Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari
Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Pada saat awal-awal mulai mengikuti kajian "Sunnah", ustadz kami mengajarkan kitab Tsalatsah Ushul karya al-Imam al-Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab, dalam salah satu bahasan disebutkan perkataan al-Imam Bukhari yang menyebutkan dalam kitab Shahihnya bab "al-Ilmu qobla al-qoul wa al-'Amal" (ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan), yang menarik dari penjelasan ustadzunaa adalah bahwa al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya didalam membuat judul bab itu sudah mengisyaratkan akan hukum-hukum tertentu dalam syariat kita.


Sebagai pemula pada waktu itu, yang tahu Shahih Bukhari hanya dari judulnya saja, maka tidak begitu paham apa yang dimaksud oleh Ustadzunaa, sampai akhirnya tatkala diberikan bimbingan oleh guru-guru kami yang lain untuk mengenal Shahih Bukhari lebih intens lagi, maka sedikit ada gambaran terkait dengan faedah-faedah pada judul-judul bab di shahih Bukhari.


Barangkali ulama yang dengan gemilang mampu menerjemahkan judul-judul bab dalam Shahih Bukhari adalah penulis syarah Shahih Bukhari yang sampai zaman ini belum ada yang bisa menandinginya, yaitu kitab Fathul Bariy yang ditulis oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah. Beliau seolah-olah diangkat oleh Imam Bukhari sebagai juru bicaranya, padahal mereka berdua terpaut jauh ratusan tahun, namun Al Hafizh dengan ketajaman analisanya mampu menyinkronkan diri dengan kecerdasan Imam Bukhari, karena ada beberapa judul bab antara hadits yang dibawakan dibawah judul bab tersebut dengan tema babnya harus mengernyitkan dahi terlebih dahulu untuk menemukan korelasinya dan Al Hafizh dapat melalui tantangan ini dengan sangat baik, beliau mampu menemukan jalan pikiran Imam Bukhari memberi judul bab tersebut dengan dilalah yang terkandung didalam hadits yang dibawakan, bagi yang ingin bukti akan hal tersebut dapat melihat beberapa coretan kami mengenai sebagian syarah Shahih Bukhari, misalnya yang terbaru adalah Syarah Kitab Shoum min Shahih Bukhari yang masih belum selesai penulisannya.


(Baca Juga : Pembahasan Ulumul Hadits)


Kemudian ada juga ulama yang disamping memecahkan kaitan antara hadits yang dibawakan dengan judul bab, juga terkadang memperbincangkan juga kaitan antara judul bab dengan judul kitabnya, karena Shahih Bukhari itu terdiri dari beberapa kitab, seperti Kitab al-Ilmu, Kitab Sholat dan seterusnya, kemudian dalam kitab terdiri dari beberapa bab. Selain itu juga kadang beliau membahas kaitan antara bab tersebut dengan bab sebelumnya. Ulama tersebut adalah al-'Alamah Badruddin al-'Ainiy al-Hanafiy (w. 855 H) rahimahullah dalam kitabnya "Umdah al-Qaariy Syarah Shahih al-Bukhariy".


Bab-bab Shahih Bukhari terutama dalam masalah Fiqih menjadi kajian ulama untuk mengetahui kemanakah al-Imam Bukhari memiliki kecondongan dalam mazhab fiqihnya?, Dalam tulisan kami terdahulu, sedikit kami ulas mazhab fiqih beliau dan kami unggulkan kajian yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa al-Imam Bukhari independen dalam mazhab fiqihnya bahkan beliau adalah seorang mujtahid mutlak yang menggali hukum fiqih langsung dari al-Kitab dan as-Sunnah.


Kemudian kita dapati para ulama kontemporer membuat risalah tersendiri yang berbicara secara khusus penafsiran bab-bab tersebut, dan sudah lahir juga melalui sidang akademik tesis magister dan disertasi doktoral yang temanya adalah membahas terjemahan judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.


Memang secara umum para ulama mengatakan bahwa pandangan fiqih para Aimah penulis kitab hadits ada pada judul bab yang diketengahkannya, sekalipun tidak mesti bahwa judul bab itu adalah pandangan fiqihnya secara mutlak, karena terkadang mereka membawakan judul bab untuk memberikan wacana kepada pembacanya terkait sebuah tema fiqih dengan membawakan hadits-hadits yang dilalahnya dapat memberikan faedah hukum sebagaimana judul bab tersebut.


Kembali kepada Shahih Bukhari, maka para pensyarahnya akan memberikan perhatian terhadap judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari bahkan tidak jarang juga ada lebih kurang penamaan judul babnya ketika dibandingkan dengan naskah-naskah shahih Bukhari yang ada, maka catatan perbedaan ini akan mereka ketengahkan kepada pembaca karena bisa jadi memiliki implikasi fiqih hadits yang berbeda dari Imam Bukhari atau malah lebih memperjelas lagi fiqih hadits yang disampaikan oleh al-Imam.


