Apakah Makmum Masbuk Membaca Doa Iftitah?

Apakah Makmum Masbuk Membaca Doa Iftitah?
Apakah Makmum Masbuk Membaca Doa Iftitah?


APAKAH MAKMUM MASBUK MULAI SALATNYA DENGAN  DOA IFTITAH JUGA?


Makmum masbuk ketika mendapati Imam sedang salat, maka ada dua kondisi secara umum :

1. Ia mendapati Imam dalam kondis berdiri, baik pada rakaat kedua, ketiga atau keempat misalnya. Maka dalam hal ini perlu melihat kondisinya :

✓ Jika waktunya masih longgar, misalnya sang imam baru membaca Al-Fatihah, maka disyariatkan baginya membaca doa istiftah. Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam "al-Majmû'" (3/275, via islamqa) berkata :

وإن أدركه في القيام ، وعلم أنه يمكنه دعاء الاستفتاح والتعوذ والفاتحة أتى به , نص عليه الشافعي في الأم وقاله الأصحاب.....

"Jika ia mendapati Imam sedang berdiri dan ia tahu bahwa waktunya memungkinkan baginya untuk membaca istiftah, ta'awudz dan membaca Al-Fatihah, maka ia kerjakan itu semuanya, ini dinashkan dari Imam Syafi'i dalam "al-Umm" dan dikatakan oleh rekan-rekan beliau juga...".


(Baca Juga : Menghadap Kiblat)


✓ Jika waktunya sempit, maka didahulukan Al-Fatihah, karena ini yang paling tinggi hukumnya dari pada yang lainnya. Al-Imam bin Baz rahimahullah ketika ditanya terkait makmum masbuk yang mendapati Imam sudah membaca surat, maka beliau rahimahullah menjawab :

ويقرأ الفاتحة إذا كان يخشى ركوع الإمام

"Ia membaca Al-Fatihah, jika khawatir Imamnya sudah ruku'."


Namun jika makmumnya sudah tahu bahwa kebiasaannya Imam membacanya surat yang panjang, maka berlaku sebagaimana point diatas, asy-Syaikh bin Baz rahimahullah masih melanjutkan :

أما إن كان يعرف من حال الإمام وقراءته أنه يمديه أن يستفتح ويأتي بالفاتحة فلا بأس

"Adapun jika ia mengetahui kondisi Imam dan bacaan suratnya panjang, maka ia membaca Istiftah, lalu Al-Fatihah, maka ini tidak mengapa."


Bahkan atas pendapat yang mengatakan tidak perlu membaca Al-Fatihah pada salat Jahriyyah pada rakaat kesatu dan keduanya Imam, namun ia mendapati Imamnya sudah membaca surat, maka ia disyariatkan membaca Al-Fatihah. Masih dari jawaban asy-Syaikh bin Baz rahimahullah :

لكن الفاتحة مستثناة

"....namun Al-Fatihah itu dikecualikan....".


(Baca Juga : Apakah Sah Puasa Orang Yang Tidak Sholat?)


Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah sendiri merajihkan pendapat bahwa pada salat Jahriyyah, makmum itu diam ketika Imam membaca, sehingga menurut beliau tidak perlu membaca doa istiftah.


✓ Jika hal itu pada salat Sirriyyah, maka sebenarnya sama melihat pada dua kondisi diatas, yakni apabilah si makmum masbuq tahu waktunya cukup untuk istiftah dan Al-Fatihah, maka laksanakan keduanya, asy-Syaikh bin Baz rahimahullah telah menerangkannya dengan jelas :

أما إذا كانت سرية ويظن أنه يمكنه أن يستفتح ويقرأ، فيستفتح ثم يقرأ الفاتحة

"Adapun jika salat Sirriyyah dan ia mengira cukup baginya istiftah dan membaca Al-Fatihah, maka bacalah Istiftah, lalu Al-Fatihah."


Hanya saja saran dari asy-Syaikh bin Baz rahimahullah layak untuk diterapkan, yakni ia membaca doa istiftah yang pendek-pendek saja.


2. Ia mendapati Imam selain pada posisi berdiri, misalnya pada saat sujud atau tasyahud, maka dalam hal ini tidak perlu membaca doa Istiftah. Al-Imam Baghowi sebagaimana dinukil oleh al-Imam Nawawi dalam kitabnya diatas, beliau rahimahullah berkata :

ولو أدرك مسبوق الإمام في التشهد الأخير فكبر وقعد فسلم مع أول قعوده قام ولا يأتي بدعاء الاستفتاح لفوات محله

"Seandainya makmum masbuk mendapati Imam ketika tasyahud akhir, maka ia bertakbir, lalu duduk...dan ia tidak perlu membaca doa istiftah, karena sudah terlewat dari tempatnya." -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Pentingnya Meluruskan Niat)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/548400126326944

Indonesia Adalah Negara Islam Terbesar di Dunia

Indonesia Adalah Negara Islam Terbesar di Dunia
Indonesia Adalah Negara Islam Terbesar di Dunia

Istilah negara Islam sering disebut dengan Darul Islam atau Daulah Islam. Yang dimaksud dengan kata "ad-Daar" adalah :

البلدُ والوطنُ الذي يسكنه مجموعةٌ مِن النّاس، ويعيشون تحتَ سلطةٍ واحدة، وأقرب ما يُقابل الدارَ في الاصطلاح السّياسي المعاصر لفظُ: "الدّولة".

