Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Kesalahan Imam Atau 'Alim

Kesalahan Imam Atau 'Alim
Kesalahan Imam Atau 'Alim


📝خطأ الإمام أو العالم

📝Kesalahan imam atau alim


   Imam Asy-Syafi'iy dalam Ar-Risalah nya menukil hadits dari gurunya, Imam Malik bin Anas :


أخبرنا مالك عن هلال بن أسامة عن عطاء بن يسار عن عمر بن الحكم، قال أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم بجارية...


Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar dari Umar bin Hakam bahwasanya beliau datang dengan budak wanita nya... Hadits yang masyhur tentang kisah budak wanita yang dibebaskan.


(Baca Juga : Ghuluw Kepada Syaikh/Ustadz)


   Kemudian Imam Asy-Syafi'iy membetulkan bahwa Imam Malik ada kesalahan dalam meriwayatkan hadits ini, Asy-Syafi'iy berkata : "Itu (Sahabatnya) adalah Mu'awiyah bin Hakam demikian yang diriwayatkan para ulama selain Malik, aku mengira Malik tidak mengingat namanya" (Ar-Risalah : hal. 155 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir).


   Imam besar selevel Imam Malik bin Anas, Imam nya kota Madinah yang dikatakan oleh Imam Al-Bukhariy jalur beliau : Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar merupakan sanad emas, ternyata masih bisa melakukan kesalahan ilmiah.


   Sealim-alimnya seorang ulama maka masih mungkin padanya terdapat kesalahan, itu adalah hal yang manusiawi.


   Manusia dalam menyikapi kesalahan seorang imam atau alim ulama atau ustadz kadang ada 2 tipe yang tidak tepat :


1. Orang-orang dan murid-murid yang ghuluw kepada imam atau ulama atau ustadz nya tersebut, sehingga hampir bak meyakini bahwa sang imam, ulama dan ustadz panutannya tidak mungkin untuk melakukan kesalahan ilmiah, ia tidak percaya hal tersebut bahkan seakan tegak hari kiamat jika mendengar sang panutan dianggap salah.


2. Orang-orang yang melampaui batas, bahkan sampai merendahkan imam atau ulama atau ustadz tersebut bahkan seakan tidak ada harganya dan tidak memiliki kapasitas keilmuan sama sekali dan sepatutnya ditinggalkan serta tidak diambil ilmunya.


(Baca Juga : Mengangkat Derajat Seorang Ustadz)


   Sepatutnya kita meniru adab Imam Asy-Syafi'iy, masih tetap mengambil dan meriwayatkan hadits-hadits dari gurunya Imam Malik bin Anas, serta menyanjungnya namun jika ada kesalahan maka tidak mengikuti kesalahan tersebut dan justru meluruskannya, cukup meluruskan sebagai nasihat kepada kaum muslimin agar tidak mengikuti kesalahan tsb tanpa bumbu-bumbu tak sedap, cacian dan cemoohan, merasa lebih hebat dan semacam ini, Wallahu a'lam.


Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1558614697681713&id=100005995935102

Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa?

 

Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa?
Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa?


✒️ما يقال عند الفطر

✒️Apa yang diucapkan ketika berbuka puasa


   Di sebuah grup yang alfaqir huni bersama teman-teman thullab Hadits sempat ada yang nyeletuk : "Seandainya ada tulisan ilmiah tentang doa buka puasa : 

ذهب الظمأ... dan اللهم لك صُمت..." 

maka ana kira bagus juga "ngoprek2" ini... 


   Imam Abu Dawud dalam Sunan nya membuat bab:

باب القول عند الفطر

"Bab ucapan ketika berbuka puasa" dan beliau membawakan dua hadits :


ثنا عبد الله بن محمد بن يحيى، ثنا علي بن الحسن، أخبرني الحسين بن واقد، ثنا مروان - يعني ابن سالم - المقفّع، قال : رأيت ابن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكفّ، وقال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : "ذهب الظمأ وابتلّت العروق وثبت الأجر إن شاء الله"


... Dari Husein bin Waqid dari Marwan bin Salim Al-Muqaffa', beliau adalah berkata : Aku melihat Ibnu Umar رضي الله عنه memegang janggutnya lalu memotong yang lebih dari genggaman dan beliau berkata : "Nabi صلى الله عليه وسلم jika berbuka puasa beliau mengucapkan :" Telah hilang dahaga, dan basah urat-urat, dan semoga tsabit pahalanya jika Allah berkenan".


  Adapun hadits yang kedua :


ثنا مسدّد، ثنا هُشيم عن حُصين عن معاذ بن زُهرة أنه بلغه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أفطر قال : اللهم لك صُمت وعلى رزقك أفطرتُ


... Dari Mu'adz bin Zuhrah telah sampai kepadanya dari Nabi صلى الله عليه وسلم jika berbuka puasa maka beliau mengucapkan : "Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka puasa".


(Baca Juga : Pentingnya Meluruskan Niat)


1️⃣ Adapun hadits pertama :

ذهبَ الظّمأُ...

   Syaikh Al-Albany menghasankan hadits ini. Sebenarnya beliau bukanlah yang pertama, akan tetapi Imam Ad-Daraquthniy telah menghasankannya terlebih dahulu, ketika meriwayatkan hadits ini dalam Sunan nya beliau berkata :


تفرّد به الحسين بن واقد، وإسناده حسن

Husein bin Waqid bersendirian dalam riwayat ini dan sanadnya hasan (Sunan Ad-Daraquthniy : no 2279).


   Imam Al-Hakim bahkan dalam Mustadrak nya seraya berkata :

هذا حديث صحيح على شرط الشيخين، فقد احتجا بالحسين بن واقد ومروان بن المقفع

Hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhariy dan Muslim, mereka berhujjah dengan Husein bin Waqid dan Marwan bin Al-Muqaffa' (Al-Mustadrak: no 1536).


   Tentang penilaian Imam Al-Hakim tsb, Syaikh Al-Albany tidak setuju dan mengatakan ada beberapa kesalahan disitu :

1. Ini bukan syarat Al-Bukhariy dan Muslim 

2. Imam Al-Bukhariy tidak berhujjah dengan Husein bin Waqid, hanya membawakan riwayatnya secara mu'allaq

3. Marwan bin Salim Al-Muqaffa', Imam Al-Bukhariy maupun Muslim tidak berhujjah dengan mereka berdua sama sekali (Irwaul-Ghalil: 4/40).


   Yang kesalahan Imam Al-Hakim tersebut telah ditanbih terlebih dahulu oleh Imam Adz-Dzahabiy di "Talkhish Mustadrak" dan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam "Tahdzibut-Tahdzib".


   Adapun Husein bin Waqid Al-Marwaziy Al-Qadhiy (rawi Muslim dan Ashabus-Sunan) Ibnul Mubarak berkata : "Siapa di antara kita yang seperti Husein". Ahmad bin Hanbal berkata : "Laisa bihi ba's". Yahya bin Ma'in mentsiqahkannya. Abu Zur'ah dan An-Nasa'iy berkata : "Laisa bihi ba's". Ibnu Hibban berkata : Qadhi Marwa, sebaik-baik manusia, adakalanya salah dalam riwayat. Al-'Uqailiy berkata : Ahmad bin Hanbal mengingkari riwayatnya, dalam riwayat Al-Atsram, Imam Ahmad berkata : "Dalam hadits-haditsnya ada tambahan riwayat, ma adri aisy hiya". Ibnu Sa' ad berkata :"Hasanul-hadits" (Tahdzibut-Tahdzib: no 642)


  Adapun Marwan bin Salim Al-Muqaffa' maka Adz-Dzahabiy menukil bahwasanya Ibnu Hibban mentsiqahkannya ( Lisanul-Mizan: no 4804).


Sehingga dari sini bisa dilihat bahwa hadits doa :

ذهب الظمأ...

tidak 'bersih' tanpa cela, Husein bin Waqid Al-Marwaziy Al-Qadhiy, ada riwayat kritikan terhadapnya dari Imam Ahmad bin Hanbal terkait tambahan riwayat yang ia riwayatkan. Imam Az-Zaila'iy dalam "Nashbur-Rayah" membawakan riwayat ini serta riwayat-riwayat lainnya namun hanya terkait riwayat jenggot, bukan riwayat doa buka puasa, sebagaimana telah lalu kata Imam Ad-Daraquthniy ini adalah tafarrud nya Husein bin Waqid. Sehingga terbuka kemungkinan ini adalah termasuk ziyadah-ziyadah yang dicela oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari riwayat Husein bin Waqid, Wallahu a'lam. Sedangkan Marwan bin Salim maka hanya Imam Ibnu Hibban saja yang mentsiqahkannya, sedangkan beliau termasuk mutasahil dalam mentsiqahkan para rawi yang adakalanya mentsiqahkan para rawi majhul.


2️⃣Adapun hadits kedua yakni :

اللهم لك صُمت وعلى رزقك أفطرتُ


Dalam nuskhah Sunan Abu Dawud yang ana miliki baik tahqiq Syaikh 'Isham Musa Hadi maupun yang i'tina Syaikh Masyhur Hasan Salman maka mengutip ta'liq Syaikh Al-Albany bahwa ini adalah dha'if. Sebenarnya memang jelas mursal nya hadits ini dari Mu'adz bin Zuhrah seorang Tabi'in.


  Musa bin Zuhrah ini diikhtilafkan apakah ia sahabat atau tabi'in. Imam Al-Baghawiy mengatakan : "Saya tidak mengetahui apakah Mu'adz bin Zuhrah ini sahabat atau bukan".


   Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam "Tahdzibut-Tahdzib" berkata tentang Mu'adz bin Zuhrah ini : Adh-Dhabbiy, Tabi'in meriwayatkan secara mursal dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang bacaan ketika berbuka puasa... Ibnu Hibban menyebutkan namanya di "Ats-Tsiqat" yakni dalam thabaqah Tabi'in.


   Adapun dalam "Taqriib" Al-Hafizh berkata : maqbul, thabaqah ketiga, meriwayatkan hadits secara mursal, dan salah yang menyebutkannya sebagai sahabat. Thabaqah ketiga yakni thabaqah tabi'in pertengahan, seletting dengan Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashriy.


  Apakah hadits mursal bisa dijadikan hujjah? Para ulama berdebat panjang lebar tentang hujjahnya hadits mursal atau bukan. Jumhur Ulama berhujjah dengan hadits mursal, Imam Abu Dawud berkata dalam "Risalah Abi Dawud ila Ahli Makkah" :


"Adapun riwayat-riwayat mursal kebanyakan para ulama terdahulu berhujjah dengan riwayat mursal, seperti Sufyan Ats-Tsauriy, Malik bin Anas dan Al-Awza'iy hingga datang Asy-Syafi'iy dan berbicara tentang riwayat mursal lalu diikuti oleh Ahmad bin Hanbal dan ulama lainnya. Abu Dawud berkata : Jika tidak ada riwayat musnad yang menyelisihi riwayat mursal, dan memang tidak ada riwayat musnad maka mursal bisa dijadikan hujjah, walaupun ia tidak sama dengan riwayat musnad dari segi kekuatan (keabsahannya)".

 

   Imam Ath-Thabariy mengatakan bahwa secara mutlaq mengatakan mursal bukan hujjah tanpa tafshil adalah bid'ah setelah tahun 200 H. (Syarh Ilal Ibnu Rajab).


(Baca Juga : Kisah Menuntut Ilmu dan Seorang Istri)


  Hadits ini juga ada jalur lain di Mushannaf Ibnu Abi Syaibah :


ثنا محمد بن فُضيل عن حُصين عن أبي هريرة رضي الله عنه : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صام ثم أفطر قال : اللهم لك صُمت وعلى رزقك. قال : وكان الربيع بن خُثيم يقول : الحمد لله الذي أعانني فصمت ورزقني فأفطرت


    Riwayat ini dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه akan tetapi madar nya tetap dari Hushain, sehingga malah yang kemungkinan 'dicurigai' adalah Muhammad bin Fudhail, syaikh Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah karena ia menyelisihi periwayatan Husyaim bin Basyir yang lebih tsiqah dan meriwayatkan secara mursal, ini jikalau kita memakai mazhab "i'lal mawshul bil-mursal" dan itu adalah mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, kalau mazhab Imam Al-Bukhariy maka bisa panjang lagi ceritanya. 


   Namun faidah penting disini bahwa Imam Ibnu Abi Syaibah juga menukil amalan Rabi' bin Khutsaim juga membaca doa yang mirip demikian, sedangkan beliau adalah seorang Tabi'in Kabir mukhadhram, yakni sebenarnya mendapati zaman Nabi صلى الله عليه وسلم namun tidak bertemu Nabi صلى الله عليه وسلم. Bahkan Ibnu Mas'ud sempat memujinya: "Seandainya Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihatmu niscaya beliau akan mencintaimu".


