Adab Penting Penuntut Ilmu

Adab Penting Penuntut Ilmu
Adab Penting Penuntut Ilmu
✒️Seorang penuntut ilmu adakalanya ia belajar kepada seorang Guru atau Syaikh dan mengambil manfaat darinya, kemudian Allah mudahkan dia untuk belajar kepada Guru atau Syaikh yang lebih alim sehingga ia mengetahui bahwa pada Guru atau Syaikh nya yang dahulu terdapat kesalahan satu atau dua atau lebih maka yang lebih patut bagi si thalib adalah banyak memuji Allah atas tambahan ilmu tersebut dan tetap mendoakan kebaikan kepada Guru atau Syaikh pertamanya bukan malah menjelek-jelekkan atau menyebutnya dengan keburukan, sungguh ini adab yang amat tidak baik, seorang penyair berkata :

أعلّمُه الرِّمَاية كلّ يوْمٍ
     فَلمّا قَوِيَ سَاعِدُه رَمَانِي

"Aku ajarkan ia memanah setiap hari # Ternyata ketika lengannya telah kuat ia pun memanahku"

(Baca Juga : 17 Ayat Al-Quran Tentang Neraka)

   Mari kita tiru adab Imam Asy-Syafi'iy bagaimana beliau pun ketika telah mencapai tingkat Imam namun tetap memuliakan Gurunya Imam Malik bin Anas, beliau berkata :

إذا ذكر الحديث فمالك النجم
"Jika disebutkan tentang Ilmu Hadits maka Imam Malik adalah bagai Bintang" yakni beliau mencapai kedudukan yang amat tinggi dalam Ilmu Hadits.

   Imam Asy-Syafi'iy tetap memuji Imam Malik kendati di kemudian hari beliau memilih tarjih yang berbeda dari Gurunya baik dalam Ushul Fiqh maupun Furu'nya, dalam Ushul Fiqh Imam Asy-Syafi'iy tidak sependapat dengan Gurunya bahwa Amalan penduduk Madinah itu hujjah, beliau juga tidak sependapat dengan Gurunya bahwa Hadits Mursal itu hujjah, dalam Furu' nya maka lebih banyak lagi, Imam Asy-Syafi'iy membuat Bab khusus tentang itu :

الاختلاف بين مالك و الشافعي
Perbedaan pendapat antara Malik dengan Asy-Syafi'iy.

   Pun demikian dengan Imam Ahmad bin Hanbal dimana beliau belajar kepada Imam Asy-Syafi'iy namun nyatanya di kemudian hari ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Gurunya dengan kata lain, pendapat Gurunya tersebut marjuh menurut beliau namun adab Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana beliau sampaikan kepada anaknya Imam Asy-Syafi'iy :

أبوك من الستة الذين أدعو لهم في السحر
"Ayahmu adalah salah satu dari enam orang yang aku doakan di waktu sahur", ternyata Imam Ahmad senantiasa mendoakan Gurunya tersebut di waktu mustajab.

(Baca Juga : China Zaman Doeloe)

   Sebagian ulama terdahulu ada yang berkata :

نحن إلى قليل من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم

"Kita lebih butuh kepada sedikit adab daripada banyak ilmu"

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1214698095406710&id=100005995935102

Kilasan Tentang Ilmu Riwayat


✒️خاطرة عن علم الرواية
✒️Kilasan tentang Ilmu Riwayat

  Syaikh Shalih Al-Ushaimiy حفظه الله تعالى majlis beliau dipenuhi para Masyaikh, Asatidzah dan para penuntut ilmu dari penjuru dunia, dengan bahasan berbagai cabang ilmu-ilmu dari Aqidah, Ushul Fiqh, Mushthalah Hadits, Faraidh dan lainnya dan beliau berikan sanad dari kitab-kitab tsb kepada para hadirin
جزاه الله خير الجزاء
  Dan di khitam majlis ketika ada yang bertanya apakah boleh mengijazahkan kepada orang lain maka beliau wasiatkan agar fokus kepada ilmu-ilmu yang dipelajari lalu diajarkan, adapun ijazah sanad beliau katakan sebagai :

 من مُلح العلم
"termasuk hiasan ilmu" dan beliau menekankan kepada pemahaman akan kitab-kitab yang diajarkan, lalu beliau tutup :

 الإجازة) إذا وُجدتْ فخير وإذا فُقدتْ والعلم باقٍ فخير أيضا)

" (Ijazah sanad) jika ada maka itu adalah baik dan jika tidak ada namun tetap memiliki ilmunya maka baik juga", yakni beliau tetap memperhitungkan bahwa ilmu riwayat itu memang bagian dari ilmu Islam.

(Baca Juga : Apakah Dajjal Sudah Ada Sekarang?)

   Perkataan Syaikh Shalih Al-Ushaimiy adalah semakna dengan perkataan para ulama terdahulu, seperti perkataan Imam Abu Syamah yang kemudian dinukil oleh Imam As-Suyuthiy di awal Tadriibur-Rawi bahwa ilmu Hadits itu terbagi 3:

1️⃣ Ilmu Fiqhul Hadits dan Gharibul-Hadits yang dengarnya bisa dipahami makna-makna yang tersembunyi dari lafazh-lafazh Nabawiy tsb dan juga termasuk mukhtaliful-Hadits yang jika secara zhahir ada Hadits yang bertentangan dengan ayat Qur'an atau Hadits lain maka bisa dijamak dengan berbagai metode thuruqul-jam'i, maka ini Ilmu yang tertinggi dan tidaklah para Imam mulai di sisi Allah dan manusia melainkan karena luasnya dalam jenis ilmu ini, seperti Imam Malik, Imam Asy-Syafi'iy, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Bukhariy dan lainnya.

2️⃣Ilmu Ilal Hadits, para Rawi Hadits tsiqah atau tidaknya, siapa Gurunya dan siapa saja muridnya, bagaimana Hadits-hadits nya, tashih dan tadh'if Hadits maka dengan ilmu jenis ini bisa diketahui keabsahan apakah Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda demikian atau tidak, ini menempati tingkat kedua dan banyak ulama berjasa dalam bidang ini walaupun tidak terlalu piawai di jenis yang pertama, seperti Imam Syu'bah bin Hajjaj, Imam Yahya Al-Qatthan, Imam Ali Ibnul Madiniy, Imam Yahya bin Ma'in, Abu Hatim Ar-Raziy dan lainnya.

3️⃣Ilmu Riwayat Hadits, berupa ilmu meriwayatkan Hadits dengan metode yang sah menurut para Ulama Hadits dengan tulisan yang benar bahkan jika dengan metode imlaa maka itu yang terbaik, perbandingan nuskhah yang satu dengan lainnya, jika mampu ia dhahbth riwayat tsb apakah dengan dhahbth kitab atau dhabth shadr dengan cara dihafal, dan jika ia telah memenuhi syarat-syaratnya maka ia boleh menyampaikan riwayat tsb kepada generasi setelahnya.