"Negara dan tanah air yang ditempati oleh sekelompok orang dan mereka hidup dibawah satu penguasa. Dan yang mendekati istilah ad-Daar dalam kamus politik kontemporer adalah kata "ad-Daulah".


Para ulama telah bersepakat secara global untuk membagi ad-Daar menjadi dua, Daar Islam dan Daar Kufur. Ada beberapa hadits yang memperkuat pendapat ini, diantaranya adalah hadits Buraidah radhiyallahu anhu dimana beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ، أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ ... 

ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ،...

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasanya ketika mengutus pimpinan pasukan atau satuan khusus, Beliau berwasiat (beberapa hal, salah satu isinya : ) ... Lalu ajaklah mereka memeluk Islam, jika mereka mau, maka terimalah dan tahan diri kalian untuk menyerang mereka, lalu ajaklah mereka berpindah dari negerinya ke negerinya kaum muhajirin"...(HR. Muslim (1731).


(Baca Juga : Prinsip Dakwah Salafiyyah)


Dalam hadits diatas disebutkan dua "Daar", yakni negara mereka yang kafir pada waktu itu dan negaranya kaum Muhajirin yang merupakan daulah islam pada waktu itu.


Kemudian Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah tatkala mendefinisikan "Daar Islam", beliau berkata dalam kitabnya "Ahkaam Ahli adz-Dzimmah" :

قال الجمهور: دارُ الإسلام هي التي نزلها المسلمون، وجرت عليها أحكامُ الإسلام

"Mayoritas ulama berkata, negara Isl adalah negara yang ditinggali kaum Muslimin dan berlakunya atasnya hukum-hukum Islam". -selesai-.


Maka acuan dalam menghukumi sebuah negara itu adalah negara Islam yang pertamakali dilihat adalah ketundukan mereka kepada penguasa kaum Muslimin dan berlakunya hukum-hukum islam atasnya, tidak dipersyaratkan yang tinggal di negara tersebut semuanya atau mayoritasnya beragama Islam.


Sebuah negara disebut sebagai negara Islam atau negara kafir bukanlah sifat yang melekat selamanya, artinya jika kondisi penguasa dan penduduknya berubah, maka berubah juga status negaranya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam "Fatawanya" berkata :

وكونُ الأرضِ دارَ كفر ودارَ إيمان أو دار فاسقين ليست صفةً لازمةً لها؛ بل هي صفةٌ عارضةٌ بحسب سكانها ..، فإنْ سكنها غيرُ ما ذكرنا وتبدّلت بغيرهم فهي دارُهم

"Keadaan sebuah daerah, baik negara kufur, negara Iman atau negara fasik, bukanlah sifat yang terus-menerus, bahkan ini adalah sifat yang timbul sesuai dengan kondisi warga negaranya..., Jika yang tinggal di negara tersebut, bukan sebagaimana yang kami sebutkan dan telah berganti dengan selain mereka, maka statusnya adalah negara mereka (yang baru mendiami tempat tersebut)". -selesai-.


Ada beberapa pendapat para ulama terkait kapan sebuah negara Islam berubah menjadi negara kafir, sehingga kemudian dihukumi sebagai negara kafir ketika itu, sebagai berikut :

1. Sebuah negara yang sudah menjadi negara Islam, maka ia tidak akan berubah menjadi negara kafir secara mutlak, sekalipun dikuasai oleh orang kafir. Ini adalah pendapatnya Syafi'iyyah.


2. Negara Islam tidaklah berubah menjadi negara kafir, kecuali jika terkumpul 3 syarat berikut :

A. Berlakunya hukum kafir atas kaum Muslimin;

B. Digabungkan dengan Daar Harb (negara yang sedang dijajah);

C. Kaum Muslimin sudah tidak merasa aman menjalankan agama, sebagaimana sebelumnya.

Ini adalah pendapatnya Imam abu Hanifah.


3. Negara Islam tidak berubah menjadi negara kafir, hanya sekedar dikuasai oleh orang Kafir dan diberlakukannya hukum orang kafir, selama syariat Islam masih dapat ditegakkan oleh kaum muslimin disitu. Ini adalah pendapatnya Malikiyyah.


4. Negara Islam berubah menjadi negara kafir, jika dikuasai oleh orang kafir dan hukum kafir nampak diberlakukan padanya. Ini adalah pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad - keduanya murid Imam Abu Hanifah - dan juga pendapatnya sebagian Hanabilah;


5. Negara Islam yang dikuasai oleh orang kafir dan hukum mereka nampak diterapkan padanya, namun kaum muslimin masih menjadi penduduknya, maka ini disebut dengan "Daar  Murakabbah". Ini adalah pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika memberikan fatwa kepada penduduk Maaridiin yang merupakan daerah yang ditempati oleh kaum Muslimin tapi tentara dan hukumnya dibawah pemimpin Tartar.


