Syaikh Al-Albani Tidak Punya Sanad dan Guru?



Foto 1. Syaikh Al-Albani di Perpustakaan al-Maktab al-Islami di Beirut

Nama beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati al-Arnauth[1] al-Albani –rahimahullah-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta.

Para pembaca yang budiman…
Dalam perjalanannya menuntut ilmu, Syaikh Al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh Al-Albani mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thuur 21).

Ayah Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah (ad-Din).

Foto 2. Foto Syaikh Nuh Najati al-Albani, ayahanda Syaikh Al-Albani

Para pembaca yang budiman…
Pada tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam masjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.


Suatu ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa'id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.

Foto 3. Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani

Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w. 1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani.

Adakah al-Albani Memiliki Sanad?
Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4] dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di zamannya.[5] Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]

Syaikh at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani rahimahullahu.[7]

Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh rahimahullahu...”.

Foto 4. Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabakh

Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah” . Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.

Silsilah Sanad Syaikh Al-Albani

Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

Syaikh al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi [10].

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]

Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]

Syaikh Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi –penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]


Murid Beliau dalam Riwayah

Sangat ramai murid al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata,
أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب
“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:
هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين
“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]

Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]

Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu:

Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]

Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan, Maghrib.
Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah,
استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه
“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”.

Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala. Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu.


Foto 5. Syaikh Muhammad Bu Khubzah

Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]

Berkata Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat,
أجزتك عن شيخي راغب الطباخ
“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,
Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.

Foto 6. Syaikh Musa’ad bin Basyir as-Sudani

Syaikhuna Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]

Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.

Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58,
فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل
“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji]

_________________________________________________ 


[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.
[2] Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 - 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3] Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.
[4] Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa Mufakkirun 'araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9] Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17] Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.
[18] Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20] Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21] Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya sendiri.


Semoga bermanfaat.

Gara-Gara Lisan Kita!

Gara-Gara Lisan Kita!
Gara-Gara Lisan Kita!
Banyak kemalangan dan kebinasaan di dunia dan bahkan juga di akhirat, disebabkan gara-gara lisan kita!

Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar" (QS. Al Ahzab: 70-71).

(Baca Juga : Dari Kuliah Umum Hingga Mengajar di Masjid Nabawi)

Allah Ta'ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" (QS. Al Hujurat: 11).

Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ

“Sesungguhnya seorang hamba ketika berbicara dengan perkataan yang dianggap biasa, namun akan menyeret ia masuk neraka 70 tahun” (HR. Tirmidzi no. 2314. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أكثرَ خطايا ابنِ آدمَ في لسانِه

"Sesungguhnya kesalahan yang paling banyak dilakukan manusia adalah pada lisannya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman, Ath Thabrani dalam Mu'jam Al Kabir, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [534]).

(Baca Juga : Ilmu Dicabut Dengan Wafatnya Para Ulama)

Dari Mu'adz bin Jabal radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

ألا أخبرك بملاك ذلك كله، قُلْت : بلى يا رسولَ اللهِ، قال : فأخذ بلسانه، قال : كف عليك هذا . فقُلْت : يا نبي الله وإنا لمؤاخذون بما نتكلم به ؟ فقال : ثكلتك أمك يا مُعاذٍ، وهل يكب الناس في النار على وجوههم، أو على مناخرهم، إلا حصائد ألسنتهم

"Maukah aku kabarkan sesuatu yang membuatmu menguasai semua itu (iman)? Muadz menjawab: tentu wahai Rasulullah. Nabi memegang lidahnya lalu berkata: jagalah ini! Maka Muadz mengatakan: wahai Rasulullah, apakah kita akan diadzab karena ucapan lisan kita?". Rasulullah bersabda: "Bagaimana engkau ini Muadz! Bukankah manusia akan diseret di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka karena sebab lisan mereka?!" (HR. Tirmidzi no. 2616, ia mengatakan: "hasan shahih").

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

سِبابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ

"Mencela seorang Muslim itu kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran" (HR. Bukhari no. 48, Muslim no.64).

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحِشِ ولا البذَيُّ

"Seorang Mukmin sejati bukanlah yang suka mencela, suka melaknat, suka berkata kotor dan jorok" (HR. At Tirmidzi no.1977, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dan dalil-dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah yang lain yang kalau kita perhatikan, akibat dari ketergelinciran lisan itu semuanya mengerikan.