(Baca Juga : 17 Ayat Al-Quran Tentang Hijrah)

   Begitu pula di antara Syaikh awal alfaqir dalam Ilmu Riwayat, Prof Hisyam Al-Azdiy Al-Atsariy ketika beliau membuka majlis Arba'in An-Nawawiy dengan ta'liq singkat maka beliau mewasiatkan bahwa yang terpenting adalah kalian hafal Arba'in An-Nawawiy ini, ini wajib dihafal bukanlah penuntut ilmu yang tidak menghafalnya dan tidak memahami Arba'in ini,  dan beliau pun ijazahkan Arba'in tsb kepada seluruh thullab yang hadir.

   Begitu pula Syaikhunaa fil-Hadits DR Abdullah Al-Habr dimana beliau awal di LIPIA buka majlis Sunan At-Tirmidziy yang syarah beliau dominan adalah seputar Fiqhul-Hadits, dan adakalanya disisipi masalah Ilal Hadits dan di majlis akhir Sunan tsb yang telah menyentuh Kitabun-Nikah, setelah sepi beliau kumpulkan murid-murid lama yang ikut dari awal majlis dan beliau bacakan athraf Kutub Tis'ah kecuali Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, dan beliau menekankan bahwa inti Ilmu Hadits adalah Fiqh Hadits dan Ilal Hadits namun juga ada Ilmu Riwayat Hadits sebagai tambahan dan beliau ijazahkan semua kitab tersebut kepada 7 orang yang hadir ketika itu termasuk alfaqir seraya berkata di antara keutamaan Ilmu Riwayat Hadits :

أيّ شرف يعدل أن يكون اسمك في أوله واسم النبي صلى الله عليه وسلم في آخره

"Kiranya kemuliaan apa yang setara dengan namamu di awal (sanad) dan Nama Nabi صلى الله عليه وسلم berada di akhirnya", dan beliau mewasiatkan agar terus belajar, mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajari.

   Begitu pula para Ulama dari zaman ke zaman sejak zaman Salafusshalih hingga hari ini tetap melestarikan Ilmu Riwayat ini walaupun memang urgensinya tidak sebagaimana urgensi di zaman periwayatan, namun ini adalah termasuk Ilmu khusus umat ini yang tidak dimiliki oleh umat agama lain, lihat saja Masyaikh Najd baik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Masyaikh Najd lainnya mereka semua punya sanad dari berbagai kitab dan ijazah yang kemudian dikumpulkan dalam tsabata Masyaikh Najd oleh Syaikhunaa di atas Prof Hisyam Al-Azdiy yang karya tsb dipuji oleh Syaikh Al-Ushaimiy sebagai karya terbaik di tahun tsb.

   Begitu pula dari zaman ke zaman walaupun setelah usainya zaman periwayatan, para Ulama di berbagai bidang ilmu tetap melestarikan ilmu ini, baik Imam Abu Thahir As-Silafiy, Imam Qadhi Iyaadh, Imam Ar-Rafi'iy,, Imam Ibnu Daqiq Al-'Id, Imam An-Nawawiy, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam Al-Mizziy, Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, Imam Adz-Dzahabiy, Imam Ibnu Rajab Al Hanbaliy, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy yang tsabat beliau bahkan berisi lebih dari 1000 kitab, Imam As-Suyuthiy dan lainnya para Ulama, demikian jalan para ulama dari zaman ke zaman.

(Baca Juga : Dakwah Salafiyah Teruslah Berkembang)

   Lalu datanglah Fergusso, Diego serta Malih dkk yang memahami perkataan Syaikh Al-Ushaimiy bahwa ga perlu lagi sanad-sanadan dan ga ada gunanya padahal Syaikh Al Ushaimiy masih mengatakan :

إجازة السند)إذا وُجدتْ فخير)
"Sanad tsb jika punya maka itu baik... "

Bahkan beliau sendiri adalah Syaikh yang muktsir fi Ilmi Riwayat.

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1217035385172981&id=100005995935102

Khidmat Kepada Orang-Orang Shalih

Khidmat Kepada Orang-Orang Shalih

✒️خدمة الصالحين
✒️Khidmat kepada orang-orang shalih

   Allah Ta’ala berfirman:
وأما الجدار فكان لغلامين يتيمين في المدينة وكان تحته كنز لهما وكان أبوهما صالحًا...
Adapun dinding (yang diperbaiki oleh Nabi Khadhir) itu adalah milik dua anak yatim di kota tsb dan di bawahnya terdapat perbendaharaan milik mereka berdua DAN AYAH MEREKA ADALAH ORANG YANG SHALIH (QS Al-Kahfi: 76)

   Syaikh As-Sa'diy menyebutkan di antara faidah kisah ini adalah :
أن خدمة الصالحين أو من يتعلق بهم أفضل من غيرها لأنه علل استخراج كنزهما وإقامة جدارهما أن أباهما صالح

"Berkhidmat kepada orang-orang shalih atau orang-orang yang terkait dengan orang shalih tsb adalah ibadah yang lebih utama daripada ibadah lainnya karena dalam ayat ini dijelaskan bahwa alasan beliau (Khadhir عليه السلام) mengeluarkan perbendaharaan dan membantu memperbaiki dinding rumahnya adalah karena ayah kedua anak tsb adalah orang shalih"(Tafsir As-Sa'diy: 1/ 482)

(Baca Juga : Sekilas Mengenai Imam Abu Hanifah)

   Salah seorang Ustadz lulusan Univ Islam Madinah pernah ngobrol santai dan berkata bahwa perkara ini (khidmat kepada orang shalih) masih jarang diamalkan di kalangan Salafiyyin, justru yang gemar mengamalkannya adalah kaum muslimin Nahdhiyyin...

   Memang benar adanya, praktik ini masih diamalkan di kalangan santri pesantren tradisional, bahkan ada seorang yang dahulu adalah santri Kiayi Amtsar Bekasi, murid dari Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadaniy, ada santri yang dahulu - menurut pengakuannya - hanya sebagai juru tulis Sang Kiayi, tidak kurang Mishbahuzh-Zhalam syarah Bulughul-maram dengan 4 jilid besar, itu adalah salinan tangan sang santri, di kemudian hari santri tsb menjadi Ketua MUI di salah satu cabang Jakarta...

   Namun amat disayangkan adakalanya di kalangan Nahdhiyyin amal ini sampai tingkat "mubalaghah" hingga tabarrukan ke zat dan peninggalan Kiayi bak tabarruk kepada jasad Nabi صلى الله عليه وسلم dan bekas-bekas beliau, tentu saja orang shalih sehebat apapun amal dan ilmunya, tidak dapat diqiyaskan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, ditambah lagi tidak ada keterangan bahwa sepeninggal Nabi صلى الله عليه وسلم ada orang-orang yang tabarrukan kepada Abu Bakar atau Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib رضي الله عنهم

(Baca Juga : Sumber Perpisahan dan Perpecahan)

   Ifraath (berlebihan) sampai mengqiyaskan orang shalih dengan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak benar, sebaliknya tafriith (melalaikan/merendahkan) orang shalih juga tidak tepat terlebih sampai membicarakan di belakang bahkan menjelek-jelekkan di belakang, terlebih sampai mentahdzir yang notabene adalah Gurunya sendiri

نسأل الله السلامة والعافية

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1246057648937421&id=100005995935102

Menghukumi Imam Ali Ibnul Madini

Menghukumi Imam Ali Ibnul Madini
Menghukumi Imam Ali Ibnul Madini

✒️الحكم على الإمام علي بن عبد الله الديني
✒️Menghukumi Imam Ali bin Abdillah Al-Madiniy

   Barangsiapa yang membaca Shahih Al-Bukhariy maka ia akan dapati bahwasanya Imam Al-Bukhariy lebih banyak meriwayatkan dari Imam Ali Ibnul-Madiniy daripada riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal...

