Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Para Ustadz. Show all posts

Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?

Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?
Siapa Ashaghir Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya?


SIAPA ASHÂGHIR (ANAK KEMARIN SORE) YANG DITAHDZIR TIDAK BOLEH DIAMBIL ILMUNYA?


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang langsung mentahdzir umatnya agar tidak mengambil dari mereka-mereka yang Beliau namakan dengan "al-Ashâghir" :


إنَّ من أشراطِ الساعةِ أنْ يُلتمسَ العلمُ عند الأصاغرِ

"Sesungguhnya diantara tanda kiamat adalah dicarinya ilmu dari sisi al-Ashâghir (orang-orang kecil)."


Hadits diatas dinilai shahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dan beliau telah mentakhrijnya dengan baik dalam kitabnya "ash-Shahihah".


Penjelasan yang ingin kita ketahui lebih lanjut adalah siapakah ashâghir tersebut, apakah ia merujuk kepada umur yakni masih mudanya umurnya sebagaimana ini makna bahasa atau ada pengertian lainnya?, Maka dalam hal ini tentunya kita butuh kepada keterangan para ulama terkait makna "ashâghir" yang ditahdzir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar dijauhi, walaupun kenyataan berbicara banyak kaum Muslimin menggandrungi mereka ketika mempercayakan mengambil ilmunya, yang berarti bahwa usia dunia ini telah cukup tua untuk menuju kematiannya dengan kiamat yang akan terjadi.


(Baca Juga : 20 Ayat Al-Quran Tentang Jihad)


DR. Sa'id bin Sâlim ad-Demarkiy telah merangkum keterangan para ulama terkait dengan tema yang kita angkat ini, yang akan saya ringkaskan sebagai berikut :

1. Mereka yang tidak mengacu kepada pemahaman sahabat. Al-Imam Abdur Razaq rahimahullah dalam kitab "Mushonafnya" meriwayatkan dari shahabi jalîl Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu :

لا يزال الناس مشتملين بخير ما أتاهم العلم من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ومن أكابرهم، فإذا أتاهم العلم من قبل أصاغرهم، وتفرقت أهواؤهم؛ هلكوا

"Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para sahabat Nabi dan dari seniornya, jika mereka mengambil ilmu dari jalan ashâghir yang berpecah mengikuti hawa nafsunya, niscaya mereka akan binasa."


2. Mereka adalah ahlu bid'ah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Ibnul Mubârak rahimahullah :

الأصاغر : أهل البدع

"Ashâghir adalah ahlu bid'ah."


3. Ashâghir itu tidak melulu terkait dengan usianya yang masih junior, namun ini kepada sikap pandangan agamanya. Al-Imam Ibrahim al-Harbiy rahimahullah berkata :

الصغير إذا أخذ بقول رسول الله والصحابة والتابعين فهو كبير، والشيخ الكبير إن ترك السنن فهو صغير

"Shaghir itu jika mengambil dari ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sahabat dan Tabi'in, maka ia adalah kabir (senior), namun syaikh (yang sudah sepuh) jika meninggalkan sunnah-sunnah, maka ia shaghir."


4. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak ada ilmu disisinya, al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil perkataan para ulama :

وقالوا: الجاهل صغير وإن كان شيخاً، والعالم كبير وإن كان حدثاً

"Orang yang bodoh itu shaghîr sekalipun usianya sudah sepuh, sedangkan orang yang berilmu itu kabir sekalipun baru anak kemarin sore."


Sehingga dari sini kita mendapatkan kesimpulan bahwa orang-orang kecil yang ditahdzir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak dimaksudkan merujuk kepada usianya yang masih muda, tetapi lebih kepada komitmennya terhadap ilmu-ilmu yang berlandaskan kepada sunnah-sunnah Nabi dengan pemahaman para sahabat Nabi yang merupakan salafnya umat ini. Oleh sebab itu, para Du'at Salafiyyin dimanapun berada yang berkomitmen terhadap manhaj salaf bukanlah orang-orang kecil sekalipun jenggotnya belum memutih, namun mereka-mereka yang kelihatannya sudah beruban, gelarnya sederet, akan tetapi menyimpang dari manhaj salaf, merekalah ashâghir sesungguhnya yang umat seharusnya menjauhi mereka dan fenomena melekatnya kebanyakan kaum Muslimin kepada mereka akibat kepopulerannya adalah memang karena sudah tuanya umur dunia, dimana kiamat sudah semakin dekat.


Lihatlah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus Mushab bin Umair radhiyallahu anhu untuk mengajarkan penduduk Madinah selagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam belum hijrah kesana, yang pada waktu usianya masih sangat muda. 


(Baca Juga : Kebanyakan Orang Menyia-Nyiakan Waktunya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/545266753306948

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits

Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits
Ciri Khas Madzhab Fiqih Ahli Hadits


Diantara ciri khas metode madzhab ahli hadits didalam permasalahan fiqih dibandingkan dengan madzhab fiqih lainnya yang sudah jamak dianut kaum muslimin, sebagai berikut :

1. Berpegang kuat dengan nash wahyu yakni Al Kitab dan hadits yang shahihah atau maqbulah yang layak dijadikan hujjah. Berarti untuk menerapkan metode ini dibutuhkan kemampuan didalam menyeleksi hadits-hadits ahkam dan disortir yang memiliki kekuatan hujjah saja yang bisa digunakan.

2. Tidak terikat dengan perkataan salah seorang ulama fiqih yang senantiasa dijadikan rujukan, tapi perkataannya ditimbang dengan dalil-dalil yang ia bawakan atau yang memiliki kekuatan hujjah.


(Baca Juga : Rokok dan Knalpot)


3. Menonjolkan aspek satu pendapat saja yang dianggap oleh penyusun kitab fiqih yang menggunakan metode ini sebagai pendapat yang rajih, dari sekian perbedaan pendapat yang ada.

4. Kebanyakan kitab fiqih yang menggunakan metode madzhab ahli hadits, lebih sederhana pembahasannya karena langsung menyebutkan point utama dari kandungan hadits sesuai dengan tema atau sub tema dari pembahasannya.

5. Banyak berpegang kepada dhohir hadits, terutama ketika melakukan justifikasi terkait hukum taklifi terhadap masalah tersebut. Hukum taklifi ada 5 yaitu : wajib, mustahab, mubah, makruh, dan haram.

6. Jarang sekali membahas permasalahan fiqih dengan retorika yang bertele-tele, karena memang langsung beristimbat (mengambil kesimpulan hukum) dari nash shahihah yang ada.

7. Tidak merasa sungkan untuk menyatakan pendapat hukum atas suatu permasalahan fiqih, sekalipun pendapat tersebut tidak populer dikalangan ulama fiqih lainnya, selagi ada nash shahihah yang menunjukkan akan hal tersebut.


(Baca Juga : Hukum Seputar Hari Raya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/544967330003557

Masbuq Hanya Mendapatkan Tasyahud Akhir Imam


MASBUQ HANYA MENDAPATKAN TASYAHUD AKHIR IMAM, APAKAH MENDAPATKAN PAHALA SHOLAT BERJAMAAH? 


Para ulama berbeda pendapat terkait apakah si masbuq yang pada saat masuk masjid hanya mendapatkan Imam sedang tasyahud akhir, apakah ia tetap mendapatkan pahala sholat berjamaah atau tidak? 


Imam Nawawi dalam "al-Majmu" (4/219) menyebutkan dua pandangan dalam madzhab Syafi'i terkait soalan diatas, kata beliau :

وَتَحْصُلُ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لَكِنْ دُونَ فَضِيلَةِ مَنْ أَدْرَكَهَا مِنْ أَوَّلِهَا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا الْعِرَاقِيِّينَ وَالْخُرَاسَانِيِّينَ وَجَزَمَ الْغَزَالِيُّ بِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِلْجَمَاعَةِ إلَّا إذَا أَدْرَكَ رُكُوعَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ وَالْمَشْهُورُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ بِأَنَّ صَلَاتَهُ تَنْعَقِدُ وَلَوْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْجَمَاعَةُ لَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَنْعَقِدَ

"Si masbuq mendapat keutamaan sholat berjamaah, namun keutamaannya dibawah orang-orang yang mengikuti imam semenjak pertama. Ini adalah pendapat yang shahih dan dipastikan oleh penulis (Imam asy-Syairoziy) dan mayoritas ashab kami dari kalangan iraqiyyin maupun Khurosaniyyin. 

Imam Ghozali menegaskan bahwa si masbuq tidak mendapatkan keutamaan jamaah, kecuali jika ia mendapatkan (minimal) ruku' pada rakaat terakhirnya Imam. 

Namun pendapat yang masyhur (dikalangan Syafi'iyyah) adalah yang pertama, alasannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa sholatnya si masbuq (yang hanya mendapati tasyahud akhir Imam, pent.) dianggap sah, seandainya ia tidak mendapatkan jamaah, tentunya sholatnya tadi dianggap tidak sah" -selesai-. 


(Baca Juga : Ilmu Sebelum Berdakwah)


Al-'Alamah bin baz -rahimahullah- memiliki pendapat lain dimana beliau merincinya, kenapa si masbuq sampai terlambat mengikuti Imam hingga hanya mendapati tasyahud akhirnya Imam, apakah ada alasan Syar'i atau tidak?. Kata beliau :

ﺃﻣﺎ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻔﻴﻪ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺬﻭﺭﺍً ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﻛﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻟﺖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺫﻫﺐ ﻳﺘﻮﺿﺄ ﺃﻭ ﺷﻐﻠﻪ ﺷﺎﻏﻞ ﻻ ﺣﻴﻠﺔ ﻓﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﺬﻭﺭ ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﺣﻜﻤﻪ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﻀﺮ

"Adapun pahala berjamaah, maka ada perinciannya. Jika ia punya alasan syar'i, seperti karena buang hajat yang bikin kebelet atau ia pergi berwudhu lagi (mungkin karena hadats ditengah-tengah sholat, pent.) atau kesibukan yang memang tidak direkayasa, maka ia mendapatkan pahala sholat berjamaah, karena orang yang punya udzur syar'i hukumnya seperti orang yang normal ...".


Kemudian beliau menyebutkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya, diantaranya hadits riwayat Bukhori :


ﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺃﻭ ﺳﺎﻓﺮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﻘﻴﻤﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka Allah tetap tuliskan pahalanya yang biasa diamalkannya ketika mukim dan sehat".