Jazakumullah khoir kepada para ulama dalam berkhidmat terhadap Islam.


(Baca Juga : Istiwa' Allah di Atas 'Arsy)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/264201391413487

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?
Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Dalam disiplin ulumul Qur`an ada pembahasan mengenai Makkiyah dan Madaniyah yaitu terkait periodisasi turunnya surat dan ayat Al-Qur`an. Ada beberapa pandangan para ulama dalam mengkategorikan Makkiyah dan Madaniyah, namun pendapat yang banyak digunakan bahwa Makkiyah adalah surat atau ayat yang turun sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hijrah, sedangkan Madaniyah adalah setelah Beliau hijrah ke Madinah. Al-Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab babon dalam Ulumul Qur`an yang berjudul "al-Itqân fî Ulûm al-Qur`an" (1/37) mengatakan :

أَشْهَرُهَا: أَنَّ الْمَكِّيَّ مَا نَزَلَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَالْمَدَنِيَّ مَا نَزَلَ بَعْدَهَا سَوَاءٌ نَزَلَ بِمَكَّةَ أَمْ بِالْمَدِينَةِ عَامَ الْفَتْحِ أَوْ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ أَمْ بِسَفَرٍ مِنَ الْأَسْفَارِ.

"Pendapat yang masyhur bahwa Makkiyah adalah yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah turun setelah hijrah, sama saja apakah turunnya di Mekkah atau di Madinah pada waktu penaklukkan Mekkah atau pada waktu haji wada atau pada saat Beliau sedang bersafar."


Al-Imam Suyuthi kemudian menukilkan bahwa pembagian ini telah dirumuskan oleh al-Imam Abu Tsa'labah Yahya bin Salâm (w. 200 H) salah seorang ulama generasi Tabi'iut Tabi'in yang juga seorang ahli tafsir pada zamannya.


(Baca Juga : Imam Abu Sa'id Utsman bin Sa'id Ad-Darimy)


Terkait dengan pembahasan surat yang dinamakan dengan al-Mu'awidzatain, yaitu surat Al-Falaq dan An-Nâs, maka para ulama berbeda pendapat apakah keduanya digolongkan sebagai Makkiyah atau Madaniyah. Tim lembaga penerjemah Al-Qur`an Departemen Agama RI, awalnya menghitung kedua surat tersebut sebagai Makkiyah, namun setelah mereka melakukan kajian kembali, lalu ditetapkan bahwa keduanya adalah Madaniyah.


Penulis juga telah melakukan penelitian kecil terkait hal ini dan berikut kajiannya berdasarkan pendapat dari sebagian ulama ahlul qur`an terkait status kedua surat tersebut dalam pembahasan ini.


Al-Imam al-Baghowi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa surat Al-Falaq adalah Madaniyyah. Kemudian al-Imam Ibnul Jauzi dalam tafsirnya menyebutkan 2 pendapat tentang kapan turunnya surat Al Falaq, kata beliau :

أحدهما : مدنية رواه أبو صالح عن ابن عباس ، وبه قال قتادة في آخرين .

والثاني : مكية رواه كريب عن ابن عباس ، وبه قال الحسن ، وعطاء ، وعكرمة ، وجابر . والأول أصح ، ويدل عليه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سحر وهو مع عائشة ، فنزلت عليه المعوذتان .

"Pendapat pertama mengatakan bahwa Al Falaq Madaniyyah, pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shoolih dari Ibni Abbas rodhiyallahu anhu, ini juga pendapatnya Qotaadah dan selainnya.

Pendapat kedua ia Makiyyah, diriwayatkan oleh Abu Kuroib dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu dan ini juga pendapatnya al-Hasan, Athoo’, ‘Ikrimah dan Jaabir.

Pendapat pertama (surat Al Falaq Madaniyyah) adalah pendapat yang rajih, hal ini ditunjukkan oleh hadits bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam pernah tersihir dan Beliau sedang bersama Aisyah rodhiyallahu anha, lalu turun kepada Beliau al-Mu’awidzatain." -selesai-.


(Baca Juga : Keutamaan Ahli Quran)


Begitu juga al-Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya "ad-Durorul Mantsuur" menukil :

أخرج ابن مردويه عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه قال : أنزل بالمدينة { قل أعوذ برب الناس }

"Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin az-Zubair rodhiyallahu anhu beliau berkata : “diturunkan di Madinah surat Qul A’uudzu bi Robbin Naas (surat An Naas)”. -selesai-.