Maka jagalah lisan sebaik-baiknya!

Semoga Allah memberi taufik.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

(Baca Juga : Mengenal Sahabat Nabi dan Ulama dari Yaman)

Tulisan Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10156321827766868&id=694486867

Keutamaan Bersalaman Ketika Bertemu Sesama Muslim

Keutamaan Bersalaman Ketika Bertemu Sesama Muslim
Keutamaan Bersalaman Ketika Bertemu Sesama Muslim
Diantara praktek mudah menerapkan akhlak mulia dalam pergaulan sehari-hari ialah bersalaman ketika bertemu. Ketika bertemu dengan saudara seiman, baik yang sudah dekat ataupun baru dikenal, raihlah tangannya untuk bersalaman.

Jangan lewatkan kesempatan tersebut karena dengan bersalaman, akan menggugurkan dosa-dosa.
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani)

(Baca Juga : Dakwah Salafiyah Teruslah Berkembang)

Dalam hadits lain, dikatakan bahwa dosa-dosa orang yang bersalaman itu berguguran sebagaimana gugurnya daun. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ

“Jika seorang mukmin bertemu dengan mukmin yang lain, ia memberi salam padanya, lalu meraih tangannya untuk bersalaman, maka berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/59)

Hendaknya setiap kita bersemangat untuk menjadi yang pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalaman. Mengapa? Karena demikian lah yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana dalam hadits: “Ketika datang rombongan penduduk Yaman, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قد أقبل أهل اليمن، وهم أرقُّ قلوبًا منكم))، قال أنس: فهم أول من جاء بالمصافحة

‘Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang hatinya lebih halus dari kalian’. Anas bin Malik menambahkan: ‘Dan mereka juga orang-orang yang biasanya pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalaman’” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, 967; Ahmad 3/212).

(Baca Juga : Murid-Murid Pengadu Domba)

Namun perlu menjadi catatan, walau bersalaman dengan sesama muslim itu dianjurkan, namun tidak diperkenankan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram anda, walaupun ia termasuk kerabat. Karena Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

لأن يُطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد، خيرٌ له من أن يمس امرأةً لا تحل له

“Andai kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 226).

Para ulama 4 madzhab pun menyatakan haramnya berjabat tangan dengan wanita non-mahram yang sudah dewasa. Imam An Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’:

وقد قال أصحابنا: كل من حرم النظر إليه حرم مسه. وقد يحل النظر مع تحريم المس، فإنه يحل النظر إلى الأجنبية في البيع والشراء والأخذ والعطاء ونحوها. ولا يجوز مسها في شيء من ذلك.

“Ulama madzhab kami (madzhab syafi’i) berkata bahwa setiap orang yang diharamkan memandangnya maka diharamkan menyentuhnya wanita. Namun dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya, atau dalam sedang dalam keadaan jual beli, atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian” (Al Majmu', 4/515).

Kepada wanita yang bukan mahram, kita tetap bisa beramah-tamah dengan sekedar anggukan, senyuman atau isyarat lain yang bisa menggantikan fungsi jabat tangan menurut adat setempat, selama tidak menimbulkan fitnah.

Wallahu a'lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

(Baca Juga : Belajar dari Sosok Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi)

Tulisan Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10156366447076868&id=694486867

Jika Mendengar Al-Quran, Diam, Pahami dan Renungkanlah

Jika Mendengar Al-Quran, Diam, Pahami dan Renungkanlah
Jika Mendengar Al-Quran, Diam, Pahami dan Renungkanlah
Jika mendengar Al Qur'an hendaknya diam, serta coba pahami dan renungkanlah

Allah Ta'ala perintahkan kita:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" (QS. Al A'raf: 204).

(Baca Juga : Penuntut Ilmu Adalah Tamu Rasulullah)

Perhatikan dalam ayat ini Allah perintahkan dua hal:
1. Al istima' (الاستماع)
2. Al inshat (الإنصات)

Al istima' artinya mendengarkan, sedangkan al inshat sering diterjemahkan dengan "diam". Namun sebenarnya al inshat bukan hanya diam.

Syaikh As Sa'di menjelaskan:

فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه

"Kita diperintahkan untuk al istima' (mendengar) dan al inshat. Perbedaan antara al istima' dan al inshat adalah bahwa al inshat itu artinya tidak bicara atau tidak melakukan hal yang memalingkan dari apa yang sedang di dengar" (Taisir Kariimirrahman).