Adapun jika si masbuq diatas tidak ada udzur syar'i, beliau berkata :

ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺄﺧﺮ ﻋﻦ ﺗﺴﺎﻫﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ

"... adapun jika ia terlambat karena ,

menggampangkannya, maka ia tidak mendapatkan keutamaan pahala berjama'ah".


Berdasarkan Berdasarkan pendapat yang masyhur dalam madzhab  Syafi'i dan perincian asy-syaikh bin Baz, maka ketika seorang masuk masjid dan mendapati Imam sudah tasyahud terakhir, segera saja untuk bergabung. 


Namun jika ia menggunakan asumsi seperti pandangannya Imam Ghozali, maka fatwa Al-'Alamah ibnu  utsaimin rahimahullah berikut bisa dijadikan pertimbangan :

إذا دخل الإنسان المسجد والإمام في التشهد الأخير فإن كان يرجو وجود جماعة لم يدخل مع الإمام، وإن كان لا يرجو ذلك دخل معه لأن القول الراجح أن صلاة الجماعة لا تدرك إلا بركعة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم:(من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة).

(فتاوى أركان الإسلام ص445)

"Jika seorang masuk masjid sedangkan Imam dalam posisi tasyahud akhir, jika ia merasa ada gelombang berikutnya yang melaksanakan sholat berjamaah, maka ia tidak usah bergabung bersama Imam. Namun jika tidak ada, maka langsung saja bergabung bersama Imam. Karena pendapat yang rajih sholat berjamaah tidak didapatkan kecuali jika mendapatkan satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat, maka berarti ia telah mendapatkan sholat". -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Demonstrasi dan Darah Kaum Muslimin)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/543121886854768

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?
Nabiyullah Syu'aib Khotibnya Para Nabi?

Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam digelari dengan “Khothiibul Anbiyaa`” (Khotibnya para Nabi), hal ini dikarenakan beliau sangat fasih dan sangat tinggi gaya bahasanya dengan menggunakan balaghah dan ungkapan yang sastrawi tatkala mengajak kepada kaumnya untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'alaa.


Dalam pelajaran nahwu di pasal isim laa yanshorifu,  tatkala menyebutkan salah satu jenis laa yanshorifu adalah ‘alam ajam (nama suku bangsa selain arab), maka dari para Nabi dan Rasul yang namanya “yanshorifu” (bisa ditanwin), hanya 4 Nabi, yaitu Nuh, Hud, Shoolih, Syu’aib dan Nabi kita Sholallahu 'alaihi wa Salaam. Dalam Shahih Ibnu Hibban (no. 361) terdapat hadits berkaitan hal ini :

وَنُوحٌ وَأَرْبَعَةٌ مِنَ الْعَرَبِ: هُودٌ، وَشُعَيْبٌ، وَصَالِحٌ، وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Nuh dan 4 orang dari arab yaitu : Hud, Syu’aib, Sholih dan Nabimu Muhammad Sholallahu 'alaihi wa Salaam”.


Namun hadits diatas sangat lemah sekali, sebagaimana penilaian Imam al-Albani da al-‘Alamah Syu’aib Arnauth, karena didalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Ibrahim bin Hisyaam, dinilai pendusta oleh Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah Rahimahumaallah.


(Baca Juga : Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir)


Terkait gelar Nabiyullah Syu’aib sebagai Khothibul Anbiyaa`, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, namun kevalidannya tidak memuaskan, misalnya hadits :

1. Muhammad bin Ishaq secara mursal :


وَشُعَيْبُ بْنُ مِيكَائِيلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ اللَّهُ نَبِيًّا فَكَانَ مِنْ خَبَرِهِ وَخَبَرِ قَوْمِهِ مَا ذَكَرَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَهُ قَالَ: «ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ» لِمُرَاجَعَتِهِ قَوْمَهُ

“Syu’aib bin Miikaail adalah Nabiyullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam yang Allah utus sebagai Nabi, maka Beliau juga adalah diantara pembawa berita dan pembawa berita kaumnya, apa-apa yang Allah sebutkan dalam Al Qur`an. Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Beliau, maka biasanya mengatakan : “Beliaulah khothiibnya para Nabi”, karena selalu mengajak kaumnya kembali (kepada kebenaran)”.


Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (No. 4071), Imam adz-Dzahabi Rahimahullah dalam “at-Talkhiis” tidak berkomentar apapun. Namun sebagaimana pembaca ketahui secara mudah bahwa hadits diatas mursal, yangmana mursal adalah bagian dari hadits dhoif, karena Muhammad bin Ishaq seorang Imam pakar sejarah yang sangat masyhur adalah generasi tabi’i shoghir, sehingga mursalnya juga mursal yang sangat lemah.


Dalam riwayat Imam Ibnu Abi Hatim dalam “Tafsirnya” (no. 15921), Muhammad bin Ishaq menyebutkan perowi diatasnya lagi yaitu Ya’quub bin Abi Salamah, namun beliau ini juga seorang tabi’i, sehingga status mursalnya belum terangkat;


2. Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya “al-Bidaayah wa an-Nihaayah (I/185) mengatakan :

وقد روى ابن إِسْحَاقُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ جُوَيْبِرٍ وَمُقَاتِلٍ عَنِ الضَّحَّاكِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ شُعَيْبًا قَالَ (ذَاكَ خَطِيبُ الْأَنْبِيَاءِ)

“Ishaq bin Bisyr telah meriwayatkan dari Juwaibir dan Muqaatil dari adh-Dhohhaak dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata : “Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam jika menyebut Syu’aib alaihis salam, Beliau akan mengatakan : “inilah khothiibnya para Nabi”.


(Baca Juga : Perubahan Yang Sebenarnya)


Seandainya kita menerima bahwa Imam Ibnu Katsir benar-benar menemukan kitab hadits Ishaq bin Bisyr atau beliau memiliki sanad yang valid sampai kepada Ishaq bin Bisyr (w. 206 H), maka kelemahan hadits ini ada pada Ishaq itu sendiri, karena beliau sebagaimana dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya “Miizaan al-I’tidal” (I/184) dicap sebagai pendusta oleh Imam Ali bin al-Madiiniy dan Imam ad-Daruquthniy, ditambah kelemahan lain bahwa adh-Dhohhaak tidak pernah berjuma dengan Shohabi Jaliil Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu 'anhu. Memang benar Imam adh-Dhohhaak adalah ahli tafsir yang banyak membawakan penafsiran Ibnu Abbas, namun nukilan tersebut, beliau dapatkan dari muridnya, yakni Imam Sa’id bin Jubair Rahimahullah;


Memang benar sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Nabiyullah Syu’aib alaihis salam adalah khothibnya para Nabi, sebagaimana diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Imam Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya “al-‘Uquubat” dan Imam Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dari Imam Sufyan ats-Tsauriy. Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya “ad-Durrul Mantsuur” juga menukil dari Imam Malik bin Anas Rahimahullah. Akan tetapi tentunya yang kita perhatikan adalah riwayat-riwayat yang marfu’, karena inilah yang dijadikan dasar utama didalam memberitakan khabar-khabar orang sebelum kita yang valid.


Namun apapun itu, Nabiyullah Syu’aib memang memiliki ungkapan yang sastrawi, yang Allah abadikan dalam kitabnya yang mulia, diantara ucapannya :


{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ} [هود: 88]

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”.


(Baca Juga : Kesabaran Guru dan Murid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa’id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/534489534384670

Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah
Seputar Permasalahan Niat Dalam Zakat Fitrah

Zakat fitri atau zakat fitrah adalah ibadah, maka mestilah dengan niat yang tulus kepada Allah Ta'âlâ dalam menunaikannya, hal ini sebagaimana hadits yang sangat masyhur tentangnya dari Umar bin Khathab radhiyallahu anhu secara marfu' :


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya hanyalah amal-amal itu tergantung niatnya dan hanyalah setiap orang itu mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (Muttafaqun alaih).


Adapun terkait teknis niatnya, maka lembaga fatwa Yordania telah menjelaskannya secara rinci namun ringkas dan padat berdasarkan kepada pendapat ulama Syafi'iyyah (fatwa no. 2718). Pointnya adalah :

1. Jika orang yang mengeluarkan zakat fitrah itu sendiri yang langsung membagikannya, maka ia mesti berniat sebelum menyerahkannya kepada yang berhak atau setidaknya niatnya dibarengi ketika menyerahkan zakatnya, TIDAK BOLEH baginya MENGAKHIRKAN NIATNYA setelah diserahkan kepada yang berhak, begitu juga TIDAK BOLEH MERUBAH NIATNYA setelah diserahkan.


(Baca Juga : Hukum Bercanda "Prank")


Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya "al-Majmû'" berkata :

يجوز تقديمها على الدفع للغير قياسًا على الصوم؛ لأن القصد سد خلة الفقير، وبهذا قال أبو حنيفة، وصححه من لا يُحصى من الأصحاب، وهو ظاهر نص الشافعي في الكفارة فإنه قال: لا تجزئه حتى ينوي معها أو قبلها، قال أصحابنا: والكفارة والزكاة سواء

"Boleh untuk mengawalkan pemberian zakat kepada orang lain, diqiyaskan kepada puasa, karena tujuan zakat fitri adalah memenuhi kekurangan kebutuhan orang miskin, ini juga pendapat Abu Hanifah dan dishahihkan oleh ashabnya yang tidak terhitung jumlahnya, ini juga zhahirnya pernyataan Syafi'i terkait kafarah, karena beliau berkata : "tidak sah hingga ia MENIATKAN KETIKA MEMBERIKANNYA ATAU SEBELUMNYA." Ashab kami mengatakan : "kafarah dan zakat itu sama." -selesai-.


2. Begitu juga ketika ia menyerahkannya kepada lembaga amil zakat atau semacam panitia zakat yang nantinya mereka akan menyalurkannya kepada yang berhak, maka SEBELUM ATAU PADA SAAT MENYERAHKAN zakatnya kepada mereka harus dengan niat, hanya saja ketika ia ingin merubah niatnya, maka ia bisa menghubungi terlebih dahulu lembaga zakat tersebut, apakah zakatnya sudah dibagi atau belum, jika belum diserahkan kepada yang berhak menerimanya, maka masih bisa merubah niatnya, namun jika sudah diserahkan, maka tidak bisa lagi merubah niatnya.


Demikian ringkasan penjelasan dari lembaga fatwa Yordania terkait kapan niat itu dihadirkan ketika seseorang hendak mengeluarkan zakat fitrah.