   Dan juga masih ada jalur lain hadits Anas bin Malik رضي الله عنه yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabaraniy dalam "Mu'jam Shaghir", "Ad-Du'a" dll dari jalur Dawud bin Zibriqan dari Syu'bah dari Tsabit Al-Bunaniy dari Anas bin Malik :


أن النبي صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : بسم الله اللهم لك صُمت وعلى رزقك أفطرتُ، تقبل مني إنك أنت السميع العليم


Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم ketika berbuka maka beliau mengucapkan : "Dengan Nama Allah, Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka puasa, terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"


   Adapun Dawud bin Zibriqan. Yahya bin Ma'in berkata : "Laisa haditsuhu bisyai". Abu Hatim Ar-Raziy berkata : dha'if hadits nya, zahibul-hadits (Al-Jarh wat-Ta'dil). An-Nasa'iy berkata : "Tidak tsiqah".Ibnu 'Adiy berkata : Dia (Dawud) termasuk rawi dha'if yang masih ditulis haditsnya (Al-Kamil fi dhu'afa). Adapun Ibnu Hibban memperinci keadaan Dawud ini, melihat ada celaan Yahya bin Ma'in, namun Ahmad bin Hanbal berkata : Laa attahimuhu fil-hadits, karena melihat kesalahan tsb adalah bab khatha dan waham sehingga tidak berhak jarh yang parah, simpulan Ibnu Hibban : shaduq jika sesuai periwayatan para tsiqah, namun bukan hujjah jika bersendirian (Al-Majruhiin).


   Syaikh Al-Albany menilai sanad hadits ini sangat dha'if karena rawi Dawud bin Zibriqan yang dinilai oleh Abu Dawud : matruk, bahkan Al-Azdiy menganggapnya kadzdzab. Sehingga simpulan beliau ini termasuk jenis sangat dha'if yang tidak bisa terangkat menjadi hasan, sebagaimana yang beliau jelaskan di "Irwaul-Ghalil".


   Setelah ditelusuri lagi di atas tentang Dawud bin Zibriqan ini, sebenarnya kalam para ulama lainnya 'ga jelek-jelek amat'. Yahya bin Ma'in berkata : "Laisa haditsuhu bisyai". Abu Hatim Ar-Raziy berkata : dha'if hadits nya, zahibul-hadits (Al-Jarh wat-Ta'dil). An-Nasa'iy berkata : "Tidak tsiqah". Adapun Ibnu Hibban memperinci keadaan Dawud ini, melihat ada celaan Yahya bin Ma'in, namun Ahmad bin Hanbal berkata : Laa attahimuhu fil-hadits, karena melihat kesalahan tsb adalah bab khatha dan waham sehingga tidak berhak jarh yang parah, simpulan Ibnu Hibban : shaduq jika sesuai periwayatan para tsiqah, namun bukan hujjah jika bersendirian (Al-Majruhiin).Ibnu 'Adiy berkata : Dia (Dawud) termasuk rawi dha'if yang masih ditulis haditsnya (Al-Kamil fi dhu'afa). Yang jarh nya keras adalah dari Abu Hatim, Al-Azdiy, Ibnu Ma'in, dan Abu Dawud dan ini yang kemudian diikuti oleh Syaikh Al-Albany. Namun melihat kalam ulama lainnya seperti Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhariy, Ibnu 'Adiy yang menilai hanya sekedar dha'if saja, bahkan Ibnu Hibban menilainya sebagai shaduq namun memang ia (Dawud) waham dalam riwayatnya terutama ketika mudzakarah dan tidak pegang kitab, jika kita pegang penilaian ulama yang ini, maka hadits jalur ini menjadi sekedar dha'if, bukan sangat dha'if, dan ini penilaian Al-Haitamiy, Ibnul-Mulaqqin, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Ibnul Qayyim dan lainnya.


   Jika digabungkan maka total ada riwayat mursal Mu'adz bin Zuhrah, riwayat mawshul dari Sahabat Anas bin Malik dan Abu Hurairah, namun memang ada kelemahan, ditambah ada amalan dari Tabi'in Kabir Rabii' bin Khutsaim, ketika terkumpul seperti ini, inilah yang dimaksud para Ulama terutama Fuqaha bahwa doa tsb memiliki ashl, sebagaimana kata Al-Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbaliy ketika beliau menyebutkan tentang hadits mursal :


"Adapun para Fuqaha (yang berhujjah dengan riwayat mursal) maka maksud mereka adalah sahnya apa yang ditunjukkan dalam riwayat tersebut, jika riwayat mursal memiliki qarinah penguat yang menunjukkan ia (kandungan riwayatnya) memiliki asal sehingga kuat dugaan benarnya apa yang ditunjukkan oleh riwayat tersebut. Maka para Fuqaha berhujjah dengannya ketika terkumpul bersamanya qarinah penguat seperti ini, dan inilah yang sebenarnya mursal yang dijadikan hujjah menurut para Imam seperti Imam Asy-Syafi'iy, Imam Ahmad bin Hanbal dan yang selain keduanya..." (Syarah Ilal Ibnu Rajab: hal. 182).


   Oleh karena itu tidak mengherankan para Fuqaha dari berbagai mazhab masing-masing mencantumkan doa ini di kitab-kitab Fiqh mereka.


   Dalam mazhab Asy-Syafi'iy Imam An-Nawawiy dalam "Minhaj" yang merupakan salah satu kitab mu'tamad Syafi'iyyah, beliau berkata :


يستحب أن يغتسل عن الجنابة قبل الفجر، وأن يحترز عن الحجامة والقبلة وذوق الطعام والعلك، وأن يقول عند فطره: اللهم لك صُمت وعلى رزقك ،وأن يكثر الصدقة...


"Disunahkan untuk mandi junub sebelum fajar, (disunahkan pula) berhati-hati dari berbekam, ciuman, merasakan makanan dan menjilat, (dan disunahkan pula) mengucapkan ketika berbuka : Allahumma laka shumtu, wa 'ala rizqika afthartu..." (Minhajut-Thalibin: hal 41, cet Darul-Kutub)


   Dalam mazhab Hanbaliy, Allamah Manshur Al-Buhutiy memaktubkan dalam "Ar-Raudhul-Murbi' yang merupakan kitab mu'tamad Hanabilah mutaakhirin, beliau berkata :


وسُنّ تعجيل فطر لقوله صلى الله عليه وسلم :" لا يزال الناس بخير ما عجّلوا الفطر"... ويكون على رطب... فإن عدم الرطب فتمر فإن عدم فعلى ماء لما تقدم وقول ما ورد عند فطره، ومنه : اللهم لك صُمت وعلى رزقك أفطرتُ سبحانك وبحمدك، اللهم تقبّل مني إنك أنت السميع العليم


"Dan disunahkan menyegerakan berbuka puasa, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :" Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa "... dan (disunahkan) berbuka dengan kurma basah... jika tidak ada (kurma basah) maka kurma kering, jika tidak ada maka berbuka dengan air, berdasarkan riwayat yang lalu, (dan disunahkan pula) mengucapkan doa yang ada riwayatnya, di antaranya : Allahumma laka shumtu, subhanaka wa bihamdika, allahumma taqabbal minni, innaka antas-sami'ul-aliim (Ar-Rawdhul-Murbi' : 1/ 236)


  Dalam mazhab Malikiy, Syamsuddin Al-Hatthab Ar-Ru'ainiy juga membawakan doa ini dalam kitabnya "Mawahibul-Jalil syarh Mukhtashar Khalil" yang merupakan penjelasan atas kitab "Mukhtashar Khalil bin Ishaq" kitab mu'tamad Malikiyyah mutaakhirin.


(Baca Juga : Apakah Sah Puasa Orang Yang Meninggalkan Sholat?)


   Wallahu a'lam bagi yang mau berdoa buka puasa dengan :

اللهم لك صُمت وعلى رزقك أفطرتُ

Ya monggo, bagi yang mau berdoa dengan :

ذَهَبَ الظّمَأُ وابْتَلّتِ العُرُوْقُ وثَبَتَ الأَجْرُ إنٰ شَاءَ اللهُ

juga silakan, masing-masing ada riwayatnya ma'tsur dan ada para ulama Salaf yang mengamalkan dan mengajarkannya. 


📚 Maraji' : Sunan dan Risalah ila Ahli Makkah Abu Dawud, Sunan Ad-Daraquthniy, Mustadrak Al-Hakim, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Taqriibut-Tahdzib, Tahdzibut-Tahdzib, Ats-Tsiqat dan Al-Majruhin Ibnu Hibban, Al-Kamil fidh-Dhu'afa Ibnu 'Adiy, Al-Jarh wat-Ta' dil Ibnu Abi Hatim Ar-Raziy, Syarah Ilal Ibnu Rajab, Minhajuth-Thalibin An-Nawawiy, Ar-Rawdhul-Murbi Al-Buhutiy, Mawahibul-Jalil syarh Mukhtashar Khalil nya Al-Hatthab Al-Malikiy, Nashbur-Rayah Az-Zaila'iy, Irwaul-Ghalil Al-Albany dan lainnya.


Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1574685559407960&id=100005995935102

Keutamaan Ahli Quran

 

Keutamaan Ahli Quran
Keutamaan Ahli Quran

✒️فضل أهل القرآن


   Imam As-Suyuthiy dalam "Al-Jami'ush-Shaghir" bab Alif, halaman 91 cetakan dalam negeri membawakan riwayat tentang keutamaan Ahli Qur'an.


   Atsar dari Aisyah رضي الله عنها :

إن عدد درج الجنة عدد آي القرآن، فمن دخل الجنة ممن قرأ القرآن لم يكنْ فوقه أحد


رواه ابن مردويه


"Sesungguhnya jumlah derajat surga sebagaimana jumlah ayat-ayat Qur'an, maka barangsiapa yang memasuki surga dari ahli Qur'an niscaya tidak ada derajat lagi di atasnya" (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mardawaih).


   Atsar ini diriwayatkan juga oleh Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam "Mushannaf" nya, beliau berkata :


ثنا محمد بن عبد الرحمن السّدوسي، عن معفس بن عمران عن أم الدرداء، قالت: دخلت على عائشة، فقلت : ما فضل من قرأ القرآن على من لم يقرأه ممن دخل الحنة؟.... فليس أحد ممن دخل الجنة أفضل ممن قرأ القرآن


Muhammad bin Abdur-Rahman As-Sadusiy telah menyampaikan kepada kami, dari Mi'fas bin Imran dari Ummu Darda, ia bertanya kepada Aisyah رضي الله عنها : "Apakah keutamaan orang yang hafal Qur'an dibandingkan yang tidak jika mereka masuk surga?... Maka dijawab semakna dengan riwayat di atas namun akhirnya :"... maka tidak ada seorang pun yang masuk surga lebih afdhal daripada orang-orang yang hafal Qur'an".


(Baca Juga : 8 Keutamaan Penghafal Al-Quran)


   Jika dilihat dari segi sanadnya perantara antara Imam Ibnu Abi Syaibah dengan Aisyah رضي الله عنها ada 3 orang :

1. Muhammad bin Abdur-Rahman As-Sadusiy

2. Mi'fas bin Imran As-Sadusiy

3. Ummu Darda (yakni shugra).


   Adapun Muhammad bin Abdur-Rahman As-Sadusiy, Imam Al-Bukhariy berkata dalam "Tarikh" nya : "Ia mendengar dari Mi'fas. Waki' dan Marwan meriwayatkan darinya. Al-Muharibiy berkata : Ia adalah katib nya Muharib bin Ditsar.


   Adapun Mi'fas bin Imran bin Hitthan As-Sadusiy, Imam Al-Bukhariy berkata : "Ia mendengar dari Ummu Darda" (Tarikh Kabir: 4/ no 2168). Dalam Tarikh Dimasyqa, Imam Ibnu Asakir membawakan riwayat lebih detail bahwa Mi'fas bin Imran menemui Ummu Darda bersama ayahnya, lantas ayahnya bertanya : "Apa keutamaan orang yang hafal Qur'an dibandingkan yang tidak?" (Tarikh Dimasyqa: 59/ 355).


   Adapun Ummu Darda nama aslinya adalah Hujaimah Ad-Dimasyqiyyah, ia wanita yang tsiqah lagi faqih, dari thabaqah ketiga (Tabi'in awsath, satu letting dengan Hasan Al-Bashriy) wafat tahun 81 H (Taqriibut-Tahdzib).


   Atsar ini memang mawquf sampai kepada Aisyah رضي الله عنها, apakah riwayat mawquf/ qawl shahabiy hujjah atau bukan? Para ulama khilaf tentang ini :


1. Hujjah, dalam qawl qadim nya Imam Asy-Syafi'iy


2. Bukan hujjah, dalam qawl jadid nya Imam Asy-Syafi'iy


3. Hujjah jika dalam masalah yang tidak mungkin Sahabat ijtihad di masalah tsb, ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dan Wallahu a'lam ini kiranya lebih dekat karena mustahil para Sahabat bicara tentang perkara akhirat, hal-hal ghaib dan masalah yang tidak dimasuki ijtihad melainkan aslinya mereka mendengar dari Nabi صلى الله عليه وسلم sehingga dihukumi marfu' secara hukum. Imam Ahmad bin Hanbal juga memiliki riwayat lain sebagaimana dua qawl Imam Asy-Syafi'iy di atas.


(Baca Juga : Jadilah Muslim yang Produktif)


    Tentu saja keutamaan ini dikecualikan darinya orang-orang yang memiliki Qur'an namun malah menjadi hujjah atas dirinya, yakni memberatkannya karena tidak mengamalkannya, dan juga orang yang hafal Qur'an namun ia riya, dan juga orang yang hafal Qur'an namun ia tidak mengamalkannya dan malah tidur dari shalat-shalat wajib, maka keadaan-keadaan tersebut terdapat ancaman dalam dalil-dalil tsabit lainnya.