   Sedangkan dalam Masail Imam Ahmad bin Hanbal dari riwayat anaknya Imam Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal nama Imam Ali Ibnul Madiniy dicoret dan diibhamkan...

  Hal ini adalah karena Imam Ibnul Madiniy ketika fitnah Qur'an makhluk awalnya beliau tauriyah lalu berbalik mendukung pemuka Mu'tazilah Ahmad bin Abi Duad, bukan hanya itu bahkan beliau juga mengajari para pemuka Ahli bid'ah hadits-hadits yang terdapat illat namun zhahirnya menguatkan mazhab Qur'an makhluk, seperti riwayat :

فكلوه إلى خالقه

(Baca Juga : 21 Ayat Al-Quran Tentang Hari Kiamat)

  Namun Imam Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah meriwayatkan dari Imam Ibnul Madiniy bahwasanya dua bulan menjelang wafat, Ibnul Madiniy berkata :

القرآن كلام الله غير مخلوق ومن قال مخلوق فهو كافر
"Al Qur'an adalah Kalam Allah dan bukan makhluk barangsiapa yang berkata bahwa Qur'an adalah makhluk maka sungguh ia telah kafir" dan nyatanya Imam Al-Lalaka'iyy riwayatkan Aqidah Imam Ibnul Madiniy dalam kitab : "Syarh Ushul I'tiqad Ahli-Sunnah" maka akan dapati Aqidah Ibnul Madiniy tsb hampir sama persis dengan Ushulus-Sunnah Imam Ahmad bin Hanbal.

   Pada kisah ini terdapat faidah bahwa hukum seseorang adalah tergantung bagaimana penghujungnya, jika di akhirnya muslim maka dihukumi muslim, jika di akhirnya kafir maka zhahirnya demikian, lihat bagaimana para Ulama sebagaimana Imam Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah menukil keadaan akhir Imam Ibnul Madiniy bahwa beliau di atas Aqidah Ahlussunnah dalam Bab Qur'an. Begitu pula Imam Al-Lalaka'iyy menukil aqidahnya hampir sama dengan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal, barangkali hal ini juga yang menjadikan Imam Al-Bukhariy masih meriwayatkan hadits-hadits beliau dalam Shahih nya. Maka demikian pula hukum seorang muslim ketika ia sudah bartaubat maka yang jadi patokan adalah keadaan seseorang setelah taubatnya bukan keadaan masa dahulu ketika memiliki dosa walaupun itu dosa besar, oleh karena itu Imam Asy-Syafi'iy dan Imam Ahmad bin Hanbal masih mengakui keutamaan Sahabat yang sepeninggal Nabi صلى الله عليه وسلم sempat murtad namun masuk Islam kembali di khilafah Abu Bakar رضي الله عنه bahkan Abu Bakar رضي الله عنه menikahkan sahabat yang sempat murtad tsb dengan kerabatnya.

(Baca Juga : Membuat Orang Lain Bahagia)

   Pada kisah ini pun terdapat faidah bahwa hajr maupun tahdzir Ahli bid'ah atau orang yang diduga memiliki bid'ah sifatnya adalah ijtihadiy, lihat bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menghajr dan tahdzir Imam Ibnul Madiniy namun Imam Al-Bukhariy ternyata meriwayatkan hadits-hadits Imam Ibnul Madiniy bahkan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad bin Hanbal... Tidak sebagaimana sebagian orang zaman now yang anggap hajr dan tahdzir bak wahyu dari langit, barangsiapa yang tidak ikut SK tahdzir yang telah dikeluarkan maka juga berhak ditahdzir

نسأل الله السلامة والعافية ونعوذ بالله من الجهل

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1246918485518004&id=100005995935102

Sekilas Tentang Qunut Subuh

Sekilas Tentang Qunut Subuh
Sekilas Tentang Qunut Subuh
✒️خاطرة عن قنوت الصبح
✒️Sekilas tentang Qunut Subuh

   Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab "Raf'ul-malam 'an Aimmatil-A' lam" bawakan belasan sebab yang menjadikan para Ulama berbeda pendapat, di antaranya adalah :

1. Dalil-dalil yang ada dalam permasalahan tsb saling tarik-menarik, ada dalil yang mengisyaratkan haram, di sisi lain ada dalil yang mengisyaratkan hala.
2. Ikhtilaf Ulama dalam tashih dan tadh'if Hadits.
3. Isytirak dalam lafazh dalil yakni memiliki kemungkinan lebih dari satu makna dan sebab-sebab lainnya.

(Baca Juga : Taubat Kunci Kemenangan)

   Para Ulama berbeda pendapat terkait hukum Qunut Subuh :
1. Bid'ah, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah
2. Mustahab sebelum ruku', ini adalah pendapat Imam Malik bin Anas
3. Sunah setelah ruku', ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'iy
4. Sunah untuk dilakukan maupun ditinggalkan, ini adalah pendapat Imam Sufyan Ats-Tsauriy
5. Tidak sunah untuk dilakukan jika sebagai imam namun jika sebagai makmum yang shalat di belakang imam yang qunut maka ikuti imam, ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

   Para ulama mujtahid saja sudah berbeda pendapat dalam hal ini, barangkali ada yang mengatakan : "Jangan jadikan khilaf ulama sebagai dalil", Imam Ibnu Qudamah berkata :
اختلاف العلماء دليل على أن الخلاف فيه سائغ
"Ikhtilaf ulama merupakan dalil bahwasanya perbedaan pendapat dalam masalah tsb adalah diperbolehkan", yakni memang tidak ada ijma dalam masalah fiqhiyyah tsb atau sebagaimana yang beliau katakan di Rawdhatun-Nazhir.

  Dalam masalah Qunut Subuh tsb para Ulama Mujtahid berbeda-beda ijtihad mereka, hal ini kurang lebih disebabkan karena beberapa sebab yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di "Raf'ul-malam" yang untuk kasus ini adalah : "Adanya dalil-dalil yang tarik-menarik" di antara dalil itsbat Qunut, hadits Anas bin Malik ketika ditanya tentang Qunut, beliau jawab :
نعم بعد الركوع
"Ya, disyari'atkan Qunut setelah ruku", masalahnya adalah para ulama kembali berbeda pendapat apakah ini tentang dalil Qunut Nazilah atau dalil Qunut Subuh, masing-masing ada pendapat ulamanya.