Kemudian niat itu tempatnya adalah di hati, maka tidak disyariatkan melafazhkan niat dalam ibadah, termasuk diantaranya adalah zakat. Dalam "Maushû'ah al-Kuwaitiyyah" (42/68) disebutkan :

يَتَرَتَّبُ عَلَى رَأْيِ الْجُمْهُورِ بِأَنَّ مَحَل النِّيَّةِ الْقَلْبُ

"Pendapat mayoritas ulama bahwa tempat niat adalah di hati...".


(Baca Juga : Kalimat Syahadatain Wajib Dimuliakan)


Kemudian dalam kitab diatas disebutkan terkait hukum melafazhkan niat dengan lisan dalam melakukan peribadatan dari 4 mazhab yang masih eksis, mereka menjelaskannya sebagai berikut :

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.

وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ.

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَالأَْوْلَى تَرْكُهُ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ.

"Hanafiyyah dalam pilihan pendapatnya, Syafi'iyyah dan Hanabilah dalam mazhab resminya bahwa pelafazan niat dalam peribadatan itu sunnah, untuk menyesuaikan lisan dengan hatinya.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa pelafazan niat adalah makruh.

Sedangkan Malikiyah mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama meninggalkannya, kecuali jika timbul was-was, maka dianjurkan melafazkannya, untuk menghilangkan kesamaran."


Akan tetapi dalam kitab diatas dinukil bahwa mayoritas para ulama mengatakan jika lisan yang diucapkan berbeda dengan apa yang diniatkan di hati, maka yang dijadikan patokan adalah apa yang sudah diniatkan di hati.


Syaikhunâ, Sulthan al-Āmiriy hafizhahullah berkata :

الزكاة ، عبادة محلها القلب ، ولايشترط عند تقديمها النطق بها .

ولو نطق بشيء كصدقة ونحوها ونوى أنها زكاة ، فالعبرة بما في قلبه من كونها زكاة .

"Zakat itu ibadah, tempatnya di hati, tidak dipersyaratkan ketika menyerahkannya untuk mengucapkannya.

Seandainya ia mengucapkan sesuatu seperti sedekah dan semisalnya, namun niatnya adalah zakat, maka yang dianggap adalah niat yang di hatinya bahwa itu adalah zakat." -selesai-.


Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid hafizhahullah mempertegas tidak perlunya melafazkan niat dengan mengatakan :

وقالت طائفة من أصحاب مالك ، وأحمد ، وغيرهما : لا يستحب التلفظ بها ؛ لأن ذلك بدعة لم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أصحابه ولا أمر النبي صلى الله عليه وسلم أحدا من أمته أن يلفظ بالنية ولا علم ذلك أحدا من المسلمين ، ولو كان هذا مشروعا لم يهمله النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه

"Sekelompok ulama mazhab maliki, Ahmad dan selainnya mengatakan bahwa tidak dianjurkan untuk melafazkan niat, karena itu adalah BID'AH, tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari para sahabatnya dan tidak pernah diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang pun dari umatnya untuk melafazkan niat dan tidak mengajarkannya kepada seorang pun dari kaum Muslimin, seandainya ini disyariatkan, tentu Nabi tidak akan melalaikannya dan begitu juga para sahabatnya." -selesai-.

 

(Baca Juga : Perhatikan Izin Suamimu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/526509681849322

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras
Ukuran Zakat Fitrah Dengan Beras

DR. Mursyid Ma’syuq dalam makalahnya tentang zakat fitrah menurut 4 mazhab, maka beliau mengatakan terkait ukuran yang harus dikeluarkan untuk membayar zakat fitrah :

اتَّفق الفقهاء على أنَّ الواجب إخراجه في الفطرة صاعٌ مِن جميع الأصناف التي يَجوز إخراج الفطرة منها عدا القمح

“para ulama telah bersepakat atas wajibnya mengeluarkan zakat fitrah SEBESAR 1 SHA’ dari semua jenis bahan pokok makanan yang boleh dikeluarkan zakat fitrahnya, kecuali Gandum (para ulama berbeda kadar besarannya).” 


Kemudian al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Raudhah ath-Thaalibiin” (2/303) menyebutkan pendapat yang jadi pegangan dalam mazhab Syafi’I bahwa jenis bahan makanan yang dikeluarkan zakat fitrahnya adalah bahan pokok makanan yang umum dikonsumsi oleh penduduk negerinya, beliau berkata :

فِي الْوَاجِبِ مِنَ الْأَجْنَاسِ الْمُجْزِئَةِ، ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ. أَصَحُّهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ: غَالِبُ قُوتِ الْبَلَدِ،….

“terkait dengan jenis zakat yang wajib dikeluarkan, maka ada 3 pandangan (dalam mazhab Syafi’iyyah), yang paling benar menurut mayoritas ulama adalah bahan pokok yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk setempat….”. -selesai-.


(Baca Juga : Kebijakan Saudi Yang Dimaki)


Adapun di negeri kita tercinta, maka umumnya bahan pokok makanan yang dikonsumsi adalah beras, sehingga zakat yang direkomendasikan untuk dikeluarkan adalah beras yang besarannya senilai 1 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 1 sha’ pada zaman itu adalah setara dengan 4 mud dan 1 mud itu adalah ukuran ceruk dua telapak tangan dewasa yang sedang. Akan tetapi, pada zaman ini kita terbiasa menggunakan ukuran satuan berat, sehingga kita perlu mengetahui konversi 1 sha’ yang dimaksud dengan ukuran kilogram misalnya. Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang nilai konversinya dalam satuan kilogram, mengingat sebenarnya sha’ ini adalah ukuran volume. Namun dengan menggunakan konversi yang lebih tinggi nilainya, maka ini lebih berhati-hati, seandainya ada kelebihannya, maka kelebihannya bisa terhitung sebagai sedekah. 


Barangkali kita bisa mengacu kepada Lembaga ulama yang kredibel terkait besaran zakat beras diatas, misalnya merujuk kepada “al-Lajnah ad-Daaimah li al-Buhuuts wa al-‘Ilmiyyah wa al-Iftaa`”, kerajaan Saudi Arabia, mereka pernah mengeluarkan fatwa (no. 12572) Ketika ditanya tentang ukuran zakat fitrah beras :

القدر الواجب في زكاة الفطر عن كل فرد صاع واحد بصاع النبي صلى الله عليه وسلم، ومقداره بالكيلو ثلاثة كيلو تقريبا

“besaran kewajiban zakat fitrah untuk tiap individu adalah satu sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yakni setara dengan kurang lebih 3 Kg.”

Fatwa ini ditandatangani oleh asy-Syaikh bin Baz sebagai ketuanya, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah Ghudayan rahimahumullah sebagai anggotanya.


Besaran ini juga yang direkomendasikan oleh beberapa komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di berbagai daerah di Indonesia. Di Sebagian daerah, ukuran beras yang digunakan oleh masyarakat Ketika berjual-beli  adalah dengan satuan liter, maka 3 Kg beras itu setara dengan 3.75 liter, untuk memudahkan dan menambah pahala, maka bisa digenapkan menjadi 4 liter.


Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas beras ini beraneka macam, maka al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang telah kami nukil diatas, mengatakan jika kualitasnya dibawah dari kualitas bahan pokok yang biasa dikonsumsi di negerinya, maka ini tidak boleh, sedangkan kualitas yang lebih tinggi, para ulama sepakat akan kebolehannya, setidaknya kualitasnya adalah sama dengan kualitas bahan pokok makanan negerinya, sebagaimana ini juga petunjuk yang diberikan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Sebagai acuan penentuan kualitas ini, maka al-Imam Nawawi menyebutkan patokannya ada dua cara, yaitu dari kualitas barangnya itu sendiri dan dari harganya.

Wallahu A’lam bish Shawaab.


(Baca Juga : Siapapun Presidennya, Inilah Prinsipnya)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/525221521978138

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?
Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah Kepada Kafir Dzimmi?

Asy-Syaikh Sayyid Sabiq dalam "Fiqhus Sunnah" (1/293, cet. Daarul Hadits)  mengangkat pembahasan tentang pemberian zakat fitrah kepada non muslim ahlu dzimmah :

"Imam az-Zuhri, Abu Hanifah, Muhammad (bin Hasan), dan Ibnu Syubrumah membolehkan memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa ta'ala :


لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : Ayat 8). -selesai-. 


(Baca Juga : Merangkul Tanpa Raga)


Namun asy-syaikh al-albani tidak setuju dengan pendapat diatas, beliau dalam "Tamamul Minnah" (hal. 388-389) berkata :

"Dalam ayat diatas tidak ada dalil yang jelas yang membolehkannya, sebab makna ayat diatas adalah perintah berbuat baik kepada mereka melalui shodaqoh yang tidak wajib. Imam Abu Ubaid (no. 1991) meriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata :


كان ناس لهم أنسباء وقرابة من قريظة والنضير وكانوا يتقون أن يتصدقوا عليهم ويريدونهم على الإسلام فنزلت

"Sebagian sahabat memiliki famili dari kalangan Bani Qurodhoh dan Nadhiir, mereka menahan pemberian shadaqah kepada familinya tersebut, mengharapkan agar familinya masuk Islam, lalu turunlah ayat :


{لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ}

"Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari rida Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 272).

Kandungan makna ayat ini, mirip dengan ayat sebelumnya -selesai-. 


Kemudian Imam al-albani menukil pendapat Hasan al-bashri Rahimahullah yang berkata :

ليس لأهل الذمة في شيء من الواجب حق ولكن إن شاء الرجل تصدق عليهم من غير ذلك

"Ahlu Dzimmah tidak memiliki hak apa-apa atas Zakat wajib, namun jika mau seseorang dapat bersedekah kepada mereka diluar Harta zakatnya".


Imam al-albani juga berkata :

وأما إعطاؤهم زكاة الفطر فما علمنا أحدا من الصحابة فعل ذلك وفهم ذلك من الآية فيه بعد بل هو تحميل للآية ما لا تتحمل.

"Adapun memberikan zakat fitrah kepada ahlu dzimmah, aku tidak mengetahui seorang sahabat pun yang melakukannya, demikianlah mereka memahami ayat tersebut. Adapun orang setelahnya, memahami ayat tidak sesuai dengan konteksnya".

Wallahul A'lam.


(Baca Juga : Doakan Anakmu Yang Menuntut Ilmu)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/522638165569807

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?

Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?
Iqamat Bolehkah Pakai Pengeras Suara?


Asy-Syaikh Abu Malik Kamaal hafizhahullah menyebutkan bahwa ada sebagian ulama kontemporer yang mengatakan tidak disyariatkannya iqomah dengan menggunakan pengeras suara, karena iqamat itu sendiri fungsinya untuk memberitahukan bahwa sholat segera dimulai, sehingga ini hanya untuk orang yang didalam masjid saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-albani rahimahullah (Shahih Fiqih Sunnah (I/291)).


