Sekiranya adik-adik kita ini sudah mahir ilmu alat dan dewasa pengalaman menuntut ilmunya, kalimat di atas pun tak pantas ada. Sikap di atas pun tak beradab.

Terlebih jika rupanya tak mahir apapun melainkan terperdaya oleh semangat dan arogansi masa muda.

Ah, seolah yang menulis ini sudah tua.

Tapi kami mengenal semangat dan arogansi masa muda. Kami mendapatkan keduanya pada diri kami dahulu dan kami dapatkan pada diri beberapa pemuda yang kami pernah kenal. Tanpa sadar, semangatnya mengorbitkan arogansi halus.

(Baca Juga : 5 Ayat Al-Quran Tentang Ular)

Kami pernah dicerca oleh murid sendiri di medsos, di depan ramai, di depan murid lainnya. Semua berawal dari semangat dan ingin explore sana sini. Perlahan meremehkan pihak yang dahulu mengelus kala kebingungan. Baru sejenak balita ini merangkak, sudahlah lisannya menyakiti. Kata orang Barat: "Bite the hand that feeds". Padahal, biarpun misal guru telah keriput renta dan murid lugu ini sudah jadi jendral, masih mestilah hormat dan terima kasihnya tertanda.

Begitulah memang, balada belajar, cari yang jauh abaikan yang dekat.

Mereka yang kini istiqamah dakwah, dahulu kala belajar, adalah yang berusaha hargai guru terdekat. Juga tentu mengamalkan ilmu yang diberi. Warisan guru adalah ilmu. Dan warisan ilmu adalah amal. Namun, jika krama tak dijaga, bagaimana tidak resah ia beramal?! Bagaimana tidak gusar ia berilmu?!

Ada tentu di sana entah di sana mana, yang sudah capek berletih kemana-mana menuntut ilmu, namun kini rasanya seperti mendulang pasir dan debu. Yang tersisa hanya ampas ilmu. Secara perjuangan, harusnya kini sudah memegang mikrofon. Tapi kenapa hanya begini?! Sampai sadari bahwa arogansi tidak memberikan apa, kecuali fatamorgana. Berusaha menjadi apa-apa, namun akhirnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapanya siapa.

Saya pernah terjatuh. Maka saya senang mengingatkan pada pembaca bahwa daerah itu bisa membuatmu terjatuh. Semampu saya.

(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2795783660463001&id=100000941826369

Merangkul Tanpa Raga

Merangkul Tanpa Raga
Merangkul Tanpa Raga
Rekomendasi (ta'dil) seorang berilmu terhadap selainnya bukanlah wahyu. Begitu pula jarh seorang berilmu terhadap selainnya bukanlah wahyu.

Namun, ketika ada kabar fulan didiskreditkan atau terkena jarh dari selainnya, tetibanya sebagian orang bersikap seolah sedang membahas wahyu.

Jika Anda melakukan temu sapa atau kopi darat dengan rekan medsos yang kenal pengajian, Anda akan lebih mudah mendapatkan info mengenai jarh dibandingkan ilmu pada hakekatnya. Karena newsfeed (koran medsos) lebih banyak dilahap mereka dibandingkan al-Qur'an dan tafsirnya, atau al-Hadits dan syarhnya.

(Baca Juga : Rokok dan Knalpot)

Anda pun, akan lebih senang membaca yang sedang viral. Untuk hal ini, Anda menerapkan sikap taharry (ingin tahu secara detail) dan dhabth (ketepatan). Apapun yang sedang viral. Baik soal siapa yang tertuduh homo, siapa sedang berkelahi dengan siapa, terlebih siapa sedang mendiskreditkan siapa.

Namun untuk urusan fawaid ilmiyyah, taharry dan dhabth melonggar. Ijtihad dilepas. Sudah cukup belajar menyimak di kajian. Medsos digunakan untuk santai saja; di antara menghabiskan waktu untuk hal-hal yang membuat kejiwaan sakit dan keterbelakangan ilmiah.