Lalu ada atsar Abu Malik Al-Asyja'iy :

 يا أبت إنك صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي أفكانوا يقنتون في الفجر؟ قال : أي بُنيّ محدث
"Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, Utsman dan Ali, apakah mereka Qunut pada shalat Subuh? Beliau jawab:"Wahai anakku itu muhdats (diada-adakan)" HR At-Tirmidziy.

  Para Ulama semisal Imam Abu Hanifah dan yang sependapat dengan beliau mengambil dalil ini sebagai dalil bid'ah nya Qunut Subuh karena jelas sekali Sahabat menilai hal tsb sebagai bid'ah.

   Para Ulama yang itsbat Qunut Subuh menilai bahwa itu qawl shahabiy sedangkan qawl Shahabiy yang dalam perkara ijtihadiy maka bukan hujjah, ditambah lagi atsar tersebut adalah nafy (menegasikan Qunut Subuh) ketika ada dalil nafy Qunut lalu ada dalil lain itsbat Qunut maka dalam Ushul Fiqh :

الإثبات مقدم على النفي لأن فيه زيادة علم
"Penetapan lebih didahulukan daripada penafian karena pada penetapan (sesuatu) menandakan ada tambahan ilmu (yang tidak diketahui oleh rawi nafy).

  Oleh karena itu dalam kasus nafy-itsbat seperti ini, misalnya masalah apakah Nabi صلى الله عليه وسلم melihat Allah ketika mi'raj, nafy Aisyah marjuh dibandingkan itsbatnya Ibnu Abbas, Abu Dzar dan Anas bin Malik.

    Begitu pula masalah pipis berdiri, Aisyah رضي الله عنها yang notabene istri Nabi صلى الله عليه وسلم yang dapat jatah dua malam ternyata juga masih nafy pipis berdiri, sebaliknya Hudzaifah رضي الله عنه itsbat:

أتى النبي صلى الله عليه وسلم سباطة قوم فبال قائما
 Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum lantas Beliau pipis sambil berdiri. Nafy dalam kasus-kasus seperti ini biasanya dimarjuhkan.

(Baca Juga : Benarkah Nabi Musa Menampar Malaikat Maut?)

   Lalu ada hadits Anas dengan tambahan :

وأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا

"Adapun pada shalat Subuh maka Nabi صلى الله عليه وسلم senantiasa Qunut hingga beliau meninggal dunia" tentang hadits ini para Ulama khilaf tentang tashih dan tadh'if nya, dimana sanad hadits ini berpulang kepada Abu Ja'far Ar-Raziy Isa bin Mahan, Imam Asy-Syafi'iy berhujjah dengan hadits ini yang juga dishahihkan oleh Imam Al-Hakim An-Naisaburiy dan juga dijadikan hujjah oleh Imam Al-Baihaqiy dalm Sunan Kubra nya sembari bawakan syawahid dari riwayat-riwayat lain serta atsar para Sahabat رضي الله عنهم

   Sebagian Ulama mendha'ifkan rawi tsb sehingga tafarrud nya tidak dapat diterima, ini termasuk sebab kedua dari ikhtilaf Ulama sebagaimana telah dikemukakan.

   Di antara sebab ketiga dari ikhtilaf Ulama adalah "isytirak" pada lafazh dalil yakni satu dalil bisa dipahami dengan penafsiran pertama, kedua dan seterusnya seperti Hadits :

أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا ثم تركه

Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم Qunut selama sebulan LALU BELIAU MENINGGALKANNYA

   Sedangkan Ulama lain memahami bahwa ini bukan meninggalkan Qunut secara total akan tetapi meninggalkan doa keburukan kepada orang-orang kafir karena larangan itulah yang dimaksudkan dalam ayat :

ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أز يعذبهم فإنهم ظالمون *  ولله ما في السماوات وما في الأرض يغفر لمن يشاء ويعذب من يشاء والله غفور رحيم

Oleh karena itu Imam Al-Baihaqiy buat judul bab dalam Sunan nya :

باب الدليل على أنه لم يترك أصل القنوت في صلاة الصبح إنما ترك الدعاء لقوم أو على قوم بأسمائهم وقبائلهم

Bab Dalil-dalil bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم tidak meninggalkan Qunut dalam shalat Subuh akan tetapi yang beliau tinggalkan adalah doa kebaikan atau doa keburukan sembari menyebut nama-nama mereka beserta kabilahnya.

  Satu dalil ini bisa dibawa ke makna larangan mutlaq dan bisa dibawa kepada larangan doa keburukan sembari menyebutkan nama dalam shalat.

Dalam masalah ijtihadiyah apakah semua pendapat benar atau hanya satu saja yang benar? Para Ulama Ushuliyyun berbeda pendapat tentang hal ini namun yang lebih tepat adalah hanya satu saja yang benar, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya adakalanya seorang mujtahid itu salah dalam ijtihadnya, yakni dalam hadits :

إذا اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر
"... jika hakim ijtihad lalu ia SALAH maka ia dapat satu pahala" maka jelas sekali bahwa mujtahid bisa salah namun para ulama ketika bahas hadits ini, mereka menjelaskan :

لكن الحق عند الله غير متعين لنا
Akan tetapi yang BENAR DI SISI ALLAH TIDAK DIKETAHUI SECARA PASTI OLEH KITA, demikian pemaparan Imam Ibnul Firkah Asy-Syafi'iy, oleh karena itu dalam dhawabith masalah ijtihadiyah, para ulama menyebutkan :

لا إنكار في مسائل الاجتهاد
"Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah"

(Baca Juga : Kasih Sayang Rasulullah Kepada Umatnya)

   Maka dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah seperti ini yang dalil-dalilnya saling tarik-menarik, ditambah adanya isytirak dalam makna lafazh dalilnya, belum khilaf dalam keshahihan hadits dan manakah yang benar menurut Ilmu di sisi Allah tidak ada yang mengetahuinya secara pasti maka tidak patut bersikap rigid dalam hal ini, terlebih jika sampai saling melempar tuduhan dan "tanabuz bil-alqab" = saling lempar julukan buruk yang qath'iy dari nash Qur'an merupakan hal yang diharamkan seperti memberi julukan "Memiliki sifat Khawarij..." mencoba merusak hadits dg ra'yu"... "Datang seperti bawa mutiara padahal bangkai"... "Tidak mampu membedakan Qunut Subuh dg qunut nazilah"...walhasil pendapat sunahnya Qunut Subuh adalah pendapat Para Imam Ahlussunnah semisal Imam Malik bin Anas, Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Asy-Syafi'iy dll yang seandainya bermodalkan taqlid kepada para Imam tsb maka itu adalah taqlid yang diperbolehkan.