   Maka atsar ini menunjukkan keutamaan para Ahli Qur'an di surga dimana mereka menempati derajat tertinggi bersama para Nabi dan Rasul dan orang-orang yang sampai derajat tersebut, dan memang ada hadits marfu' dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang menunjukkan kepada hal ini, yakni hadits dalam riwayat Imam Abu Dawud dan At-Tirmidziy:


يُقال لِصاحب القُرآن: اقْرأ وارْتَق ورتّلْ كما كنتَ تُرتّلْ في الدّنْيا فإنّ منزلتكَ عنْد آخِر آيَةٍ تقْرأُهَا


"Dikatakan kepada para Ahli Qur'an :" Bacalah, naiklah (derajat) dan bacalah dengan tartil sebagaimana dahulu di dunia engkau membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu sesuai dengan akhir ayat yang engkau baca".


اللهم اجعل القرآن ربيع قلوبنا ونور صدورنا يا رب العالمين


Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1582372185305964&id=100005995935102

Hari H nya Kiamat

Hari H nya Kiamat
Hari H nya Kiamat
   Allah Ta'ala berfirman: "Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang hari Kiamat kapankah terjadinya? Katakanlah sesungguhnya ilmunya hanyalah di sisi Rabb ku, Dia tidak memberitahukan waktunya kecuali hanya Dia (yang mengetahuinya)..."(QS Al-A'raf: 187).

   Dalam ayat ini firmankan bahwa ilmu tentang kapan hari kiamat hanya Dia yang mengetahuinya dan Allah nyatakan ini dengan 'adaat hashr':
إنما علمها...
yang huruf ini yang menunjukkan pembatasan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui waktunya.

(Baca Juga : 21 Ayat Al-Quran Tentang Kiamat)

   "Hashr" dalam Bahasa Arab memang bisa bermakna dua:
1. Hashr mutlaq yakni memang betul membatasi menetapkan apa yang dimaktubkan dalam teks dalil serta menafikannya di luar itu, seperti ilmu tentang kapan hari kiamat.
2. Hashr takhshish yakni apa yang ditetapkan merupakan hal khusus bagi apa yang telah dimaktubkan namun tidak menutup kemungkinan masih ada person atau hal yang yang bersekutu dalam hal khusus tersebut, seperti tugas Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai pemberi peringatan dalam ayat:

إنما أنا منذِرٌ
"Sesungguhnya aku hanya pemberi peringatan" namun ternyata dalam dalil-dalil lain tugas Nabi صلى الله عليه وسلم bukan hanya sebagai "pemberi peringatan".

   Back to the laptop, dalam kasus 'ilmu tentang kapan kiamat' Allah nyatakan pembatasan ilmu tentang hari kiamat bukan hanya sekali dalam ayat ini, melainkan 3 kali, yakni dalam bagian:

لا يُجليها لوقتها إلا هو...
Huruf لا dengan إلا juga menunjukkan "hashr" = pembatasan, dan lagi-lagi di penghujungnya Allah tekankan semakna dengan ini :

قُل إنما علمها عند الله...
"Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa ilmunya di sisi Allah...." Allah kembali menggunakan huruf إنما yang menunjukkan pembatasan. Dan kumpulan penegasan seperti ini menunjukkan bahwa "hashr" yang diinginkan disini adalah "hashr mutlaq" yakni memang benar-benar hanya Allah saja yang mengetahui pasti kapan tanggal hari Kiamat, waktunya, pagi atau sorekah, beserta detiknya, hanya Allah saja.

(Baca Juga : 4 Saksi Kita Pada Hari Kiamat)

   Dan Allah pun tegaskan dalam ayat ini:

لا تأتيكم إلا بغتةً...
"Tidaklah kiamat itu datang kepada kalian kecuali dengan tiba-tiba...", kalau sudah ada 'panitia' kasih tau tanggal datangnya maka sudah jelas itu bukanlah hari kiamat yang Allah nyatakan "tiba-tiba".

   Bukan hanya ayat Qur'an bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan Nabi terbaik dan Jibril yang merupakan Malaikat terbaik tidak mengetahui pasti kapan hari Kiamat, berdasarkan hadits Shahih Muslim yang dimasukkan oleh Imam An-Nawawiy dalam Arba'in nya:

متى الساعة؟ قال ما المسؤول عنها بأعلم من السائل...

(Jibril bertanya): "Kapan hari kiamat? Nabi صلى الله عليه وسلم jawab:" Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya" (HR Muslim), jawaban Nabi صلى الله عليه وسلم menafikan ilmu tentang kapan pastinya hari kiamat.

   Allah telah tegaskan berulang bahwa hanya Dia yang mengetahuinya dan Nabi صلى الله عليه وسلم dengan Jibril عليه السلام yang merupakan dua makhluk terbaik di kalangan malaikat dan manusia saja tidak mengetahuinya.

   Namun sayangnya masih banyak kaum muslimin yang rela dibodohi dengan pernyataan : "Kiamat tanggal sekian.... Ramadhan tahun ini... atau pernyataan serupa...eh terus ada klarifikasi lagi... nanti tahun depan ribut lagi...menjelang hari H klarifikasi lagi... terus aja begitu sampe lebaran monyet.

(Baca Juga : Benarkah Kiamat Sudah Dekat?)

Tulisan Al-Ustadz Varian Ghani Hirma, BA hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1300380543505131&id=100005995935102

Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan

Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan
Hadits Sholat Malam Menjauhkan Penyakit Badan
Lemahnya Hadits "Shalat Malam Menjauhkan Penyakit dari Badan"

 بسم الله الرحمن الرحيم

Lafaz hadits:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ

 "Hendaknya kalian melakukan shalat malam, karena shalat malam adalah hidangan orang-orang shalih sebelum kalian, dan sesungguhnya shalat malam mendekatkan kepada Allah, serta menghalangi dari dosa, menghapus kesalahan, dan menolak penyakit dari badan."

✅Hadits ini dikeluarkan oleh: At-Tirmidzi (3459), Ibnu Abid-Dunya dalam At-Tahajjud (1 & 2), Ar-Ruyani (745), Asy-Syasyi dalam Al-Musnad (978), Ibnu Syahin dalam At-Targhib (557), dan Al-Baihaqi (2/502), Dari jalan Abun-Nadhr Hasyim ibnul-Qasim Al-Baghdadi,
 dari Bakr bin Khunais,
dari Muhammad Al-Qurasyi, dari Rabi'ah bin Yazid,
dari Abu Idris Al-Khaulani,
 dari Bilal radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini dengan jalan di atas adalah Matruh (sangat lemah dan tidak bisa dikuatkan sama sekali), bahkan bisa dihukumi Maudhu (palsu) karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad Al-Qurasyi yaitu Muhammad bin Sa'id Asy-Syami Al-Maslub, matrukul-hadits (ditinggalkan haditsnya), bahkan sebagian ulama memvonis kadzzab (tukang dusta) dan pemalsu hadits. (Lihat Tahdzibul-Kamal:25/264, beserta ta'liqnya. Cetakan Ar-Risalah)

(Baca Juga : Bahaya Syirik dan Keutamaan Tauhid)

Al-Hafidz At-Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits di atas, beliau berkata:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﻏﺮﻳﺐ ﻻ ﻧﻌﺮﻓﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﻼﻝ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬا اﻟﻮﺟﻪ، ولا يصح ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ، ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻳﻘﻮﻝ: ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻘﺮﺷﻲ ﻫﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺸﺎﻣﻲ ﻭﻫﻮ اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﻴﺲ ﻭﻫﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺴﺎﻥ ﻭﻗﺪ ﺗﺮﻙ ﺣﺪﻳﺜﻪ،
Hadits ini gharib, kami tidak ketahui dari hadits Bilal kecuali dari jalan ini, dan sanadnya tidak shahih. Saya mendengar Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari) berkata: Muhammad Al-Qurasyi adalah Muhammad bin Sa'id Asy-Syami, yaitu Ibnu Abi Qais, (dikenal juga) dengan Muhammad bin Hassan, haditsnya telah ditinggakan.

✳Hadits ini juga memiliki jalan lain selain dari Muhammad Al-Maslub: 1.Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (2/502), dan Asy-Syu'ab (2823), dari jalan Abu Abdillah Khalid bin Abi Khalid,
dari Yazid bin Rabi'ah,
 dari Abu Idris Al-Khaulani,
dari Bilal.

 Sanad ini sangat lemah: -Abu Abdillah Khalid bin Abi Khalid, penulis belum temukan biografinya.
-Yazid bin Rabi'ah, yaitu Abu Kamil Ar-Rahabi Ad-Dimasyqi. Kesimpulan hukum tentang beliau: dhaif jiddan (sangat lemah). (Lihat Biografinya: Al-Mizan:4/422, Tarikh Al-Islam:4/546, Al-Jarh wa Ta'dil:9/261, Mausu'ah Aqwal Ad-Daraqutni fi Rijalil-hadits: 2/719, Al-Majruhin Libni Hibban: 3/104, dan lainnya)
-ditambah dengan status riwayat Abu Idris Al-Khaulani dari Bilal, sebagian ulama menghukumi mursal. (Tuhfatut-Tahsil:167)

2.dikeluarkan oleh Ibnul-A'rabi dalam Mu'jamnya (1022),
dari Ibrahim,
dari Mukhtar,
dari Muhammad bin Ismail Az-Zubaidi,
dari Manshur,
dari Muhammad bin Sa'id,
dari Bilal.

Sanadnya juga lemah:
-Ibrahim yaitu Ibnu Ismail At-Thalhi abu Ishaq Al-Kufi, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam (Ats-Tsiqat:8/88), beliau berkata: meriwayatkan dari Abu Nu'aim, termasuk Ahli Kufah, dan Ahli kufah meriwayatkan darinya. saya katakan rawi seperti ini: majhul hal. Sekedar penyebutan Ibnu Hibban dalam Tsiqatnya tidak teranggap sebagai tautsiq yang mu'tabar sebagaimana dima'lumi
-Mukhtar yaitu Ibnu Ghassan At-Tammar Al-Kufi. Maqbul (yaitu jika dikuatkan, jika tidak maka lemah) sebagaimana dalam At-Taqrib.
-Muhammad bin Sa'id, penulis belum temukan biografinya.

✅ Hadits di atas memiliki jalan lain, namun dari Sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu.
 Tanpa ada tambahan lafaz: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.

Hadits ini dikeluarkan oleh: Ibnu Abid-Dunya dalam At-Tahajjud (3), Ibnu Khuzaimah (1135), Al-Hakim (1/308), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (7466) dan Al-Ausath (3277), Ibnu Adi (4/1524), Al-Baihaqi Al-Kubra (2/502), Abu Nu'aim dalam Ath-Thib (117), Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (922); semuanya dari jalan Abu Shalih Abdillah bin Shalih Al-Mishri,
 dari Mu'awiyah bin Shalih,
dari Rabi'ah bin Yazid,
 dari Abu Idris Al-Khaulani,
dari Abu Umamah radhiyallahu anhu.

📝Tanbih: dalam riwayat Al-Hakim tertulis: Tsaur bin Yazid, (bukan Rabi'ah bin Yazid), mungkin ini kesalahan dari sebagian nasikh (penyalin naskah), karena dalam riwayat Al-Baihaqi dari gurunya Al-Hakim, jelas dengan sebutan nama: Rabi'ah bin Yazid. Wallahu a'lam

Hadits ini dishahihkan dan dihasankan oleh sebagian Ulama.
Berkata Al-Hakim:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
 Ini hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari.
Berkata Al-Baghawi:
ﻫﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ
 Ini hadits hasan. (Syarhus-Sunnah:4/35)
Dan dihasankan juga Al-Iraqi. (Ittihaf Sadatil-Muttaqin:5/186) Dan Al-Albani juga menghasankannya dengan beberapa penguat dalam Irwaul-Ghalil (452).

(Baca Juga : Wajibnya Mengenal Aqidah Islam)

📝Tanbih:
1. Imam Al-Hakim mengatakan: "shahih sesuai syarat Al-Bukhari" maka ini keliru dari beliau karena dalam sanadnya ada Muawiyah bin Shalih bukan perawi Imam Al-Bukhari. Berkata Adz-Dzahabi rahimahullah:
ﻭﻫﻮ ﻣﻤﻦ اﺣﺘﺞ ﺑﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﺩﻭﻥ اﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
 Beliau (Muawiyah bin Shalih) termasuk yang dijadikan hujjah oleh Muslim, tanpa Al-Bukhari. (Al-Mizan:4/135, lihat juga tanbih dari Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa)

 2. Al-Hafidz At-Tirmidzi setelah mengisyaratkan hadits Abu Umamah ini beliau berkata; ﻭﻫﺬا ﺃﺻﺢ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﻋﻦ ﺑﻼﻝ
Hadits ini Ashah (lebih shahih) dari hadits Abu Idris dari Bilal. Ini namanya tashih nisbi. Maksud beliau: hadits ini masih lebih kuat dari sisi sanadnya dibandingkan hadits yang pertama di atas. Ini sangat jelas karena di dalam sanad hadits di atas ada rawi yang matruk bahkan kadzzab.! Jadi, bukan maksudnya At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini.