Terkait hadits yang masyhur tentang tersihirnya Nabi sholallahu alaihi wa salam oleh seorang Yahudi yang bernama Labiid ibnul A’shoom dan bahwasanya kisah ini terjadi setelah Beliau hijrah ke Madinah. Maka Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata :

أَخْرَجَهُ عَنْهُ اِبْن سَعْد بِسَنَدٍ لَهُ إِلَى عُمَر بْن الْحَكَم مُرْسَل قَالَ ” لَمَّا رَجَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْحُدَيْبِيَة فِي ذِي الْحَجَّة وَدَخَلَ الْمُحَرَّم مِنْ سَنَة سَبْع جَاءَتْ رُؤَسَاء الْيَهُود إِلَى لَبِيد بْن الْأَعْصَم – وَكَانَ حَلِيفًا فِي بَنِي زُرَيْق وَكَانَ سَاحِرًا –

"Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dengan sanad sampai kepada Umar ibnul Hakam secara mursal beliau berkata : ‘ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam kembali dari perjanjian Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah sampai masuk bulan Muharrom pada tahun ke-7 (setelah hijrah), telah datang ketua suku Yahudi kepada Labiid ibnul A’shom –ia berasal dari Bani Zuraiq dan seorang tukang sihir-…".


Kemudian dalam kisah sihir tersebut, Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalain Nubuwwah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu yang didalamnya terdapat lafadz :


فإذا فيها وتر  فيه إحدى عشرة عقدة فأنزلت عليه هاتان السورتان فجعل كلما قرأ آية انحلت عقدة : ( قل أعوذ برب الفلق) ، ( وقل أعوذ برب الناس )

"Didalam sumur terdapat tali / buhul yang terdapat sebelas ikatan, maka turunlah 2 surat tersebut (yaitu Al Falaq dan An Naas –yang total semuanya terdiri dari 11 ayat-pent.), maka setiap Nabi sholallahu alaihi wa salam membaca satu per satu ayat lepaslah ikatan tadi satu per satu."


Hanya saja Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Talkhiisul Khobiir (6/2690) berkata tentang status hadits diatas :

أخرج البيهقي في “الدلائل”  معنى ذلك بسند ضعيف

"Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam “Ad-Dalaail” makna yang demikian dengan sanad dhoif." -sehingga-.


Sehingga karena riwayat turunnya surat Al Falaq, begitu juga surat An Naas setelah Rasulullah sholallahu alaihi wa salam hijrah ke Madinah adalah dhoif, maka barangkali yang rojih adalah surat tersebut Makkiyyah berdasarkan ciri-ciri umum dari surat Makkiyyah yang berisi ayat-ayat yang pendek. Inilah yang dirajihkan oleh al-'Allâmah ath-Thâhir ibnu 'Âsyûr rahimahullah dalam kitab tafsirnya dengan alasan merajihkan riwayat Kuraib dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa itu adalah Makkiyah dibandingkan riwayat Abu Shâlih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang katanya berpendapat itu Madaniyah.


Untuk diketahui bahwa penentuan Makkiyah dan Madaniyah itu adalah ijtihadiyyah. Asy-Syaikh Mannâ al-Qathân dalam kitab Ulumul Qur`annya yang best seller "al-Mabâhits fî Ulûm al-Qur`an", menukil perkataan al-Qodhi Abu Bakar bin ath-Thayyib al-Baqilani dalam al-Intishar yang berkata : 

“pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah itu mengacu kepada hafalan para sahabat dan Tabi’in. Tidak ada satu pun keterangan yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.” 

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Berdakwah Lewat Tiktok?)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/510755640091393

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod
Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod


Al-Imam al-bukhari rahimahullah yang dijuluki oleh para ulama sebagai amirul mu'minin fi'il hadits telah menulis beberapa kitab diluar kitab shahih bukhori. Diantaranya adalah kitab yang dikenal dengan nama "al-Adab al-mufrad".


Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam "Shahih Bukhori" didalamnya beliau susun dengan nama-nama kitab yaitu dimulai dari kitab "bid`u al-wahyu", lalu kitab "al-Imaan", lalu kitab "al-ilmu" dan seterusnya sampai ditutup dengan kitab "at-Tauhid". Termasuk didalamnya beliau menampilkan juga kitab "al-Adab". Oleh sebab itu para ulama menamakan kitab "al-Adab" sebagaimana yang saya maksud dalam judul tulisan ini dengan tambahan al-Mufrad, yang bermakna tersendiri, yakni ini adalah kitab yang ditulis yang terpisah dengan shahih Bukhori, sehingga tidak bercampur antara kitab "al-Adab" yang merupakan bagian dari Shahih bukhori dengan kitab "al-Adab" yang kita maksud ini. 