Akan tetapi yang benar menurut asy-Syaikh Abu Malik, bahwa iqamat menggunakan pengeras suara tidak mengapa, hal ini karena terdapat atsar dari shahabi jaliil Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam "al-Muwatha`" dari Naafi' :

 ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ‏( ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻫُﻮَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻘِﻴﻊِ ﻓَﺄَﺳْﺮَﻉَ ﺍﻟْﻤَﺸْﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ‏) 

"Bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhumaa mendengar iqamat pada saat sedang di Baqii', lalu beliau segera berjalan menuju masjid".


(Baca Juga : Sesungguhnya Ilmu Itu Muroja'ah)


Asy-Syaikh Muhammad Sholih al-Munajid menambahkan dalil yang marfu' dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺍﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺎﻣْﺸُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻜِﻴﻨَﺔِ ‏

"Jika kalian mendengar iqamat, maka berjalanlah untuk sholat dan hendaknya kalian datang dengan tenang" (Muttafaqun alaih).


Asy-Syaikh beristidlal :

ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻗﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺴﻤﻊ ﻣﻦ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ 

"Hadits ini menujukkan bahwa iqamat diperdengarkan juga sampai keluar masjid pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam".


Wallahu a'lam.


(Baca Juga : China Zaman Doeloe)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/533936787773278

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?
Apakah Makmum Menjahrkan Amin Ketika Imam Qunut Witir?

Prof. DR. Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam risalahnya seputar qunut witir mengatakan terkait dengan perkara makmum mengamini qunut witirnya Imam, apakah dijahrkan atau dibaca sirr (pelan) :

ولم يأت في الأحاديث والآثار الواردة في قنوت الوتر ما يدل على مشروعية قول المأموم آمين، عند دعاء الإمام بالقنوت

"Tidak ada dalam hadits atau atsar terkait qunut witir yang menyinggung atas disyariatkannya ucapan makmum "Āmîn", ketika Imam berdoa dalam qunut witir..." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika kondisinya seperti ini, maka terjadinya perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait masalah yang kita bahas ini adalah sebuah keniscayaan. Asy-Syaikh al-Walîd bin  Abdullah al-Fariyân dalam bukunya "al-Qunût fî al-Witr" mencoba merinci pembahasan ini terkait dengan makmum apakah mendengar bacaan qunut Imam atau tidak?.


Apabila makmum mendengar bacaan qunut Imam, maka apakah makmum mengamininya dengan jahr atau sirr?, Asy-Syaikh lantas menyebutkan bahwa para ulama SEPAKAT disyariatkannya makmum mengamini qunutnya Imam secara sirr. Adapun apakah dianjurkannya secara jahr, maka dalam hal ini ada 2 pendapat :

A. Dianjurkannya jahr mengucapkan Āmîn. Ini adalah pendapatnya sebagian Hanafiyyah dan yang mu'tamad dalam mazhab Hanbali.

B. Dianjurkan jahr ketika materi qunutnya berupa doa dan sirr ketika materinya berupa pujian. Ini adalah mazhabnya Syafi'i. 


(Baca Juga : Jenis-Jenis Ikhtilaf Ulama)


Asy-Syaikh kemudian merajihkan pendapat yang pertama, dengan alasan diantaranya adalah :

1. Diqiyaskan dengan menjaharkan Āmîn setelah Imam membaca Al-Fatihah.

2. Diqiyaskan dengan jahrnya Amin-nya makmum pada saat qunut nazilah.


Terkait dengan qunut nazilah, maka asy-Syaikh Muhammad Bazmul dalam kitab yang kami nukilkan sebelumnya juga berkata :

لكن ورد ذكر تأمين المأموم على تأمين الإمام في قنوت النازلة

"Namun telah datang penyebutan terkait Amin-nya makmum dalam qunut nazilah."


Kemudian asy-Syaikh mendatangkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang berkata :


قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَه

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya pada (rakaat) terakhir dari setiap shalat. Apabila telah mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir, beliau mendoakan (kehancuran) atas beberapa suku dari Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan ‘Ushaiyyah. Sedangkan (para makmum) di belakang beliau MENGUCAPKAN AMIN." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Syu'aib Arnauth serta dihasankan oleh al-Albani).


Kemudian Prof. DR. Muhammad Bazmul juga ikut merajihkan dianjurkannya makmum menjaharkan Amin-nya, alasannya qunut nazilah yang dibacakan juga pada sholat Maghrib dimana jumlah rakaatnya adalah witir (ganjil), tentunya ini juga sama dengan sholat witir yang rakaatnya ganjil dan tercakup dalam kaedah "apa yang boleh pada sholat fardhu, boleh juga pada sholat sunnah.


Adapun jika makmumnya tidak mendengar bacaan qunut Imam, maka asy-Syaikh al-Walîd tetap merajihkan makmum menjahrkannya, sekalipun disana ada pendapat yang mengatakan makmum membaca qunut sendiri, sebagaimana orang yang membaca Al-Fatihah dan surat sendiri ketika Imamnya sholat sirr.

Wallahu A'lam.


(Baca Juga : Rakyat dan Penegak Hukum Jangan Zalim)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/520603135773310

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah
Ayat-Ayat Yang Menjadi Tempat Sujud Tilawah

Para ulama telah mencari dimanakah tempat ayat tilawah diantara ribuan ayat dalam Al Qur’an berdasarkan keterangan dari sunah-sunah Nabi sholallahu alaihi wa salam dan ucapan para sahabatnya rodhiyallahu anhum ajma’in. Berdasarkan perhitungan mereka ada 15 tempat yang merupakan ayat tilawah berdasarkan keterangan yang disandarkan kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam dan para sahabatnya. Ke-15 tempat tersebut adalah : 

1. ayat 206 dari surat Al ‘Araaf. 

2. ayat 15 dari surat Ar Ra’du. 

3. ayat 49 surat An Nahl. 

4. ayat 107 surat Al Israa’. 

5. ayat 58 surat Maryam. 

6. ayat 18 surat Al Hajj. 

7. ayat 77 surat Al Hajj. 

8. ayat 60 surat Al Furqoon. 

9. ayat 25 surat An Naml. 

10. ayat 15 surat As Sajdah. 

11. ayat 24 surat Shod. 

12. ayat 37-38 surat Fushilaat. 

13. ayat 62 surat An Najm. 

14. ayat 21 surat Al Insyiqooq. 

15. ayat 19 surat Al ‘Alaq.


Ini adalah hitungan yang dilakukan oleh asy-Syaikh DR. Fahd bin Abdul Aziz dosen Universitas Malik Abdul Aziz dalam sebuah makalah tentang sujud Tilawah yang dipublikasikan oleh Majalah  Bukhutsul Islamiyyah.  


(Baca Juga : Sekilas Tentang Qunut Subuh)


Kemudian  dari  15  tempat ini,  10  ayat  diantaranya  para  ulama  telah  bersepakat  bahwa  itu  tempat  ayat  tilawah yaitu  : 

1.  ayat  206  dari  surat  Al  ‘Araaf. 

2.  ayat  15  dari  surat  Ar  Ra’du. 

3.  ayat  49  surat  An  Nahl. 

4.  ayat  107  surat  Al  Israa’. 

5.  ayat  58  surat  Maryam. 

6.  ayat  18  surat  Al  Hajj. 

7.  ayat  60  surat  Al  Furqoon. 

8.  ayat  25  surat  An  Naml. 

9.  ayat  15  surat  As  Sajdah. 

10.  ayat  37-38  surat  Fushilaat.


Sedangkan  5  tempat lainnya,  para  ulama  berselisih  pendapat  tentangnya,  namun berdasarkan  sunah  yang  valid,  pendapat  yang  rajih  menempatkan  kelima  ayat tersebut termasuk ayat-ayat sujud tilawah. 


(Baca Juga : Rushsakh Menutup Masjid)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518900352610255

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?
Apakah Disyariatkan Bertakbir Ketika Sujud Tilawah?

Al-Imam Al Albani rahimahullah dalam kitabnya Tamaamul Minnah fii Ta’liqi ‘alaa Fiqhis Sunnah (hal. 267-cet. Daarur Rooyah) berkata :

“Penulis (asy-Syaikh Sayyid Sabiq) berkata, dari Ibnu Umar Rodhiyallahu 'anhu beliau berkata :


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ ‌بِالسَّجْدَةِ ‌كَبَّرَ، ‌وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ

“Bahwa Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa salaam membacakan Al Qur’an kepada kami, jika melewati ayat sajadah, Beliau bertakbir, lalu sujud dan kami pun sujud bersama Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam.” 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan Al Hakim, lalu beliau berkata : ‘shahih atas syarat Bukhori-Muslim. 


Aku (Al Albani) berkata, ada 2 catatan tentang ucapan penulis : 

1. Hadits ini dhoif, karena dalam sanadnya, sebagaimana riwayat Abu Dawud dan Baihaqi ada perowi yang bernama Abdullah bin Umar al-‘Umariy, ia perowi dhoif, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz dalam at-Talkhiish. Demikian juga dalam Bulughul Marom, Al Hafidz berkata, sanadnya terdapat kelemahan. Nawawi berkata dalam al-Majmuu’, sanadnya dhoif. Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang sujud tilawahnya Beliau Sholallahu 'alaihi wa salaam dibanyak ayat dalam kesempatan yang berbeda-beda, namun tidak disebutkan oleh salah seorang dari mereka, takbirnya Nabi Sholallahu 'alaihi wa salaam ketika sujud. Oleh karenanya, kami condong kepada tidak disyariatkannya takbir ini, dan ini adalah salah satu riwayat pendapatnya Imam Abu Hanifah. 

2. Bahwa Al Hakim tidak meriwayatkan kalimat Takbiir, sedangkan ini adalah masalah yang akan dijadikan dalil dari hadisnya. Beliau meriwayatkan dari jalan ‘Ubaidillah bin Umar al-‘Umariy dengan isim Tasghiir, dan beliau adalah perowi tsiqoh, berbeda dengan saudaranya Abdullah dengan isim al-Mukabbir, ia adalah perowi dhoif sebagaimana penjelasan diatas. Haditsnya terdapat dalam Bukhori-Muslim serta selainnya dari jalan ‘Ubaidillah – dengan al-Mushoghir, bukan al-Mukabbir- yang otomatis juga menunjukkan kelemahan hadits (yang kita bahas-pent.), lihat al-Irwaa’ (471 & 472)." -selesai-.