Saya katakan: Yang kuatnya hadits ini tidak shahih dan tidak bisa dihasankan, berdasarkan alasan-alasan berikut;

1. Hadits ini telah dihukumi Munkar (hadits yang salah/keliru) oleh pakar Jarh wa Ta'dil dan pakar Ilalul-hadits di zamannya: Al-Hafizh Al-Mutqin Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah:
 ﻫﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﻨﻜﺮ؛ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ، ﻭﺃﻇﻨﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﺸﺎﻣﻲ اﻷﺯﺩﻱ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺮﻭﻱ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻫﻮ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ
Ini adalah hadits munkar; tidak ada yang meriwayatkan kecuali Muawiyah (yaitu Ibnu Shalih). Saya kira hadits ini berasal dari hadits Muhammad bin Sa'id Asy-Syami Al-Azdi, karena dia meriwayatkan hadits ini dengan jalan lain. (Ilalul-hadits Libni Abi Hatim:2/241)

Ucapan beliau di atas memberikan 2 Faedah:
 -hadits Abu Umamah adalah hadits yang munkar (keliru/salah), dan kemungkinan letak kelirunya dari Muawiyah bin Shalih.
-kemungikan besar hadits Abu Umamah adalah hadits Bilal di atas, yang sama-sama diriwayatkan juga oleh Muhammad bin Said Al-Maslub. Wallahu a'lam.

 2. Faedah pertama dari ucapan Abu Hatim didukung oleh isyarat Al-Hafizh Ath-Thabrani setelah meriwayatkan hadits ini:
 ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺇﻻ ﺃﺑﻮ ﺇﺩﺭﻳﺲ، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺇﻻ ﺭﺑﻴﻌﺔ، ﺗﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ
 Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Umamah kecuali Abu Idris, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Idris kecuali Rabi'ah (yaitu Yazid), telah berkesendirian meriwayatkan hadits ini Mu'awiyah bin Shalih. (Al-Kabir, dibawah hadits no.7466)

 Tafarrud (berkesendiriannya perawi) adalah isyarat yang banyak digunakan pakar ilal atas kemungkinan kesalahan (munkar atau syadz). Sehingga seperti ini mengharuskan kita untuk melihat keadaan Muawiyyah bin Shalih ini. Para ulama Jarh wa Ta'dil berbeda pendapat tentang beliau, sebagian mereka mentsiqahkan, sebagian lagi melemahkan, dan sebagian lagi mengatakan shaduq. (Lihat Biographi beliau di Tahdzibul-Kamal: 28/186, beserta ta'liqnya)

Kesimpulan tentang beliau sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Adi dan Ibnu Hajar rahimahumallah: Berkata Ibnu Adi:
ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪﻱ ﺻﺪﻭﻕ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻘﻊ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﺃﻓﺮاﺩاﺕ
 Menurutku beliau adalah shaduq, akan tetapi terdapat pada sebagian hadits-haditsnya afradat (beliau berkesendirian di dalamnya) (Al-Kamil:3/143)

Dan berkata Ibnu Hajar: shaduqun lahu awham (shaduq, memiliki beberapa kekeliruan).

 Sehingga status hadits ini memberikan ketidaktenangan di hati, karena mungkin ini di antara kekeliruan Muawiyah bin Shalih, apalagi telah dihukumi munkar oleh pakar Ilal di zamannya: Abu Hatim Ar-Razi.

3.dalam sanadnya juga terdapat: Abdullah bin Shalih Katibul-Lailts, para ulama berbeda pendapat tentangnya. Kesimpulannya berkata Al-Hafizh:
ﺻﺪﻭﻕ ﻛﺜﻴﺮ اﻟﻐﻠﻂ ﺛﺒﺖ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻓﻴﻪ ﻏﻔﻠﺔ
Shaduq namun banyak salahnya, kuat jika meriwayatkan dari kitabnya, pada dirinya ada kelalaian.

✅ Hadits ini memiliki syahid (penguat dari hadits lain) dari Sahabat Salman al-Farisi. Dikeluarkan oleh Ibnu Adi (4/1597), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab (2824), dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (6154), dari jalan Abdur-Rahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun Al-Ansi, dari Al-A'masy, dari Abul-Ala Al-Anazi, dari Salman radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lafaznya mirip dengan hadits Bilal di atas, dengan tambahan: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.

Sanadnya lemah:
 -Abul-Ala Al-Anazi, berkata Adz-Dzahabi: saya tidak mengetahuinya (Al-Mizan:2/568, pada biografi Abdurrahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun)
 -Abdur-Rahman bin Sulaiman bin Abil-Jaun Al-Ansi, para Ulama berbeda pendapat tentangnya. Kesimpulannya: shaduq yukhti' (shaduq, namun sering keliru), sebagaimana yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib.

Adz-Dzahabi menukil ucapan Ibnu Adi:
ﻋﺎﻣﺔ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﻣﺴﺘﻘﻴﻤﺔ، ﻭﻓﻲ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺇﻧﻜﺎﺭ.
Mayoritas haditsnya mustaqim (shahih atau hasan), dan pada sebagiannya ada yang diingkari.

Kemudian Adz-Dzahabi membawakan hadits di atas. Sebagai isyarat bagian dari hadits yang diingkari. (Lihat Al-Mizan:2/568)

Berdasarkan uraian di atas: 1-hadits Bilal: statusnya lemah. Bahkan sebagian jalannya Palsu, dan sangat lemah. Kecuali riwayat Muhammad bin Said dari Bilal. Ini lemah, jika memang dijadikan penguat namun butuh beberapa penguat untuk bisa naik ke derajat Hasan apalagi Shahih, Sebagaimana telah berlalu status sanadnya.

2.hadits Abu Umamah Al-Bahili: statusnya munkar, dan hadits munkar tidak bisa menguatkan dan dikuatkan. Munkar tetaplah munkar sebagaimana kata Imam Ahmad.

3.hadits Salman Al-Farisi: statusnya lemah. 4.hadits Bilal dengan riwayat Muhamad Said ditambah dengan hadits Salman Al-Farisi tidak bisa saling menguatkan sebagaimana telah berlalu pembhasan sanadnya, masih butuh beberapa penguat untuk bisa terangkat menjadi hasan apalagi shahih.

(Baca Juga : Benarkah Kiamat Sudah Dekat?)

 Kesimpulan:
-lafaz hadits: وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ
Dan menolak penyakit dari badan.
 Ini sangat lemah, bahkan sebagian ulama yang menghasankan hadits di atas, juga melemahkan tambahan lafaz ini.
Berkata Syaikh Al-Albani: ﻭﻳﺘﻠﺨﺺ ﻣﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﺃﻥ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺩﻭﻥ اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ , ﻷﻧﻬﺎ ﻟﻢ ﺗﺄﺕ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻘﻴﻦ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻯ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ اﻵﺧﺮ.

Disimpulkan dari uraian yang telah berlalu bahwa hadits ini hasan tanpa ada tambahan (yaitu lafaz di atas, pen), karena kedua jalan hadits yang ada tidak bisa saling menguatkan satu yang lainnya.

-asal hadits ini secara umum sekalipun tanpa tambahan lafaz di atas adalah hadits lemah, karena melihat jalan-jalannya dan penguatnya yang belum bisa saling menguatkan.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=765058294023503&id=100015580180071

Apakah Dosa Riba Lebih Besar Daripada Zina?

Apakah Dosa Riba Lebih Besar Daripada Zina?
Apakah Dosa Riba Lebih Besar Daripada Zina?

بسم الله الرحمن الرحيم.

Telah datang sebagian hadits yang dipahami darinya bahwa dosa riba lebih besar dari dosa zina. Namun, jika kita lihat dengan kacamata Ilmiyyah ini adalah kekeliruan dan tidak benar.

Di antara bunyi haditsnya:

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (Riwayat Al-Hakim)

(Baca Juga : Bolehkah Membantu Orang Kafir)

Berikut ini adalah beberapa alasannya:

✔️Pertama:
Hadits-hadits tersebut dari sisi sanad; adalah hadits yang lemah dari semua jalan periwayatannya, tidak bisa dijadikan hujjah.
(Semoga Allah mudahkan penulis untuk membahas khusus hadits-hadits tersebut).

Cukup disini penulis bawakan ucapan dua ulama ahli hadits:

Berkata Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah:

 " لَيْسَ فِي هَذِه الأحاديث شيء صَحِيح"

Tidak ada satu pun dari hadits-hadits ini yang shahih.
(Al-Maudhu'at:2/247)

Berkata Adz-Dzahabi zaman ini Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mu'allimi:

" والذي يظهر لي أن الخبر لا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم البتة"
Yang nampak bagiku bahwasanya hadits ini tidak Shahih dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam sama sekali.
(Al-Fawaid Al-Majmuah:150)

Hadits ini juga dilemahkan oleh para muhaqqiq Musnad Imam Ahmad dari semua jalan-jalannya.
(Musnad Ahmad: 36/288 cet.Ar-Risalah)

✔️Kedua:
Dari sisi matan (isi) hadits: adalah munkar, menyelisihi dalil-dali dari Al-Quran dan As-Sunnah yang menunjukkan sangat besarnya dosa zina.

Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
أكبر الكبائر ثلاث: الكفر، ثم قتل النفس بغير الحق، ثم الزنا، كما رتبها الله في قوله:

Dosa yang paling besar ada tiga: Kekufuran, kemudian membunuh, kemudian zina, sebagaimana Allah sebutkan secara berurutan dalam firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ

dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.
(Al-furqan:68)
وفي الصحيحين من حديث عبد الله بن مسعود قال: قُلْت يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: (أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَك) .
قُلْت: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: (ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَك خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَك). قُلْت: ثُمَّ أَيُّ؟
قَالَ: (أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِك).

Dan dalam Ash-Shahihain dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu bahwasanya berliau bertanya:
Wahai Rasulullah, Dosa apa yang paling besar?
Beliau menjawab:
yaitu engkau menjadikan bagi Allah tandingan padahal Dia yang menciptakanmu.
Saya bertanya: kemudian apalagi?
Beliau menjawab:
Engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu (takut misikin)
Saya bertanya lagi: kemudian apa lagi?
Engkau berzina dengan istri tentanggamu.
(Majmu Al-Fatawa:15/428)

(Baca Juga : 20 Ayat Al-Quran Tentang Tauhid)

Berkata Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah:

ﻭاﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﻤﺎ ﻳﺮﺩ ﺻﺤﺔ ﻫﺬﻩ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺃﻥ اﻟﻤﻌﺎﺻﻲ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻘﺎﺩﻳﺮﻫﺎ ﺑﺘﺄﺛﻴﺮاﺗﻬﺎ ﻭاﻟﺰﻧﺎ ﻳﻔﺴﺪ اﻷﻧﺴﺎﺏ، ﻭﻳﺼﺮﻑ اﻟﻤﻴﺮاﺙ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﺘﺤﻘﻴﻪ، ﻭﻳﺆﺛﺮ ﻣﻦ اﻟﻘﺒﺎﺋﺢ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻮﺛﺮ ﺃﻛﻞ ﻟﻔﻤﺔ ﻻ ﺗﺘﻌﺪﻱ اﺭﺗﻜﺎﺏ ﻧﻬﻰ، ﻓﻼ ﻭﺟﻪ ﻟﺼﺤﺔ ﻫﺬا.
Ketahuilah, bahwasanya di antara sebab yang menolak kesahihan hadits ini: bahwa maksiat-maksiat hanyalah diketahui tingkatan (dosa)nya dengan (melihat) dampak-dampaknya. Zina itu merusak nasab, memberikan hak waris kepada yang tidak berhak, dan berdampak darinya kekejian-kejian yang tidak berdampak dari sekedar memakan sesuap (hasil riba) yang tidak melampaui perbuatan haramnya itu (riba). (Jika demikian) maka tidak ada sisi kesahihannya.
(Al-Maudhu'at:2/248)

Berkata Asy-Syaikh Ibnul-Utsaimin rahimahullah:

" هذا الحديث لا شك أن في متنه شيئاً من النكارة....
 وذلك لعظم العقوبة في أمر يَظهر للإنسان أن ما مُثِّل به اشد وأعظم من الممثَّل ، فالله أعلم".

Hadits ini, tidak diragukan lagi bahwasanya pada isinya terdapat sesuatu yang munkar.

Kata beliau:
Hal ini karena besarnya hukuman pada sesuatu yang nampak bagi seorang bahwa yang dijadikan objek permisalan (zina) lebih besar dari yang dimisalkan (riba).
(Fathu Dzil-Jalali wal-Ikram:9/322)

Faedah:
Berkata Al-Imam Ahmad rahimahullah:

ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﻌﺪ اﻟﻘﺘﻞ ﺫﻧﺒﺎ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ اﻟﺰﻧﺎ
Saya tidak ketahui adanya dosa setelah membunuh yang lebih besar dari zina.
(Ad-Da' wad-Dawa': 214, tahqiq Al-Halabi, Lihat juga Hasyiah Ar-Raudh:7/312)

✔️ Ketiga:
Allah subhanah melarang zina secara mutlak tanpa terkecuali, tidak ada namanya dibolehkan zina karena darurat apalagi hanya sekedar hajat, dan Allah juga menutup semua pintu menuju Zina.
Allah berfirman:

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا

Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu kekejian, dan suatu jalan yang buruk.
(Al-Isra:32)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah:
Allah subhanah melarang hamba-hamba-Nya dari berbuat zina, dan (melarang dari) mendekatinya: yaitu berinteraksi dengan sebab-sebabnya dan faktor-faktor yang mendorongnya.