Saat ada keributan, Anda mungkin bergegas ke kotak search, mencari nama-nama tokoh di medsos yang sikapnya reaktif; yang segala hal dikomentari; yang dikenal sebagai lumbung info dan opini dalam keributan. Entah tokoh itu dai, atau bukan dai, atau bukan siapa-siapa namun ahli viral. Terlebih jika komentatornya banyak. Kendatipun panjang, semangat Anda membacanya seolah seperti semangat orang yang membaca fadhilah ayat Kursi dan surat al-Ikhlash sebanyak 10 kali. Seolah Anda akan mendapatkan kastil di Surga jika membaca semua kabut opini insan di kobaran keributan.

(Baca Juga : Puasa Syawwal dan Ta'at Suami)

Manusia-manusia yang mabuk akan segala yang viral.

Jika ada viral soal orang homo namun belum terketahui namanya, mereka akan bertanya-tanya, memohon diberitahu dengan alasan kehati-hatian. Padahal hanyalah nafsu keingintahuan dan syahwat infotainment.

Jika ada viral soal apapun, labelnya diperbagus, agar tidak diketahui bahwa dirinya sedang mabuk.

Padahal siapapun yang lebih banyak menyimak kabar bumi dibandingkan kabar langit, ia sedang mabuk. Siapapun yang lisannya kering akan dzikir, maka mesti hatinya basah dengan dunia.

Siapapun yang merasa tak sempat memperbanyak wirid dan mendalami al-Qur'an dan al-Hadits, maka pasti sangat sempat untuk bermabuk dunia.

Siapapun itu, Anda mungkin senasib dengan saya, dan saya mungkin senasib dengan Anda.

Saya hanya mengajak, agar kita kembali ke ash-Shirath al-Mustaqim. Tinggalkan yang tak bermanfaat. Kembali ke track yang menenangkan hati. Dekat dengan Allah tidak dengan cara mabuk dunia. Semoga Allah berikan hidayah dan taufiq.

(Baca Juga : 11 Pelajaran Aqidah dari Puasa dan Ramadhan)

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2830934176947949&id=100000941826369

Arwah Diangkat Ke 'Arsy Saat Tidur?

Arwah Diangkat Ke 'Arsy Saat Tidur?
Arwah Diangkat Ke 'Arsy Saat Tidur?
Pertanyaan: “Apakah jika manusia tidur, ruhnya akan diangkat hingga ke langit?”

Disebutkan oleh Ibnu Qutaibah, pernyataan yang dinisbatkan kepada Abu ad-Darda’ radhiyallahu anh:

إِذا نَام الْإِنْسَان عرج بِنَفسِهِ حَتَّى يُؤْتى بهَا إِلَى الْعَرْش فَإِن كَانَ طَاهِرا أذن لَهَا بِالسُّجُود وَإِن كَانَ جنبا لم يُؤذن لَهَا فِي السُّجُود

“Jika manusia tidur, maka jiwanya akan diangkat hingga menuju Arsy. Jika ia tidur dalam keadaan suci, maka diizinkan untuknya bersujud. Jika ia dalam keadaan junub, maka tidak diizinkan untuknya bersujud.” [Gharib al-Hadits, 1/159]

(Baca Juga : Lebih Utama Menuntut Ilmu Atau Berdakwah?)

Atsar tersebut sebelumnya juga disebutkan dalam kitab “at-Tarikh al-Kabir” [6/292] oleh al-Bukhary, secara mauquf kepada Abdullah bin Amr. Kadang tersebar di masyarakat atsar di atas, dengan keterangan ringkas setelahnya bertuliskan: diriwayatkan oleh al-Bukhary (رواه  البخاري), sehingga menimbulkan wahm dan persangkaan orang bahwa ia ada dalam Shahih al-Bukhary; maka dihukumi shahih.

Di sini pentingnya kita mengenal beberapa kitab al-Bukhary dan perbedaan manhaj serta bidang yang dimaksud untuk kitab-kitab beliau. Tentu saja apa yang beliau upayakan untuk Shahih-nya berbeda dengan kitab beliau lainnya, seperti al-Adab al-Mufrad, terlebih at-Tarikh. Atsar di atas disebutkan oleh beliau dalam kitab at-Tarikh dan pada akhirannya beliau mengomentari dengan kalimat:

ولا اراه يصح

“Aku tidak memandangnya (atsar ini) shahih!”