(Baca Juga : Apakah Orang Awam Wajib Melihat Dalil? )


Demikian juga ini adalah salah satu pendapat al-Imam Malik rahimahullah sebagaimana dalam kitabnya "al-Mudawanah" (1/200) jika itu diluar sholat, beliau berkata :

قَالَ: وَإِذَا قَرَأَهَا وَهُوَ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فَكَانَ يُضَعِّفُ التَّكْبِيرَ قَبْلَ السُّجُودِ وَبَعْدَ السُّجُودِ

"Jika ia membaca sujud tilawahnya di luar sholat, maka beliau melemahkan takbir sebelum dan sesudah sujud." -selesai-.


Adapun didalam sholat, maka jika bertakbir untuk sujud dan juga ketika bangkit darinya, maka mayoritas ulama mensyariatkannya. Al-Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya diatas mengatakan :

وَقَالَ مَالِكٌ: مَنْ قَرَأَ سَجْدَةً فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ إذَا سَجَدَهَا وَيُكَبِّرُ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهَا

"Barangsiapa yang membaca ayat-ayat sujud tilawah dalam sholat, maka ia bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika mengangkat kepala darinya." -selesai-.


DR. Muhammad Na'im dalam kitabnya "Maushû'ah Masâ`il al-Jumhûriyah" (1/183) berkata :

جمهور الفقهاء على أن الساجد للتلاوة يكبِّر إذا خفض للسجود ويكبِّر إذا رفع منه، وممن رُوي عنه التكبير لسجود التلاوة ابن سيرين والحسن وأبو قلابة والنخعي ومسلم ابن يسار وأبو عبد الرحمن السلمي وبه يقول الشافعي وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي.

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang bersujud tilawah itu bertakbir ketika turun sujud dan bertakbir ketika bangkit darinya. Yang berpendapat disyariatkannya takbir adalah Ibnu Sirîn, al-Hasan al-Bashri, Abu Qilâbah, an-Nakho'iy, Muslim bin Yasâr, Abu Abdir Rahman as-Sulamiy dan ini adalah pendapatnya Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan ashabu Ra`yu." -selesai-.


Alasan jumhur sebagaimana yang telah disampaikan oleh al-'Allâmah ibnu Utsaimin -via islam web- :

ولكن السُّنَّة تدلُّ على أنه -أي سجود التلاوة- ليس فيه تكبير عند الرَّفع ولا سلام إلا إذا كان في صلاة، فإنه يجب أن يُكبِّرَ إذا سَجَدَ ويُكبِّرَ إذا رَفَعَ؛ لأنه إذا كان في الصَّلاة ثَبَتَ له حُكم الصَّلاة، .... وثَبَتَ عنه أنَّه كان يُكبِّر في كُلِّ رَفْعٍ وخَفْضٍ فيدخل في هذا العموم سُجودُ التِّلاوة. انتهى.

"Namun yang sunnah menunjukkan bahwa sujud tilawah tidak ada takbir ketika mengangkat kepala dari sujud dan juga tidak ada salam, kecuali dalam sholat, maka wajib untuk bertakbir ketika sujud dan bertakbir ketika bangkit, karena jika itu didalam sholat maka berlakulah padanya hukum sholat....telah valid dari bahwa Beliau bertakbir setiap bangkit dan juga turun sujud, maka sujud tilawah masuk kedalam keumuman ini." -selesai-.


Oleh sebab itu, apa yang dirinci oleh al-Imam Malik radhiyallahu anhu yang bertakbir ketika sujud tilawah dalam sholat dan tidak bertakbir ketika sujud tilawah diluar sholat adalah menurut kami pendapat yang rajih dalam masalah ini.

Wallahu A'lam bish-shawâb.


(Baca Juga : Kilasan Tentang Ilmu Riwayat)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/518679895965634

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari
Menerjemahkan Bab-Bab Shahih Bukhari

Pada saat awal-awal mulai mengikuti kajian "Sunnah", ustadz kami mengajarkan kitab Tsalatsah Ushul karya al-Imam al-Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab, dalam salah satu bahasan disebutkan perkataan al-Imam Bukhari yang menyebutkan dalam kitab Shahihnya bab "al-Ilmu qobla al-qoul wa al-'Amal" (ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan), yang menarik dari penjelasan ustadzunaa adalah bahwa al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya didalam membuat judul bab itu sudah mengisyaratkan akan hukum-hukum tertentu dalam syariat kita.


Sebagai pemula pada waktu itu, yang tahu Shahih Bukhari hanya dari judulnya saja, maka tidak begitu paham apa yang dimaksud oleh Ustadzunaa, sampai akhirnya tatkala diberikan bimbingan oleh guru-guru kami yang lain untuk mengenal Shahih Bukhari lebih intens lagi, maka sedikit ada gambaran terkait dengan faedah-faedah pada judul-judul bab di shahih Bukhari.


Barangkali ulama yang dengan gemilang mampu menerjemahkan judul-judul bab dalam Shahih Bukhari adalah penulis syarah Shahih Bukhari yang sampai zaman ini belum ada yang bisa menandinginya, yaitu kitab Fathul Bariy yang ditulis oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah. Beliau seolah-olah diangkat oleh Imam Bukhari sebagai juru bicaranya, padahal mereka berdua terpaut jauh ratusan tahun, namun Al Hafizh dengan ketajaman analisanya mampu menyinkronkan diri dengan kecerdasan Imam Bukhari, karena ada beberapa judul bab antara hadits yang dibawakan dibawah judul bab tersebut dengan tema babnya harus mengernyitkan dahi terlebih dahulu untuk menemukan korelasinya dan Al Hafizh dapat melalui tantangan ini dengan sangat baik, beliau mampu menemukan jalan pikiran Imam Bukhari memberi judul bab tersebut dengan dilalah yang terkandung didalam hadits yang dibawakan, bagi yang ingin bukti akan hal tersebut dapat melihat beberapa coretan kami mengenai sebagian syarah Shahih Bukhari, misalnya yang terbaru adalah Syarah Kitab Shoum min Shahih Bukhari yang masih belum selesai penulisannya.


(Baca Juga : Pembahasan Ulumul Hadits)


Kemudian ada juga ulama yang disamping memecahkan kaitan antara hadits yang dibawakan dengan judul bab, juga terkadang memperbincangkan juga kaitan antara judul bab dengan judul kitabnya, karena Shahih Bukhari itu terdiri dari beberapa kitab, seperti Kitab al-Ilmu, Kitab Sholat dan seterusnya, kemudian dalam kitab terdiri dari beberapa bab. Selain itu juga kadang beliau membahas kaitan antara bab tersebut dengan bab sebelumnya. Ulama tersebut adalah al-'Alamah Badruddin al-'Ainiy al-Hanafiy (w. 855 H) rahimahullah dalam kitabnya "Umdah al-Qaariy Syarah Shahih al-Bukhariy".


Bab-bab Shahih Bukhari terutama dalam masalah Fiqih menjadi kajian ulama untuk mengetahui kemanakah al-Imam Bukhari memiliki kecondongan dalam mazhab fiqihnya?, Dalam tulisan kami terdahulu, sedikit kami ulas mazhab fiqih beliau dan kami unggulkan kajian yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa al-Imam Bukhari independen dalam mazhab fiqihnya bahkan beliau adalah seorang mujtahid mutlak yang menggali hukum fiqih langsung dari al-Kitab dan as-Sunnah.


Kemudian kita dapati para ulama kontemporer membuat risalah tersendiri yang berbicara secara khusus penafsiran bab-bab tersebut, dan sudah lahir juga melalui sidang akademik tesis magister dan disertasi doktoral yang temanya adalah membahas terjemahan judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.


Memang secara umum para ulama mengatakan bahwa pandangan fiqih para Aimah penulis kitab hadits ada pada judul bab yang diketengahkannya, sekalipun tidak mesti bahwa judul bab itu adalah pandangan fiqihnya secara mutlak, karena terkadang mereka membawakan judul bab untuk memberikan wacana kepada pembacanya terkait sebuah tema fiqih dengan membawakan hadits-hadits yang dilalahnya dapat memberikan faedah hukum sebagaimana judul bab tersebut.


Kembali kepada Shahih Bukhari, maka para pensyarahnya akan memberikan perhatian terhadap judul-judul bab yang diletakkan oleh al-Imam Bukhari bahkan tidak jarang juga ada lebih kurang penamaan judul babnya ketika dibandingkan dengan naskah-naskah shahih Bukhari yang ada, maka catatan perbedaan ini akan mereka ketengahkan kepada pembaca karena bisa jadi memiliki implikasi fiqih hadits yang berbeda dari Imam Bukhari atau malah lebih memperjelas lagi fiqih hadits yang disampaikan oleh al-Imam.


Jazakumullah khoir kepada para ulama dalam berkhidmat terhadap Islam.


(Baca Juga : Istiwa' Allah di Atas 'Arsy)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/264201391413487

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?
Surat Al-Mu'awidzatain Makiyyah Atau Madaniyyah?

Dalam disiplin ulumul Qur`an ada pembahasan mengenai Makkiyah dan Madaniyah yaitu terkait periodisasi turunnya surat dan ayat Al-Qur`an. Ada beberapa pandangan para ulama dalam mengkategorikan Makkiyah dan Madaniyah, namun pendapat yang banyak digunakan bahwa Makkiyah adalah surat atau ayat yang turun sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hijrah, sedangkan Madaniyah adalah setelah Beliau hijrah ke Madinah. Al-Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab babon dalam Ulumul Qur`an yang berjudul "al-Itqân fî Ulûm al-Qur`an" (1/37) mengatakan :

أَشْهَرُهَا: أَنَّ الْمَكِّيَّ مَا نَزَلَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَالْمَدَنِيَّ مَا نَزَلَ بَعْدَهَا سَوَاءٌ نَزَلَ بِمَكَّةَ أَمْ بِالْمَدِينَةِ عَامَ الْفَتْحِ أَوْ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ أَمْ بِسَفَرٍ مِنَ الْأَسْفَارِ.

"Pendapat yang masyhur bahwa Makkiyah adalah yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah turun setelah hijrah, sama saja apakah turunnya di Mekkah atau di Madinah pada waktu penaklukkan Mekkah atau pada waktu haji wada atau pada saat Beliau sedang bersafar."


Al-Imam Suyuthi kemudian menukilkan bahwa pembagian ini telah dirumuskan oleh al-Imam Abu Tsa'labah Yahya bin Salâm (w. 200 H) salah seorang ulama generasi Tabi'iut Tabi'in yang juga seorang ahli tafsir pada zamannya.