Berdasarkan hal ini ada "kode etik" dikalangan ulama hadits, tatkala menyebutkan riwayat hadits dalam kitab "al-Adab al-mufrad", yakni tidak boleh hanya mengatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori", tapi harus dikatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam al-Adab al-mufrad", agar tidak terjadi kesalahpahaman sebagaimana keterangan diatas. Alasan lainnya adalah tidak semua hadits-hadits yang terdapat dalam "al-Adab al-mufrad" berderajat shahih, namun ada juga beberapa yang dhoif dan banyak sekali yang bernilai hanya hasan saja. 


(Baca Juga : Hari H nya Kiamat)


Kitab ini berisi hadits-hadits nabi dan atsar para sahabat yang bertemakan adab-adab dalam Islam, tentang berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan tema-tema adab lainnya. 


Al-'Alamah Muhammad Nashiruddin al-albani telah melakukan penelitian terhadap status hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut, lalu beliau memilahkannya untuk kita semua yang mana yang shahih dari yang dhoifnya. Banyak para penerbit yang memanfaatkan hasil penelitian beliau dalam naskah terbitan mereka. 


Tak kurang dari 30 ulama yang telah membubuhkan syarahnya untuk memberikan penjelasan pada kita semua tentang maksud dari hadits dan dalil lainnya di bab-bab yang ditampilkan oleh Imam Bukhori. Diantara syarah yang direkomendasikan adalah penjelasan yang ditulis oleh asy-syaikh Muhammad Said Ahmad Ruslan hafizhahullah, karena selain terdapat penjelasan secara tertulis dalam sebuah kitab, pun ada juga rekaman dars beliau dalam mensyarah kitab ini. Linknya dapat dilihat disini : http://www.rslan.com/vad/items.php?chain_id=250


(Baca Juga : Aqidah dan Manhaj Dalam Takfir)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/263630798137213

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja
I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

Telah ma'ruf bahwa I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat banyak. Al-'Allâmah Abu Bakar al-Hishniy asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya "Kifâyah al-Akhyâr" (hal. 208) berkata :

وَيسْتَحب فِي جَمِيع الْأَوْقَات وَفِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان آكِد اقْتِدَاء برَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وطلباً لليلة الْقدر وَلَيْلَة الْقدر أفضل ليَالِي السّنة وَهِي بَاقِيَة بِفضل الله تَعَالَى إِلَى يَوْم الْقِيَامَة وكذهب جُمْهُور الْعلمَاء أَنَّهَا فِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان وَفِي أوتاره أَرْجَى

"Dianjurkan i'tikaf pada semua waktu, namun pada 10 hari akhir Ramadhan lebih kuat lagi anjurannya, yakni dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencari Lailatul Qadar, yaitu malam yang paling utama dalam setahun dan itu masih berlaku sampai hari kiamat, sebagaimana mazhabnya mayoritas ulama bahwasanya itu terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan pada malam-malam ganjilnya lebih diharapkan terjadi." -selesai-.


(Baca Juga : Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa)


Kemudian para ulama menyebutkan bahwa tidak ada batasan durasi minimal seseorang untuk beri'tikaf di masjid, artinya jika seorang ketika masuk masjid lalu berniat walaupun sekejap di masjid untuk beri'tikaf, maka ia telah mendapatkan pahala i'tikaf, tentunya sesuai dengan durasi tinggalnya. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya "al-Muhallâ" (3/411) berkata :

الِاعْتِكَافُ: هُوَ الْإِقَامَةُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَاعَةً فَمَا فَوْقَهَا، لَيْلًا، أَوْ نَهَارًا

"I'tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla sesaat atau lebih lama, baik malam maupun malam hari."


Beliau rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada dalil dari pembuat syariat yang menentukan durasi minimal untuk i'tikaf, dalam kitabnya yang sama al-Imam melanjutkan :

فَالِاعْتِكَافُ يَقَعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِمَّا قَلَّ مِنْ الْأَزْمَانِ أَوْ كَثُرَ، إذْ لَمْ يَخُصَّ الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ عَدَدًا مِنْ عَدَدٍ، وَلَا وَقْتًا مِنْ وَقْتٍ، وَمُدَّعِي ذَلِكَ مُخْطِئٌ؛ لِأَنَّهُ قَائِلٌ بِلَا بُرْهَانٍ

"I'tikaf itu didapatkan sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan, baik sedikit durasinya, maupun banyak, yang mana tidak dikhususkan oleh Al-Qur`an maupun hadits batasan tertentu dan waktu tertentu, barangsiapa yang mengklaim (pembatasan tertentu), maka ia telah keliru, karena ia mengatakan tanpa ada landasannya." -selesai-.