Kata beliau: fahisyah yaitu dosa yang besar.
(Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim:5/65)

Adapun riba, maka telah datang sebagian pengecualian yang dibolehkan, seperti jual beli arayah, padahal jika ditinjau dari pengertian riba maka jual beli arayah adalah riba, namun dibolehkan karena hajat mu'tabarah. Bahkan banyak dari perincian masalah-masalah yang berkaitan dengan riba yang diperselisihkan para Ulama. Seperti hukum riba fadhl, hukum uang kertas apa berlaku riba, dan selainnya.
Wallahu a'lam.

(Baca Juga : Jihad Yang Terbaik Bagi Wanita)

Tanbih:
Tulisan ini tidak bermaksud meremehkan dosa riba. Riba tetaplah dosa besar. Inti tulisan ini hanya menjelaskan bahwa dosa riba tidaklah lebih besar dari dosa zina, tidak sebagaimana yang dipahami banyak orang di zaman ini bahwa dosa riba lebih besar dari dosa zina.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وسلم.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=765917353937597&id=100015580180071

Pengingkaran Keras 'Aisyah Terhadap Penyanyi

Pengingkaran Keras 'Aisyah Terhadap Penyanyi
Pengingkaran Keras 'Aisyah Terhadap Penyanyi

       بسم الله الرحمن الرحيم

 Telah populer akhir-akhir ini munculnya seorang penyanyi yang isi nyanyiannya menggambarkan tentang Ummul-Mu'minin 'Aisyah radhiyallahu anha.

Ketahuilah -saudaraku semoga Allah memberikan kita petunjuk- sesungguhnya nyanyian adalah haram di dalam syariat yang mulia ini. Menjadikan nyanyian sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah bid'ah yang mungkar, menyelisihi kesepakatan kaum Muslimin.

(Baca Juga : Islam Itu Luas Bro)

Berkata Al-Hafidz Ibnush-Shalãh Asy-Syafi'i As-Salafi rahimahullah:

وقولهم في السماع (إنه من القربات والطاعات) قول مخالف لإجماع المسلمين.

 Pendapat mereka tentang nyanyian: "bahwasanya nyanyian termasuk qurbah (pendekatan diri) dan ketaatan" adalah pendapat yang MENYELISIHI KESEPAKATAN KAUM MUSLIMIN.
📚(Dinukil oleh Ibnul-Qayyim dalam Kasyful-Ghithâ':39, lihat As-Saif Al-Yamâni Alâ Man Abâhal-Aghâni Lisyaikhina Al-Imâm:100)

Sekiranya Ummul-Mu'minin masih hidup dan melihat orang yang menyanyikan tentang beliau, sungguh beliau akan ingkari. Sungguh telah datang atsar yang mulia dari Ummul-Mu'minin Aisyah radhiyallahu anha yang menunjukkan pengingkaran beliau yang sangat keras terhadap penyanyi.

Dari Ummu Alqomah rahimahallah:
ﺃﻥ ﺑﻨﺎﺕ ﺃﺧﻲ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﺧﻔﻀﻦ ﻓﺄﻟﻤﻦ ﺫﻟﻚ، ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ: ﻳﺎ ﺃﻡ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﺃﻻ ﻧﺪﻋﻮ ﻟﻬﻦ ﻣﻦ ﻳﻠﻬﻴﻬﻦ؟ ﻗﺎﻟﺖ: " ﺑﻠﻰ، ﻗﺎﻟﺖ: ﻓﺄﺭﺳﻞ ﺇﻟﻰ ﻓﻼﻥ اﻟﻤﻐﻨﻲ ﻓﺄﺗﺎﻫﻢ، ﻓﻤﺮﺕ ﺑﻪ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﺒﻴﺖ، ﻓﺮﺃﺗﻪ ﻳﺘﻐﻨﻰ، ﻭﻳﺤﺮﻙ ﺭﺃﺳﻪ ﻃﺮﺑﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﺫا ﺷﻌﺮ ﻛﺜﻴﺮ، ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ:" ﺃﻑ، ﺷﻴﻄﺎﻥ ﺃﺧﺮﺟﻮﻩ، ﺃﺧﺮﺟﻮﻩ، ﻓﺄﺧﺮﺟﻮﻩ

 Bahwasanya sebagian anak perempuan dari saudara Aisyah dikhitan (sunat) sehingga mereka merasakan sakit, maka dikatakan kepada Aisyah: wahai Umm-Mu'minin, bolehkah kita mengajak orang yang menghibur mereka? Aisyah menjawab: iya (boleh). Maka dicarilah penyanyi fulan, lalu ia mendatangi mereka (untuk menghibur).

Aisyah pun mendatangi rumah saudaranya, beliau melihat orang itu sedang menyanyi, sambil menggoyang kepalanya karena keasyikan (menyanyi), penyanyi itu berambut tebal. Maka Aisyah pun menegur: Hus! Ini Syaitan, keluarkan dia! Keluarkan dia!.
Mereka pun mengeluarkan sang penyanyi.

📚Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1247), dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (10/223) dan ini lafaznya, dengan sanad hasan. Dishahihkan oleh Ibnu Rajab dalam Nuzhatul-Asma':55, dan dihasankan Al-Albani dalam Ta'liqnya atas Al-Adab Al-Mufrad.

(Baca Juga : Menggugah Nurani Jamaah Haji)

 📝Jika ada yang berkata: Ummu Alqomah namanya adalah Marjanah. Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukuminya maqbulah (jika ada yang mengikuti riwayatnya maka diterima, jika tidak maka lemah), adapun Adz-Dzahabi mengatakan: la tu'raf (tidak dikenal), dalam Al-Kasyif beliau katakan: wuttsiqot (ditsiqahkan) dengan shigah tamrid.

Saya katakan: Ummu Alqamah bisa kita hukumi Shaduqah sekalipun tidak sampai pada tingkat tsiqah. Hal ini berdasarkan beberapa pendukung:

-Ummu Alqomah ditsiqahkan oleh Al-Ijli dalam Ats-Tsiqat (2116), dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat (5/466), dan meriwayatkan darinya dua perawi tsiqoh yaitu: anaknya Alqomah dan Bukair bin Al-Asyaj. Rawi yang seperti ini ditsiqahkan oleh sebagian ulama, atau minimal haditsnya dihasankan.

-Al-Imam Al-Bukhari mengeluarkan riwayat Ummu Alqamah dalam Shahihnya secara muallaq di "Bab Al-Hijamah wal-Qai' Lish-Shaim" dengan shighah jazm. Beliau berkata:
قال بكير عن أم علقمة: كنا نحتجم عند عائشه، فلا تنهى.
Berkata Bukair (Ibnul-Asyaj) dari Ummu Alqamah: kami berbekam di sisi Aisyah, beliau tidak melarang kami.

 Bahkan beliau menjadikan atsar ini hujjah dalam kitabnya Al-Tarikh Al-Kabir (2/180) ketika beliau melemahkan hadits:
(ﺃﻓﻄﺮ اﻟﺤﺎﺟﻢ ﻭاﻟﻤﺤﺠﻮﻡ)
 Telah batal puasa orang yang berbekam dan dibekam.

Beliau sebutkan salah satu riwayat hadits ini dari Laits dari Atha' dari Aisyah. Kata Al-Bukhari: tidak shahih.
Lalu beliau membawakan riwayat dari Aisyah yang menguatkan bahwa hadits Aisyah tersebut tidak shahih. Beliau sebutkan atsar Ummu Alqamah dari Aisyah sebagaimana di atas.

Ini menunjukkan kalau beliau berhujjah dengan hadits Ummu Alqamah. Wallahu A'lam.

-Al-Hafizh Ibnu Abdil-Barr meshahihkan riwayat Ummu Alqamah dalam kitab Muwattha' Al-Imam Malik.

Setelah menyebutkan hadits pertama yang diriwayatkan Alqamah dari ibunya Marjanah Ummu Alqamah, beliau berkata:

 ﻭاﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺘﺼﻞ ﻟﻤﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﻋﻦ ﺃﻣﻪ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ

 Hadits ini shahih bersambung dari Malik dari Alqamah bin Abi Alqamah dari ibunya dari Aisyah.
(At-Tamhid:20/108)

(Baca Juga : Jadilah Orangtua yang Sukses)

وبالله التوفيق.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=771975546665111&id=100015580180071

Hadits Turunnya Allah di Malam Nishfu Sya'ban

Hadits Turunnya Allah di Malam Nishfu Sya'ban
Hadits Turunnya Allah di Malam Nishfu Sya'ban

Lemahnya Hadits Ittila' (Muncul) & Turunnya Allah di Malam Nishfu Sya'ban"

        بسم الله الرحمن الرحيم

Telah datang hadits yang berbunyi:
 َ إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

 "Sesungguhnya Allah akan muncul/turun di malam nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang berselisih/bertengkar "

Hadits di atas dan yang semakna dengannya telah datang dari beberapa sahabat, sehingga dishahihkan oleh sebagian Ulama karena banyaknya jalan-jalannya, di antaranya Asy-Sayikh Al-Albani rahimahullah di dalam Ash-Shahihah.

Namun, kalau kita melihat sanad-sanad hadits-hadits di atas, maka kita dapatkan kalau hadits-hadits tersebut tidak bisa saling menguatkan dikarenakan sangat lemahnya sanad-sanadnya. Kaedah yang harus dipahami: "Tidak semua hadits dha'if itu bisa saling menguatkan sekalipun banyak jalannya".

(Baca Juga : Banyak Berdoa di Masa Fitnah)

Berkata Al-Hafizh Az-Zaila'i rahimahullah:
Betapa banyak hadits yang banyak rawinya dan banyak jalan-jalannya, akan tetapi hadits tersebut adalah hadits yang dha'if.
(Nashbur-Rayah:1/360)

Berikut ini adalah takhrij yang berkaitan dengan hadits di atas dan hukumnya: ✅1.hadits Mu'adz bin Jabal. Dikeluarkan oleh ibnu Hibban (5665), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (512), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (20/108), dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (5/191), dan selain mereka; dari jalan Abu Khulaid Utbah bin Hammad, dari al-Auza'i dan Ibnu Tsauban, dari ayahnya (Tsauban) dari Makhul dari Malik bin Yakhamir, dari Mu'adz bin Jabal.

 Berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
ﻟﻜﻨﻪ ﻣﻨﻘﻄﻊ ﺑﻴﻦ ﻣﻜﺤﻮﻝ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﻳﺨﺎﻣﺮ ﻭﻟﻮﻻ ﺫﻟﻚ ﻟﻜﺎﻥ اﻹﺳﻨﺎﺩ ﺣﺴﻨﺎ.
 Akan tetapi hadits ini munqati' (terputus sanadnya) antara Makhul dan Malik bin Yakhamir, kalau sekiranya bukan karena itu maka sanadnya adalah hasan.
(Zhilal Al-Jannah:1/224)

Berkata Abu Muhammad afahullah: Hadits di atas bukan hanya dari satu sisi kelemahan, bahkan lebih. Berikut penjelasannya: 1.Sanad hadits tersebut munkar sebagaimana dihukumi Abu Hatim rahimahullah. Beliau berkata: Hadits dengan sanad ini munkar. Tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad seperti ini kecuali abu khulaid, saya tidak ketahui dari mana dia datangkan sanad ini?! (Al-Ilal no.2012)
Dan dihukumi oleh Ad-Daraqutni sanad di atas dengan ucapan "ghairu mahfuz" maksudnya hadits yang keliru (syadz atau munkar).
2.Bahkan telah terjadi ikhtilaf (perselisihan) dalam sanadnya yang semuanya berputar pada Makhul, dan dilemahkan semuanya oleh Al-Hafizh Ad-Daraqutni dalam Ilal-nya (6/50)
3.Inqitha' (terputusnya sanad), -antara Makhul dan Malik bin Yakhamir, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh al-Albani.
Hadits seperti ini tidak bisa dikuatkan dan tidak bisa menguatkan.

✅2. Hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu

✅3. Hadits Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu,

✅4. Hadits Auf bin Malik radhiyallahu anhu.

Tiga hadits ini semuanya berporos pada satu rawi yaitu Abdullah bin Lahi'ah, rawi yang sayyiul-hifz (buruk hafalannya), rawi seperti ini tidak bisa diterima ketika terjadi ikhtilaf pada pada sanad yang berporos pada dirinya.