Al Qurthubi mengatakan:

والإنصات : السكوت للاستماع والإصغاء والمراعاة

"Al inshat artinya diam untuk mendengarkan, menyimak dan berusaha memahami" (Tafsir Al Qurthubi).

(Baca Juga : Meluruskan Pemahaman)

Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan:

و هو الإستماع بوعي

"Al inshat artinya mendengarkan dengan disertai perenungan" (Syarah Nurul Yaqin, 105).

Maka ketika mendengarkan Al Qur'an hendaknya kita diam, mendengarkan serta mencoba memahami dan merenungkan maknanya.

Dan ini juga berlaku dalam shalat. Para mufassirin, diantaranya Abu Hurairah, Qatadah, Syu'bah, Mujahid, Adh Dhahhak dan lainnya, ketika menafsirkan bahwa ayat ini mereka mengatakan:

 (وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا) قال: في الصلاة

"[Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang], maksudnya: di dalam shalat" (Tafsir Ath Thabari).

Maka ketika imam membaca ayat Al Qur'an, hendaknya makmum diam, mendengarkan, serta mencoba memahami dan merenungkan maknanya.

Wallahu a'lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

(Baca Juga : Guru Itu Pengaruh Bagi Murid)

Tulisan Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10156357861521868&id=694486867

Brader, Rawatlah Rambutmu!

Brader, Rawatlah Rambutmu!
Brader, Rawatlah Rambutmu!
Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ

"Siapa yang punya rambut maka muliakanlah" (HR. Abu Daud no. 3632, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

(Baca Juga : Dakwah Salaf yang Ditakuti Musuh Islam)

Dalam Hasyiyah Aunul Ma'bud (9/1183) dijelaskan maknanya:

أي فليزينه ولينظفه بالغسل والتدهين والترجيل ولا يتركه متفرقاً، فإن النظافة وحسن المنظر محبوب

"Maksudnya perbaguslah dan bersihkanlah dengan mencucinya dan memberinya minyak serta menyisirnya. Jangan membiarkannya berantakan. Karena kebersihan dan dan bagusnya penampilan itu disukai dalam agama".

Namun laki-laki tidak boleh berlebihan dalam merawat rambut sehingga sibuk dandan dan bersolek. Karena dandan dan bersolek itu tabiat wanita. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu'anhu:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melarang laki-laki menyisir rambutnya kecuali ghibban (sehari menyisir, sehari tidak)" (HR. Abu Daud no.3628, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

(Baca Juga : Pembelaan Untuk Syaikhul Islam)

Bukan berarti tidak boleh menyisir setiap hari, namun makna hadits ini adalah larangan berlebihan dalam berdandan bagi lelaki. Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah radhiallahu'anhu:

كانَ ينْهانا عن كثيرٍ منَ الإرفاهِ

"Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melarang kami terlalu banyak berdandan" (HR. Abu Daud no. 4160, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Asy Syaukani menjelaskan hadits Abdullah bin Mughaffal dengan mengatakan:

والحديث يدل على كراهة الاشتغال بالترجيل في كل يوم؛ لأنه نوع من الترفه

"Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya menyibukkan diri dengan menyisir rambut setiap hari. Karena ini adalah bentuk terlalu banyak berdandan" (Nailul Authar, 1/159).

Wallahu a'lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

(Baca Juga : Semoga Kita Berjumpa di Telaga)

Tulisan Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10156362398066868&id=694486867

Pahala Besar Bagi Pemberi Hutang


Pahala besar bagi orang yang memberikan hutang untuk membantu orang

Orang yang memberikan hutang termasuk mendapatkan keutamaan orang yang memberikan kemudahan pada orang lain. Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam juga bersabda:

من يسَّرَ على معسرٍ يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ

"Barangsiapa memudahkan kesulitan orang lain, Allah akan mudahkan ia di hari Kiamat" (HR. Muslim no. 2699).

(Baca Juga : Menyikapi Kesalahan Da'i Ahlussunnah)

Dan orang yang memberikan hutang akan mendapatkan banyak ganjaran lagi ketika ia memberikan kelonggaran dalam pembayaran.