Asy-Syaikh Abu Mâlik Kamâl hafizhahullah dalam kitabnya "Shahih Fiqh as-Sunnah" (2/154) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Hazm, juga dipegangi oleh mayoritas ulama :

ذهب الجمهور ومنهم أبو حنيفة والشافعي إلى أن زمان الاعتكاف لا حَدَّ لأَقلِّه

"Mayoritas ulama diantara Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat bahwa durasi I'tikaf itu tidak ada batasan minimalnya." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang karena tuntutan mencari nafkahnya pada siang hari, namun ia tetap berkeinginan beri'tikaf pada 10 malam hari terakhir pada malam harinya, maka tidak masalah untuk beri'tikaf pada malam hari sebagaimana penjelasan kami diatas, al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah tegas mengatakan kebolehannya beri'tikaf pada malam hari, kata beliau dalam kitabnya "al-Umm" (2/118) :

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْتَكِفَ الرَّجُلُ اللَّيْلَةَ

"Tidak mengapa seorang beri'tikaf pada malam hari."


(Baca Juga : Harusnya Kita Lebih Takut Kesyirikan Dari Nabi Ibrahim)


Al-Imam bin Baz rahimahullah bahkan punya fatwa terkait masalah yang kita bahas ini ketika ada seseorang yang bertanya terkait aktivitas pekerjaannya pada siang hari, namun ia ingin juga beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan, maka apakah bisa ia beri'tikaf hanya pada malam harinya saja?


Asy-Syaikh Rahimahullah yang semasa hidupnya menjabat mufti 'Âm kerajaan Saudi Arabia memberikan jawaban :

يجوز الاعتكاف ولو ساعة من الزمن بمسجد تقام فيه صلاة الجماعة، ويصح الاعتكاف بلا صوم على الصحيح من أقوال العلماء؛ لما رواه عبد الله بن عمر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنه قال: يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم:  «أوفِ بنذرك فاعتكف ليلة»  أخرجه البخاري ومسلم في (صحيحيهما) وهذا لفظ البخاري (ج2 ص260) ولو كان الصوم شرطًا لصحة الاعتكاف لما أقره النبي صلى الله عليه وسلم على اعتكاف الليل فقط، وعلى ذلك يجوز لكم تحديد نية الاعتكاف في الليل فقط دون النهار لما ذكرتم ولكم أجر بقدر ذلك إن شاء الله.

"Boleh beri'tikaf walaupun sesaat di masjid yang ditegakkan padanya sholat berjamaah dan tetap sah beri'tikaf tanpa melaksanakan puasa menurut pendapat yang benar, berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar dari Umar bin Khothob radhiyallahu anhumâ yang berkata : "wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf pada malam hari di masjidil haram, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku : "Tunaikan nadzarmu, lalu i'tikaflah pada malam hari." (HR. Bukhari dan Muslim).

Seandainya puasa merupakan syarat sahnya i'tikaf, niscaya Nabi tidak akan menyetujui i'tikaf pada malam saja, sehingga berdasarkan hal ini, boleh bagimu membatasi niat  i'tikaf pada malam saja, tidak dengan siangnya, sebagaimana yang telah aku sebutkan kepadamu dan engkau mendapat pahala sesuai dengan durasi tersebut insya Allah." -selesai-.


Akan tetapi apakah orang yang beri'tikaf dengan model tersebut telah merealisasikan sunnahnya Rasulullah ketika beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadan?, 

maka jawabannya tidak, karena salah satu rukun i'tikaf adalah tetap tinggal di masjid dan i'tikaf menjadi batal apabila keluar dari masjid tanpa ada uzur. Prof. DR. Khâlid al-Musyaiqah hafizhahullah pernah berfatwa :

فإذا أردت أن تحقق هذه السنة فعليك أن تعتكف العشر الأواخر، وألا تخرج من المسجد، أما كونك تخرج وتبيت في بيتك بسبب شدة الحر وعدم الراحة في الحرم، فهذا يبطل عليك الاعتكاف؛ لأن ركن الاعتكاف هو اللبث في المسجد، والخروج من المعتكف هذا مبطل للاعتكاف....فهذا اعتكاف ليلة، أما تحقيق السنة اعتكاف العشر فهذا لم تحققه.

"Jika engkau ingin merealisasikan sunnah beri'tikaf pada 10 hari malam terakhir, maka engkau harus beri'tikaf pada 10 hari terakhir dan jangan keluar di masjid, adapun kondisimu yang keluar dari masjid...maka ini membatalkan i'tikaf, karena rukun i'tikaf adalah diam menetap di masjid dan keluarnya orang beri'tikaf seperti ini adalah membatalkan i'tikaf,...maka ini adalah i'tikaf malam, adapun perealisasian sunnahnya beri'tikaf pada 10 hari terakhir, maka yang seperti ini tidak terealisir (dengan model tersebut)." -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.

 

(Baca Juga : Ada Apa Dengan Gunung Tihamah)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/509762030190754

Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah

Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah
Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah


Siapakah diantara kaum Muslimin yang tidak tahu kebejatan, kekejaman, kesombongan dan sifat-sifat buruk lainnya dari seseorang yang waktu itu berkuasa di negeri Mesir dan sampai kepada puncak kemaksiatannya adalah ia mengaku dirinya sebagai tuhan, ucapnya :


فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلْأَعْلَىٰ


"(Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi" (QS. An Naazi'at : 24).