  Jelas sikap seperti itu termasuk "KEZHALIMAN DALAM MASALAH KHILAF IJTIHAD" yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai sumber perpecahan, sebagaimana telah dibahas di ts sebelumnya pada bahasan berikut:

https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=975748209301701&id=100005995935102

✒️Coretan ketika safar di Tawangmangu, akhukum fillah varian ghani hirma

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1254244758118710&id=100005995935102

Udzur Meninggalkan Sholat Jamaah dan Sholat Jum'at

Udzur Meninggalkan Sholat Jamaah dan Sholat Jum'at
Udzur Meninggalkan Sholat Jamaah dan Sholat Jum'at

📑العذر في ترك الجمعة والجماعة
📑Uzur untuk meninggalkan shalat Jum'at dan Jama'ah

   Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jama'ah menjadi 4 atau 5 pendapat :
1. Sunnah muakkadah, ini yang dikuatkan oleh Imam Ar-Rafi'iy dari Syafi'iyyah dan Imam Al-Khalil dari Malikiyyah
2. Fardhu Kifayah, ini pendapat Imam Asy-Syafi'iy dan yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawiy
3. Fardhu 'Ain, ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal serta Hanabilah dan zhahir bab Imam Al-Bukhariy dalam Shahih nya.
4. Wajib bahkan sebagai syarat sah shalat, ini adalah pendapat Imam Ibnu Aqiil dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari Hanabilah.

(Baca Juga : Semoga Kita Berjumpa di Telaga)

   Bisa dibilang banyak kaum muslimin di Indonesia yang notabene Syafi'iyyah memegang pendapat sunnah muakkadah atau fardhu kifayah, sedangkan kaum muslimin yang lebih banyak belajar kepada Asatidzah dari lulusan Madinah maka akan condong kepada pendapat fardhu 'ain yang memang mazhab negeri Saudi adalah Hanbaliy.

   Anggaplah pendapat paling 'keras' yang diamalkan di Indonesia adalah fardhu 'ain nya shalat berjama'ah, dan ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-Allamah Al-Hajjawiy dalam matan Fiqh Hanbaliy yang menjadi pegangan Hanabilah mutaakhirin : Zadul-mustaqni', beliau berkata :

تلزم الرجال للصلوات الخمس لا شرطٌ...

"Wajib bagi para laki-laki (untuk shalat berjama'ah) shalat 5 waktu namun bukan sebagai syarat sah shalat..." (Zadul-mustaqni: hal. 63)

Namun perlu diketahui bahwa bagi yang berpendapat wajib pun terdapat uzur-uzur syar'iy yang membolehkan seorang lelaki sejati meninggalkan shalat berjama'ah, ini sebagaimana dilanjutkan oleh Al-Hajjawiy :

ويُعذر بترك جُمعة وجماعة، مريضٌ، ومدافع أحد الأخبثين، ومن بحضرة طعام محتاج إليه، وخائف من ضياع ماله أو فواته أو ضرر فيه أو موت قريبه، "أو على نفسه من ضرر أو سلطان" أو ملازمة غريم ولا شيء معه، أو من فوات رفقته، أو غلبة نعاس، أو أذى بمطر أو وحل وبريح شديدة في ليلة مظلمة

"Dan diberi uzur untuk MENINGGALKAN SHALAT JUM'AT DAN JAMA'AH bagi orang sakit, orang yang menahan salah satu dari dua buang air, orang yang telah dihidangkan makanan dan ia butuh kepada makanan tsb, orang yang takut hartanya hilang atau rusak seluruhnya atau rusak sebagian pada harta tsb, orang yang sedang menjaga saudaranya yang sedang sakit parah, ORANG YANG TAKUT ATAS KESELAMATAN DIRINYA BERUPA MUDHARAT atau penguasa (yang zhalim), orang yang mengawasi orang yang berhutang kepadanya sedangkan ia tidak memiliki harta lain, orang yang takut kehilangan rombongan safarnya, orang yang sangat mengantuk, orang yang tertimpa gangguan berupa hujan atau lumpur atau angin yang kuat di malam yang gelap" (Zadul-mustaqni : hal: 69)

(Baca Juga : 6 Ayat Al-Quran Tentang Baitul Maqdis)

   Syaikh Al-Utsaimin dalam Syarah Mumti' ala Zadil-mustaqni' menyebutkan bahwa dalil umum dari uzur ini adalah firman Allah :

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

"Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan" (QS Al-Baqarah: 185)

Lalu Syaikh Al-Utsaimin kembali menjelaskan bagian : "Orang yang takut akan keselamatan dirinya tertimpa mudharat", beliau menuturrkan :

مما يُعذر فيه بترك الجمعة والجماعة وهو أن يخشى على نفسه من الأمور التي ذكرها المؤلف من (ضرر) بأن كان عند بيته كلب عقور وخاف إن خرج أن يعقره الكلب فبه أن يصلي في بيته ولا حرج عليه. وكذلك لو فُرض أن في طريقه إلى المسجد ما يضرّه مثل ألا يكون عنده حذاء والطريق كله شوك أو كله قطع زجاج فهذا يضره فهو معذور بترك الجماعة والجمعة

" Di antara hal yang menjadikan seseorang mendapat uzur untuk MENINGGALKAN SHALAT JUM'AT DAN JAMA'AH adalah ketika dia takut akan hal-hal yang telah disebutkan oleh pengarang kitab (Al-Hajjawiy) berupa (mudharat) seperti jika di sebelah rumahnya ada anjing yang suka menyerang dan ia khawatir jika ia keluar rumah maka akan diserang oleh anjing tersebut maka ia BOLEH UNTUK SHALAT DI RUMAHNYA DAN ITU TIDAKLAH MENGAPA. Begitu pula katakanlah jika di jalan antara dirinya dengan masjid terdapat mudharat seperti orang yang tidak memiliki sendal dan di jalannya dipenuhi dengan duri atau beling maka ini akan menjadi mudharat atas dirinya MAKA IA MENDAPAT UZUR UNTUK MENINGGALKAN SHALAT JAMA'AH DAN JUM'AT (Syarah Mumti' ala Zadil-mustaqni': 4/ 315)

   Dalam bahasan tersebut baru pada tingkat : "khawatir akan mudharat" baru berupa anjing bahkan duri-duri di jalan saja menjadi rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk tidak ikut shalat Jum'at dan Jama'ah, kiranya bagaimana dengan menyebarnya wabah penyakit yang mematikan, tentu mudharat yang lebih besar lagi bagi seorang muslim.

   Oleh karena itu, inilah yang diamalkan oleh para Ulama Saudi dan Kerajaan Saudi yang notabene bermazhab Hanbaliy, mereka menutup seluruh masjid kecuali Masjidil-Haram dan Masjid Nabawiy, bahkan perkembangan terakhir Masjid Nabawiy juga ditutup dan hanya ada azan serta sang Imam shalat bersama beberapa polisi saja namun ditutup untuk umum.

   Namun orang bodoh memang mudah mengingkari hal yang ia tidak memiliki ilmunya, sebagaimana digambarkan oleh Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidiy:

لو كنت تعلمُ ما أقول عذرْتني# أو كنت تعلم ما تقول عذلْتكا
لكن جهِلْتَ مقالتي فعذلتَني#وعلِمْتُ أنّك جَاهِلٌ فعذرتكا

"Seandainya engkau memahami apa yang aku katakan niscaya engkau akan memberiku uzur Atau jika engkau mengetahui hakikat apa yang engkau katakan niscaya pantas bagiku untuk mencelamu.
Akan tetapi engkau bodoh akan perkataanku sehingga engkau mencelaku# Sedangkan aku mengetahui bahwasanya engkau bodoh maka akur memberimu uzur".