Berdasarkan keterangan diatas maka negara-negara Islam pada hari ini secara umumnya adalah negara islam, karena masih dibawah penguasa muslim dan nampaknya hukum dan syiar islam ditengah-tengah mereka dan PENERAPAN HUKUM BUATAN tidaklah mengeluarkannya dari negara islam dengan alasan sebagai berikut :

1. Hukum asal dalam syariat adalah tetap nya sesuatu, tidaklah ia berpindah dari hukum asalnya, kecuali karena sesuatu yang yakin yang menyebabkannya berpindah. Imam al-Kasaaniy -dari kalangan mazhab Hanafi- dalam "Bada'iu ash-Shona'ii" berkata :

فلا تصيرُ دارُ الإسلامِ بيقينٍ: دارَ الكفرِ بالشّكِّ والاحتمالِ، على الأصلِ المعهود: أنّ الثّابتَ بِيَقينٍ لا يزولُ بالشّكِّ والاحتمال

"Tidaklah berubah negara islam yang sudah yakin ketetapannya, menjadi negara kafir karena keraguan dan kemungkinan-kemungkinan...".


2. Bahwasanya syariat menganggap nampaknya syiar-syiar keislaman seperti azan, sholat jum'at dan berjamaah sebagai tanda yang menunjukkan bahwa itu adalah negara islam. Imam ibnu Abdil Barr -dari kalangan ulama mazhab Maliki- dalam kitabnya "al-Istidzkaar" mengatakan :

ولا أعلمُ خلافًا في وجوبِ الأذانِ جملةً على أهل الأمصار؛ لأنّه مِن العلامة الدّالة الـمُفرِّقةِ بين دار الإسلام ودار الكفر

"aku tidak mengetahui adanya perbedaan tentang wajibnya azan secara umum kepada penduduk suatu negara, karena ini adalah tanda yang membedakan antara negara islam dengan negara kafir".


(Baca Juga : Benarkah Allah Tertawa?)


Dalam Shahihain dari Anas radhiyallahu anhu beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ، وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَمَا يُصْبِحُ

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika memerangi suatu kaum, maka Beliau menunggu sampai subuh, jika terdengar azan ditengah-tengah mereka, Beliau menahan untuk menyerangnya, ....".


3. Bahwa negara ini adalah negara Islam yang telah lama ditetapkan kondisinya dan umumnya penduduknya senantiasa menampakkan keislaman secara terang-terangan pada siang hari, maka bagaimana bisa ia dihukumi berpindah menjadi negara kafir yang kondisinya masih seperti itu?. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam "Fatwanya" berkata :

فكلُّ أرضٍ سكّانُها المؤمنون المتقون هي دارُ أولياءِ الله في ذلك الوقت، وكلُّ أرضٍ سُكّانها الكفّار فهي دارُ كفرٍ في ذلك الوقت

"Setiap daerah yang kaum mukminin tinggal disitu maka ini adalah negara nya para wali Allah pada waktu itu dan setiap daerah yang orang kafir tinggal disitu maka ia adalah negara kufur pada waktu itu".


4. Kaum muslimin di negara-negara tersebut aman darah, harta dan kehormatannya. Imam as-Sarkhosiy dalam kitabnya "Syarah as-Siyar al-Kabiir" berkata :

إنَّ دارَ الإسلامِ اسمٌ للموضع الذي يكون تحتَ يدِ المسلمين، وعلامةُ ذلك أنْ يأمنَ فيه المسلمون

"Negara islam adalah nama suatu tempat yang berada dibawah kepemimpinan kaum muslimin dan tandanya adalah kaum muslimin aman berada di tempat tersebut".


5. Perubahan yang dihasilkan oleh hukum buatan manusia terhadap hukum syariat tidak lah total menyeluruh. Kenyataan hukum-hukum syariah masih berjalan dan diberlakukan pada beberapa bidang, misalnya hukum pernikahan, akhwal syakhsyiyyah dan sebagian negara malah memberlakukan hukum syariah yang berkaitan dengan harta. Oleh karenanya penerapan hukum-hukum syariat ini ditambah yang utama nampaknya syiar islam dan bebasnya kaum muslimin mendakwahkannya, menunjukkan sifat Islam masih layak disandingkan pada negara tersebut.


6. Hukum-hukum orang kafir tidaklah nampak jelas pada negara ini, bahkan kebalikannya. Diantara kekeliruan yang terjadi adalah membatasi hukum islam sebatas hudud (pidana) saja, padahal ini adalah bagian dari hukum islam, karena hukum syariah ini banyak mencakup seluruh apa yang diperintahkan oleh syariat seperti pendidikan agama, pengajaran tauhid, mengeraskan suara azan, membangun masjid dll. Al-Qodhi Abu Ya'laa -dari kalangan ulama mazhab Hanbali- dalam kitabnya "al-Mu'tamad fii Ushuul ad-Diin" berkata :

كلُّ دارٍ كانت الغلبةُ فيها لأحكام الإسلام دون الكفرِ فهي دارُ الإسلام

"Setiap negara yang secara umum diterapkan hukum islam padanya, bukan hukum kafir, maka ia adalah negara Islam".


7. Perkataan ahli fiqih yang mengatakan bahwa negara islam berubah menjadi negara kafir, jika nampaknya hukum-hukum kufur padanya, maka yang dimaksud oleh mereka adalah berkuasanya orang-orang kafir di negara tersebut, sehingga mereka membuang syiar-syiar islam dan menerapkan hukum jahiliyyah. Bukanlah yang dimaksud sekedar menerapkan hukum kafir seperti undang-undang buatan manusia.