Kita tidak mengetahui sesuatu pun yang valid dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai terangkatnya ruh ketika manusia tidur. Yang teriwayatkan hanyalah atsar mauquf di atas. Kita tidak mengetahui bagaimana opini para ulama mengenainya, kecuali pandangan al-Bukhary bahwa ia tidak shahih. Wallahu a’lam.

(Baca Juga : Manfaat dan Etika Mengkritik)

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2846488312059202&id=100000941826369

Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita

Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita
Semakin Kita Tahu, Semakin Tahu Kita
Sejak saya memiliki team dengan berbagai divisi, saya berhenti mencurigai mengapa pesantren ini atau itu kok 'mahal'. Lebih-lebih ketika bertanya langsung face to face ke seorang ustadz selaku mudir salah satu pesantren yang kata sebagian pihak 'mahal'.

Semua tidak sesederhana logika kita, apalagi sesederhana kabar dari rekan (apalagi kabar liar) yang mewartakan dengan menitipkan jejak emosi atau sakit hati.

Dulu, saya pernah kok  di suatu pagi, seorang ikhwan tjba-tiba datang ke kediaman. Rupanya hanya ingin curhat soal anaknya yang bingung mau disekolahkan di mana. Idealnya di pesantren sunnah. Tapi apa daya. Lalu agak menyudutkan beberapa nama pesantren yang menurutnya keterlaluan mahalnya. Pekerjaan ikhwan ini, afwan, tidak mau saya sebutkan, tapi standar UMR Jakarta. Sebenarnya saya menyarankan agar disekolahkan di pesantren murah. Cuma katanya, tidak ada yang murah. Mahal semua. Tapi yang saya tangkap, kenapa kok corongnya selalu ke pesantren kelas atas.

(Baca Juga : Haramnya Demonstrasi)

In the end, saya tidak bisa kasih solusi melainkan cukup sekolahkan di sekolah negeri atau swasta yang terjangkau. Beliau sudah ada bidikan sekolah murah. Tapi sepertinya masih sakit hati.

In the end of that end, beliau akhirnya memutuskan sekolahkan anaknya di sekolah murah bidikan tersebut, karena saya tidak berikan solusi nyantren.

In another end of the end of that end, beliau minta sarung Atlas Premium dari saya. Minta langsung begitu saja. Mungkin sebagai pelipur sakit hatinya.

Dari sini saya sudah tahu bagaimana mental rekan kita. Tapi saya tak mau deskripsikan di sini. Semoga Allah berkahi keluarga rekan kita ini.

Saya kini kadang menganggap keluhan 'mahal' nya suatu hal yang diinginkan, bukan karena mahal secara dzat, tapi mahal secara perspektif subjektif. Memang, di sana mungkin ada sesuatu yang mahal secara muttafaqun alaih. Tapi, kebanyakan hal, dihargai sesuai dengan kondisi hati.

Dulu, mbah saya, mbah Jaiz, yang nama saya ternisbatkan ke beliau rahimahullah, untuk sekolah di pesantren, harus kerja keras kumpulkan uang di pasar, lalu membiayai sendiri sekolahnya. Hingga beliau menjadi kyai kampung. Lalu ke depannya, beliau menafkahi 8 anak dan alhamdulillah tidak bermasalah.

Saya kiaskan dengan orang dan waktu. Ketika ia tidak memiliki manajemen waktu, visi dan misi masa depan dengan gamblang, maka waktunya banyak jadi recehan tak berharga. Dan ia kebingungan. Mau fokus pun tak bisa karena merasa terlalu banyak godaan.

(Baca Juga : Kapan Rasulullah Menangis?)

Ada orang berprestasi dan super produktif. Seolah ia punya nyawa banyak atau jasad berbilang. Padahal nyawanya cuma satu, jasadnya tunggal. Tapi yang menjadi pembeda adalah: manajemen waktu, visi dan misi ke depan. Jadwalnya padat tapi Allah berikan dia kemampuan menata dengan baik. Rapih dan mengalir.

