Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah
Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Zakat fitri atau zakat fitrah adalah ibadah, maka mestilah dengan niat yang tulus kepada Allah Ta'âlâ dalam menunaikannya, hal ini sebagaimana hadits yang sangat masyhur tentangnya dari Umar bin Khathab radhiyallahu anhu secara marfu' :


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya hanyalah amal-amal itu tergantung niatnya dan hanyalah setiap orang itu mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (Muttafaqun alaih).


Adapun terkait teknis niatnya, maka lembaga fatwa Yordania telah menjelaskannya secara rinci namun ringkas dan padat berdasarkan kepada pendapat ulama Syafi'iyyah (fatwa no. 2718). Pointnya adalah :

1. Jika orang yang mengeluarkan zakat fitrah itu sendiri yang langsung membagikannya, maka ia mesti berniat sebelum menyerahkannya kepada yang berhak atau setidaknya niatnya dibarengi ketika menyerahkan zakatnya, TIDAK BOLEH baginya MENGAKHIRKAN NIATNYA setelah diserahkan kepada yang berhak, begitu juga TIDAK BOLEH MERUBAH NIATNYA setelah diserahkan.


(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")


Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya "al-Majmû'" berkata :

يجوز تقديمها على الدفع للغير قياسًا على الصوم؛ لأن القصد سد خلة الفقير، وبهذا قال أبو حنيفة، وصححه من لا يُحصى من الأصحاب، وهو ظاهر نص الشافعي في الكفارة فإنه قال: لا تجزئه حتى ينوي معها أو قبلها، قال أصحابنا: والكفارة والزكاة سواء

"Boleh untuk mengawalkan pemberian zakat kepada orang lain, diqiyaskan kepada puasa, karena tujuan zakat fitri adalah memenuhi kekurangan kebutuhan orang miskin, ini juga pendapat Abu Hanifah dan dishahihkan oleh ashabnya yang tidak terhitung jumlahnya, ini juga zhahirnya pernyataan Syafi'i terkait kafarah, karena beliau berkata : "tidak sah hingga ia MENIATKAN KETIKA MEMBERIKANNYA ATAU SEBELUMNYA." Ashab kami mengatakan : "kafarah dan zakat itu sama." -selesai-.


2. Begitu juga ketika ia menyerahkannya kepada lembaga amil zakat atau semacam panitia zakat yang nantinya mereka akan menyalurkannya kepada yang berhak, maka SEBELUM ATAU PADA SAAT MENYERAHKAN zakatnya kepada mereka harus dengan niat, hanya saja ketika ia ingin merubah niatnya, maka ia bisa menghubungi terlebih dahulu lembaga zakat tersebut, apakah zakatnya sudah dibagi atau belum, jika belum diserahkan kepada yang berhak menerimanya, maka masih bisa merubah niatnya, namun jika sudah diserahkan, maka tidak bisa lagi merubah niatnya.


Demikian ringkasan penjelasan dari lembaga fatwa Yordania terkait kapan niat itu dihadirkan ketika seseorang hendak mengeluarkan zakat fitrah.


Kemudian niat itu tempatnya adalah di hati, maka tidak disyariatkan melafazhkan niat dalam ibadah, termasuk diantaranya adalah zakat. Dalam "Maushû'ah al-Kuwaitiyyah" (42/68) disebutkan :

يَتَرَتَّبُ عَلَى رَأْيِ الْجُمْهُورِ بِأَنَّ مَحَل النِّيَّةِ الْقَلْبُ

"Pendapat mayoritas ulama bahwa tempat niat adalah di hati...".


(Baca Juga : Kalimat Syahadatain Wajib Dimuliakan)


Kemudian dalam kitab diatas disebutkan terkait hukum melafazhkan niat dengan lisan dalam melakukan peribadatan dari 4 mazhab yang masih eksis, mereka menjelaskannya sebagai berikut :

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.

وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ.

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَالأَْوْلَى تَرْكُهُ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ.

"Hanafiyyah dalam pilihan pendapatnya, Syafi'iyyah dan Hanabilah dalam mazhab resminya bahwa pelafazan niat dalam peribadatan itu sunnah, untuk menyesuaikan lisan dengan hatinya.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa pelafazan niat adalah makruh.