(Baca Juga : Imam Abu Sa'id Utsman bin Sa'id Ad-Darimy)


Terkait dengan pembahasan surat yang dinamakan dengan al-Mu'awidzatain, yaitu surat Al-Falaq dan An-Nâs, maka para ulama berbeda pendapat apakah keduanya digolongkan sebagai Makkiyah atau Madaniyah. Tim lembaga penerjemah Al-Qur`an Departemen Agama RI, awalnya menghitung kedua surat tersebut sebagai Makkiyah, namun setelah mereka melakukan kajian kembali, lalu ditetapkan bahwa keduanya adalah Madaniyah.


Penulis juga telah melakukan penelitian kecil terkait hal ini dan berikut kajiannya berdasarkan pendapat dari sebagian ulama ahlul qur`an terkait status kedua surat tersebut dalam pembahasan ini.


Al-Imam al-Baghowi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa surat Al-Falaq adalah Madaniyyah. Kemudian al-Imam Ibnul Jauzi dalam tafsirnya menyebutkan 2 pendapat tentang kapan turunnya surat Al Falaq, kata beliau :

أحدهما : مدنية رواه أبو صالح عن ابن عباس ، وبه قال قتادة في آخرين .

والثاني : مكية رواه كريب عن ابن عباس ، وبه قال الحسن ، وعطاء ، وعكرمة ، وجابر . والأول أصح ، ويدل عليه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سحر وهو مع عائشة ، فنزلت عليه المعوذتان .

"Pendapat pertama mengatakan bahwa Al Falaq Madaniyyah, pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shoolih dari Ibni Abbas rodhiyallahu anhu, ini juga pendapatnya Qotaadah dan selainnya.

Pendapat kedua ia Makiyyah, diriwayatkan oleh Abu Kuroib dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu dan ini juga pendapatnya al-Hasan, Athoo’, ‘Ikrimah dan Jaabir.

Pendapat pertama (surat Al Falaq Madaniyyah) adalah pendapat yang rajih, hal ini ditunjukkan oleh hadits bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam pernah tersihir dan Beliau sedang bersama Aisyah rodhiyallahu anha, lalu turun kepada Beliau al-Mu’awidzatain." -selesai-.


(Baca Juga : Keutamaan Ahli Quran)


Begitu juga al-Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya "ad-Durorul Mantsuur" menukil :

أخرج ابن مردويه عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه قال : أنزل بالمدينة { قل أعوذ برب الناس }

"Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin az-Zubair rodhiyallahu anhu beliau berkata : “diturunkan di Madinah surat Qul A’uudzu bi Robbin Naas (surat An Naas)”. -selesai-.


Terkait hadits yang masyhur tentang tersihirnya Nabi sholallahu alaihi wa salam oleh seorang Yahudi yang bernama Labiid ibnul A’shoom dan bahwasanya kisah ini terjadi setelah Beliau hijrah ke Madinah. Maka Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata :

أَخْرَجَهُ عَنْهُ اِبْن سَعْد بِسَنَدٍ لَهُ إِلَى عُمَر بْن الْحَكَم مُرْسَل قَالَ ” لَمَّا رَجَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْحُدَيْبِيَة فِي ذِي الْحَجَّة وَدَخَلَ الْمُحَرَّم مِنْ سَنَة سَبْع جَاءَتْ رُؤَسَاء الْيَهُود إِلَى لَبِيد بْن الْأَعْصَم – وَكَانَ حَلِيفًا فِي بَنِي زُرَيْق وَكَانَ سَاحِرًا –

"Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dengan sanad sampai kepada Umar ibnul Hakam secara mursal beliau berkata : ‘ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam kembali dari perjanjian Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah sampai masuk bulan Muharrom pada tahun ke-7 (setelah hijrah), telah datang ketua suku Yahudi kepada Labiid ibnul A’shom –ia berasal dari Bani Zuraiq dan seorang tukang sihir-…".


Kemudian dalam kisah sihir tersebut, Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalain Nubuwwah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu yang didalamnya terdapat lafadz :


فإذا فيها وتر  فيه إحدى عشرة عقدة فأنزلت عليه هاتان السورتان فجعل كلما قرأ آية انحلت عقدة : ( قل أعوذ برب الفلق) ، ( وقل أعوذ برب الناس )

"Didalam sumur terdapat tali / buhul yang terdapat sebelas ikatan, maka turunlah 2 surat tersebut (yaitu Al Falaq dan An Naas –yang total semuanya terdiri dari 11 ayat-pent.), maka setiap Nabi sholallahu alaihi wa salam membaca satu per satu ayat lepaslah ikatan tadi satu per satu."


Hanya saja Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Talkhiisul Khobiir (6/2690) berkata tentang status hadits diatas :

أخرج البيهقي في “الدلائل”  معنى ذلك بسند ضعيف

"Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam “Ad-Dalaail” makna yang demikian dengan sanad dhoif." -sehingga-.


Sehingga karena riwayat turunnya surat Al Falaq, begitu juga surat An Naas setelah Rasulullah sholallahu alaihi wa salam hijrah ke Madinah adalah dhoif, maka barangkali yang rojih adalah surat tersebut Makkiyyah berdasarkan ciri-ciri umum dari surat Makkiyyah yang berisi ayat-ayat yang pendek. Inilah yang dirajihkan oleh al-'Allâmah ath-Thâhir ibnu 'Âsyûr rahimahullah dalam kitab tafsirnya dengan alasan merajihkan riwayat Kuraib dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa itu adalah Makkiyah dibandingkan riwayat Abu Shâlih dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang katanya berpendapat itu Madaniyah.


Untuk diketahui bahwa penentuan Makkiyah dan Madaniyah itu adalah ijtihadiyyah. Asy-Syaikh Mannâ al-Qathân dalam kitab Ulumul Qur`annya yang best seller "al-Mabâhits fî Ulûm al-Qur`an", menukil perkataan al-Qodhi Abu Bakar bin ath-Thayyib al-Baqilani dalam al-Intishar yang berkata : 

“pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah itu mengacu kepada hafalan para sahabat dan Tabi’in. Tidak ada satu pun keterangan yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.” 

Wallahu Ta'âlâ A'lam.


(Baca Juga : Berdakwah Lewat Tiktok?)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/510755640091393

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod

Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod
Mengenal Sekilas Kitab Adabul Mufrod


Al-Imam al-bukhari rahimahullah yang dijuluki oleh para ulama sebagai amirul mu'minin fi'il hadits telah menulis beberapa kitab diluar kitab shahih bukhori. Diantaranya adalah kitab yang dikenal dengan nama "al-Adab al-mufrad".


Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam "Shahih Bukhori" didalamnya beliau susun dengan nama-nama kitab yaitu dimulai dari kitab "bid`u al-wahyu", lalu kitab "al-Imaan", lalu kitab "al-ilmu" dan seterusnya sampai ditutup dengan kitab "at-Tauhid". Termasuk didalamnya beliau menampilkan juga kitab "al-Adab". Oleh sebab itu para ulama menamakan kitab "al-Adab" sebagaimana yang saya maksud dalam judul tulisan ini dengan tambahan al-Mufrad, yang bermakna tersendiri, yakni ini adalah kitab yang ditulis yang terpisah dengan shahih Bukhori, sehingga tidak bercampur antara kitab "al-Adab" yang merupakan bagian dari Shahih bukhori dengan kitab "al-Adab" yang kita maksud ini. 


Berdasarkan hal ini ada "kode etik" dikalangan ulama hadits, tatkala menyebutkan riwayat hadits dalam kitab "al-Adab al-mufrad", yakni tidak boleh hanya mengatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori", tapi harus dikatakan "diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam al-Adab al-mufrad", agar tidak terjadi kesalahpahaman sebagaimana keterangan diatas. Alasan lainnya adalah tidak semua hadits-hadits yang terdapat dalam "al-Adab al-mufrad" berderajat shahih, namun ada juga beberapa yang dhoif dan banyak sekali yang bernilai hanya hasan saja. 


(Baca Juga : Hari H nya Kiamat)


Kitab ini berisi hadits-hadits nabi dan atsar para sahabat yang bertemakan adab-adab dalam Islam, tentang berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan tema-tema adab lainnya. 


Al-'Alamah Muhammad Nashiruddin al-albani telah melakukan penelitian terhadap status hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut, lalu beliau memilahkannya untuk kita semua yang mana yang shahih dari yang dhoifnya. Banyak para penerbit yang memanfaatkan hasil penelitian beliau dalam naskah terbitan mereka. 


Tak kurang dari 30 ulama yang telah membubuhkan syarahnya untuk memberikan penjelasan pada kita semua tentang maksud dari hadits dan dalil lainnya di bab-bab yang ditampilkan oleh Imam Bukhori. Diantara syarah yang direkomendasikan adalah penjelasan yang ditulis oleh asy-syaikh Muhammad Said Ahmad Ruslan hafizhahullah, karena selain terdapat penjelasan secara tertulis dalam sebuah kitab, pun ada juga rekaman dars beliau dalam mensyarah kitab ini. Linknya dapat dilihat disini : http://www.rslan.com/vad/items.php?chain_id=250


(Baca Juga : Aqidah dan Manhaj Dalam Takfir)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/263630798137213

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja
I'tikaf Hanya Malam Harinya Saja

Telah ma'ruf bahwa I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat banyak. Al-'Allâmah Abu Bakar al-Hishniy asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya "Kifâyah al-Akhyâr" (hal. 208) berkata :

وَيسْتَحب فِي جَمِيع الْأَوْقَات وَفِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان آكِد اقْتِدَاء برَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وطلباً لليلة الْقدر وَلَيْلَة الْقدر أفضل ليَالِي السّنة وَهِي بَاقِيَة بِفضل الله تَعَالَى إِلَى يَوْم الْقِيَامَة وكذهب جُمْهُور الْعلمَاء أَنَّهَا فِي الْعشْر الْأَخير من رَمَضَان وَفِي أوتاره أَرْجَى

"Dianjurkan i'tikaf pada semua waktu, namun pada 10 hari akhir Ramadhan lebih kuat lagi anjurannya, yakni dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencari Lailatul Qadar, yaitu malam yang paling utama dalam setahun dan itu masih berlaku sampai hari kiamat, sebagaimana mazhabnya mayoritas ulama bahwasanya itu terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan pada malam-malam ganjilnya lebih diharapkan terjadi." -selesai-.