(Baca Juga : Manusia Disandera Jin?)

   Jikalau mendapati spesies seperti ini, ana lebih suka unfriend sekalian atau blokir, sehingga pikiran kita menjadi damai dari kicauan orang bodoh.

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1260013424208510&id=100005995935102

Rukhshah Menutup Masjid

Rukhshah Menutup Masjid
Rukhshah Menutup Masjid
✒️رخصة إغلاق المسجد
✒️Rukhshah menutup masjid

   Syariat Islam adalah syariat yang sempurna, ia sesuai untuk diterapkan di setiap tempat dan waktu. Di antara perkara yang mendukung hal tersebut adalah adanya hukum 'azimah dan rukhshah dalam syariat Islam.

   Adapun azimah adalah hukum asal syar'iy yang belum berubah atau berubah namun ke arah yang lebih berat. Sedangkan rukhshah adalah hukum syar'iy yang berubah menjadi lebih mudah karena ada dalil khusus tentang itu yang lebih kuat. Oleh karena itu baik azimah maupun rukhshah semuanya adalah hukum syar'iy yang diambil dari Qur'an dan Sunah serta Ijma adapun apakah bisa ditetapkan dengan Qiyas maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ushuliyyin dan ini bukan tempatnya untuk membahas hal tersebut.

   Perlu diingat bahwa rukhshah itu berbeda tingkatannya dan hukum untuk mengambil rukhshah tersebut, lebih spesifiknya terbagi menjadi 3, sebagaimana dipaparkan oleh Imam As-Subkiy dalam Jam'ul-jawami :

1. Darurat, seperti makan bangkai di saat hampir meninggal maka WAJIB untuk memakan bangkai tersebut demi menjaga nyawanya. Bagian darurat ini mencakup 5 bidang, darurat dalam hal agama, nyawa, akal, keturunan dan harta, namun ini adalah contoh spesifik untuk darurat nyawa.

2. Kesulitan (masyaqqah) seperti kesulitan pada safar membolehkan seseorang untuk mengqashar shalat dan menjamaknya dan juga boleh untuk berbuka puasa. Dalam bab ini diperbolehkan keduanya apakah untuk mengambil hukum azimah, shalat sempurna tanpa jamak dan tetap puasa atau mengambil hukum rukhshah yakni qashar dan jamak shalat serta berbuka puasa. Namun para Ulama khilaf tentang yang lebih afdhal setelah sepakat semuanya boleh, Imam Asy-Syafi'iy berpendapat lebih afdhal untuk mengambil hukum azimah sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal lebih afdhal untuk mengambil hukum rukhshah.

3. Hajat atau kebutuhan seperti dibolehkannya jual beli Salam yakni ambil uang terlebih dahulu baru barang belakangan dengan sifat-sifat tertentu yang telah disepakati karena adanya kebutuhan terhadap uang terlebih dahulu, maka ini boleh untuk dilakukan.

(Baca Juga : Lebih Buruk Ahlul Bid'ah Atau Orang Kafir?)

   Adapun masalah yang tengah melanda kaum muslimin saat ini adalah masalah perihal penutupan masjid dan tidak diselenggarakannya shalat Jum'at dan jama'ah ketika wabah Covid-19 tengah melanda. Para Ulama Kibar telah berfatwa tentang perkara besar ini yang menyangkut banyak nyawa manusia.

   Syekh Abd al-Muhsin bin Hamad al-Ābbad al-Badr menyatakan :

 "Telah ditanyakan kepadaku pertanyaan orang dari Iraq dengan tanggal 3 Rajab 1441 H yang ia bertanya tentang gugurnya shalat Jum'at dan jama'ah karena sebab wabah penyakit yang terjadi akhir-akhir ini.

   Maka aku jawab bahwasanya (shalat Jum'at dan jama'ah) tidak gugur dan menjaga shalat merupakan sebab diangkatnya bala bencana dan pertanyaan ini adalah di kala awal bencana maka tidak boleh bagi siapa pun untuk meninggalkan shalat jama'ah yang ditegakkan.

   Jika telah ada larangan menegakkan solat jumat dan jamaah dimasjid dari daulah (pemerintah), maka kalau solat jumat tidak mungkin dikerjakan dirumah, tapi solat jamaah masih bisa ditegakkan di rumah bersama keluarga.

   Inilah yang menjadi jawaban saya ketika ada pertanyaan seputar hal tersebut, dan ini pula yang saya lakukan bersama anak anak saya dirumah, dan orang seperti saya dan yang semisal saya dari kalangan penuntut ilmu tidak layak menyelisihi fatwa yang telah di keluarkan oleh haiah kibar ulama dalam masalah itu".

Syaikh Abdul Muhsin Al Badr, 25 Rajab 1441 H.

   Sungguh ana sangat ingin agar para penuntut ilmu dan asatidzah menghayati bagian: "Orang seperti saya (yang beliau hafal Kutub-Sittah, Taqriibut-Tahdzib dll) dan yang semisal dengan saya dari kalangan penuntut ilmu tidak layak menyelisihi fatwa yang telah dikeluarkan oleh Haiat Kibar Ulama dalam masalah itu", perhatikan bagian ini baik-baik, level Syaikh Abdul Muhsin Al Badr yang merupakan Syaikh sepuh di kota Nabi صلى الله عليه وسلم saja tidak patut untuk menyelisihi dalam hal ini karena memang menyangkut nyawa orang banyak dan telah difatwakan oleh Para Ulama kompeten tentang perkara tersebut, terlebih lagi bagi yang tidak sampai derajat Syaikh Abdul Muhsin Al Badr, dan sikap beliau sudahlah sangat tepat dan sesuai atsar Ibnu Mas'ud رضي الله عنه ketika Utsman رضي الله عنه sempurna shalat di Arafat dan Muzdalifah dan diingkari oleh Ibnu Mas'ud namun beliau tetap shalat di belakangnya, ketika ditanyakan maka Ibnu Mas'ud jawab:
الخلاف شرّ
"Perselisihan itu buruk".