Oleh sebab itu perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa seluruh negara Islam telah berubah menjadi negara kafir adalah perkataan yang mungkar yang menyelisihi syariat dan mereka tidak memiliki sandaran perkataan ulama sebelumnya. Terlebih lagi mereka "gebyah uyah" dalam menghukumi semua negara islam, bahwa sampai Mekkah dan Madinah tidak mereka kecualikan, padahal telah tsabit dari hadits shahihah akan tetap nya dua  tanah suci tersebut sebagai negeri islam. Misalnya hadits Haris bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata :


سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ يَقُولُ : " لَا تُغْزَى هَذِهِ بَعْدَ الْيَوْمِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ".

"aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada waktu penaklukkan Mekkah berkata : "tidak akan diperangi negeri ini setelah (ditaklukkan) pada hari ini sampai hari kiamat." (HR. Tirmidzi (1611), dinilai oleh beliau sendiri, hasan shahih).


Diringkas dari : https://islamicsham.org/fatawa/3036


Salah satu ahli ilmu negeri kita tercinta ini, memberikan penjelasan yang senada sebagaimana yang ditulis diatas dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Islam, beliau adalah al-Ustadz al-Fadhil Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafizhahullah (https://youtu.be/HzD9S4YoMYo).


Pun senada dengan pendapat saudaranya yang setara yang telah memutih rambutnya diatas ilmu dan amal, al-Ustadz al-Fadhil Yazid bin Abdil Qodir Jawas (https://youtu.be/x-04_wEwlU0).


(Baca Juga : Penjelasan Makna Iman Kepada Qadar)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/129573898209571

Cara Menebus Dosa Ghibah

Cara Menebus Dosa Ghibah
Cara Menebus Dosa Ghibah

Imam Nawawi dalam kitabnya "al-Adzkar" (hal. 346, tahqiq Syu'aib Arnauth)  menurunkan sebuah judul bab : "بابُ كَفَّارةِ الغيْبةِ والتَّوْبَةِ منها" (bab (cara) menebus dosa ghibah dan bertaubat darinya).


Pada awalnya beliau menyebutkan syarat-syarat diterimanya taubat yang sudah masyhur diketahui, kemudian beliau menambahkan terkait dosa akibat kezhaliman kepada sesama manusia, maka syarat diterimanya taubat adalah meminta dihalalkan atas kezhaliman yanh pernah dilakukan kepada orang lain. Kemudian terkaiat mengghibahi orang lain, maka Imam Nawawi menjelaskan cara menebusnya, kata beliau :

فيجبُ على المغتاب التوبة بهذه الأمور الأربعة، لأن الغيبة حقّ آدمي، ولا بدّ من استحلاله مَن اغتابَه

"Wajib bagi orang berbuat ghibah bertaubat dengan menambahkan perkara yang keempat (yaitu terkait kezhaliman kepada orang lain, pent.), karena ghibah terkait hak yang didholimi, maka harus meminta kehalalan kepada orang yang dighibahinya" -selesai-. 


(Baca Juga : Mengikuti Pendapat Selain 4 Imam Madzhab)


Bagaimana teknis meminta kehalalannya?, apakah dia cukup mengatakan secara umum, "mohon maafkan saya, yang mungkin pernah menggibahimu!", atau ia harus mendetailkan kapan ia menggibahinya dan tema apa yang dijadikan bahan ghibahan kepadanya? 


Imam Nawawi menerangkan :

فيه وجهان لأصحاب الشافعي رحمهم الله: أحدهما يُشترط بيانُه، فإن أبرأه من غير بيانه، لم يصحّ، كما لو أبرأه عن مال مجهول.

والثاني لا يُشترط، لأن هذا مما يُتسامحُ فيه، فلا يُشترط علمه، بخلاف المال، 

والأوّل أظهرُ، لأن الإِنسانََ قد يسمحُ بالعفو عن غيبة دونَ غِيبة

"Ada dua versi pendapat dikalangan ulama syafi'iyah :

1. Diharuskan mendetailkannya, jika ia minta dihalalkan tanpa menjelaskannya, maka tidak sah taubatnya, sebagaimana kalau ia minta dihalalkan dari jumlah uang (yang diambilnya tanpa hak) tanpa menjelaskan jumlahnya. 

2. Tidak harus menerangkannya secara rinci, karena ini adalah sesuatu yang bisa ditoleransi, sehingga tidak mesti memberitahunya, berbeda dengan Harta. 

(Kata Imam nawawi ) pendapat pertama lebih kuat, karena seseorang bisa memberikan toleransi untuk memaafkan ghibah tertentu, tapi kalau (ia tahu) dighibahi dengan tema tertentu, ia tidak bisa menerimanya. 

Wallahul a'lam.


(Baca Juga : Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/546951243138499

Urgensi Kajian Sanad Hadits

Urgensi Kajian Sanad Hadits
Urgensi Kajian Sanad Hadits


Urgensi kajian isnad adalah untuk mengetahui secara pasti terhadap hadits-hadits yang diterima dan ditolak. Kajian sanad adalah untuk membuktikan persyaratan hadits shahih sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu mustholah hadits. Ada tiga point terkait pembahasan sanad yaitu :

1. Ketersambungan sanad;

2. Keadilan perowinya;

3. Kezhabitan perowinya.


Asy-Syaikh Amr bin Abdil Mun'im Hafizhahullah menyebutkan 5 tahapan kajian sanad dalam kitabnya "Taisiir Diraasat al-Asaaniid lil Mubtadi'iin", kami ringkaskan sebagai berikut :

A. Tahapan pertama adalah melihat kepada tulisan-tulisan yang berisi biografi perowi sesuai dengan kitab hadits yang akan ditakhrij. 