(Baca Juga : Apa Yang Diucapkan Ketika Berbuka Puasa)


Kemudian para ulama menyebutkan bahwa tidak ada batasan durasi minimal seseorang untuk beri'tikaf di masjid, artinya jika seorang ketika masuk masjid lalu berniat walaupun sekejap di masjid untuk beri'tikaf, maka ia telah mendapatkan pahala i'tikaf, tentunya sesuai dengan durasi tinggalnya. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya "al-Muhallâ" (3/411) berkata :

الِاعْتِكَافُ: هُوَ الْإِقَامَةُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَاعَةً فَمَا فَوْقَهَا، لَيْلًا، أَوْ نَهَارًا

"I'tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla sesaat atau lebih lama, baik malam maupun malam hari."


Beliau rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada dalil dari pembuat syariat yang menentukan durasi minimal untuk i'tikaf, dalam kitabnya yang sama al-Imam melanjutkan :

فَالِاعْتِكَافُ يَقَعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِمَّا قَلَّ مِنْ الْأَزْمَانِ أَوْ كَثُرَ، إذْ لَمْ يَخُصَّ الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ عَدَدًا مِنْ عَدَدٍ، وَلَا وَقْتًا مِنْ وَقْتٍ، وَمُدَّعِي ذَلِكَ مُخْطِئٌ؛ لِأَنَّهُ قَائِلٌ بِلَا بُرْهَانٍ

"I'tikaf itu didapatkan sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan, baik sedikit durasinya, maupun banyak, yang mana tidak dikhususkan oleh Al-Qur`an maupun hadits batasan tertentu dan waktu tertentu, barangsiapa yang mengklaim (pembatasan tertentu), maka ia telah keliru, karena ia mengatakan tanpa ada landasannya." -selesai-.


Asy-Syaikh Abu Mâlik Kamâl hafizhahullah dalam kitabnya "Shahih Fiqh as-Sunnah" (2/154) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh al-Imam Ibnu Hazm, juga dipegangi oleh mayoritas ulama :

ذهب الجمهور ومنهم أبو حنيفة والشافعي إلى أن زمان الاعتكاف لا حَدَّ لأَقلِّه

"Mayoritas ulama diantara Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat bahwa durasi I'tikaf itu tidak ada batasan minimalnya." -selesai-.


Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang karena tuntutan mencari nafkahnya pada siang hari, namun ia tetap berkeinginan beri'tikaf pada 10 malam hari terakhir pada malam harinya, maka tidak masalah untuk beri'tikaf pada malam hari sebagaimana penjelasan kami diatas, al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah tegas mengatakan kebolehannya beri'tikaf pada malam hari, kata beliau dalam kitabnya "al-Umm" (2/118) :

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْتَكِفَ الرَّجُلُ اللَّيْلَةَ

"Tidak mengapa seorang beri'tikaf pada malam hari."


(Baca Juga : Harusnya Kita Lebih Takut Kesyirikan Dari Nabi Ibrahim)


Al-Imam bin Baz rahimahullah bahkan punya fatwa terkait masalah yang kita bahas ini ketika ada seseorang yang bertanya terkait aktivitas pekerjaannya pada siang hari, namun ia ingin juga beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan, maka apakah bisa ia beri'tikaf hanya pada malam harinya saja?


Asy-Syaikh Rahimahullah yang semasa hidupnya menjabat mufti 'Âm kerajaan Saudi Arabia memberikan jawaban :

يجوز الاعتكاف ولو ساعة من الزمن بمسجد تقام فيه صلاة الجماعة، ويصح الاعتكاف بلا صوم على الصحيح من أقوال العلماء؛ لما رواه عبد الله بن عمر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنه قال: يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم:  «أوفِ بنذرك فاعتكف ليلة»  أخرجه البخاري ومسلم في (صحيحيهما) وهذا لفظ البخاري (ج2 ص260) ولو كان الصوم شرطًا لصحة الاعتكاف لما أقره النبي صلى الله عليه وسلم على اعتكاف الليل فقط، وعلى ذلك يجوز لكم تحديد نية الاعتكاف في الليل فقط دون النهار لما ذكرتم ولكم أجر بقدر ذلك إن شاء الله.

"Boleh beri'tikaf walaupun sesaat di masjid yang ditegakkan padanya sholat berjamaah dan tetap sah beri'tikaf tanpa melaksanakan puasa menurut pendapat yang benar, berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar dari Umar bin Khothob radhiyallahu anhumâ yang berkata : "wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf pada malam hari di masjidil haram, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku : "Tunaikan nadzarmu, lalu i'tikaflah pada malam hari." (HR. Bukhari dan Muslim).

Seandainya puasa merupakan syarat sahnya i'tikaf, niscaya Nabi tidak akan menyetujui i'tikaf pada malam saja, sehingga berdasarkan hal ini, boleh bagimu membatasi niat  i'tikaf pada malam saja, tidak dengan siangnya, sebagaimana yang telah aku sebutkan kepadamu dan engkau mendapat pahala sesuai dengan durasi tersebut insya Allah." -selesai-.


Akan tetapi apakah orang yang beri'tikaf dengan model tersebut telah merealisasikan sunnahnya Rasulullah ketika beri'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadan?, 

maka jawabannya tidak, karena salah satu rukun i'tikaf adalah tetap tinggal di masjid dan i'tikaf menjadi batal apabila keluar dari masjid tanpa ada uzur. Prof. DR. Khâlid al-Musyaiqah hafizhahullah pernah berfatwa :

فإذا أردت أن تحقق هذه السنة فعليك أن تعتكف العشر الأواخر، وألا تخرج من المسجد، أما كونك تخرج وتبيت في بيتك بسبب شدة الحر وعدم الراحة في الحرم، فهذا يبطل عليك الاعتكاف؛ لأن ركن الاعتكاف هو اللبث في المسجد، والخروج من المعتكف هذا مبطل للاعتكاف....فهذا اعتكاف ليلة، أما تحقيق السنة اعتكاف العشر فهذا لم تحققه.

"Jika engkau ingin merealisasikan sunnah beri'tikaf pada 10 hari malam terakhir, maka engkau harus beri'tikaf pada 10 hari terakhir dan jangan keluar di masjid, adapun kondisimu yang keluar dari masjid...maka ini membatalkan i'tikaf, karena rukun i'tikaf adalah diam menetap di masjid dan keluarnya orang beri'tikaf seperti ini adalah membatalkan i'tikaf,...maka ini adalah i'tikaf malam, adapun perealisasian sunnahnya beri'tikaf pada 10 hari terakhir, maka yang seperti ini tidak terealisir (dengan model tersebut)." -selesai-.

Wallahu Ta'âlâ A'lam.

 

(Baca Juga : Ada Apa Dengan Gunung Tihamah)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/509762030190754

Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah

Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah
Amat Sangat Luasnya Ampunan Allah


Siapakah diantara kaum Muslimin yang tidak tahu kebejatan, kekejaman, kesombongan dan sifat-sifat buruk lainnya dari seseorang yang waktu itu berkuasa di negeri Mesir dan sampai kepada puncak kemaksiatannya adalah ia mengaku dirinya sebagai tuhan, ucapnya :


فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلْأَعْلَىٰ


"(Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi" (QS. An Naazi'at : 24).


Ya benar orang tersebut adalah Fir'aun, sangat banyak sekali ayat-ayat Rabb kita yang Maha Suci dan Maha Tinggi mengisahkan segala tindak tanduk yang buruk dan busuk serta kesewenang-wenangannya kepada orang-orang yang beriman, yang layak dicatat sebagai tragedi kemanusian terbesar yang ada di muka bumi ini.


(Baca Juga : 15 Keutamaan dan Fakta Masjidil Aqsha)


Akan tetapi..akan tetapi...


Tatkala ia diambang kehancuran, diambang kebinasaan, diambang kematiannya, pada waktu ditenggelamkan di laut merah...


Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menceritakannya kepada kita :


لَمَّا أَغْرَقَ اللَّهُ فِرْعَوْنَ قَالَ : { آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ }، فَقَالَ جِبْرِيلُ : يَا مُحَمَّدُ، فَلَوْ رَأَيْتَنِي وَأَنَا آخُذُ مِنْ حَالِ الْبَحْرِ فَأَدُسُّهُ فِي فِيهِ ؛ مَخَافَةَ أَنْ تُدْرِكَهُ الرَّحْمَةُ "


"Tatkala Allah tenggelamkan fir'aun ia berkata : "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil" (QS. Yunus : 90). 

Maka Jibril alaihi salam berkata : "Wahai Muhammad, seandainya engkau melihatku, aku mengambil lumpur laut, lalu aku sumpalkan ke mulut fir'aun karena khawatir ia mendapatkan rahmat" (HR. Tirmidzi, dihasankan Tirmidzi dan dikatakan shahih lighoirihi oleh al-albani)


Dalam riwayat lain :


إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يَدُسُّ فِي فَمِ فِرْعَوْنَ الطِّينَ ؛ مَخَافَةَ أَنْ يَقُولَ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ


"Jibril dulu pernah menyumpal mulut Fir'aun dengan tanah, khawatir ia mengucapkan "Laa Ilaaha Illallah" (HR. Ahmad, dishahihkan Ahmad Syakir).


Lihat!!! Betapa luasnya ampunan Allah, sehingga Jibril khawatir fir'aun mati dalam keadaan mengucapkan kalimat tauhid, yang menyebabkan ia mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.


Lalu bagaimana lagi dengan seorang hamba yang menangis, merendah diri, mengiba dengan penuh rasa kasihan didepan pintu Ampunan dan Rahmat Allah, maka apakah mungkin Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun membiarkan hamba-Nya tersebut tanpa membawa ampunan dan karunia-Nya?

============

(Baca Juga : Makna Kemampuan Dalam Ibadah Haji)


Tulisan Al-Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/126289075204720

15 Wanita di Sekeliling Nabi

15 Wanita di Sekeliling Nabi
15 Wanita di Sekeliling Nabi


Ada 15 wanita di rumah tangga Nabi selain putri-putri beliau, mereka terperinci dalam 4 kategori:


I. Yang pertama; wanita yang menjadi istri nabi dan wafat mendahului nabi, mereka ada dua orang:


(1). Ibunda Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu Anha bergelar at-Thahirah [wanita yang suci] memiliki sangat banyak keutamaan.


(2) Ibunda Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu Anha, Dijuluki Ummul Masakin (ibu dari kaum fakir miskin)


(Baca Juga : Hargai Guru dan Majelis Ilmu Terdekat)


II. Yang kedua; wanita-wanita yang menjadi istri nabi dan Rasulullah wafat mendahului mereka, ada 9 orang:


(3). Ibunda Saudah binti Zam'ah Radhiyallahu 'Anha.