Ada orang, yang kerjaannya sedikit, produksinya minim, tapi ngeluhnya seperti orang yang setiap hari keluarganya dibantai di depan matanya. Kesannya menderita. Kesannya terbebani banyak. Kesannya semesta tidak ada yang berpihak padanya. Padahal, musuhnya adalah dirinya sendiri. Ia tak bisa mengatur waktu. Tidak ada pandangan ke depan. Tidak ada misi tertentu dan cita-cita.

Abdullah bin Mas'ud, betisnya tipis, kurus dan pernah ditertawai sebagian sahabat karena bagian fisik itu, tapi Nabi kabarkan, mizan untuk betisnya itu lebih besar dari gunung-gunung.

Yang lebih utama, Nabi Ya'qub hingga tak bisa melihat, namun yakin pada Allah suatu kala akan bertemu dengan anak kesayangannya, Nabi Yusuf.

Adapula Waraqah bin Naufal, yang sesumbar di hadapan Nabi Muhammad di awal masa wahyu turun, sekiranya beliau hidup di masa dakwah Nabi dan masih mampu, beliau akan membela mati-matian dakwah beliau. Dan Waraqah saat itu berbicara dalam keadaan tua sekali dan mata beliau buta!

Jadi, kita tidak layak menyimak banyak keluhan orang yang tidak memiliki ketinggian himmah lalu terhasut akannya. Silakan dengarkan, lalu berikan nasehat agar bangkit.

Orang yang rendah cita-citanya, hanya akan mencela orang sukses, karena tidak iba padanya, tidak membantunya dan kesannya tidak peduli padanya. Padahal sendirinya tidak memberikan apapun kecuali keluhan.

Kembali ke masalah pesantren, mungkin sebagian pemrotes merasa mengerti keuangan, pendidikan, biaya bangunan, pajak dan seterusnya. Tapi alangkah bijaknya kita melihat diri kita, kira-kira siapkah kita disidak untuk mempresentasikan idealisme kita akan harga merakyat untuk go international lalu menjadi king for a month untuk pesantren-pesantren mahal?

(Baca Juga : Ilmu Sebelum Berdakwah)

Kalau sebatas go RT atau go Lurah, maka sebaiknya simpan saja keluhan atau protesnya. Idealisme kita kadang kurang appropriate jika diintegrasikan di lahan lain, yang lebih besar atau lebih berkelas.

Sebaiknya kita lebih banyak lagi memproduksi karya yang bermanfaat, baik karya lisan, tulisan, fikiran dan tenaga, daripada memproduksi banyak pisau dapur. Karena yang disebut terakhir itu, hanya laris di tangan emak-emak, bukan di tangan rijal.

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2853894044651962&id=100000941826369

Udzur Bagi Da'i

Udzur Bagi Da'i
Berulang kali panitia tematik menawarkan jemputan, dan berulang kali itu pula kami berterima kasih atas kebaikan mereka dan mengatakan bahwa kami bisa datang sendiri. Lha ya wong orang tua kami datang ke kajian sebagai Pemateri dengan angkot. Selain itu pula, kami punya motor pribadi.

Kecuali sekali saat itu, kami sedang letih, maka terima tawaran tersebut. Khawatir oleng naik motor.

(Baca Juga : Benarkah Allah Tertawa?)

Kendatipun begitu, sama sekali saya pribadi tidak pernah berburuk sangka pada pemateri yang minta dijemput. Ada dai alim dan masyhur yang relatif bagi kami kediamannya tak begitu jauh dari lokasi, tapi selalu minta dijemput panitia. Tapi karena saya tahu, betapa tidak ringan kondisi fisik jika padat jadwal, maka selalu saya husnuzhan. Ditambah faktor U.

Jika Anda mendapatkan dai berusia tua rela naik motor jauh ke kajian, maka saran saya jangan bersangka negatif pada yang muda naik mobil. Setiap mereka mungkin beda kondisinya. Tidak mesti yang naik motor atau angkot berarti zuhud, dan tidak mesti yang naik mobil berarti sok tajir atau manja.