Orang yang memberikan hutang, dianjurkan memberi kelonggaran pada orang yang berhutang dalam masalah pelunasan. Allah berfirman:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

"Jika orang yang berhutang kesulitan, maka berilah kelonggaran hingga ia mudah" (QS. Al Baqarah: 280).

Dan Allah menjanjikan pahala yang besar bagi yang memberikan kelonggaran pada orang yang kesulitan bayar hutang.

Dari Buraidah radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

من أنظر معسرا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين، فإذا حل الدين فأنظره فله
بكل يوم مثليه صدقة

"Barangsiapa yang melonggarkan pelunasan hutang bagi orang yang kesulitan membayar, maka setiap hari penundaannya tersebut dianggap sedekah sampai datang temponya. Ketika datang tempo pembayaran lalu ia beri kelonggaran lagi, maka ia mendapatkan pahala dua kali lipat sedekah setiap harinya" (HR. Ahmad [5/360], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.86).

(Baca Juga : Singa dari Mesir)

Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam juga bersabda:

من أنظر معسرًا أو وَضع له، أظلَّه اللهُ يومَ القيامةِ تحتَ ظلِّ عرشهِ، يومَ لا ظلَّ إلا ظلُّه

"Barangsiapa yang melonggarkan pelunasan hutang bagi orang yang kesulitan membayar, atau menganggapnya lunas, maka Allah akan berikan naungan di hari kiamat di bawah naungan Arys-Nya, di hari ketika tidak ada naungan selain naungan Allah" (HR. Tirmidzi no. 1306, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Namun bagi yang berhutang, bukan berarti bermudah-mudah menuntut pemberi hutang untuk melonggarkan. Bagi penghutang, wajib berusaha bersegera melunasi sebisa mungkin. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا

"Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman, 5561, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami' no. 2720).

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

"Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)" (HR. Ibnu Majah no. 2414, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).

Semoga orang-orang yang dihutangi, Allah berikan kesabaran dan ganjaran yang berlipat ganda.

Semoga yang masih berhutang, Allah berikan kemudahan untuk segera melunasi.

Wallahu a'lam.

Join channel telegram @fawaid_kangaswad

(Baca Juga : Lelaki dari Damaskus)

Tulisan Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10156317144106868&id=694486867

Puasa Level Tinggi

Puasa Level Tinggi
Puasa Level Tinggi
Puasa bagi kebanyakan orang tak lebih dari sekedar menahan diri dari makan dan minum semata. Inilah puasa orang level awam.

Namun bagi orang yang level tinggi,  puasa yg sesungguhnya lebih dari itu,  yaitu menahan seluruh anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan.

عن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :  ليس الصيام من الأكل والشرب، إنما الصيام من اللغو والرفث.

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: "Bukanlah puasa itu dari makan dan minum,  tetapi puasa sesungguhnya adalah menahan diri dari ucapan kotor dan sia-sia". (HR. Ibnu Khuzaimah,  Ibnu Hibban dan dishahihkan Al Hakim dan al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib: 1082)

(Baca Juga : 7 Ayat Al-Quran Tentang Bulan Haram)

قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ : إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ ، وَبَصَرُكَ ، وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَحَارِمِ ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصَوْمِكَ سَوَاءً

Sahabat Jabir bin Abdillah berkata: "Jika engkau berpuasa,  maka berpuasalah pendengaranmu dan pandanganmu serta lisanmu dari dusta dan dosa. Janganlah menyakiti pembantu.  Hendaknya dirimu tenang dan berwibawa saat puasa.  Dan jangan jadikan hari puasamu dan hari tidak puasamu sama saja". (Al Mushonnaf kry Ibnu Abi Syaibah: 8973)

Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:

"Orang berpuasa yang sebenarnya adalah seorang yang menahan anggota badannya dari segala dosa, lidahnya dari dusta, perutnya dari makanan dan minuman, farjinya dari jima.

Kalau dia berbicara, dia tidak mengeluarkan kata yang menodai puasanya.
Kalau dia berbuat, dia tidak melakukan hal yang dapat merusak puasanya, sehingga ucapannya yang keluar adalah bermanfaat dan baik.

Demikian pula amal perbuatannya, dia ibarat wewangian yang dicium baunya oleh kawan duduknya. Seperti itu juga orang yang berpuasa, kawan duduknya mengambil manfaat dan merasa aman dari kedustaan, kemaksiatan dan kedzalimannya.