(4). Ibunda Aisyah binti Abi Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anha.


(5). Ibunda Hafshah Binti Umar bin Khattab Radhiyallahu Anha.


(6). Ibunda Ummu Salamah Hindun Binti Abi Umayyah Radhiyallahu 'Anha


(7). Ibunda Zainab binti Jahsy Radhiyallahu Anha (sepupu Rasulullah/anak bibi rasulullah)


(8). Ibunda Ummu Habibah Ramlah  binti Abu Sufyan Radhiyallahu Anha.


(9). Ibunda Juwairiyyah binti al-Haris Radhiyallahu Anha (putri dari suku Bani Musthaliq).


(10). Ibunda Shafiyah binti Huyay bin Ahthab Radhiyallahu Anha (satu²nya istri nabi yang bukan dari Arab, beliau dari Bani Israel).


(11). Ibunda Maimunah binti al-Haris Radhiyallahu 'Anha


(Baca Juga : Manusia Disandera Jin?)


III. Yang Ketiga, wanita² yang pernah diakad oleh nabi akan tetapi belum sempat dikumpuli nabi dan terjadi perpisahan. Mereka ada dua:


(12). Wanita dari suku Kilab

(13). Wanita dari suku Kindah terkenal dg sebutan al-Juniyah.


IV. Wanita yang menjadi budak nabi bukan istri nabi (berdasarkan pendapat yang rajih Wallahu a'lam), ada dua:


(14). Mariyah al-Qibtiyah Radhiyallahu Anha, wanita cantik hadiah dari Raja Kristen Mesir al-Muqawqis. Darinya nabi memperoleh anak yg bernama Ibrahim.


(15). Raihanah binti Zaid Al-Qurazhiyah, Radhiyallahu Anha. (Dulu menjadi tawanan di perang melawan Bani Quraizhah Yahudi).


Referensi: 

Disarikan dari Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum (Al-Manshurah, Dar al-Wafa', 2004), hal. 406-408


(Baca Juga : Belajar Manhaj Salaf dari Dinosaurus)


Tulisan Al-Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc. MHI hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1983481288473809&id=100004358714062

Madzhab Atau Non Madzhab

Madzhab Atau Non Madzhab
Madzhab Atau Non Madzhab

Pertanyaan: 

Sebagian Orang telah mengingkari berfikih tanpa madzhab, kami mohon bimbingan anda?


Syaikh Ali Bin Hasan al-Halabi hafizhahullah menjawab:


Masalah bermadzhab atau tidak bermadzhab merupakan permasalahan lama yang sudah ada sejak dahulu kala. Sebagaimana ada madzhab Imam Abu Hanifah, madzhab Imam Malik, imam Syafi'i dan Imam Ahmad, di sana juga ada madzhab2 lain yang masih ada sebagiannya sampai hari ini.


Dulu ada Madzhab Abu Tsaur, madzhab Imam Thobari, madzab imam al-Laits bin Sa'ad, dahulu semua (madzhab) ini ada dan populer. Aku sudah pernah menulis beberapa karangan dan beberapa kitab tentang masalah ini.


 (bahkan) masih ada sampai sekarang madzhab imam Ibn Hazm (madzhab zhahiri), dahulu populer dengan nama madzhab Imam Ibn Hazm, walaupun pendiri madzhab ini adalah Dawud azh-zhahiri.


 Begitu juga ada madzhab ahlul hadits, maka seandainya anda meneliti di kitab-kitab hadits, maka anda benar-benar akan melihat keberadaannya dan itu masih ada dan masih eksis. MAKA DALAM HAL INI KITA JANGAN BERLAKU KERAS, karena YANG MENJADI PATOKAN ADALAH BERFIKIH SECARA BENAR...(bukan masalah bermadzhab atau tidak bermadzhab).

 

Kami katakan berulang-ulang kali, kami tidak memusuhi (melawan) madzhab, akan tetapi kita melawan adanya fanatik buta (ta'ashub) dalam bermadzhab.


Dan agar kita teliti: Sesunguhnya ciri keumuman dari  pentaklid madzhab hari ini adalah ta'ashub. (Tapi) dalam perkara ini tidak kosong Dari adanya para pentahrir.


(Baca Juga : Macam-Macam Penuntut Ilmu Hadits)


Saya buat permisalan, contoh Syaikh Utsaimin Rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya asy-syarh al-Mumti' di dalamnya ada ta'shil, perincian dan penjelasan untuk madzhab Hambali, begitupun kitab-kitab beliau yang sudah masyhur (lainnya). Akan tetapi Syaikh Utsaimin tidak jumud (mandeg/stagnan) atas madzhab Hambali atau mandeg atas apa yang sudah dikatakan di kitab (az-zaad) atau mencukupkan diri dengan kitab-kitab madzhab lainnya. Akan tetapi yang dilakukan Belaiu hanyalah mengikuti dalil, dan beliau membela dalil dan beliau merajihkan dengan dalil, meskipun seandainya Belaiu salah dalam hal ini dan itu, yang penting Sesunguhnya beliau mengerahkan kemampuannya. 


Apa makna ijtihad, ijtihad adlah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu.


Maka barang siapa mengatakan bahwa madzhab ahli hadits itu kacau, maka hal ini tidak benar.


 wahai saudaraku lihatlah kitab Ibnul Mundzir, sesungguhnya kitab beliau adalah contoh yang elok (indah) untuk mengikuti manhaj ahlul hadits secara terperinci.


Lihatlah kitab "المؤمَّـل في الرد إلى الأمر الأول karya imam Abu Syaamah Asy-Syafii, semuanya berisi ta'shil untuk madzhab ahlul hadits atau sedikit disinggung tentang bermadzhab tapi tanpa ta'ashub (fanatik buta).


....(maka) tidak mengapa anda berfikih dengan madzhab imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, atau imam Malik, atau engkau bermadzhab dengan fiqih Imam As-Syaukani, shon'ani, atau Ibnu Taimiyah, yang penting jangan engkau ta'ashub, dan jangan engkau fanatik terhadap pendapat2 tersebut, 


Engkau (harus) melihat perkara dengan dalil dan hujjah, disertai pemuliaan dan penghormatan terhadap ucapan para ulama. Dan Ini merupakan perkara yang sangat penting.


Sebenarnya masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih banyak, akan tetapi semoga hal ini sudah cukup.


 selesai.


==========


* Teks bahasa Arab didapatkan dari group محبو الشيخ علي الحالبي حفظه الله تعالى


=============


(Baca Juga : Bertanya Tentang Rawi Hadits di Dalam Mimpi)


🔻 السؤال :


لقد صار البعض يُـنكِر التفقَّه بغير مذهب ، فنريد توجيهاً ؟


◉ أجاب فضيلة الشيخ:


 *علي بن حسن الحلبي* -حفظه الله- :


قضية التمذهب وعدمه ؛ قضية تاريخية معروفة موجودة ، كما هو موجود مذهب الإمام أبي حنيفة ومذهب الإمام مالك والشافعي وأحمد ؛ هناك أيضاً مذاهب أخرى موجودة ولا يزال إلى اليوم بعضها.


كان موجود مذهب (أبي ثور) ، كان موجود مذهب الإمام الطبري ، كان موجوداً مذهب الإمام الليث ابن سعد ، هذا كله كان موجوداً و معروفاً ، وأُلِّـفَت في ذلك مؤلفات وكتب ، ولا يزال إلى الآن موجوداً مذهب الإمام أبي محمد ابن حزم (مذهب الظاهرية) ، وإن كان اشتهر المذهب بإسم (مذهب الإمام ابن حزم) ، وإن كان مؤسِّـس المذهب هو داوود الظاهري.


كذلك يوجد مذهب أهل الحديث ، فلو أنك بحثتَ في كتب الحديث لَـتراه كان وسيظَل موجوداً وقائماً ، فلا نُشدد في هذا الموضوع ، العبرة بالتفقه الصحيح.


ونحن نقولها مرات ومرات ، نحن لسنا ضد التمذهب ، لكننا ضدُّ التعصب للمذهَب ، وحتى نكون دقيقين :


فإن السمة الغالبة اليوم على مُـقَلِّدَة المذاهب هو التعصُّب ، ولا يخلو الأمر من وجود ناس متحررين.


يعني أضرِب المثل بسماحة الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله تعالى :


في كتابه (الشرح الممتع) هو تأصيل وتفصيل وبيان للمذهب الحنبلي ولبعض كتبه الشهيرة ، لكن الشيخ العثيمين لم يَـجمد على المذهب أو على ما قيل في كتاب (الزاد) أو في غيره من كتب المذهب ، وإنما كان يَـتبع الدليل ، وكان ينتصر للدليل ، وكان يُـرَجِّح بالدليل ، حتى لو أخطأ في هذه أو تلك ، المهم أنه يبذل وسعه ، ما معنى الاجتهاد ؟


الاجتهاد هو بذل الوسع في معرفة الشيء. 


ومن يقول إن مذهب أهل الحديث فوضوي ؛ هذا غير صحيح يا أخي ، أُنظر إلى كتب الإمام ابن المنذر ، فإن كتبه نموذج راقٍ لاتباع منهج أهل الحديث تفصيلاً وفروعاً.


أنظر إلى كتاب "المؤمَّـل في الرد إلى الأمر الأول" للإمام أبي شامة الشافعي ، كله تأصيل لمذهب أهل الحديث أو قل للتمذهب البعيد عن التعصب.


وعندنا الأمر في ذلك سيان ، لا مانع أن تتفقه على مذهب الإمام الشافعي أو الإمام أحمد والإمام أبي حنيفة والإمام مالك ، أو أن تتمذهب على فقه الشوكاني أو الصنعاني أو فقه ابن تيمية ، المهم أن لا يكون لك تعصب ، وأن لا تتعصب إلى هذه الأقوال ، وأن تنظر إلى الأمور نظرةً يُـثَبتها الدليل وتثبتها الحُـجة ، مع التقدير والتبجيل لكلام العلماء في هذا الباب ، وهو شيء مهم للغاية.


والمسألة في الحقيقة تحتاج إلى أكثر من ذلك ، لكن لعل في هذا كفاية في هذه المسألة.


📚 المصدر :


 فيديو تم نشره على صفحة:


(الشيخ علي بن حسن الحلبي)


   على الفيسبوك بتاريخ :


25 شعبان 1441 هجري


18-04-2020 ميلادي.


Tulisan Al-Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc. MHI hafidzhahullah


Sumber : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1683436425144965&id=100004358714062