✓ ketika tema penelitian sanadnya adalah kutubus sittah, maka bisa merujuk kepada kitab "Tahdziib al-Kamaal", karya Imam al-Mizzi dan "Tahdziib at-Tahdziib", karya Al Hafidz Ibnu Hajar. Dalam kitab-kitab tersebut kita bisa mengetahui apakah si perowi memang memiliki guru yang bernama fulan dalam kajian sanad hadits yang kita teliti, begitu juga ketersambungannya dengan muridnya. Kemudian kita bisa mendapatkan juga penilaian para ulama terhadap keadilan dan kedhobitan perowi dalam sanad yang sedang kita bahas. Apabila terjadi perbedaan penilaian terhadap perowi tersebut, maka insya Allah akan kita bahas terkait qowaid dan dhowabith jarh wa ta'dil pada pembahasan selanjutnya;


(Baca Juga : Ilmu Itu Rasa Takut)


✓ ketika biografi perowinya tidak terdapat dalam kitab diatas, maka kita bisa merujuk kepada kitab-kitab lainnya. Misal :

¶ al-Jarh wa Ta'dil, karya Imam Ibnu Abi Hatim;

¶ Miizaan al-I'tidal, karya Imam adz-Dzahabi;

¶ Lisaan al-Miizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar;

Dll.


B. Tahapan kedua adalah merujuk kepada kitab-kitab al-Maraasiil.

Yakni kitab-kitab yang berisi hadits-hadits mursal atau munqathi' (terputus sanadnya). Diantara kitab yang dapat dijadikan rujukan adalah :

¶ al-Maraasiil karya Imam Abu Dawud

¶ al-Maraasiil karya Imam Ibnu Abi Hatim


Tujuan merujuk kepadanya adalah untuk mengetahui bahwa hadits yang kita bahas atau perowinya dalam meriwayatkan dari fulan tertentu termasuk kedalam hadits mursal yang artinya terjadi keterputusan sanad.


C. Tahapan ketiga adalah melihat kepada kitab-kitab thabaqat.

Seperti kitab Siyar A'laam an-Nubalaa', karya Imam adz-Dzahabi dan beberapa kitab tarikh.


D. Tahapan keempat adalah merujuk kepada kitab-kitab al-Wafiyaat dan al-Mawaaliid.

Yakni untuk mengetahui tahun kelahiran dan kematian perowi, sehingga apakah memungkinkan si perowi mendengar dari gurunya atau tidak berdasarkan masa hidup yang mereka tempuh.


E. Tahapan kelima adalah mengacu kepada kitab-kitab yang berisi daftar-daftar perowi mudalisiin.

Seperti kitabnya Al Hafidz Ibnu Hajar yang berjudul "Thabaqaat al-Mudalisiin".


Dari kelima tahapan tersebut kita baru mengkonfirmasi tiga persyaratan hadits shahih terkait sanadnya sebagaimana dijelaskan diatas adapun dua syarat berikutnya yaitu terbebas dari cacat dan syadz, maka ini berkaitan juga dengan matan (isi) hadits yang Insya Allah akan datang penjelasannya.


(Baca Juga : Bersabar Dalam Dakwah)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/546516356515321

Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?

Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?
Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?


SIAPA ASHÂGHIR (ANAK KEMARIN SORE) YANG DITAHDZIR TIDAK BOLEH DIAMBIL ILMUNYA?


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang langsung mentahdzir umatnya agar tidak mengambil dari mereka-mereka yang Beliau namakan dengan "al-Ashâghir" :


إنَّ من أشراطِ الساعةِ أنْ يُلتمسَ العلمُ عند الأصاغرِ

"Sesungguhnya diantara tanda kiamat adalah dicarinya ilmu dari sisi al-Ashâghir (orang-orang kecil)."


Hadits diatas dinilai shahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dan beliau telah mentakhrijnya dengan baik dalam kitabnya "ash-Shahihah".


Penjelasan yang ingin kita ketahui lebih lanjut adalah siapakah ashâghir tersebut, apakah ia merujuk kepada umur yakni masih mudanya umurnya sebagaimana ini makna bahasa atau ada pengertian lainnya?, Maka dalam hal ini tentunya kita butuh kepada keterangan para ulama terkait makna "ashâghir" yang ditahdzir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar dijauhi, walaupun kenyataan berbicara banyak kaum Muslimin menggandrungi mereka ketika mempercayakan mengambil ilmunya, yang berarti bahwa usia dunia ini telah cukup tua untuk menuju kematiannya dengan kiamat yang akan terjadi.