Inilah hakekat puasa sebenarnya, bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan dan minuman". (Al-Waabil as-Shayyib wa Rafiul Kalim Thayyib hal. 57)

Lentera Da'wah:
📚 CHANNEL LENTERA DAKWAH
Channel Telegram  @yusufassidawi
📲 JOIN : http://bit.ly/LenteraDakwah

(Baca Juga : Karena Kita Masih Pelajar)

Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=578919762511675&id=100011809698436

Bagaimana Menyambut Tamu Istimewa?

Bagaimana Menyambut Tamu Istimewa?
Bagaimana Menyambut Tamu Istimewa?
Saudaraku....

Andai saja ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah kita, tentu kita akan sibuk setengah mati mempersiapkan segalanya untuk menyambutnya sebagai bentuk penghormatan kita kepadanya.

Lantas bagaimana jika sang tamu tersebut datang dengan membawa segudang berkah untuk kita semua?!

Saudaraku....

Sekarang tak lama lagi, tamu istimewa tersebut akan datang mampir menyapa kita semua, lantas apa yang telah kita siapkan untuk menyambutnya? Apakah engkau akan bergembira dg kedatangannya atau malah sebaliknya?

(Baca Juga : Dalil-Dalil Haramnya Musik)

Sesungguhnya menyambut tamu istimewa tersebut bukan dg menyetok makanan dan jajan, tapi setidaknya ada 5 hal penting yg perlu kita siapkan sejak sekarang:

1. Doa
Doa adalah sumber kebaikan di dunia dan akherat.
Marilah kita berdoa kpd Allah agar Dia mempertemukan kita dg tamu istimewa tersebut dan memudahkan kita untuk mengisinya dg ketaatan.

Betapa banyak sahabat, tetangga, keluarga yg tahun lalu masih puasa bersama kita, kini mereka sudah tiada.

Dahulu ada sebagian ulama salaf berdoa kpd Allah 6 bulan lamanya agar dipertemukan dg bulan puasa.
Allahumma ballighnaa romadhon...

2. Ilmu
Imam Bukhori pernah mengatakan, bab ilmu itu sebelum berucap dan berbuat.
Maka ya akhi wa ukhti, sebelum anda bertemu dg tamu istimewa tersebut, maka pelajarilah terlebih dulu keistimewaannya, amalannya, hukum-hukumnya sehingga engkau bisa mengoptimalkannya dg sebaik-baiknya, karena "tak kenal maka tak sayang".

(Baca Juga : Macam-Macam Sholat Sunnah Rawatib)

3. Tekad yang bulat
Tekad yg bulat adalah motor penggerak dan motivator kuat untuk bisa menyambut tamu istimewa tersebut dg sempurna.
Dengan semangat tersebut, kita akan merancangkan jadwal dan mengatur waktu untuk kegiatan2 positif demi meraih dan memanen pundi2 pahala sebanyak mungkin.

4. Membiasakan diri dengan ketaatan
Jiwa manusia itu cenderung mengikuti hawa nafsu yg malas dari ketaatan dan semangat berbuat dosa, maka butuh untuk dilatih dan dibiasakan agar nanti telah terbiasa.

Itulah kenapa, Nabi kita Muhammad paling sering puasa sunnah di bulan sya'ban sebagai ajang pemanasan dan persiapan menyambut bulan puasa.

Maka ayo sobat, mari kita latih jiwa kita sejak sekarang untuk membaca Al Quran, sholat malam, puasa, sedekah, doa dan lain sebagainya dari amal kebajikan.

5. Kebeningan hati
Sejenak mari kita berfikir, apakah pantas jika kita menyambut tamu istimewa dg menyimpan amarah, dendam, dengki dan sebagainya? Tentu saja tidak..

Maka sebelum kita bertemu dg tamu tersebut, jernihkan hati kita dari noda2 dosa berupa kesyirikan, permusuhan dan lain sebagainya sehingga kita betul2 menyambut tamu istimewa dg hati yg bening dan suci.

Ya Allah, kepadaMu, kami bersimpuh dan memohon; pertemukanlah kami dg tamu istimewa tersebut dan anugerahkan kami kekuatan dan kemudahan agar memanfaatkan perjumpaan tersebut sebaik mungkin....

(Baca Juga : Untuk Kita yang Awam)

Tulisan Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=579068662496785&id=100011809698436