Ya benar orang tersebut adalah Fir'aun, sangat banyak sekali ayat-ayat Rabb kita yang Maha Suci dan Maha Tinggi mengisahkan segala tindak tanduk yang buruk dan busuk serta kesewenang-wenangannya kepada orang-orang yang beriman, yang layak dicatat sebagai tragedi kemanusian terbesar yang ada di muka bumi ini.


(Baca Juga : 15 Keutamaan dan Fakta Masjidil Aqsha)


Akan tetapi..akan tetapi...


Tatkala ia diambang kehancuran, diambang kebinasaan, diambang kematiannya, pada waktu ditenggelamkan di laut merah...


Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menceritakannya kepada kita :


لَمَّا أَغْرَقَ اللَّهُ فِرْعَوْنَ قَالَ : { آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ }، فَقَالَ جِبْرِيلُ : يَا مُحَمَّدُ، فَلَوْ رَأَيْتَنِي وَأَنَا آخُذُ مِنْ حَالِ الْبَحْرِ فَأَدُسُّهُ فِي فِيهِ ؛ مَخَافَةَ أَنْ تُدْرِكَهُ الرَّحْمَةُ "


"Tatkala Allah tenggelamkan fir'aun ia berkata : "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil" (QS. Yunus : 90). 

Maka Jibril alaihi salam berkata : "Wahai Muhammad, seandainya engkau melihatku, aku mengambil lumpur laut, lalu aku sumpalkan ke mulut fir'aun karena khawatir ia mendapatkan rahmat" (HR. Tirmidzi, dihasankan Tirmidzi dan dikatakan shahih lighoirihi oleh al-albani)


Dalam riwayat lain :


إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يَدُسُّ فِي فَمِ فِرْعَوْنَ الطِّينَ ؛ مَخَافَةَ أَنْ يَقُولَ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ


"Jibril dulu pernah menyumpal mulut Fir'aun dengan tanah, khawatir ia mengucapkan "Laa Ilaaha Illallah" (HR. Ahmad, dishahihkan Ahmad Syakir).


Lihat!!! Betapa luasnya ampunan Allah, sehingga Jibril khawatir fir'aun mati dalam keadaan mengucapkan kalimat tauhid, yang menyebabkan ia mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.


Lalu bagaimana lagi dengan seorang hamba yang menangis, merendah diri, mengiba dengan penuh rasa kasihan didepan pintu Ampunan dan Rahmat Allah, maka apakah mungkin Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun membiarkan hamba-Nya tersebut tanpa membawa ampunan dan karunia-Nya?

============

(Baca Juga : Makna Kemampuan Dalam Ibadah Haji)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/126289075204720

15 Wanita di Sekeliling Nabi

15 Wanita di Sekeliling Nabi
15 Wanita di Sekeliling Nabi


Ada 15 wanita di rumah tangga Nabi selain putri-putri beliau, mereka terperinci dalam 4 kategori:


I. Yang pertama; wanita yang menjadi istri nabi dan wafat mendahului nabi, mereka ada dua orang:


(1). Ibunda Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu Anha bergelar at-Thahirah [wanita yang suci] memiliki sangat banyak keutamaan.


(2) Ibunda Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu Anha, Dijuluki Ummul Masakin (ibu dari kaum fakir miskin)


(Baca Juga : Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat)


II. Yang kedua; wanita-wanita yang menjadi istri nabi dan Rasulullah wafat mendahului mereka, ada 9 orang:


(3). Ibunda Saudah binti Zam'ah Radhiyallahu 'Anha.


(4). Ibunda Aisyah binti Abi Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anha.


(5). Ibunda Hafshah Binti Umar bin Khattab Radhiyallahu Anha.


(6). Ibunda Ummu Salamah Hindun Binti Abi Umayyah Radhiyallahu 'Anha


(7). Ibunda Zainab binti Jahsy Radhiyallahu Anha (sepupu Rasulullah/anak bibi rasulullah)


(8). Ibunda Ummu Habibah Ramlah  binti Abu Sufyan Radhiyallahu Anha.


(9). Ibunda Juwairiyyah binti al-Haris Radhiyallahu Anha (putri dari suku Bani Musthaliq).


(10). Ibunda Shafiyah binti Huyay bin Ahthab Radhiyallahu Anha (satu²nya istri nabi yang bukan dari Arab, beliau dari Bani Israel).


(11). Ibunda Maimunah binti al-Haris Radhiyallahu 'Anha


(Baca Juga : Manusia Disandera Jin?)