-Adapun hadits Abdullah bin Amr maka dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6642), dari Hasan bin Musa, dari Abdullah bin Lahi'ah dari Hayy bin Abdullah dari Abu Abdirrahman Al-Hubulli, dari Abdullah bin Amr. Lafaznya:
.... فيغفر لعباده إلا لاثنين: مشاحن وقاتل النفس. ....
Lalu Allah mengampuni hamba-hambaNya kecuali dua kelompok: orang yang berselisih dan pembunuh.
 Berkata Al-Haitsami:
 ﻭﻓﻴﻪ اﺑﻦ ﻟﻬﻴﻌﺔ ﻭﻫﻮ ﻟﻴﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ،
 Dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi'ah, dan dia lemah haditsnya. (Al-Majma':8/68)
 Dan berkata Al-Mundziri:
 ﻭﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻟﻴﻦ. Sanadnya lemah. (At-Targhib:3/283)

Saya katakan: hadits ini juga lemah karena Hayy bin Abdullah, mayoritas ulama melemahkannya. Berkata Imam Ahmad: hadits-haditsnya munkar, Berkata Al-Bukhari: fihi Nazhar (kebanyakan beliau gunakan kata ini untuk rawi yang lemah sekali), Berkata An-Nasai: tidak kuat, Dan dimasukkan dalam kategori Dhu'afa oleh ibnul-Jarud, Al-Uqaili, dan Ibnul-Jauzi,. Dan Ibnu Adi mengecualikan jika rawi yang meriwayatkan darinya tsiqoh maka dia la ba'sa bihi (hasan haditsnya). Sebagaimana diketahui dalam sanad ini rawi darinya Abdullah bin Lahi'ah, dha'if.
(Lihat Biografinya: Tahdzibul-Kamal:7/489, dan lihat juga ta'liqnya)

-adapun hadits Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, maka dalam sanadnya juga terdapat ikhtilaf: dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1390), dan dari jalannya Ibnul-Jauzi dalam Al-Ilal (922), dari jalan Al-Walid bin Muslim, dan dikeluarkan Al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamal (9/309) dari jalan Said bin Katsir bin Ufair: Keduanya (Walid bin Muslim & Said bin Katsir) dari Ibnu Lahi'ah, dari Dhahhak bin Aiman, dari Dhahhak bin Abdurrahman bin Arzab, dari Abu Musa. (Tanpa penyebutan Abdurrahman bin Arzab, ayah Adh-Dahhak)

 Berkata Ibnul-Jauzi:
هذا حديث لا يصح وابن لهيعة ذاهب الحديث
Hadits ini tidak shahih, dan ibnu Lahi'ah dzahibul-hadits (haditsnya sangat lemah).

Dan dikeluarkan oleh Al-Lãlakai (3/495), dari jalan Marwan bin Muhammad, dari Ibnu Lahi'ah, dari Zubair bin Sulaiman, dari dari Dhahhak bin Abdurrahman, dari ayahnya (Abdurrahman bin Arzub), dari Abu Musa.

Dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah (dibawah hadits 1390), dari Abul-Aswad Nadhr bin Abdul-Jabbar, dari Ibnu Lahi'ah, dari Zubair bin Sulaim, dari Dhahhak bin Abdirrahman dari ayahnya, dari Abu Musa.

Dan dikeluarkan Ibnu Abi Ashim (510), dari Abul-Aswad Nadhr bin Abdul-Jabbar, dari Abdullah bin Lahi'ah, dari Rabi' bin Sulaiman, dari Dahhak bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari abu Musa.

Hadits ini sangat lemah: -Lemahnya Abdullah bin Lahi'ah,
-bersamaan dengan lemahnya Ibnu Lahi'ah terjadi ikhtilaf dalam sanadnya yang berporos padanya: kadang dia meriwayatkan dari Dahhak bin Aiman tanpa menyebutkan Abdurrahman bin Arzab, kadang dari Zubair bin Sulaiman, kadang dari Zubair bin Sulaim, kadang dari Rabi' bin Sulaiman. Semua ini menunjukkan kekeliruan hadits yang dia riwayatkan. (Ikhtilaf ini telah disebutkan sebagiannya oleh Al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamal:9/308, 17/280.
 -Abdurrahman bin Arzab, statusnya Majhul sebagaimana dalam At-Taqrib,
-inqitha' (terputus sanadnya) antara Abdurrahman bin Arzab dan Abu Musa, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mundziri. (Dinukil oleh As-Sindi dalam Hasyiah Ibni Majah:1/422, no.1390)

 -adapun hadits Auf bin Malik, maka dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Musnad (7/186), dari jalan Abdul-Ghaffar bin Dawud Abu shalih Al-Harrani, dari Abdullah bin Lahi'ah dari Abdurrahman bin Ziyad bin An'um, dari dari Ubadah bin Nasi, dari Katsir bin Murroh, dari Auf bin Malik.

Berkata Al-Haitsami: Di dalam sanadnya Abdurrahman bin Ziyad bin An'um, ditsiqahkan oleh Ahmad bin Shalih dan dilemahkan oleh Mayoritas Ulama. ibnu Lahi'ah lemah, dan perawi lainnya tsiqat. (Majma Az-Zawaid:8/68)

Hadits ini sangat lemah;
 -Abdurrahman bin Ziyad dan Ibnu Lahi'ah keduanya lemah, berkumpulnya dalam satu sanad seperti ini membuatnya sangat lemah.
-ikhtilaf dalam sanadnya sebagaimana penjelasan di atas.

✅5.hadits Aisyah radhiyallahu anha,
dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (739), Ibnu Majah (1389), Ibnul Jauzi dalam Al-Ilal (915), dari jalan Al-Hajjaj bin Artha'ah, dari Yahya bin abi Katsir, dari Urwah, dari Aisyah. Lafaznya:
 ...إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
 "Sesungguhnya Allah ta'ala turun ke langit dunia pada malam pertengahan bulan Sya'ban, lalu mengampuni manusia sejumlah rambut (bulu) kambing."

 Berkata At-Tirmidzi:
 ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻻ ﻧﻌﺮﻓﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬا اﻟﻮﺟﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﺤﺠﺎﺝ، ﻭﺳﻤﻌﺖ ﻣﺤﻤﺪا -ﻳﻌﻨﻲ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ- ﻳﻀﻌﻒ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻗﺎﻝ: ﻳﺤﻴﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﻟﻢ ﻳﺴﻤﻊ ﻣﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻭاﻟﺤﺠﺎﺝ ﺑﻦ ﺃﺭﻃﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺴﻤﻊ ﻣﻦ ﻳﺤﻴﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ.
Hadits Aisyah kami tidak ketahui kecuali dengan jalan ini dari hadits Hajjaj. Saya mendengar Muhammad (yaitu Al-Bukhari) melemahkan hadits ini, beliau berkata: Yahya bin Abi Katsir tidak mendengar dari Urwah, dan Hajjaj bin Artha'ah tidak mendengar dari Yahya bin Abi Katsir.

 Kesimpulan hukum: sangat lemah.
-dilemahkan oleh Imam Al-Bukhari dengan dua sebab: -inqitha' (terputusnya sanad) antara Yahya bin Abi Katsir dan Urwah,
-inqitha' antara Hajjaj dan Yahya bin Abi Katsir.

(Baca Juga : Balasan Keimanan dan Amal Sholih)

Berkata Abu Muhammad:
 Di antara yang menambah kelemahan hadits ini adalah: -Hajjaj bin Artha'ah selain rawi yang lemah, dia juga termasuk mudallis yang menjatuhkan para Dhu'afa.
 -ikhtilaf dalam sanad hadits ini.
 Disebutkan oleh Ad-Daraqutni dalam Al-Ilal (14/217).
Setelah menyebutkan ikhtilaf beliau berkata:
 ﻭﺇﺳﻨﺎﺩ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻀﻄﺮﺏ ﻏﻴﺮ ﺛﺎﺑﺖ
 Sanad hadits ini mudhtharib (terjadi ikhtilaf yang tidak bisa dikuatkan salah satunya), tidak shahih.

 Saya katakan: Dan kemungkinan besar hadits ini kembali ke hadits Muadz di atas (hadits pertama). Dikeluarkan Al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (1839), dari jalan Abu Amr bin Hasyim Abu Malik Al-Janabi, dari Hajjaj bin Artha'ah dari Makhul, dari Katsir bin murroh dari Aisyah. sanadnya ada kelemahan: Abu Malik Al-Janabi lemah. Namun, apa yang disebutkan oleh Ad-Daraqutni dalam Al-Ilal menunjukkan hal itu. Wallahu a'lam.

 ✅6. Hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani radhiyallahu anhu. Lafaznya:
ﻳﻄﻠﻊ اﻟﻠﻪ ﺇﻟﻰ ﺧﻠﻘﻪ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻓﻴﻐﻔﺮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭﻳﻤﻠﻲ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﻭﻳﺬﺭ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻘﺪ ﻟﺤﻘﺪﻫﻢ , ﺃﻭ ﺃﻫﻞ اﻟﻀﻐﺎﺋﻦ
Allah melihat kepada makhlukNya di malam Nishfu Sya'ban, lalu Dia mengampuni orang-orang beriman, dan menangguhkan orang-orang kafir, dan membiyarkan orang yang dengki dengan kedengkiannya.

Berkata Al-Haitsami rahimahullah:
 ﻭﻓﻴﻪ اﻷﺣﻮﺹ ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﻭﻫﻮ ﺿﻌﻴﻒ.
 Di dalam sanasnya Al-Ahwas bin Hakim, seorang yang lemah. (Al-Majma':8/68)

Sanad hadits ini mudhtharib. Poros sanadnya adalah Al-Ahwas bin Hakim. Rawi yang lemah.
 Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/224), Ibnul-Jauzi dalam Al-Ilal (920), dari jalan Isa bin Yunus, dari al-Ahwas bin Hakim, dari Habib bin Suhaib, dari Abu Tsa'labah. dikeluarkan Al-Lãlakai (760), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (511), dari jalan Muhammad bin Harb, Dan Makhlad bin Yazid sebagaimana dalam Ilal Ad-Daraqutni (6/323), Keduanya (Muhammad bin Harb & Makhlad bin Yazid) dari Al-Ahwas bin Hakim, dari Al-Muhashir bin Habib, dari Abu Tsa'labah Al-Khusyani radhiyallahu anhu.

 Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/264) ,dari Jalan Al-Muharibi, dari Al-Ahwas bin Hakim, dari Habib bin Shuhaib, dari Makhul, dari Abu Tsa'labah. (Lihat al-Ilal Ad-Daraqutni: 14/218)
 Sanad terakhir ini menunjukkan kalau hadits ini kembali ke hadits pertama di atas yang porosnya pada Makhul. (Lihat hadits Muadz di atas)

‏ Berkata Ad-Daraqutni setelah menyebutkan ikhtilaf sanadnya:

ﻭﺇﺳﻨﺎﺩ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻀﻄﺮﺏ ﻏﻴﺮ ﺛﺎﺑﺖ.
 Sanad hadits ini mudhtharib, tidak shahih. (Al-Ilal: 6/323, dan 14/218)

 ✅7. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu.
 Dikeluarkan oleh Al-Bazzar (9268), Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad (16/416 tahqiq Basysyar, Ibnul-Jauzi dalam Al-Ilal (921), dari jalan Abdullah bin Ghalib, dari Hisyam bin Abdurrahman Al-Kufi, dari Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻳﻐﻔﺮ اﻟﻠﻪ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﺇﻻ ﻟﻤﺸﺮﻙ ﺃﻭ ﻣﺸﺎﺣﻦ
 Jika malam nishfu Sya'ban Allah mengampumi hamba-hambaNya kecuali musyrik dan orang yang berselisih.

 Hadits ini sangat lemah.
Berkata Ibnul-Jauzi:
 ﻫﺬا ﻻ ﻳﺼﺢ ﻭﻓﻴﻪ ﻣﺠﺎﻫﻴﻞ،
Hadits ini tidak shahih, dalam sanadya terdapat para perawi majhul. (Al-Ilal no.921)

 Perawai yang majhul tersebut adalah: -Abdullah bin Ghalib Al-Abadani (biografinya disebutkan dalam Tarikh Al-Islam:5/350) -Hisyam bin Abdurrahman Al-Kufi (lihat At-Tarikh Al-Kabir:8/199)

 ✅7. Hadits Abu Bakar radhiyallahu anhu.
 Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (1/325), Al-Bazzar, Ibnu abi Ashim dalam As-Sunnah (509), dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Ilal (916) dan selain mereka; dari jalan Abdul-Malik bin Abdil-Malik dari Mush'ab bin Abi Dzi'b dari Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, dari ayahnya atau pamannya, dari Abu Bakr, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 ﻳﻨﺰﻝ ﺭﺑﻨﺎ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ؛ ﻓﻴﻐﻔﺮ ﻟﻜﻞ ﻧﻔﺲ، ﺇﻻ ﻣﺸﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ، ﻭﻣﺸﺎﺣﻦ
 Rabb kami turun pada malam Nishfu Sya'ban, lalu mengampun semua orang kecuali orang musyirk kepada Allah dan yang berselisih.

Hadits sangat lemah dan Munkar.
 Berkata Ibnu Adi:
 وهو حديث منكر بهذا الإسناد
 Ini adalah hadits munkar dengan sanad ini.
 (Al-Kamil: 5/1946)
 Berkata Ibnul-Jauzi:
 لا يصح ولا يثبت
Tidak shahih dan tidak tsabit.