  Demikian pula fatwa Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman yang merupakan murid langsung Syaikh Al-Albany رحمه الله تعالى, beliau berkata :

*المتوقع كالواقع فاذا غلب على الظن فناء كثير من الناس-بهذا الوباء- وقرر اهل الاختصاص ذلك فالحجب عن الجماعة هو الذي يحبه الله وانا ادرك مااقول بعد تأني وتفكير.
"Hal yang sudah diduga hukumnya seperti hal yang sudah terjadi, jika kuat dugaan bahwa manusia bisa meninggal dengan sebab wabah ini, maka menghalangi manusia dari shalat jama'ah itulah yang dicintai oleh Allah, saya benar-benar sadar atas apa yang saya ucapkan berdasarkan pemikiran yang perlahan"... (perkembangan Covid-19 rata-rata bertambah korban positif 100 orang per hari, dengan tingkat kematian 10 orang per hari)
*جعل حوادث حصلت سابقا كالنصوص وانها ثابته وانها معصومه -غير صحيح- فكلام العلماء وفتواهم -غير معصومة- وابراز كلماتهم في هذا الوقت للتشويش على كبار العلماء سلبية ليست حسنة....
"... menjadikan peristiwa-peristiwa di zaman dahulu bagaikan nash yang tsabit maka hal ini tidak dibenarkan, perkataan dan fatwa para ulama tidak ma'shum dan menampakkan perkataan tsb (di zaman dahulu dengan konteks berbeda) pada saat ini dalam rangka mengusik terhadap fatwa Ulama Kibar (yang telah berfatwa hentikan jama'ah) adalah hal yang negatif dan tidak bagus...
*هذا الكلام -يعني فتوى المخالفين في ترك الجماعة- لوتعبد الله به شخص فهلك فاثمه على من نشره.
"... perkataan ini yakni fatwa yang orang-orang menyelisihi dalam meninggalkan jama'ah (berkeyakinan etap shalat jama'ah) seandainya ada orang yang mengambil fatwa tersebut lalu ia meninggal (karena tertular wabah) maka dosanya atas yang menyebarkan fatwa tersebut" (tentu juga yang berfatwa).

(Baca Juga : 8 Adab Berdoa Sesuai Sunnah)

   Dalam bahasan hukum azimah dan rukhshah, adakalanya rukhshah itu WAJIB diambil, kapankah itu? Jika itu sudah sampai membahayakan nyawa yang termasuk dalam 5 darurat yang wajib dijaga, sebagaimana dalam kisah Sahabat yang berjihad dan kepalanya terluka, lalu beliau qadarullah terkena janabah kemudian bertanya kepada Sahabat lainnya apakah ada rukhshah baginya lalu dijawab : "Tidak ada" dan Sahabat tersebut pun akhirnya mandi dan meninggal, ketika hal ini diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau marah besar, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ العَيّ السُّؤَال

"Mereka (yang berfatwa mandi) telah membunuhnya, semoga Allah mencelakakan mereka, bukankah obat ketidaktahuan adalah bertanya!" (HR Ahmad no 3056 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Arnauth). Dalam kasus tersebut hukum azimah adalah mandi untuk janabah dan ini hukum keadaan umum, namun dalam keadaan khusus seperti sakit seseorang diperbolehkan mengamalkan hukum rukhshah untuk tayammum sebagaimana diamalkan oleh Sahabat Amr bin Ash ketika kondisi amat dingin. Begitu pula dalam kondisi khusus ini janabah ketika kepala terluka maka WAJIB ambil rukhshah karena bisa membahayakan nyawa, oleh karena itu Nabi صلى الله عليه وسلم marah besar kepada Sahabat yang tetap berfatwa ambil hukum azimah padahal itu kondisi khusus wajibnya ambil hukum rukhshah demi menjaga nyawa Sahabat tersebut.

   Imam Al-Bukhariy membuat judul bab dalam Shahih nya:
بابُ إغْلَاقِ البَيْتِ ويُصَلّيْ فيْ أيِّ نَواحِيْ الْبَيْتِ شَاءَ
"Bab Menutup Ka'bah dan shalat di bagian mana saja di dalamnya" lalu Imam Al-Bukhariy membawakan hadits masuknya Nabi صلى الله عليه وسلم ke dalam ka'bah bersama Usamah, Bilal dan Utsman bin Thalhah.

   Syaikh Utsaimin ketika menjelaskan dalam ta'liq Shahih Al-Bukhariy bagian ini beliau berkata :

"Pengarang (Imam Al-Bukhariy) dalam Bab ini ingin menjelaskan bahwasanya MENGUNCI MASJID-MASJID DAN KA'BAH ATAU SEMISALNYA KARENA ADA HAJAT MAKA DIPERBOLEHKAN dan ini tidak dikatakan sebagai menghalangi masjid-masjid Allah untuk berzikir di dalamnya karena ada maslahat dalam hal ini atau hajat atau ADAKALANYA DARURAT MAKA ITU TIDAKLAH MENGAPA".

   Imam Ibnu Batthal menyebutkan hajat untuk mengunci Ka'bah ketika itu adalah :

لئلا يكثر الناس عليه فيه فيصلُوا بصلاته

"Agar manusia tidak banyak berkumpul di dalamnya karena manusia ingin shalat berjama'ah bersama Nabi صلى الله عليه وسلم " (Syarah Shahih Al-Bukhariy:4/ 280), ternyata hanya dengan hajat seperti ini saja diperbolehkan untuk mengunci ka'bah dan masjid terlebih JIKA DARURAT DALAM RANGKA PENANGANAN WABAH PENYAKIT MENULAR MEMATIKAN maka tentu lebih diperbolehkan lagi dengan Qiyas Awla, qiyas yang bahkan diakui oleh Zhahiriyyah keabsahannya.

  Sebagian Asatidzah Ahlussunnah ada yang berpegang dengan hukum azimah yakni tetap shalat di masjid dan berdalil dengan QS At-Taubah ayat 18:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS At-Taubah: 18)

   Adapun pendalilan dengan ayat At-Taubah : 18 maka ini adalah hukum asal azimah sedangkan dalam kondisi khusus ketika adanya rukhshah maka yang lebih tepat adalah pemberlakuan hukum rukhshah, terlebih lagi ini termasuk rukhshah darurat yang menurut penjelasan Imam As-Subkiy adalah wajib diambil jika telah menyangkut nyawa sebagaimana dalam kasus makan bangkai ketika kelaparan.

  Ditambah lagi pendalilan dengan ayat tersebut adalah umum yang nyatanya bisa dimasuki dalil-dalil khusus tentang tidak ikut shalat berjama'ah dan dalil bolehnya menutup masjid yang itu diperbolehkan dalam syariat, seperti uzur hujan atau hajat agar manusia tidak berkumpul di dalam Ka'bah maka terlebih lagi jika uzurnya adalah mudharat kepada nyawa dan dalam rangka menjaga nyawa kaum muslimin, ini pun qiyas awla yang bisa digunakan untuk takhshish dalil-dalil umum seperti ayat At-Taubah di atas.

(Baca Juga : Guru Itu Pengaruh Bagi Murid)

   Dalam situasi genting menyangkut nyawa bukan hanya satu atau dua orang melainkan banyak nyawa, sungguh amat penting kita untuk merujuk kepada Para Ulama Kibar seperti Masyaikh Saudi, Mesir, Yordania, Yaman yang mereka hampir-hampir sepakat dalam hal ini, yakni tidak mengapa menutup masjid dan menghentikan shalat jama'ah demi menjaga nyawa kaum muslimin dari wabah penyakit berbahaya namun sayang sekali mengapa saat-saat seperti ini tidak digaungkan lagi hadits :
الْبَرَكَةُ مَعَ أكَابِرِهِمْ
"Keberkahan itu bersama para pembesar Ulama"(HR Ibnu Hibban no 559 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth) yakni para Ulama Ahlussunnah yang telah sepuh, mengapa begitu sepi gaungnya saat ini.