III. Yang Ketiga, wanita² yang pernah diakad oleh nabi akan tetapi belum sempat dikumpuli nabi dan terjadi perpisahan. Mereka ada dua:


(12). Wanita dari suku Kilab

(13). Wanita dari suku Kindah terkenal dg sebutan al-Juniyah.


IV. Wanita yang menjadi budak nabi bukan istri nabi (berdasarkan pendapat yang rajih Wallahu a'lam), ada dua:


(14). Mariyah al-Qibtiyah Radhiyallahu Anha, wanita cantik hadiah dari Raja Kristen Mesir al-Muqawqis. Darinya nabi memperoleh anak yg bernama Ibrahim.


(15). Raihanah binti Zaid Al-Qurazhiyah, Radhiyallahu Anha. (Dulu menjadi tawanan di perang melawan Bani Quraizhah Yahudi).


Referensi: 

Disarikan dari Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum (Al-Manshurah, Dar al-Wafa', 2004), hal. 406-408


(Baca Juga : Belajar Manhaj Salaf dari Dinosaurus)


Tulisan Al-Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc. MHI hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1983481288473809&id=100004358714062

Madzhab Atau Non Madzhab

Madzhab Atau Non Madzhab
Madzhab Atau Non Madzhab

Pertanyaan: 

Sebagian Orang telah mengingkari berfikih tanpa madzhab, kami mohon bimbingan anda?


Syaikh Ali Bin Hasan al-Halabi hafizhahullah menjawab:


Masalah bermadzhab atau tidak bermadzhab merupakan permasalahan lama yang sudah ada sejak dahulu kala. Sebagaimana ada madzhab Imam Abu Hanifah, madzhab Imam Malik, imam Syafi'i dan Imam Ahmad, di sana juga ada madzhab2 lain yang masih ada sebagiannya sampai hari ini.


Dulu ada Madzhab Abu Tsaur, madzhab Imam Thobari, madzab imam al-Laits bin Sa'ad, dahulu semua (madzhab) ini ada dan populer. Aku sudah pernah menulis beberapa karangan dan beberapa kitab tentang masalah ini.


 (bahkan) masih ada sampai sekarang madzhab imam Ibn Hazm (madzhab zhahiri), dahulu populer dengan nama madzhab Imam Ibn Hazm, walaupun pendiri madzhab ini adalah Dawud azh-zhahiri.


 Begitu juga ada madzhab ahlul hadits, maka seandainya anda meneliti di kitab-kitab hadits, maka anda benar-benar akan melihat keberadaannya dan itu masih ada dan masih eksis. MAKA DALAM HAL INI KITA JANGAN BERLAKU KERAS, karena YANG MENJADI PATOKAN ADALAH BERFIKIH SECARA BENAR...(bukan masalah bermadzhab atau tidak bermadzhab).

 

Kami katakan berulang-ulang kali, kami tidak memusuhi (melawan) madzhab, akan tetapi kita melawan adanya fanatik buta (ta'ashub) dalam bermadzhab.


Dan agar kita teliti: Sesunguhnya ciri keumuman dari  pentaklid madzhab hari ini adalah ta'ashub. (Tapi) dalam perkara ini tidak kosong Dari adanya para pentahrir.


(Baca Juga : Macam-Macam Penuntut Ilmu Hadits)


Saya buat permisalan, contoh Syaikh Utsaimin Rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya asy-syarh al-Mumti' di dalamnya ada ta'shil, perincian dan penjelasan untuk madzhab Hambali, begitupun kitab-kitab beliau yang sudah masyhur (lainnya). Akan tetapi Syaikh Utsaimin tidak jumud (mandeg/stagnan) atas madzhab Hambali atau mandeg atas apa yang sudah dikatakan di kitab (az-zaad) atau mencukupkan diri dengan kitab-kitab madzhab lainnya. Akan tetapi yang dilakukan Belaiu hanyalah mengikuti dalil, dan beliau membela dalil dan beliau merajihkan dengan dalil, meskipun seandainya Belaiu salah dalam hal ini dan itu, yang penting Sesunguhnya beliau mengerahkan kemampuannya. 


Apa makna ijtihad, ijtihad adlah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu.


Maka barang siapa mengatakan bahwa madzhab ahli hadits itu kacau, maka hal ini tidak benar.


 wahai saudaraku lihatlah kitab Ibnul Mundzir, sesungguhnya kitab beliau adalah contoh yang elok (indah) untuk mengikuti manhaj ahlul hadits secara terperinci.


Lihatlah kitab "المؤمَّـل في الرد إلى الأمر الأول karya imam Abu Syaamah Asy-Syafii, semuanya berisi ta'shil untuk madzhab ahlul hadits atau sedikit disinggung tentang bermadzhab tapi tanpa ta'ashub (fanatik buta).