Sedangkan Malikiyah mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama meninggalkannya, kecuali jika timbul was-was, maka dianjurkan melafazkannya, untuk menghilangkan kesamaran."


Akan tetapi dalam kitab diatas dinukil bahwa mayoritas para ulama mengatakan jika lisan yang diucapkan berbeda dengan apa yang diniatkan di hati, maka yang dijadikan patokan adalah apa yang sudah diniatkan di hati.


Syaikhunâ, Sulthan al-Āmiriy hafizhahullah berkata :

الزكاة ، عبادة محلها القلب ، ولايشترط عند تقديمها النطق بها .

ولو نطق بشيء كصدقة ونحوها ونوى أنها زكاة ، فالعبرة بما في قلبه من كونها زكاة .

"Zakat itu ibadah, tempatnya di hati, tidak dipersyaratkan ketika menyerahkannya untuk mengucapkannya.

Seandainya ia mengucapkan sesuatu seperti sedekah dan semisalnya, namun niatnya adalah zakat, maka yang dianggap adalah niat yang di hatinya bahwa itu adalah zakat." -selesai-.


Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid hafizhahullah mempertegas tidak perlunya melafazkan niat dengan mengatakan :

وقالت طائفة من أصحاب مالك ، وأحمد ، وغيرهما : لا يستحب التلفظ بها ؛ لأن ذلك بدعة لم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أصحابه ولا أمر النبي صلى الله عليه وسلم أحدا من أمته أن يلفظ بالنية ولا علم ذلك أحدا من المسلمين ، ولو كان هذا مشروعا لم يهمله النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه

"Sekelompok ulama mazhab maliki, Ahmad dan selainnya mengatakan bahwa tidak dianjurkan untuk melafazkan niat, karena itu adalah BID'AH, tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari para sahabatnya dan tidak pernah diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang pun dari umatnya untuk melafazkan niat dan tidak mengajarkannya kepada seorang pun dari kaum Muslimin, seandainya ini disyariatkan, tentu Nabi tidak akan melalaikannya dan begitu juga para sahabatnya." -selesai-.

 

(Baca Juga : Perhatikan Izin Suamimu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/526509681849322

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras
Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

DR. Mursyid Ma’syuq dalam makalahnya tentang zakat fitrah menurut 4 mazhab, maka beliau mengatakan terkait ukuran yang harus dikeluarkan untuk membayar zakat fitrah :

اتَّفق الفقهاء على أنَّ الواجب إخراجه في الفطرة صاعٌ مِن جميع الأصناف التي يَجوز إخراج الفطرة منها عدا القمح

“para ulama telah bersepakat atas wajibnya mengeluarkan zakat fitrah SEBESAR 1 SHA’ dari semua jenis bahan pokok makanan yang boleh dikeluarkan zakat fitrahnya, kecuali Gandum (para ulama berbeda kadar besarannya).” 


Kemudian al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Raudhah ath-Thaalibiin” (2/303) menyebutkan pendapat yang jadi pegangan dalam mazhab Syafi’I bahwa jenis bahan makanan yang dikeluarkan zakat fitrahnya adalah bahan pokok makanan yang umum dikonsumsi oleh penduduk negerinya, beliau berkata :

فِي الْوَاجِبِ مِنَ الْأَجْنَاسِ الْمُجْزِئَةِ، ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ. أَصَحُّهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ: غَالِبُ قُوتِ الْبَلَدِ،….

“terkait dengan jenis zakat yang wajib dikeluarkan, maka ada 3 pandangan (dalam mazhab Syafi’iyyah), yang paling benar menurut mayoritas ulama adalah bahan pokok yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk setempat….”. -selesai-.