 Dalam sanadnya terdapat Abdul-Malik bin Abdul-Malik, rawi yang Matruk.
(Iihat Biografinya: At-Tarikh al-Kabir:5/424, Al-Majruhin:2/136, Masu'ah Aqwal Ad-Daraqutni:2/424, Ad-Dhuafa Al-Kabir:3/29)

✅8. Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1388), dari jalannya Ibnul-Jauzi dalam Al-Ilal (923), dan Al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (1837), dari jalan ibnu Abi Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja'far dari ayahnya dari Ali radhiyallahu anhu.

Hadits Palsu, atau minimal Matruh. Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Abi Sabrah, rawi yang tertuduh memalsukan hadits.

 ✳Kesimpulan: Hadits tentang Turunnya Allah dan Ittila' ( di Malam Nishfu Sya'ban tidak shahih. Semua jalan-jalan hadits tersebut sangat lemah dan tidak bisa saling menguatkan.

Berkata Abu Syamah rahimahullah: berkata Al-Hafizh Abul-Khatthab Ibnu Dihyah rahimahullah:
ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻭاﻟﺘﺠﺮﻳﺢ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺣﺪﻳﺚ ﻳﺼﺢ
Berkata para ulama Ahli Jarh wa Ta’dil (ahli kritik hadits): tidak ada hadits yang shahih tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban. (Al-Baits Ala ‘Inkaril-Bida’ wal-Hawādits:36)

 Berkata Al-Allamah Ibnu Baz rahimahullah:
 ﻭﻗﺪ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﻓﻀﻠﻬﺎ -ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ- ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ اﻻﻋﺘﻤﺎﺩ ﻋﻠﻴﻬﺎ
“Telah datang (hadits-hadits) tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran.” (Lihat Al-Bida’ Al-Hauliyyah:286)

(Baca Juga : Sarana Menuntut Ilmu)

Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih tentang turunnya Allah setiap malam yaitu di seperti tiga akhir. Berkata Al-Uqaili:
ﻭﻓﻰ اﻟﻨﺰﻭﻝ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﻴﻦ، ﻭاﻟﺮﻭاﻳﺔ ﻓﻲ اﻟﻨﺰﻭﻝ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺛﺎﺑﺘﺔ ﺻﺤﺎﺡ ﻓﻠﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺩاﺧﻠﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ
Hadits-hadits tentang turunnya Allah di malam Nishfu Sya'ban terdapat kelemahan. Dan riwayat turunnya Allah di setiap malam adalah hadits-hadits yang tsabit lagi shahih, dan malam Nishfu Sya'ban masuk di dalamnya juga in syaa Allah. (Adh-Dhuafa Al-Kabir:3/29)

Diriwayatkan dari Muhammad bin Salam, bahwasanya beliau bertanya kepada Abdullah Ibnul-Mubarak tentang turunnya Allah di malam Nishfu Sya'ban, maka beliau menjawab: يا ضعيف، في كل ليلة ينزل. Wahai dha'if (orang lemah), Allah turun di setiap malam.
(Aqidatus-Salaf Lish-Shabuni:195-196)

الحمد لله رب العالمين

Luwuk, Banggai.
14 Sya'ban 1441.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=772731733256159&id=100015580180071

Mengenal Imam Abul Hasan Al-Karaji Asy-Syafi'i

Mengenal Imam Abul Hasan Al-Karaji Asy-Syafi'i
Mengenal Imam Abul Hasan Al-Karaji Asy-Syafi'i

Beliau adalah Al-Imam Al-Faqih Muhammad bin Abdil-Malik bin Muhammad bin Umar Abul-Hasan Al-Karaji Asy-Syafi'i (w.532 H)

Al-Hafizh Ibnul-Jauzi menuturkan:
ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺤﺪﺛﺎ ﻓﻘﻴﻬﺎ ﺷﺎﻋﺮا ﺃﺩﻳﺒﺎ، ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ اﻟﻔﺠﺮ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻣﺎﻣﻨﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﺎﻝ ﺇﺫا ﺻﺢ ﻋﻨﺪﻛﻢ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﺎﺗﺮﻛﻮا ﻗﻮﻟﻲ ﻭﺧﺬﻭا ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻗﺪ ﺻﺢ ﻋﻨﺪﻱ ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﺮﻙ اﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ اﻟﺼﺒﺢ

 Beliau adalah seorang muhaddits, faqih, penyair, dan ahli sastra. Beliau bermadzhab Asy-Syafi'i, namun beliau tidak qunut subuh, beliau pernah berkata: Imam kami Asy-Syafi'i berkata: "jika suatu hadits telah shahih di sisi kalian maka tinggalkan lah pendapatku dan ikutilah hadits", dan telah shahih di sisiku bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggalkan qunut shalat subuh.
📚(Al-Muntazham:11/331, lihat juga Adz-Dzahabi dalam Tarikh Islam:11/578-579 Tahqiq Basyar, Thabaqat Asy-Syafi'iyin Libni Katsir:606, Al-Bidayah:12/213, dar-Fikr, Thabaqat Asy-Syafi'iyyah:6/138, Al-Iqd Al-Mudzahhab:129, dan selainnya)

(Baca Juga : Matahari dan Bulan Kelak Masuk Neraka?)

Dan berkata Al-Allamah Ibnu As-Sam'ani rahimahullah:
ﻭﻛﺎﻥ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻣﺘﻘﻨﺎ ﻣﻜﺜﺮا ﻣﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ،

 Beliau adalah seorang Imam, mutqin, lagi banyak riwayat haditsnya. (Al-Ansab:11/67)

 Di antara ucapan emas beliau:
 ﻓﻤﻦ ﻗﺎﻝ: ﺃﻧﺎ ﺷﺎﻓﻌﻲ اﻟﺸﺮﻉ ﺃﺷﻌﺮﻱ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﻗﻠﻨﺎ ﻟﻪ: ﻫﺬا ﻣﻦ اﻷﺿﺪاﺩ ﻻ ﺑﻞ ﻣﻦ اﻻﺭﺗﺪاﺩ ﺇﺫ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﺷﻌﺮﻱ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ. ﻭﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺃﻧﺎ ﺣﻨﺒﻠﻲ ﻓﻲ اﻟﻔﺮﻭﻉ ﻣﻌﺘﺰﻟﻲ ﻓﻲ اﻷﺻﻮﻝ ﻗﻠﻨﺎ: ﻗﺪ ﺿﻠﻠﺖ ﺇﺫا ﻋﻦ ﺳﻮاء اﻟﺴﺒﻴﻞ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﺰﻋﻤﻪ ﺇﺫ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﻣﻌﺘﺰﻟﻲ اﻟﺪﻳﻦ ﻭاﻻﺟﺘﻬﺎﺩ "

 Siapa yang berkata: saya syafi'i dalam syariat (fiqih), Asy'ari dalam aqidah, maka kami katakan: ini termasuk hal yang bertentangan, bahkan irtidad (keluar dari madzhab), karena Asy-Syafi'i tidak beraqidah Asy'ari!. Dan siapa yang berkata: saya hanbali dalam furu' (fiqih), mu'tazili dalam ushul, maka kami katakan: sungguh engkau telah sesat dari jalan yang benar pada apa yang engkau yakini, karena Ahmad bukan seorang mu'tazili dalam agama dan ijtihad!.
📚(Al-Fushul Fil-Ushul 'An A'immah Al-Fuhul, dinukil oleh Syaikhul-Islam sebagaimana dalam Al-Majmu Al-Fatawa: 4/177)

(Baca Juga : Tantangan Dalam Berdakwah)

Ternyata penyeru fiqih Syafi'i Aqidah Asy'ari sudah ada sejak lama. Jadi, jangan heran di zaman sekarang ada orang-orang yang modelnya seperti ini.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=791044871424845&id=100015580180071

Benarkah Utsman Membaca Al-Quran Dalam 1 Rakaat?

Benarkah Utsman Membaca Al-Quran Dalam 1 Rakaat?
Benarkah Utsman Membaca Al-Quran Dalam 1 Rakaat?

Mungkin sebagian kita bertanya-tanya: kok bisa Utsman radhiyallahu anhu membaca Al-Qur'an dan menyelesaikannya dalam satu rakaat saja? Dan bagaimana lagi jika beliau shalat beberapa rakaat?

Jawabannya:

➡️Dikeluarkan oleh Abdurazzaq dalam Al-Mushannaf (3/24) dan Abu Ubaid dalam Al-Fadhail (277) dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Yazid bin Khushaifah dari Sa'ib bin Yazid:

 أن رجلا سأل عبد الرحمن بن عثمان التيمي عن صلاة طلحة بن عبيد الله قال إن شئت أخبرتك عن صلاة عثمان بن عفان قال نعم قال قلت لأغلبن الليلة النفر على الحجر يريد المقام قال فلما قمت إذا رجل يزحمني متقنعا قال فنظرت فإذا هو عثمان فتأخرت عنه فصلى فإذا هو يسجد سجود القرآن حتى إذا قلت هذا هو أذان الفجر أوتر بركعة لم يصل غيرها ثم انطلق

Bahwasanya seorang bertanya kepada Abdurrahman bin Utsman At-Taimi tentang shalatnya Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu, maka beliau menjawab: jika engkau mau maka saya akan ceritakan kepadamu tentang shalatnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, orang itu menjawab: iya.

Beliau pun bercerita:
Saya pernah berkata (pada diri sendiri), sungguh malam ini saya benar-benar akan mendahului orang-orang untuk shalat di Al-Hijr, maksudnya Maqam Ibrahim. Ketika saya berdiri tiba-tiba seorang dengan wajah tertutup mendahuluiku. Saya pun memandangnya ternyata beliau adalah Utsman. Maka saya pun mundur ke belakang. Beliau pun shalat, ternyata beliau melakukan sujud sajadah (ketika melewati ayat sajadah), sehingga saya berkata (pada diriku): sudah tiba adzan Subuh, beliau hanya shalat witir satu rakaat, tidak shalat selain satu rakaat saja. Beliau pun berlalu.

✔️Sanadnya Shahih.

(Baca Juga : Poin Penting Dalam Berdakwah)

➡️Dalam jalur riwayat lain:

... فاستفتح القرآن حتى ختم ثم ركع وسجد فقلت أوهم الشيخ، فلما صلى قلت يا أمير المؤمنين إنما صليت ركعة واحدة فقال أجل هي وتري

....Beliau mulai membaca Al-Qur'an sampai khatam. Lalu beliau rukuk dan sujud. Saya berkata (pada diriku), (mungkin) beliau keliru. Setelah beliau shalat saya pun bertanya: wahai Amirul mukminin, sesungguhnya engkau hanya shalat satu rakaat. Beliau menjawab: betul, itu adalah shalat witir ku.

Dikeluarkan oleh Ibnul-Mubarak dalam Az-Zuhd (1276), Ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani Al-Atsar (1/294) dari jalan Abu Dawud Ath-Thayalisi, Ad-Daruqutni (1673) dari jalan Zaid bin Hubab, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (3/36-37) dari jalan Yunus bin Muhammad Al-Muaddib; semuanya dari Fulaih bin Sulaiman Al-Khuza'i dari Muhammad ibnul-Munkadir, dari Abdurrahman bin Utsman.
✔️Dalam sanadnya terdapat Fulaih bin Sulaiman, rawi yang ada kelemahan padanya.

➡️Dikeluarkan oleh Ibnul-Mubarak dalam Az-Zuhd (1275), dari Ibnu Lahi'ah dari Bukair Al-Asyaj, dari Sulaiman bin Yasar:

ﺃﻥ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﻗﺎﻡ ﺑﻌﺪ اﻟﻌﺸﺎء ﻓﻘﺮﺃ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻠﻪ ﻓﻲ ﺭﻛﻌﺔ ﻟﻢ ﻳﺼﻞ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻭﻻ ﺑﻌﺪﻫﺎ.

Bahwasanya Utsman bin Affan shalat setelah ba'da Isya, lalu beliau membaca Al-Qur'an seluruhnya dalam satu rakaat, beliau tidak shalat sebelumnya dan sesudahnya.
✔️Sanadnya lemah;
-Ibnu Lahi'ah dhaif, namun riwayat Ibnul-Mubarak dari lebih kuat dibandingkan lainnya.
-inqitha' (terputus) sanad antara Sulaiman bin Yasar dan Utsman.

(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")

⁦➡️⁩Berkata Ibnu Abi Syaibah:

 ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ، ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ، ﻋﻦ اﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ، ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ، «ﺃﻧﻪ ﻗﺮﺃ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺭﻛﻌﺔ ﻓﻲ ﻟﻴﻠﺔ»

Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Yazid, dari Ibnu Sirin, dari Utsman radhiyallahu anhu bahwasanya beliau membaca Al-Qur'an pada satu rakaat dalam semalam.
(Al-Mushannaf: 2/243, dan dikeluarkan juga oleh Ibnu Sa'ad (3/75), dan selainnya, semua dari jalan Ibnu Sirin dari Utsman radhiyallahu anhu)

✔️Status perawinya semua tsiqah, namun dalam sanadnya terdapat inqitha' (keterputusan) antara Ibnu Sirin dan Utsman.