....(maka) tidak mengapa anda berfikih dengan madzhab imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, atau imam Malik, atau engkau bermadzhab dengan fiqih Imam As-Syaukani, shon'ani, atau Ibnu Taimiyah, yang penting jangan engkau ta'ashub, dan jangan engkau fanatik terhadap pendapat2 tersebut, 


Engkau (harus) melihat perkara dengan dalil dan hujjah, disertai pemuliaan dan penghormatan terhadap ucapan para ulama. Dan Ini merupakan perkara yang sangat penting.


Sebenarnya masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih banyak, akan tetapi semoga hal ini sudah cukup.


 selesai.


==========


* Teks bahasa Arab didapatkan dari group محبو الشيخ علي الحالبي حفظه الله تعالى


=============


(Baca Juga : Bertanya Tentang Rawi Hadits di Dalam Mimpi)


🔻 السؤال :


لقد صار البعض يُـنكِر التفقَّه بغير مذهب ، فنريد توجيهاً ؟


◉ أجاب فضيلة الشيخ:


 *علي بن حسن الحلبي* -حفظه الله- :


قضية التمذهب وعدمه ؛ قضية تاريخية معروفة موجودة ، كما هو موجود مذهب الإمام أبي حنيفة ومذهب الإمام مالك والشافعي وأحمد ؛ هناك أيضاً مذاهب أخرى موجودة ولا يزال إلى اليوم بعضها.


كان موجود مذهب (أبي ثور) ، كان موجود مذهب الإمام الطبري ، كان موجوداً مذهب الإمام الليث ابن سعد ، هذا كله كان موجوداً و معروفاً ، وأُلِّـفَت في ذلك مؤلفات وكتب ، ولا يزال إلى الآن موجوداً مذهب الإمام أبي محمد ابن حزم (مذهب الظاهرية) ، وإن كان اشتهر المذهب بإسم (مذهب الإمام ابن حزم) ، وإن كان مؤسِّـس المذهب هو داوود الظاهري.


كذلك يوجد مذهب أهل الحديث ، فلو أنك بحثتَ في كتب الحديث لَـتراه كان وسيظَل موجوداً وقائماً ، فلا نُشدد في هذا الموضوع ، العبرة بالتفقه الصحيح.


ونحن نقولها مرات ومرات ، نحن لسنا ضد التمذهب ، لكننا ضدُّ التعصب للمذهَب ، وحتى نكون دقيقين :


فإن السمة الغالبة اليوم على مُـقَلِّدَة المذاهب هو التعصُّب ، ولا يخلو الأمر من وجود ناس متحررين.


يعني أضرِب المثل بسماحة الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله تعالى :


في كتابه (الشرح الممتع) هو تأصيل وتفصيل وبيان للمذهب الحنبلي ولبعض كتبه الشهيرة ، لكن الشيخ العثيمين لم يَـجمد على المذهب أو على ما قيل في كتاب (الزاد) أو في غيره من كتب المذهب ، وإنما كان يَـتبع الدليل ، وكان ينتصر للدليل ، وكان يُـرَجِّح بالدليل ، حتى لو أخطأ في هذه أو تلك ، المهم أنه يبذل وسعه ، ما معنى الاجتهاد ؟


الاجتهاد هو بذل الوسع في معرفة الشيء. 


ومن يقول إن مذهب أهل الحديث فوضوي ؛ هذا غير صحيح يا أخي ، أُنظر إلى كتب الإمام ابن المنذر ، فإن كتبه نموذج راقٍ لاتباع منهج أهل الحديث تفصيلاً وفروعاً.


أنظر إلى كتاب "المؤمَّـل في الرد إلى الأمر الأول" للإمام أبي شامة الشافعي ، كله تأصيل لمذهب أهل الحديث أو قل للتمذهب البعيد عن التعصب.


وعندنا الأمر في ذلك سيان ، لا مانع أن تتفقه على مذهب الإمام الشافعي أو الإمام أحمد والإمام أبي حنيفة والإمام مالك ، أو أن تتمذهب على فقه الشوكاني أو الصنعاني أو فقه ابن تيمية ، المهم أن لا يكون لك تعصب ، وأن لا تتعصب إلى هذه الأقوال ، وأن تنظر إلى الأمور نظرةً يُـثَبتها الدليل وتثبتها الحُـجة ، مع التقدير والتبجيل لكلام العلماء في هذا الباب ، وهو شيء مهم للغاية.


والمسألة في الحقيقة تحتاج إلى أكثر من ذلك ، لكن لعل في هذا كفاية في هذه المسألة.


📚 المصدر :


 فيديو تم نشره على صفحة:


(الشيخ علي بن حسن الحلبي)


   على الفيسبوك بتاريخ :


25 شعبان 1441 هجري


18-04-2020 ميلادي.


Tulisan Al-Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc. MHI hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1683436425144965&id=100004358714062