(Baca Juga : Kebijakan Saudi Yang Dimaki)


Adapun di negeri kita tercinta, maka umumnya bahan pokok makanan yang dikonsumsi adalah beras, sehingga zakat yang direkomendasikan untuk dikeluarkan adalah beras yang besarannya senilai 1 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 1 sha’ pada zaman itu adalah setara dengan 4 mud dan 1 mud itu adalah ukuran ceruk dua telapak tangan dewasa yang sedang. Akan tetapi, pada zaman ini kita terbiasa menggunakan ukuran satuan berat, sehingga kita perlu mengetahui konversi 1 sha’ yang dimaksud dengan ukuran kilogram misalnya. Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang nilai konversinya dalam satuan kilogram, mengingat sebenarnya sha’ ini adalah ukuran volume. Namun dengan menggunakan konversi yang lebih tinggi nilainya, maka ini lebih berhati-hati, seandainya ada kelebihannya, maka kelebihannya bisa terhitung sebagai sedekah. 


Barangkali kita bisa mengacu kepada Lembaga ulama yang kredibel terkait besaran zakat beras diatas, misalnya merujuk kepada “al-Lajnah ad-Daaimah li al-Buhuuts wa al-‘Ilmiyyah wa al-Iftaa`”, kerajaan Saudi Arabia, mereka pernah mengeluarkan fatwa (no. 12572) Ketika ditanya tentang ukuran zakat fitrah beras :

القدر الواجب في زكاة الفطر عن كل فرد صاع واحد بصاع النبي صلى الله عليه وسلم، ومقداره بالكيلو ثلاثة كيلو تقريبا

“besaran kewajiban zakat fitrah untuk tiap individu adalah satu sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yakni setara dengan kurang lebih 3 Kg.”

Fatwa ini ditandatangani oleh asy-Syaikh bin Baz sebagai ketuanya, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah Ghudayan rahimahumullah sebagai anggotanya.


Besaran ini juga yang direkomendasikan oleh beberapa komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di berbagai daerah di Indonesia. Di Sebagian daerah, ukuran beras yang digunakan oleh masyarakat Ketika berjual-beli  adalah dengan satuan liter, maka 3 Kg beras itu setara dengan 3.75 liter, untuk memudahkan dan menambah pahala, maka bisa digenapkan menjadi 4 liter.


Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas beras ini beraneka macam, maka al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang telah kami nukil diatas, mengatakan jika kualitasnya dibawah dari kualitas bahan pokok yang biasa dikonsumsi di negerinya, maka ini tidak boleh, sedangkan kualitas yang lebih tinggi, para ulama sepakat akan kebolehannya, setidaknya kualitasnya adalah sama dengan kualitas bahan pokok makanan negerinya, sebagaimana ini juga petunjuk yang diberikan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Sebagai acuan penentuan kualitas ini, maka al-Imam Nawawi menyebutkan patokannya ada dua cara, yaitu dari kualitas barangnya itu sendiri dan dari harganya.

Wallahu A’lam bish Shawaab.


(Baca Juga : Siapapun Presidennya, Inilah Prinsipnya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/525221521978138

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?
Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Asy-Syaikh Sayyid Sabiq dalam "Fiqhus Sunnah" (1/293, cet. Daarul Hadits)  mengangkat pembahasan tentang pemberian zakat fitrah kepada non muslim ahlu dzimmah :

"Imam az-Zuhri, Abu Hanifah, Muhammad (bin Hasan), dan Ibnu Syubrumah membolehkan memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa ta'ala :


لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : Ayat 8). -selesai-. 


(Baca Juga : Merangkul Tanpa Raga)


Namun asy-syaikh al-albani tidak setuju dengan pendapat diatas, beliau dalam "Tamamul Minnah" (hal. 388-389) berkata :

"Dalam ayat diatas tidak ada dalil yang jelas yang membolehkannya, sebab makna ayat diatas adalah perintah berbuat baik kepada mereka melalui shodaqoh yang tidak wajib. Imam Abu Ubaid (no. 1991) meriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata :


كان ناس لهم أنسباء وقرابة من قريظة والنضير وكانوا يتقون أن يتصدقوا عليهم ويريدونهم على الإسلام فنزلت

"Sebagian sahabat memiliki famili dari kalangan Bani Qurodhoh dan Nadhiir, mereka menahan pemberian shadaqah kepada familinya tersebut, mengharapkan agar familinya masuk Islam, lalu turunlah ayat :


{لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ}

"Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari rida Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 272).