(Baca Juga : 20 Ayat Al-Quran Tentang Jihad)


DR. Sa'id bin Sâlim ad-Demarkiy telah merangkum keterangan para ulama terkait dengan tema yang kita angkat ini, yang akan saya ringkaskan sebagai berikut :

1. Mereka yang tidak mengacu kepada pemahaman sahabat. Al-Imam Abdur Razaq rahimahullah dalam kitab "Mushonafnya" meriwayatkan dari shahabi jalîl Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu :

لا يزال الناس مشتملين بخير ما أتاهم العلم من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ومن أكابرهم، فإذا أتاهم العلم من قبل أصاغرهم، وتفرقت أهواؤهم؛ هلكوا

"Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para sahabat Nabi dan dari seniornya, jika mereka mengambil ilmu dari jalan ashâghir yang berpecah mengikuti hawa nafsunya, niscaya mereka akan binasa."


2. Mereka adalah ahlu bid'ah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Ibnul Mubârak rahimahullah :

الأصاغر : أهل البدع

"Ashâghir adalah ahlu bid'ah."


3. Ashâghir itu tidak melulu terkait dengan usianya yang masih junior, namun ini kepada sikap pandangan agamanya. Al-Imam Ibrahim al-Harbiy rahimahullah berkata :

الصغير إذا أخذ بقول رسول الله والصحابة والتابعين فهو كبير، والشيخ الكبير إن ترك السنن فهو صغير

"Shaghir itu jika mengambil dari ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sahabat dan Tabi'in, maka ia adalah kabir (senior), namun syaikh (yang sudah sepuh) jika meninggalkan sunnah-sunnah, maka ia shaghir."


4. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak ada ilmu disisinya, al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil perkataan para ulama :

وقالوا: الجاهل صغير وإن كان شيخاً، والعالم كبير وإن كان حدثاً

"Orang yang bodoh itu shaghîr sekalipun usianya sudah sepuh, sedangkan orang yang berilmu itu kabir sekalipun baru anak kemarin sore."


Sehingga dari sini kita mendapatkan kesimpulan bahwa orang-orang kecil yang ditahdzir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak dimaksudkan merujuk kepada usianya yang masih muda, tetapi lebih kepada komitmennya terhadap ilmu-ilmu yang berlandaskan kepada sunnah-sunnah Nabi dengan pemahaman para sahabat Nabi yang merupakan salafnya umat ini. Oleh sebab itu, para Du'at Salafiyyin dimanapun berada yang berkomitmen terhadap manhaj salaf bukanlah orang-orang kecil sekalipun jenggotnya belum memutih, namun mereka-mereka yang kelihatannya sudah beruban, gelarnya sederet, akan tetapi menyimpang dari manhaj salaf, merekalah ashâghir sesungguhnya yang umat seharusnya menjauhi mereka dan fenomena melekatnya kebanyakan kaum Muslimin kepada mereka akibat kepopulerannya adalah memang karena sudah tuanya umur dunia, dimana kiamat sudah semakin dekat.


Lihatlah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus Mushab bin Umair radhiyallahu anhu untuk mengajarkan penduduk Madinah selagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam belum hijrah kesana, yang pada waktu usianya masih sangat muda. 


(Baca Juga : Kebanyakan Orang Menyia-Nyiakan Waktunya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/545266753306948

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits
Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits


Diantara ciri khas metode madzhab ahli hadits didalam permasalahan fiqih dibandingkan dengan madzhab fiqih lainnya yang sudah jamak dianut kaum muslimin, sebagai berikut :

1. Berpegang kuat dengan nash wahyu yakni Al Kitab dan hadits yang shahihah atau maqbulah yang layak dijadikan hujjah. Berarti untuk menerapkan metode ini dibutuhkan kemampuan didalam menyeleksi hadits-hadits ahkam dan disortir yang memiliki kekuatan hujjah saja yang bisa digunakan.

2. Tidak terikat dengan perkataan salah seorang ulama fiqih yang senantiasa dijadikan rujukan, tapi perkataannya ditimbang dengan dalil-dalil yang ia bawakan atau yang memiliki kekuatan hujjah.


(Baca Juga : Rokok dan Knalpot)


3. Menonjolkan aspek satu pendapat saja yang dianggap oleh penyusun kitab fiqih yang menggunakan metode ini sebagai pendapat yang rajih, dari sekian perbedaan pendapat yang ada.

4. Kebanyakan kitab fiqih yang menggunakan metode madzhab ahli hadits, lebih sederhana pembahasannya karena langsung menyebutkan point utama dari kandungan hadits sesuai dengan tema atau sub tema dari pembahasannya.

5. Banyak berpegang kepada dhohir hadits, terutama ketika melakukan justifikasi terkait hukum taklifi terhadap masalah tersebut. Hukum taklifi ada 5 yaitu : wajib, mustahab, mubah, makruh, dan haram.

6. Jarang sekali membahas permasalahan fiqih dengan retorika yang bertele-tele, karena memang langsung beristimbat (mengambil kesimpulan hukum) dari nash shahihah yang ada.

7. Tidak merasa sungkan untuk menyatakan pendapat hukum atas suatu permasalahan fiqih, sekalipun pendapat tersebut tidak populer dikalangan ulama fiqih lainnya, selagi ada nash shahihah yang menunjukkan akan hal tersebut.


(Baca Juga : Hukum Seputar Hari Raya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/544967330003557

Masbuq Hanya Mendapatkan Tasyahud Akhir Imam


MASBUQ HANYA MENDAPATKAN TASYAHUD AKHIR IMAM, APAKAH MENDAPATKAN PAHALA SHOLAT BERJAMAAH? 