📝Dari atsar di atas menunjukkan kepada kita bahwa Utsman radhiyallahu anhu hanya shalat satu rakaat saja, yaitu shalat witir. Jika demikian maka memungkinkan untuk mengkhatamkan Al-Qur'an bagi mereka yang memiliki hafalan mutqin dalam semalam. Kalau kita menghitungnya dari ba'da isya sekitar jam 8-9 malam sampai waktu Subuh sekitar jam 4-5, maka semuanya sekitar 7 sampai 8 jam. Ini adalah waktu yang mana sebagian kecil huffazh Al-Qur'an di zaman ini mampu menyetor dengan sekali duduk. Maka sudah tentu sahabat semisal Utsman yang mana beliau adalah di antara sahabat penghafal dan perawi Al-Qur'an lebih mampu dari itu.

Faedah:
Berkata Al-Hafizh Ath-Thahawi rahimahullah:

وفي إنكار عبد الرحمن على فعل عثمان دليل على أن العادة التي قد كان جرى عليها قبل ذلك وعرفها على غير ما فعل عثمان.

Keheranan Abdurrahman bin Utsman atas perbuatan Utsman bin Affan adalah dalil bahwa kebiasaan yang telah berjalan dan dia ketahui sebelumnya adalah tidak seperti yang telah dikerjakan Utsman (pada waktu ini).
(Syarh Ma'ani Al-Atsar: di bawah hadits no.1750)

(Baca Juga : Murid-Murid Pengadu Domba)

Maksudnya: perbuatan Utsman radhiyallahu anhu shalat mengkhatamkan Al-Qur'an dalam semalam bukanlah kebiasaan rutin, melainkan kadang-kadang beliau lakukan. Wallahu a'lam.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=791891394673526&id=100015580180071

Motivasi Menulis

Motivasi Menulis
Motivasi Menulis

 Al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah termasuk di antara Alim dari kalangan Ahli Hadits yang tidak diragukan keilmuannya, lebih khususnya pada ilmu 'Jarh wa Ta'dil' dan 'Ilal Al-Hadits'. Pujian para Ulama sangat banyak untuk disebutkan.

 Ada hal yang menarik dari beliau, yaitu bersamaan dengan kekuatan hafalan beliau yang luar biasa dan keilmuannya dalam ilmu hadits, ternyata beliau adalah seorang yang tidak fasih dalam bahasa Arab, bahkan dalam tulisan beliau tidak jarang ditemukan kesalahan tata bahasa.

(Baca Juga : Takutlah Kamu Kepada Allah)

 Berkata Al-Hafizh Ibnu Asakir rahimahullah,

 ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺼﻨﻔﺎ ﺣﺎﻓﻈﺎ ﺛﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﻟﺤﻦ ﻓﻴﻪ

"Beliau adalah seorang penulis kitab, hafizh, lagi tsiqah, (bersamaan) dengan adanya lahn (kesalahan tata bahasa) pada dirinya."
📚(Tarikh Dimasyq: 31/6)

 Berkata Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah,

ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ اﻟﻌﺮﺑﻴﺔ، ﻣﻊ ﻋﺠﻤﻪ فيه

"Beliau tidak mengilmui bahasa Arab (secara baik) bersamaan dengan ketidakcakapan pada dirinya."
📚(Tarikh Islam:8/242, tahqiq Basyar)

 Beliau juga berkata,
ﻭﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﺼﻨﺎﻋﺔ ﻋﻠﻰ ﻟﺤﻦ ﻓﻴﻪ، ﻳﻈﻬﺮ ﻓﻲ ﺗﺄﻟﻴﻔﻪ

"Terkemuka dalam bidang ini (Jarh wa ta'dil' & Ilal), bersamaan dengan lahn (kesalahan tata bahasa) pada dirinya yang nampak di dalam kitabnya."
📚(As-Siyar:16/154)

(Baca Juga : Hukum Seputar Hari Raya)

 Sekalipun demikian, tidak menghalangi beliau menulis karya ilmiah. Sehingga lahir darinya karya fenomenalnya yaitu kitab Al-Kamil Fi Dhu'afa Ar-Rijal. Kitab yang seorang penuntut ilmu hadits setelah beliau sampai sekarang sangat butuh kepadanya.

 Semoga menjadi motivasi bagi para pegiat dakwah di dunia penulisan; baik dalam bentuk buku atau pun artikel di media sosial. Jangan sampai ketidakfasihan dalam berbahasa atau tata bahasa menghalangi kita dari menebar kebaikan. Tentunya yang lebih baik ialah berusaha memperbaiki tulisan sesuai dengan standar baku bahasa yang berlaku.

Tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Pattawe hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=795886910940641&id=100015580180071

Seputar Mendoakan Pemimpin

Seputar Mendoakan Pemimpin
Seputar Mendoakan Pemimpin

#MUTIARA_MANHAJIYAH
#DALAM_MENDOAKAN_PEMIMPIN
#DARI_ULAMA'_SALAFIYYAH

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

"Termasuk hak pemimpin dan penguasa adalah ditutup aib dan kekurangannya sebisa mungkin. bukanlah termasuk nasihat menyebarkan kekurangan dan kesalahan pemimpin di khalayak ramai, karena itu akan menjadikan rakyat marah, emosi dan membenci kepada pemimpin.
jika hati rakyat telah dipenuhi kebencian kepada para pemimpin maka akan mudah diprovokasi untuk memberontak kepada pemimpinnya, yang akhirnya akan mengakibatkan kerusakan sangat besar.

menutupi aib dan kesalahan pemimpin bukan berarti kita diam dari kesalahan dan kekurangannya, akan tetapi tetap memberikan nasihat kepada pemimpin secara langsung jika memungkinkan, jika tidak maka melalui perantara para ulama atau orang-orang yang memiliki kedudukan disisi pemimpin".

📚Syarah Al Arbain An Nawawiyah, hal. 181 -secara ringkas-.

(Baca Juga : Bangkai Jahiliyyah)

Berkata Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah :

"Syarat-syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang menasihati pemimpin adalah,
1. Memberi nasihat dengan baik, lemah lembut, bahasa yang mudah difahami.
Allah Ta'ala telah ingatkan Nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan mendatangi Fir'aun :

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Qs. Thaha : 44)

karena hakikatnya orang yang memberi nasihat adalah menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasihati. -bukan untuk merendahkan dan berharap keburukan baginya-.

2. Memberikan nasihat dengan cara rahasia bukan terang-terangan (ditempat umum). karena hukum asal memberikan nasihat kepada pemimpin dan lainnya adalah rahasia. karena nasihat yang disampaikan di tempat umum bisa menghalangi pemimpin menerima nasihat tersebut.
Sebagaimana wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang diharapkan dan jika penguasa itu tidak mau menerima, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya". (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no. 1097, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Dzilalul Jannah hal. 477-478).

📚Syarah Al Arbain An Nawawiyah, hal. 135-136.

Berkata Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah :

"Kami pernah mendengar sebagian orang yang sok tau lagi sok berilmu mengatakan bahwa mendoakan kebaikan untuk para pemimpin adalah termasuk kemunafikan.

maka kami katakan: kewajiban kalian adalah mendoakan kebaikan untuk para pemimpin agar berubah menjadi baik dan istiqamah.

kemudian sebagian lagi mengatakan bahwa mendoakan kebaikan untuk pemimpin berarti menjilat pemimpin dan mencari muka karena ini tidak ada contohnya dari salaf.

maka kami jawab: sesungguhnya termasuk nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin yang paling besar adalah mendoakan kebaikan untuk mereka dan ini dicontohkan para salaf shalih, mereka mendoakan kebaikan bagi para pemimpin bahkan mendoakan kebaikan untuk pemimpin dalam khutbah-khutbah jumat dan hari raya. ini perkara yang sudah dikenal di tengah-tengah umat dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang jahil atau yang didalam hatinya ada kedengkian dan hasad.

(Baca Juga : Man Salafuka? Siapa Salafmu?)

diantara contoh salaf adalah perkataan Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah :

لَو كَانَت لِي دَعْوةً مُستَجَابةً مَا جَعَلتُهَا إِلاَّ فِي السُّلطَانِ، قِيلَ لهُ: يَا أبَا عَلِيٍّ فَسِّر لَنَا هَذَا؟
قَالَ: إذَا جَعَلتُهَا فِي نَفْسِي لَمْ تَعْدُنِي، وَإذَا جَعَلتُهَا فِي السُّلطَانِ صَلَحَ، فصَلَحَ بِصَلَاحِه العِبَادُ وَالبِلَادُ

"Jika aku memiliki doa baik yang pasti dikabulkan niscaya aku persembahkan semuanya bagi pemimpin. dikatakan kepadanya: wahai Abu Ali (Fudhail) jelaskan kepada kami maksud ucapanmu tersebut?
beliau berkata: Jika doa itu aku tujukan hanya untuk diriku sendiri maka hanya akan bermanfaat untukku sendiri, tapi jika aku persembahkan untuk pemimpin dan ternyata berubah menjadi baik, maka semua orang dan negeri merasakan manfaat kebaikannya". (Syarhus Sunnah Al Barbahari, hal. 113-114).

ini menunjukkan fiqihnya beliau rahimahullah karena baiknya dan kesejahteraan kaum muslimin mengikuti baiknya pemimpin, maka termasuk nasihat kepada pemimpin adalah dengan mendoakan kebaikan untuk mereka".

📚Al Minhatu Ar Rabbaniyyah fi Syarhi Ll Arbain An Nawawiyyah, hal. 91.

🍀🌱__________
Berkata hamba yang dha'if غفر الله له وللمسلمين :
Kalau ada yang mengatakan bahwa yang wajib didoakan adalah pemimpin yang adil saja, adapun pemimpin yang dzalim tidak berhak didoakan kebaikan untuknya.

maka kita jawab:
1. Pernyataan demikian ini menunjukkan kejahilan atau kebenciannya kepada pemimpin. semoga Allah memberinya hidayah dan ilmu.

2. Perhatikanlah ucapan Al Fudhail bin 'Iyadh  rahimahullah tersebut dan perkataan para ulama bahwa pemimpin yang adil dan dzalim harus didoakan, bahkan pemimpin yang dzalim lebih butuh kepada doa kebaikan agar mendapatkan hidayah dan taufiq dalam mengemban amanah kepada rakyatnya.
berkata Imam Al Barbahari rahimahullah:

فَأُمِرنَا أَنْ نَدْعُو لَهُم بِالصَّلَاحِ، وَلَم نُؤمَرْ أَنْ نَدعُوَ عَلَيهِم وَإِنْ ظَلَمُوا وَإِنْ جَارُوا، لِأَنَّ ظُلمَهُمْ وَجَورَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ، وَصَلَاحَهُمْ لِأَنفُسِهِمْ وَلِلمُسْلِمِينَ

"Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi pemimpin, dan tidak diperintahkan berdoa buruk bagi pemimpin meskipun mereka dzalim dan berbuat sewenang-wenang, karena kedzaliman mereka akan mereka tanggung sendiri dosanya sedangkan kebaikan pemimpin akan bermanfaat bagi diri mereka dan kaum muslimin". (Syarhus Sunnah Al Barbahari, hal.114).

3. Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah:

لَا يَجُوزُ الدُّعَاء عَلَيهِمْ، لأَنَّ هَذَا خُرُوجٌ مَعنَوِي، مِثلُ الخُرُوجِ عَلَيهِم بِالسِّلَاحِ، وَكَونُه دَعَا عَلَيهِم لِأنَّه لَا يَرَى وِلَايَتهُمْ، فَالوَاجِبُ الدُّعاءُ لَهمْ بِالهُدَى وَالصَّلَاحِ، لَا الدُّعَاء عَلَيهِم، فَهَذَا أَصْلٌ مِن أُصُولِ أَهْلِ السُّنّة وَالجَمَاعَةِ ...
فَالَّذينَ يدَعُونَ عَلى وُلاةِ أُمُورِ المُسْلمِينَ لَيسُوا عَلَى مَذهَبِ أَهلِ السُّنّةِ وَالجَماعَةِ؛ وَكذَلِك الَّذِينَ لَا يَدعُونَ لهُمْ، وهَذَا علَامَةٌ أَنّ عنْدَهُم انحِرَافاً عَنْ عَقِيدَة أهْلِ السنَّةِ وَالجمَاعَةِ

"Tidak boleh mendoakan keburukan kepada pemimpin, karena ini termasuk khuruj (pemberontakan) secara maknawi, seperti khuruj kepada pemimpin dengan senjata. mendoakan keburukan kepada meraka sejatinya tidak meyakini kedudukannya sebagai pemimpin, maka wajib mendoakan kebaikan untuk mereka agar diberi hidayah dan kebaikan. karena ini adalah prinsip Ahlis sunnah wal jama'ah ..
maka orang-orang yang mendoakan keburukan bagi pemimpin kaum muslimin tidaklah diatas madzhab Ahlis sunnah wal jama'ah. begitu juga yang tidak mendoakan kebaikan bagi pemimpin maka mereka memiliki penyimpangan dari aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah". (At Ta'liqat Al Mukhtasharah ala matni Al Aqidah At Thahawiyah, hal. 171-172).

اللهم أصلح ولاة أمورنا وولاة أمور المسلمين ووفقهم لما فيه صلاح الدين والدنيا، وهيئ لهم البطانة الصالحة التي تعينهم على الحق،. آمين

(Baca Juga : 22 Ayat Al-Quran Tentang Dosa)

WaAllahu A'lam
Solo/05/04/20

Tulisan Al-Ustadz Muhammad Alif, Lc hafidzhahullah

Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=652319018671097&id=100016790144202