Kandungan makna ayat ini, mirip dengan ayat sebelumnya -selesai-. 


Kemudian Imam al-albani menukil pendapat Hasan al-bashri Rahimahullah yang berkata :

ليس لأهل الذمة في شيء من الواجب حق ولكن إن شاء الرجل تصدق عليهم من غير ذلك

"Ahlu Dzimmah tidak memiliki hak apa-apa atas Zakat wajib, namun jika mau seseorang dapat bersedekah kepada mereka diluar Harta zakatnya".


Imam al-albani juga berkata :

وأما إعطاؤهم زكاة الفطر فما علمنا أحدا من الصحابة فعل ذلك وفهم ذلك من الآية فيه بعد بل هو تحميل للآية ما لا تتحمل.

"Adapun memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, aku tidak mengetahui seorang sahabat pun yang melakukannya, demikianlah mereka memahami ayat tersebut. Adapun orang setelahnya, memahami ayat tidak sesuai dengan konteksnya".

Wallahul A'lam.


(Baca Juga : Doakan Anakmu Yang Menuntut Ilmu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/522638165569807

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?
Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?


Asy-Syaikh Abu Malik Kamaal hafizhahullah menyebutkan bahwa ada sebagian ulama kontemporer yang mengatakan tidak disyariatkannya iqomah dengan menggunakan pengeras suara, karena iqamat itu sendiri fungsinya untuk memberitahukan bahwa sholat segera dimulai, sehingga ini hanya untuk orang yang didalam masjid saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-albani rahimahullah (Shahih Fiqih Sunnah (I/291)).


Akan tetapi yang benar menurut asy-Syaikh Abu Malik, bahwa iqamat menggunakan pengeras suara tidak mengapa, hal ini karena terdapat atsar dari shahabi jaliil Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam "al-Muwatha`" dari Naafi' :

 ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ‏( ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻫُﻮَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻘِﻴﻊِ ﻓَﺄَﺳْﺮَﻉَ ﺍﻟْﻤَﺸْﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ‏) 

"Bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa mendengar iqamat pada saat sedang di Baqii', lalu beliau segera berjalan menuju masjid".


(Baca Juga : Sesungguhnya Ilmu Itu Muroja'ah)


Asy-Syaikh Muhammad Sholih al-Munajid menambahkan dalil yang marfu' dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺎﻣْﺸُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻜِﻴﻨَﺔِ ‏

"Jika kalian mendengar iqamat, maka berjalanlah untuk sholat dan hendaknya kalian datang dengan tenang" (Muttafaqun alaih).


Asy-Syaikh beristidlal :

ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻗﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺴﻤﻊ ﻣﻦ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ 

"Hadits ini menujukkan bahwa iqamat diperdengarkan juga sampai keluar masjid pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam".


Wallahu a'lam.


(Baca Juga : China Zaman Doeloe)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/533936787773278

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?
Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Prof. DR. Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam risalahnya seputar qunut witir mengatakan terkait dengan perkara makmum mengamini qunut witirnya Imam, apakah dijahrkan atau dibaca sirr (pelan) :

ولم يأت في الأحاديث والآثار الواردة في قنوت الوتر ما يدل على مشروعية قول المأموم آمين، عند دعاء الإمام بالقنوت

"Tidak ada dalam hadits atau atsar terkait qunut witir yang menyinggung atas disyariatkannya ucapan makmum "Āmîn", ketika Imam berdoa dalam qunut witir..." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika kondisinya seperti ini, maka terjadinya perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait masalah yang kita bahas ini adalah sebuah keniscayaan. Asy-Syaikh al-Walîd bin  Abdullah al-Fariyân dalam bukunya "al-Qunût fî al-Witr" mencoba merinci pembahasan ini terkait dengan makmum apakah mendengar bacaan qunut Imam atau tidak?.


Apabila makmum mendengar bacaan qunut Imam, maka apakah makmum mengamininya dengan jahr atau sirr?, Asy-Syaikh lantas menyebutkan bahwa para ulama SEPAKAT disyariatkannya makmum mengamini qunutnya Imam secara sirr. Adapun apakah dianjurkannya secara jahr, maka dalam hal ini ada 2 pendapat :

A. Dianjurkannya jahr mengucapkan Āmîn. Ini adalah pendapatnya sebagian Hanafiyyah dan yang mu'tamad dalam mazhab Hanbali.