Para ulama berbeda pendapat terkait apakah si masbuq yang pada saat masuk masjid hanya mendapatkan Imam sedang tasyahud akhir, apakah ia tetap mendapatkan pahala sholat berjamaah atau tidak? 


Imam Nawawi dalam "al-Majmu" (4/219) menyebutkan dua pandangan dalam madzhab Syafi'i terkait soalan diatas, kata beliau :

وَتَحْصُلُ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لَكِنْ دُونَ فَضِيلَةِ مَنْ أَدْرَكَهَا مِنْ أَوَّلِهَا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا الْعِرَاقِيِّينَ وَالْخُرَاسَانِيِّينَ وَجَزَمَ الْغَزَالِيُّ بِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِلْجَمَاعَةِ إلَّا إذَا أَدْرَكَ رُكُوعَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ وَالْمَشْهُورُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ بِأَنَّ صَلَاتَهُ تَنْعَقِدُ وَلَوْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْجَمَاعَةُ لَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَنْعَقِدَ

"Si masbuq mendapat keutamaan sholat berjamaah, namun keutamaannya dibawah orang-orang yang mengikuti imam semenjak pertama. Ini adalah pendapat yang shahih dan dipastikan oleh penulis (Imam asy-Syairoziy) dan mayoritas ashab kami dari kalangan iraqiyyin maupun Khurosaniyyin. 

Imam Ghozali menegaskan bahwa si masbuq tidak mendapatkan keutamaan jamaah, kecuali jika ia mendapatkan (minimal) ruku' pada rakaat terakhirnya Imam. 

Namun pendapat yang masyhur (dikalangan Syafi'iyyah) adalah yang pertama, alasannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa sholatnya si masbuq (yang hanya mendapati tasyahud akhir Imam, pent.) dianggap sah, seandainya ia tidak mendapatkan jamaah, tentunya sholatnya tadi dianggap tidak sah" -selesai-. 


(Baca Juga : Ilmu Sebelum Berdakwah)


Al-'Alamah bin baz -rahimahullah- memiliki pendapat lain dimana beliau merincinya, kenapa si masbuq sampai terlambat mengikuti Imam hingga hanya mendapati tasyahud akhirnya Imam, apakah ada alasan Syar'i atau tidak?. Kata beliau :

ﺃﻣﺎ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻔﻴﻪ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺬﻭﺭﺍً ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﻛﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻟﺖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺫﻫﺐ ﻳﺘﻮﺿﺄ ﺃﻭ ﺷﻐﻠﻪ ﺷﺎﻏﻞ ﻻ ﺣﻴﻠﺔ ﻓﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﺬﻭﺭ ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﺣﻜﻤﻪ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﻀﺮ

"Adapun pahala berjamaah, maka ada perinciannya. Jika ia punya alasan syar'i, seperti karena buang hajat yang bikin kebelet atau ia pergi berwudhu lagi (mungkin karena hadats ditengah-tengah sholat, pent.) atau kesibukan yang memang tidak direkayasa, maka ia mendapatkan pahala sholat berjamaah, karena orang yang punya udzur syar'i hukumnya seperti orang yang normal ...".


Kemudian beliau menyebutkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya, diantaranya hadits riwayat Bukhori :


ﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺃﻭ ﺳﺎﻓﺮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﻘﻴﻤﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka Allah tetap tuliskan pahalanya yang biasa diamalkannya ketika mukim dan sehat".


Adapun jika si masbuq diatas tidak ada udzur syar'i, beliau berkata :

ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺄﺧﺮ ﻋﻦ ﺗﺴﺎﻫﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ

"... adapun jika ia terlambat karena ,

menggampangkannya, maka ia tidak mendapatkan keutamaan pahala berjama'ah".


Berdasarkan Berdasarkan pendapat yang masyhur dalam madzhab  Syafi'i dan perincian asy-syaikh bin Baz, maka ketika seorang masuk masjid dan mendapati Imam sudah tasyahud terakhir, segera saja untuk bergabung. 


Namun jika ia menggunakan asumsi seperti pandangannya Imam Ghozali, maka fatwa Al-'Alamah ibnu  utsaimin rahimahullah berikut bisa dijadikan pertimbangan :

إذا دخل الإنسان المسجد والإمام في التشهد الأخير فإن كان يرجو وجود جماعة لم يدخل مع الإمام، وإن كان لا يرجو ذلك دخل معه لأن القول الراجح أن صلاة الجماعة لا تدرك إلا بركعة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم:(من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة).

(فتاوى أركان الإسلام ص445)

"Jika seorang masuk masjid sedangkan Imam dalam posisi tasyahud akhir, jika ia merasa ada gelombang berikutnya yang melaksanakan sholat berjamaah, maka ia tidak usah bergabung bersama Imam. Namun jika tidak ada, maka langsung saja bergabung bersama Imam. Karena pendapat yang rajih sholat berjamaah tidak didapatkan kecuali jika mendapatkan satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat, maka berarti ia telah mendapatkan sholat". -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Demonstrasi dan Darah Kaum Muslimin)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/543121886854768

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?
Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam digelari dengan “Khothiibul Anbiyaa`” (Khotibnya para Nabi), hal ini dikarenakan beliau sangat fasih dan sangat tinggi gaya bahasanya dengan menggunakan balaghah dan ungkapan yang sastrawi tatkala mengajak kepada kaumnya untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'alaa.