Saya pernah berguru pada seorang ustadz yang tidak pernah ke taklim kecuali naik Kopaja atau Metromini. Suatu saat, saya duduk di samping guru saya inu, sembari bertanya kenapa beliau tidak naik motor atau mobil pribadi. Tak disangka, rupanya beliau memiliki kekurangan di mata. Jika mengendarai  motor atau menyetir mobil, matanya tidak bisa fokus. Bahkan kata beliau, jika bermotor, matanya seperti mau keluar dari tempatnya. Para dokter melarang itu.

Ada pula sebagian dai memilik asisten yang mengatur jadwal. Saya kerap menerima keluhan sebagian panitia atau DKM untuk kajian yang tidak akbar, yang intinya: sulit undang beliau-beliau ini. Maka saya katakan bahwa belum tentu itu memang dai nya yang pilah pilih. Besar kemungkinan itu keputusan asisten pengatur jadwal.

Saya pribadi, tak ada asisten. Team saya atur, tidak sebaliknya. Tapi kendatipun begitu, siapapun Pemateri atau tokoh yang diatur jadwalnya oleh asisten tidak saya katakan macam-macam. Kenapa?

Karena padatnya jadwal mengajar, urusan keluarga dan ini itu, bukan hal yang semua orang bisa menatanya sendirian. Sehingga butuh asisten.

Mungkin dulu, saya (atau mungkin juga Anda) kadang suka jelek persangkaannya karena melihat kehidupan, gaya hidup dan cara berkomunikasi dai tertentu setelah melihat sekilas. Lalu menyimpulkan di hati bahwa beliau begini begitu. Padahal bisa jadi ada alasan yang jika kita berada di posisinya, boleh jadi kita lebih dari beliau itu.

(Baca Juga : Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir)

Ada dai yang hobi motoran, lalu punya motor yang masya Allah. Kalau hobi, selama mubah, maka beliau memiliki porsi di dunia tersebut. Ada yang kemana-mana memakai motor cowok, sementara kita hanya memakai mocil, ringsek pula. Lalu kita simpulkan dai ini begini begitu secara negatif. Kesimpulan yang biasa terbit dari sikap menjadikan hidup kita, harta kita dan kemampuan kita standar untuk orang lain. Kalau kita miskin, maka orang yang kaya kita tuding. Kalau kita berkecukupan, kita anggap yang kaya itu sombong yang miskin itu culas. Kalau kita kaya, kita anggap yang miskin semuanya culas maka terima nasib.

Ada dai yang hobi sepedaan, sampai di rumah beliau ada beragam sepeda. Jika kita hitung semua harganya, wah itu bisa senilai gaji UMR 2 tahun alias 24 bulan! Saya pernah terima 'komplain' dari jemaah soal ini. Maka saya katakan, beliau ini punya hobi di dunia tersebut dan memang punya dana untuk itu.

Selama hobi itu mubah, sesuai dengan koceknya, maka kita yang belum mampu ke sana, sebaiknya kubur persangkaan jelek itu. Syukur dengan hobi mereka di salah satu urusan dunia, mereka masih hobi mengajar juga. Coba kita bercermin lebih detail lagi:

Jika kita memiliki harta dan hobi salah satu urusan dunia mubah, apa kita sebaik beliau-beliau ini? Sangat mungkin justru tidak. Mungkin kita akan luoa daratan. Kita akan sibuk di ikan cupang, sibuk di touring, sibuk di dagang/bisnis, sibuk di tambak atau area pemancingan, dan lupa kajian. Dulu rajin saat kere, kini mager saat tajir. Sangat mungkin kita begitu nantinya. Apalah lagi mau rela datang ke masjid atau sekolahan untuk mengajari orang, yang banyak tidurnya?!