B. Dianjurkan jahr ketika materi qunutnya berupa doa dan sirr ketika materinya berupa pujian. Ini adalah mazhabnya Syafi'i. 


(Baca Juga : Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama)


Asy-Syaikh kemudian merajihkan pendapat yang pertama, dengan alasan diantaranya adalah :

1. Diqiyaskan dengan menjaharkan Āmîn setelah Imam membaca Al-Fatihah.

2. Diqiyaskan dengan jahrnya Amin-nya makmum pada saat qunut nazilah.


Terkait dengan qunut nazilah, maka asy-Syaikh Muhammad Bazmul dalam kitab yang kami nukilkan sebelumnya juga berkata :

لكن ورد ذكر تأمين المأموم على تأمين الإمام في قنوت النازلة

"Namun telah datang penyebutan terkait Amin-nya makmum dalam qunut nazilah."


Kemudian asy-Syaikh mendatangkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang berkata :


قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَه

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya pada (rakaat) terakhir dari setiap shalat. Apabila telah mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir, beliau mendoakan (kehancuran) atas beberapa suku dari Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan ‘Ushaiyyah. Sedangkan (para makmum) di belakang beliau MENGUCAPKAN AMIN." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Syu'aib Arnauth serta dihasankan oleh al-Albani).


Kemudian Prof. DR. Muhammad Bazmul juga ikut merajihkan dianjurkannya makmum menjaharkan Amin-nya, alasannya qunut nazilah yang dibacakan juga pada sholat Maghrib dimana jumlah rakaatnya adalah witir (ganjil), tentunya ini juga sama dengan sholat witir yang rakaatnya ganjil dan tercakup dalam kaedah "apa yang boleh pada sholat fardhu, boleh juga pada sholat sunnah.


Adapun jika makmumnya tidak mendengar bacaan qunut Imam, maka asy-Syaikh al-Walîd tetap merajihkan makmum menjahrkannya, sekalipun disana ada pendapat yang mengatakan makmum membaca qunut sendiri, sebagaimana orang yang membaca Al-Fatihah dan surat sendiri ketika Imamnya sholat sirr.

Wallahu A'lam.


(Baca Juga : Rakyat dan Penegak Hukum Jangan Zalim)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/520603135773310

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah
Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Para ulama telah mencari dimanakah tempat ayat tilawah diantara ribuan ayat dalam Al Qur’an berdasarkan keterangan dari sunah-sunah Nabi sholallahu alaihi wa salam dan ucapan para sahabatnya rodhiyallahu anhum ajma’in. Berdasarkan perhitungan mereka ada 15 tempat yang merupakan ayat tilawah berdasarkan keterangan yang disandarkan kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam dan para sahabatnya. Ke-15 tempat tersebut adalah : 

1. ayat 206 dari surat Al ‘Araaf. 

2. ayat 15 dari surat Ar Ra’du. 

3. ayat 49 surat An Nahl. 

4. ayat 107 surat Al Israa’. 

5. ayat 58 surat Maryam. 

6. ayat 18 surat Al Hajj. 

7. ayat 77 surat Al Hajj. 

8. ayat 60 surat Al Furqoon. 

9. ayat 25 surat An Naml. 

10. ayat 15 surat As Sajdah. 

11. ayat 24 surat Shod. 

12. ayat 37-38 surat Fushilaat. 

13. ayat 62 surat An Najm. 

14. ayat 21 surat Al Insyiqooq. 

15. ayat 19 surat Al ‘Alaq.


Ini adalah hitungan yang dilakukan oleh asy-Syaikh DR. Fahd bin Abdul Aziz dosen Universitas Malik Abdul Aziz dalam sebuah makalah tentang sujud Tilawah yang dipublikasikan oleh Majalah  Bukhutsul Islamiyyah.  