Dalam pelajaran nahwu di pasal isim laa yanshorifu,  tatkala menyebutkan salah satu jenis laa yanshorifu adalah ‘alam ajam (nama suku bangsa selain arab), maka dari para Nabi dan Rasul yang namanya “yanshorifu” (bisa ditanwin), hanya 4 Nabi, yaitu Nuh, Hud, Shoolih, Syu’aib dan Nabi kita Sholallahu 'alaihi wa Salaam. Dalam Shahih Ibnu Hibban (no. 361) terdapat hadits berkaitan hal ini :

وَنُوحٌ وَأَرْبَعَةٌ مِنَ الْعَرَبِ: هُودٌ، وَشُعَيْبٌ، وَصَالِحٌ، وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Nuh dan 4 orang dari arab yaitu : Hud, Syu’aib, Sholih dan Nabimu Muhammad Sholallahu 'alaihi wa Salaam”.


Namun hadits diatas sangat lemah sekali, sebagaimana penilaian Imam al-Albani da al-‘Alamah Syu’aib Arnauth, karena didalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Ibrahim bin Hisyaam, dinilai pendusta oleh Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah Rahimahumaallah.


(Baca Juga : Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir)


Terkait gelar Nabiyullah Syu’aib sebagai Khothibul Anbiyaa`, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, namun kevalidannya tidak memuaskan, misalnya hadits :

1. Muhammad bin Ishaq secara mursal :


وَشُعَيْبُ بْنُ مِيكَائِيلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا فَكَانَ مِنْ خَبَرِهِ وَخَبَرِ قَوْمِهِ مَا ذَكَرَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَهُ قَالَ: «ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ» لِمُرَاجَعَتِهِ قَوْمَهُ

“Syu’aib bin Miikaail adalah Nabiyullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam yang Allah utus sebagai Nabi, maka Beliau juga adalah diantara pembawa berita dan pembawa berita kaumnya, apa-apa yang Allah sebutkan dalam Al Qur`an. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Beliau, maka biasanya mengatakan : “Beliaulah khothiibnya para Nabi”, karena selalu mengajak kaumnya kembali (kepada kebenaran)”.


Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (No. 4071), Imam adz-Dzahabi Rahimahullah dalam “at-Talkhiis” tidak berkomentar apapun. Namun sebagaimana pembaca ketahui secara mudah bahwa hadits diatas mursal, yangmana mursal adalah bagian dari hadits dhoif, karena Muhammad bin Ishaq seorang Imam pakar sejarah yang sangat masyhur adalah generasi tabi’i shoghir, sehingga mursalnya juga mursal yang sangat lemah.


Dalam riwayat Imam Ibnu Abi Hatim dalam “Tafsirnya” (no. 15921), Muhammad bin Ishaq menyebutkan perowi diatasnya lagi yaitu Ya’quub bin Abi Salamah, namun beliau ini juga seorang tabi’i, sehingga status mursalnya belum terangkat;


2. Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “al-Bidaayah wa an-Nihaayah (I/185) mengatakan :

وقد روى ابن إِسْحَاقُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ جُوَيْبِرٍ وَمُقَاتِلٍ عَنِ الضَّحَّاكِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ شُعَيْبًا قَالَ (ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ)

“Ishaq bin Bisyr telah meriwayatkan dari Juwaibir dan Muqaatil dari adh-Dhohhaak dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata : “Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Syu’aib alaihis salam, Beliau akan mengatakan : “inilah khothiibnya para Nabi”.


(Baca Juga : Perubahan Yang Sebenarnya)


Seandainya kita menerima bahwa Imam Ibnu Katsir benar-benar menemukan kitab hadits Ishaq bin Bisyr atau beliau memiliki sanad yang valid sampai kepada Ishaq bin Bisyr (w. 206 H), maka kelemahan hadits ini ada pada Ishaq itu sendiri, karena beliau sebagaimana dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya “Miizaan al-I’tidal” (I/184) dicap sebagai pendusta oleh Imam Ali bin al-Madiiniy dan Imam ad-Daruquthniy, ditambah kelemahan lain bahwa adh-Dhohhaak tidak pernah berjuma dengan Shohabi Jaliil Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu 'anhu. Memang benar Imam adh-Dhohhaak adalah ahli tafsir yang banyak membawakan penafsiran Ibnu Abbas, namun nukilan tersebut, beliau dapatkan dari muridnya, yakni Imam Sa’id bin Jubair Rahimahullah;


Memang benar sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam adalah khothibnya para Nabi, sebagaimana diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Imam Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya “al-‘Uquubat” dan Imam Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dari Imam Sufyan ats-Tsauriy. Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya “ad-Durrul Mantsuur” juga menukil dari Imam Malik bin Anas Rahimahullah. Akan tetapi tentunya yang kita perhatikan adalah riwayat-riwayat yang marfu’, karena inilah yang dijadikan dasar utama didalam memberitakan khabar-khabar orang sebelum kita yang valid.


Namun apapun itu, Nabiyullah Syu’aib memang memiliki ungkapan yang sastrawi, yang Allah abadikan dalam kitabnya yang mulia, diantara ucapannya :


{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ} [هود: 88]

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”.


(Baca Juga : Kesabaran Guru dan Murid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa’id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/534489534384670