Apalagi Jabodetabek, dengan penat dan padatnya jalanan. Kadang seseorang butuh - setelah dzikir - menuntaskan hobi duniawinya. Ada yang hobi berkebun, memelihara tanaman bonsai dan semisal itu. Demi menurunkan kadar efek penat, dia beli tanah luas demi menikmati itu. Lalu kita yang masih ngontrak dan beberapa kali diusir karena nunggak, kita jelekkan si tajir itu. Sombong, kata kita.

Padahal boleh jadi rasa itu hadir karena kita mengharapkan serpihan dunia dari si tajir, alias: "Perhatikan saya! Berikan saya sesuatu!" Jika tidak, berarti kamu sombong. Padahal si tajir tidak tahu apapun soal diri kita.

Iya.

Jika kita menakar hidup seseorang dari keduniaan, sembari menjadikan diri kita role model dan standar kebenaran hidup, kita akan hidup dengan bertemakan suuzhan setiap waktu. Jika melihat yang tajir begitu sombong, tapi melihat yang ekonominya di bawah kita, kita pun tak begitu peduli.

(Baca Juga : 16 Ayat Al-Quran Tentang Tata Surya)

Ingatlah, teman-teman, hidup dengan suuzhan itu lebih sempit dari hidup di penjara. Karena penjara itu masih ada space untuk bergerak. Sementara suuzhan itu hanya menyisakan ruangan sesempit hati kita yang kecil dan sempit ini.

Tulisan Al-Ustadz Hasan Al-Jaizy, Lc hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=2876607149047318&id=100000941826369

Teladan Ibnu Taimiyyah Memaafkan Musuhnya

Teladan Ibnu Taimiyyah Memaafkan Musuhnya
Teladan Ibnu Taimiyyah Memaafkan Musuhnya
👣 *TELADAN DARI ALIM RABBANI SYAIKHUL-ISLAM IBNU TAIMIYYAH DALAM MEMAAFKAN MUSUH-MUSUH DAKWAHNYA*

Beliau rahimahullah berkata:

Semua yang dituduhkan terhadap hak kami berupa kedustaan dan kepalsuan adalah kebaikan dan nikmat.

Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ  وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS.An-Nur:11)

(Baca Juga : Adab Pada Hari Jum'at Sesuai Sunnah)

Sungguh Allah telah menampakkan cahaya Al-Haq dan Hujjah yang membantah kedustaan sang pendusta dan kebohongannya.

Aku tidak ingin dimenangkan dari seorang pun disebabkan kedustaannya terhadapku atau kezhaliman dan permusuhannya. Sungguh aku telah menghalalkan (memaafkan) setiap muslim. Aku mencintai kebaikan kepada kaum muslimin, dan aku menginginkan kebaikan untuk setiap muslim sebagaimana yang aku cintai untuk diriku.

Dan orang-orang yang telah berdusta dan berbuat zhalim maka mereka berada dalam pemaafan dariku, adapun berkaitan dengan hak Allah maka jika mereka bertaubat maka Allah mengampuni mereka. Jika tidak, maka hukum Allah akan berlaku kepada mereka.

(Baca Juga : Perhatikan Izin Suamimu)

Kalau sekiranya seorang patut disyukuri atas perbuatannya yang buruk maka aku akan berterima kasih kepada setiap orang yang menjadi sebab dalam kasus ini, karena dengannya mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhirat. Akan tetapi, Allah-lah yang patut untuk disyukuri atas nikmatNya, anugrahNya, dan pertolonganNya yang mana tidaklah ditetapkan kepada seorang mu'min melainkan kebaikan baginya.

Dan orang yang memiliki tujuan yang baik maka mereka disyukuri atas tujuannya yang baik itu, dan orang yang beramal shaleh maka mereka disyukuri atas amalan shaleh mereka, dan orang yang berbuat kejelekan maka kami memohon kepada Allah agar mengampuni mereka.

📚(Majmu Al-Fatawa:28/55-56)

Semoga Allah menganugrahkan kepada kita hati-hati yang lembut yang mudah memaafkan.

(Baca Juga : Cara Mudah Tes Al-Quran Salah)

🗓11 Syawwal 1439
✍🏻Muhammad Abu Muhammad Pattawe,
🕌Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=347259859136684&id=100015580180071