(Baca Juga : Sekilas Tentang Qunut Subuh)


Kemudian  dari  15  tempat ini,  10  ayat  diantaranya  para  ulama  telah  bersepakat  bahwa  itu  tempat  ayat  tilawah yaitu  : 

1.  ayat  206  dari  surat  Al  ‘Araaf. 

2.  ayat  15  dari  surat  Ar  Ra’du. 

3.  ayat  49  surat  An  Nahl. 

4.  ayat  107  surat  Al  Israa’. 

5.  ayat  58  surat  Maryam. 

6.  ayat  18  surat  Al  Hajj. 

7.  ayat  60  surat  Al  Furqoon. 

8.  ayat  25  surat  An  Naml. 

9.  ayat  15  surat  As  Sajdah. 

10.  ayat  37-38  surat  Fushilaat.


Sedangkan  5  tempat lainnya,  para  ulama  berselisih  pendapat  tentangnya,  namun berdasarkan  sunah  yang  valid,  pendapat  yang  rajih  menempatkan  kelima  ayat tersebut termasuk ayat-ayat sujud tilawah. 


(Baca Juga : Rushsakh Menutup Masjid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518900352610255

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?
Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Al-Imam Al Albani rahimahullah dalam kitabnya Tamaamul Minnah fii Ta’liqi ‘alaa Fiqhis Sunnah (hal. 267-cet. Daarur Rooyah) berkata :

“Penulis (asy-Syaikh Sayyid Sabiq) berkata, dari Ibnu Umar Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ ‌بِالسَّجْدَةِ ‌كَبَّرَ، ‌وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ

“Bahwa Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa salaam membacakan Al Qur’an kepada kami, jika melewati ayat sajadah, Beliau bertakbir, lalu sujud dan kami pun sujud bersama Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam.” 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan Al Hakim, lalu beliau berkata : ‘shahih atas syarat Bukhori-Muslim. 


Aku (Al Albani) berkata, ada 2 catatan tentang ucapan penulis : 

1. Hadits ini dhoif, karena dalam sanadnya, sebagaimana riwayat Abu Dawud dan Baihaqi ada perowi yang bernama Abdullah bin Umar al-‘Umariy, ia perowi dhoif, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz dalam at-Talkhiish. Demikian juga dalam Bulughul Marom, Al Hafidz berkata, sanadnya terdapat kelemahan. Nawawi berkata dalam al-Majmuu’, sanadnya dhoif. Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang sujud tilawahnya Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam dibanyak ayat dalam kesempatan yang berbeda-beda, namun tidak disebutkan oleh salah seorang dari mereka, takbirnya Nabi Sholallahu 'alaihi wa salaam ketika sujud. Oleh karenanya, kami condong kepada tidak disyariatkannya takbir ini, dan ini adalah salah satu riwayat pendapatnya Imam Abu Hanifah. 

2. Bahwa Al Hakim tidak meriwayatkan kalimat Takbiir, sedangkan ini adalah masalah yang akan dijadikan dalil dari hadisnya. Beliau meriwayatkan dari jalan ‘Ubaidillah bin Umar al-‘Umariy dengan isim Tasghiir, dan beliau adalah perowi tsiqoh, berbeda dengan saudaranya Abdullah dengan isim al-Mukabbir, ia adalah perowi dhoif sebagaimana penjelasan diatas. Haditsnya terdapat dalam Bukhori-Muslim serta selainnya dari jalan ‘Ubaidillah – dengan al-Mushoghir, bukan al-Mukabbir- yang otomatis juga menunjukkan kelemahan hadits (yang kita bahas-pent.), lihat al-Irwaa’ (471 & 472)." -selesai-.


(Baca Juga : Apakah Orang Awam Wajib Melihat Dalil? )


Demikian juga ini adalah salah satu pendapat al-Imam Malik rahimahullah sebagaimana dalam kitabnya "al-Mudawanah" (1/200) jika itu diluar sholat, beliau berkata :

قَالَ: وَإِذَا قَرَأَهَا وَهُوَ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فَكَانَ يُضَعِّفُ التَّكْبِيرَ قَبْلَ السُّجُودِ وَبَعْدَ السُّجُودِ

"Jika ia membaca sujud tilawahnya di luar sholat, maka beliau melemahkan takbir sebelum dan sesudah sujud." -selesai-.