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber :https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1266111600265359&id=100005995935102

Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama

Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama
Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama
أنواع اختلاف العلماء
Jenis-jenis Ikhtilaf Ulama

Ikhtilaf dalam Fiqh itu hal yang biasa, ini sudah terjadi sejak zaman para Salafusshalih, Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut-Tabi'in.

Imam Asy-Syafi'iy mengatakan :

"Ibnul-Musayyib meriwayatkan dari Abu Hurairah صلى الله عليه وسلم dari Nabi صلى الله عليه وسلم hadits-hadits dan beliau (Ibnul Musayyib) berpegang dengannya dan juga meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudriy tentang sharf (tukar beberapa jenis barang yang menjadi riba) dan beliau berpegang dengan hadits tsb dan ADA ORANG-ORANG YANG MENYELISIHI BELIAU DARI UMAT INI.

Atha (bin Abi Rabah) meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang mukhabarah dan beliau berpegang dengan hadits tsb dan ADA ORANG-ORANG YANG MENYELISIHI BELIAU DARI UMAT INI.

Asy-Sya'biy meriwayatkan dari Alqamah dan Abdullah (bin Mas'ud) dari Nabi صلى الله عليه وسلم hadits-hadits DAN ADA ORANG-ORANG YANG MENYELISIHI BELIAU DARI MANUSIA PADA HARI INI MAUPUN SEBELUM HARI INI.

Hasan Al-Bashriy meriwayatkan dari seseorang (Sahabat) dari Nabi صلى الله عليه وسلم hadits-hadits dan beliau berpegang dengan hadits tsb DAN ADA ORANG-ORANG YANG MENYELISIHI BELIAU DARI MANUSIA PADA HARI INI MAUPUN SEBELUM HARI INI. (Jima'ul-'Ilmi karya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'iy : hal. 51, cet. Dar Ibnul Jawziy th 1432 H).

(Baca Juga : Udzur Bagi Da'i)

Maka dari sini bisa disimak bahwasanya perselisihan dalam masalah Fiqhiyyah Ijtihadiyyah itu hal yang biasa, alhamdulillah thalib LIPIA atau Fakultas Syariah di Universitas Islam di beberapa negeri kaum muslimin sudah 'kenyang' dengan khilaf Fiqh di Bidayatul-Mujtahid yang dari awal sampai akhir isinya khilaf semua. Dan dalam masalah khilaf Fiqh seperti ini tidak perlu saling tuding : "Ente keluar dari lingkup Ahlussunnah", "Ente ga hormat sama Syaikh atau Ustadz yang lebih sepuh", jelas ini perkataan bodoh karena kenyataannya Syaikh atau Ustadz yang lebih sepuh tersebut pasti pernah menyelisihi Ulama yang lebih sepuh lagi atau bahkan Imam mazhab mujtahid mutlaq  namun ternyata tidak pernah diributkan penyelisihannya tersebut.

Namun ini adalah ketika dalam kondisi khilaf Fiqh dimana dalil dan metode pendalilannya sama-sama kuat atau hampir sama kuat dan para Ulama tersebar di masing-masing pendapat tersebut... Lho darimana tau kalau itu sama-sama kuat atau hampir setara? Pakai Ilmu Ushul Fiqh Mas, dari sini bisa diketahui apakah metode pendalilan nya sudah benar atau belum, juga pakai Ulum Hadits jika pendalilannya terkait keabsahan suatu Hadits.

Adakalanya masalah Fiqh telah diijma'kan oleh para Ulama maka tidak boleh menyelisihi dalam hal ini dan orang yang menyelisihinya WAJIB diingkari walaupun dengan keras karena para Ulama sepakat haramnya menyelisihi Ijma'. Apakah orang yang menyelisihi Ijma' bisa kufur jika menghalalkan apa yang haram dengan ijma' atau mengharamkan yang halal berdasarkan ijma'? Imam Ar-Rafi'iy mengamini hal tersebut secara mutlaq di semua masalah, adapun Imam An-Nawawiy masih memperinci, jika masalah Ijma' nya masyhur diketahui hampir seluruh kaum muslimin bahkan anak-anak kaum muslimin maka yang mengingkari ini bisa kufur adapun jika ijma' nya tentang masalah yang agak tersembunyi maka belum tingkat kufur.

Ada kondisi lain dimana Jumhur atau hampir seluruh Ulama terkumpul pada suatu pendapat dan disitu masih ada segelintir kecil dari para Ulama yang menyelisihinya yang berpegang dengan pendapat syaadz maka bagian ini bukan khilaf mu'tabar yang ini pun diingkari walaupun tidak sama derajat pengingkarannya sebagaimana pengingkaran kepada orang yang menyelisihi Ijma karena memang tidak terjadi ijma', seperti masalah halal nya khamr selain anggur selama belum sampai tingkat mabuk yang dipegang oleh Ulama Kufah saja yang itu diingkari oleh Para Ulama dari berbagai negeri kaum muslimin selain Kufah, maka Ahli Kufah menyendiri dalam hal ini, bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sampai mengarang kitab khusus juz fil-Asyribah yang esensinya adalah bantahan terhadap pendapat ini.

Seperti masalah hukum alat-alat musik yang telah dinukil keharamannya dari banyak Salafusshalih dalam Dzammul-Malahiy karya Imam Ibnu Abid-Dunya dan juga diingkari oleh Para Ulama dari 4 mazhab, namun ternyata diselisihi oleh Imam Zhahiriyyah Ibnu Hazm Al-Andalusiy sembari mendha'ifkan hadits Shahih Al-Bukhariy yang ini kemudian diikuti oleh Imam Al-Ghazaliy dalam Ihya nya. Ini adalah pendapat segelintir kecil para Ulama dimana kebanyakan Ulama berada di seberang dan para Ulama Hadits dari zaman ke zaman menshahihkan hadits tentang haramnya alat musik dan mereka membantah Ibnu Hazm, sebagaimana dilakukan oleh Imam Ibnu Abdil Barr An-Namariy, Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah nya, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar nya, dan lainnya para Ulama.

(Baca Juga : Nama-Nama 8 Pintu Surga)

Seperti masalah baru-baru ini tentang masalah boleh atau tidaknya menutup masjid karena darurat wabah penyakit menular yang mematikan, para Ulama Kibar Saudi, Mesir, Yordan, Qatar, Maroko dan MUI Indonesia dalam poin "ketika wabah tidak dapat dikendalikan" dan nyatanya pertambahan kasus di Indonesia adalah kurleb 100 kasus per hari dengan tingkat kematian kurleb 10 kematian orang per hari nya, intinya mereka telah sepakat akan bolehnya menutup masjid lalu terdapat sebagian kecil Asatidzah Ahlussunnah yang tidak membolehkan hal tersebut maka muqallid sepatutnya arif dia harus memilih pendapat yang mana dan tidak terbawa fanatisme "pokoknya saya harus dukung pendapat Ustadz Fulan apapun pendapatnya", Wallahu a'lam.

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1267332990143220&id=100005995935102