Adapun didalam sholat, maka jika bertakbir untuk sujud dan juga ketika bangkit darinya, maka mayoritas ulama mensyariatkannya. Al-Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya diatas mengatakan :

وَقَالَ مَالِكٌ: مَنْ قَرَأَ سَجْدَةً فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ إذَا سَجَدَهَا وَيُكَبِّرُ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهَا

"Barangsiapa yang membaca ayat-ayat sujud tilawah dalam sholat, maka ia bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika mengangkat kepala darinya." -selesai-.


DR. Muhammad Na'im dalam kitabnya "Maushû'ah Masâ`il al-Jumhûriyah" (1/183) berkata :

جمهور الفقهاء على أن الساجد للتلاوة يكبِّر إذا خفض للسجود ويكبِّر إذا رفع منه، وممن رُوي عنه التكبير لسجود التلاوة ابن سيرين والحسن وأبو قلابة والنخعي ومسلم ابن يسار وأبو عبد الرحمن السلمي وبه يقول الشافعي وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي.

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang bersujud tilawah itu bertakbir ketika turun sujud dan bertakbir ketika bangkit darinya. Yang berpendapat disyariatkannya takbir adalah Ibnu Sirîn, al-Hasan al-Bashri, Abu Qilâbah, an-Nakho'iy, Muslim bin Yasâr, Abu Abdir Rahman as-Sulamiy dan ini adalah pendapatnya Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan ashabu Ra`yu." -selesai-.


Alasan jumhur sebagaimana yang telah disampaikan oleh al-'Allâmah ibnu Utsaimin -via islam web- :

ولكن السُّنَّة تدلُّ على أنه -أي سجود التلاوة- ليس فيه تكبير عند الرَّفع ولا سلام إلا إذا كان في صلاة، فإنه يجب أن يُكبِّرَ إذا سَجَدَ ويُكبِّرَ إذا رَفَعَ؛ لأنه إذا كان في الصَّلاة ثَبَتَ له حُكم الصَّلاة، .... وثَبَتَ عنه أنَّه كان يُكبِّر في كُلِّ رَفْعٍ وخَفْضٍ فيدخل في هذا العموم سُجودُ التِّلاوة. انتهى.

"Namun yang sunnah menunjukkan bahwa sujud tilawah tidak ada takbir ketika mengangkat kepala dari sujud dan juga tidak ada salam, kecuali dalam sholat, maka wajib untuk bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika bangkit, karena jika itu didalam sholat maka berlakulah padanya hukum sholat....telah valid dari bahwa Beliau bertakbir setiap bangkit dan juga turun sujud, maka sujud tilawah masuk kedalam keumuman ini." -selesai-.


Oleh sebab itu, apa yang dirinci oleh al-Imam Malik radhiyallahu anhu yang bertakbir ketika sujud tilawah dalam sholat dan tidak bertakbir ketika sujud tilawah diluar sholat adalah menurut kami pendapat yang rajih dalam masalah ini.

Wallahu A'lam bish-shawâb.


(Baca Juga : Kilasan Tentang Ilmu Riwayat)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518679895965634

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari
Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Pada saat awal-awal mulai mengikuti kajian "Sunnah", ustadz kami mengajarkan kitab Tsalatsah Ushul karya al-Imam al-Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab, dalam salah satu bahasan disebutkan perkataan al-Imam Bukhari yang menyebutkan dalam kitab Shahihnya bab "al-Ilmu qobla al-qoul wa al-'Amal" (ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan), yang menarik dari penjelasan ustadzunaa adalah bahwa al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya didalam membuat judul bab itu sudah mengisyaratkan akan hukum-hukum tertentu dalam syariat kita.


Sebagai pemula pada waktu itu, yang tahu Shahih Bukhari hanya dari judulnya saja, maka tidak begitu paham apa yang dimaksud oleh Ustadzunaa, sampai akhirnya tatkala diberikan bimbingan oleh guru-guru kami yang lain untuk mengenal Shahih Bukhari lebih intens lagi, maka sedikit ada gambaran terkait dengan faedah-faedah pada judul-judul bab di shahih Bukhari.


Barangkali ulama yang dengan gemilang mampu menerjemahkan judul-judul bab dalam Shahih Bukhari adalah penulis syarah Shahih Bukhari yang sampai zaman ini belum ada yang bisa menandinginya, yaitu kitab Fathul Bariy yang ditulis oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah. Beliau seolah-olah diangkat oleh Imam Bukhari sebagai juru bicaranya, padahal mereka berdua terpaut jauh ratusan tahun, namun Al Hafizh dengan ketajaman analisanya mampu menyinkronkan diri dengan kecerdasan Imam Bukhari, karena ada beberapa judul bab antara hadits yang dibawakan dibawah judul bab tersebut dengan tema babnya harus mengernyitkan dahi terlebih dahulu untuk menemukan korelasinya dan Al Hafizh dapat melalui tantangan ini dengan sangat baik, beliau mampu menemukan jalan pikiran Imam Bukhari memberi judul bab tersebut dengan dilalah yang terkandung didalam hadits yang dibawakan, bagi yang ingin bukti akan hal tersebut dapat melihat beberapa coretan kami mengenai sebagian syarah Shahih Bukhari, misalnya yang terbaru adalah Syarah Kitab Shoum min Shahih Bukhari yang masih belum selesai penulisannya.


(Baca Juga : Pembahasan Ulumul Hadits)


Kemudian ada juga ulama yang disamping memecahkan kaitan antara hadits yang dibawakan dengan judul bab, juga terkadang memperbincangkan juga kaitan antara judul bab dengan judul kitabnya, karena Shahih Bukhari itu terdiri dari beberapa kitab, seperti Kitab al-Ilmu, Kitab Sholat dan seterusnya, kemudian dalam kitab terdiri dari beberapa bab. Selain itu juga kadang beliau membahas kaitan antara bab tersebut dengan bab sebelumnya. Ulama tersebut adalah al-'Alamah Badruddin al-'Ainiy al-Hanafiy (w. 855 H) rahimahullah dalam kitabnya "Umdah al-Qaariy Syarah Shahih al-Bukhariy".


Bab-bab Shahih Bukhari terutama dalam masalah Fiqih menjadi kajian ulama untuk mengetahui kemanakah al-Imam Bukhari memiliki kecondongan dalam mazhab fiqihnya?, Dalam tulisan kami terdahulu, sedikit kami ulas mazhab fiqih beliau dan kami unggulkan kajian yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa al-Imam Bukhari independen dalam mazhab fiqihnya bahkan beliau adalah seorang mujtahid mutlak yang menggali hukum fiqih langsung dari al-Kitab dan as-Sunnah.


Kemudian kita dapati para ulama kontemporer membuat risalah tersendiri yang berbicara secara khusus penafsiran bab-bab tersebut, dan sudah lahir juga melalui sidang akademik tesis magister dan disertasi doktoral yang temanya adalah membahas terjemahan judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.


Memang secara umum para ulama mengatakan bahwa pandangan fiqih para Aimah penulis kitab hadits ada pada judul bab yang diketengahkannya, sekalipun tidak mesti bahwa judul bab itu adalah pandangan fiqihnya secara mutlak, karena terkadang mereka membawakan judul bab untuk memberikan wacana kepada pembacanya terkait sebuah tema fiqih dengan membawakan hadits-hadits yang dilalahnya dapat memberikan faedah hukum sebagaimana judul bab tersebut.


Kembali kepada Shahih Bukhari, maka para pensyarahnya akan memberikan perhatian terhadap judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari bahkan tidak jarang juga ada lebih kurang penamaan judul babnya ketika dibandingkan dengan naskah-naskah shahih Bukhari yang ada, maka catatan perbedaan ini akan mereka ketengahkan kepada pembaca karena bisa jadi memiliki implikasi fiqih hadits yang berbeda dari Imam Bukhari atau malah lebih memperjelas lagi fiqih hadits yang disampaikan oleh al-Imam.


Jazakumullah khoir kepada para ulama dalam berkhidmat terhadap Islam.


(Baca Juga : Istiwa' Allah di Atas 'Arsy)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/264201391413487